Banjir Darah di Cibugel

Kesaksian orang-orang yang selamat dari teror paling mengerikan oleh gerombolan DI/TII.

OLEH:
Hendi Jo
.
Banjir Darah di CibugelBanjir Darah di Cibugel
cover caption

Tugu itu menjulang seolah menantang langit. Tingginya lima meter. Ia berada persis di depan kantor Desa Cibugel. Kendati tanpa keterangan apapun, warga Cibugel tahu tugu itu merupakan pengingat atas suatu peristiwa mengerikan yang pernah melanda desa mereka sekitar 60 tahun lalu. 

“Waktu itu ratusan kolot urang (sesepuh kita) tewas akibat kekejaman gerombolan,” ujar Agus (42), ketua RT di Desa Cibugel, menyebut Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo.

Cibugel merupakan desa yang terbilang cukup tua di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Menurut dokumen yang dibuat pemerintah desa, Cibugel terdaftar sebagai nama desa sejak 1875 dan masuk dalam wilayah Kecamatan Darmaraja, berbatasan langsung dengan Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut.

Pada 7 Februari 1992, Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet secara resmi menabalkan desa tersebut sebagai kecamatan baru. Selain wilayahnya terlalu luas untuk sebuah desa, pemekaran Cibugel bisa disebut sebagai bentuk rasa terima kasih pemerintah atas kesetiaan mereka.

Sejak era Perang Kemerdekaan (1945–1949), Cibugel dikenal sebagai basis terkuat pejuang pro-Republik di kawasan Priangan Timur. Tentara Belanda dan gerombolan DI/TII jarang bisa bertahan lama di desa tersebut.

Ketika pemberontakan DI/TII dimulai secara resmi pada 7 Agustus 1949, kesetiaan warga Cibugel tak berubah. Tidak seperti desa lain di wilayah Garut atau Tasikmalaya, mereka secara tegas menolak memberikan bantuan apapun terhadap DI/TII.

Tugu itu menjulang seolah menantang langit. Tingginya lima meter. Ia berada persis di depan kantor Desa Cibugel. Kendati tanpa keterangan apapun, warga Cibugel tahu tugu itu merupakan pengingat atas suatu peristiwa mengerikan yang pernah melanda desa mereka sekitar 60 tahun lalu. 

“Waktu itu ratusan kolot urang (sesepuh kita) tewas akibat kekejaman gerombolan,” ujar Agus (42), ketua RT di Desa Cibugel, menyebut Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo.

Cibugel merupakan desa yang terbilang cukup tua di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Menurut dokumen yang dibuat pemerintah desa, Cibugel terdaftar sebagai nama desa sejak 1875 dan masuk dalam wilayah Kecamatan Darmaraja, berbatasan langsung dengan Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut.

Pada 7 Februari 1992, Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet secara resmi menabalkan desa tersebut sebagai kecamatan baru. Selain wilayahnya terlalu luas untuk sebuah desa, pemekaran Cibugel bisa disebut sebagai bentuk rasa terima kasih pemerintah atas kesetiaan mereka.

Sejak era Perang Kemerdekaan (1945–1949), Cibugel dikenal sebagai basis terkuat pejuang pro-Republik di kawasan Priangan Timur. Tentara Belanda dan gerombolan DI/TII jarang bisa bertahan lama di desa tersebut.

Ketika pemberontakan DI/TII dimulai secara resmi pada 7 Agustus 1949, kesetiaan warga Cibugel tak berubah. Tidak seperti desa lain di wilayah Garut atau Tasikmalaya, mereka secara tegas menolak memberikan bantuan apapun terhadap DI/TII.

<div class="quotes-center font-g">“Jangankan harta berharga seperti emas dan uang, nasi pun pantang kami berikan kepada mereka,” ujar Tarsiyah</div>

“Jangankan harta berharga seperti emas dan uang, nasi pun pantang kami berikan kepada mereka,” ujar Tarsiyah (77), sesepuh Cibugel.

Sejak era Perang Kemerdekaan (1945-1949), Cibugel dikenal sebagai basis terkuat pejuang pro-Republik di kawasan Priangan Timur. Tentara Belanda dan gerombolan DI/TII jarang bisa bertahan lama di desa tersebut.

Sikap keras kepala itu menjadikan Cibugel diklasifikasikan sebagai darul harbi (kawasan musuh) oleh DI/TII. Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia, harta dan nyawa para penghuni darul harbi halal untuk diambil. Sekalipun melalui cara kekerasan.

“Istilahnya ada ghanimah, salab, dan fa’i,” ujar Makmur (93), mantan komandan TII di wilayah Ciamis.

Istilah ghanimah mengacu pada semua benda (hidup dan mati) yang berhasil dirampas dari musuh lewat suatu pertempuran. Salab adalah semua benda (mati) yang dipakai musuh saat pertempuran. Sedangkan fa’i adalah semua benda (mati) yang didapat dari musuh bukan lewat pertempuran (bisa lewat pajak, dll.).

Dengan doktrin seperti itu, wajar jika selama 12 tahun Cibugel selalu menjadi sasaran DI/TII. Menurut Pinardi dalam Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1964), antara 1949–1962 Cibugel mengalami tidak kurang dari 50 kali penggarongan dan pembakaran. Bahkan pernah dalam masa enam bulan desa itu diserang sampai 16 kali.

<div class="strect-width-img width70"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62a6e78b9c8a356fd83f2c96_FOTO-1.jpg" alt="img"></div><figcaption>Tugu peringatan Peristiwa 23 November 1959 di Cibugel, Sumedang (Aryono/Historia.ID)</figcaption></figure></div>

Awal pertikaian antara warga Cibugel dan DI/TII terjadi pada akhir 1949.

Pada suatu senja, Cibugel tetiba diserbu ratusan gerombolan DI/TII bersenjata lengkap. Satu regu Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang baru saja pulang hijrah dari Jawa Tengah, tak bisa berbuat banyak. Cibugel luluh lantak. Menurut Pinardi, sebanyak 1.400 rumah habis terbakar. Tak ada sebuah bangunan pun yang berdiri utuh. Untuk kali pertama warga Cibugel mengalami peristiwa pahit akibat keganasan DI/TII.

Dalam kejadian itu, tujuh warga desa yang dituding sebagai “pengkhianat agama” ditangkap karena bekerja sama dengan “pemerintah kafir”. Mereka adalah Eme, Tarwah, Darja, Anen, Askum, Sahlawi, dan Otjid. Di sebuah kandang kambing, satu per satu disembelih atau dipukul ruyung (gada kayu) hingga kepala pecah.

“Semua warga dipaksa untuk melihat itu, tidak terkecuali anak-anak dan perempuan, sebagai pengingat bagaimana nasib manusia-manusia yang mendukung pemerintah RI,” ujar Rasadi (92), ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cibugel. Nada suaranya terdengar gemetar.

Sejak peristiwa itu, alih-alih menjadi takut, warga Cibugel bertekad untuk melawan. Mereka berkoordinasi dengan TNI. Maka terbentuklah Organisasi Keamanan Desa (OKD), satu unit beranggotakan 30 pemuda desa. Sebagai komandan diangkatlah Suparma, salah satu tokoh pemuda Cibugel.

Anggota OKD mendapat latihan militer dari tentara. Selain baris-berbaris, mereka diajarkan menggunakan senjata api. Namun dalam kenyataannya, mereka bersenjatakan golok, bambu runcing, dan klewang. Mereka hanya diberikan tiga pucuk senjata api: sebuah pistol dipegang komandan dan dua senjata api usang (stengun dan arisaka) dipakai bergiliran. Masing-masing lengkap dengan 50 butir peluru yang diberikan setiap bulan.

<div class="quotes-center font-g">“Semua warga dipaksa untuk melihat itu, tidak terkecuali anak-anak dan perempuan, sebagai pengingat bagaimana nasib manusia-manusia yang mendukung pemerintah RI,” ujar Rasadi.</div>

“Biasanya dua senjata itu dipegang dua anggota yang kebagian piket dan patroli keliling desa,” ujar Martono (90), mantan anggota OKD.

Selain OKD, Cibugel diperkuat 1-2 regu pasukan TNI yang datang secara bergiliran. Satu regu terdiri dari sebelas prajurit. Mereka ditempatkan di sebuah pos pertahanan di wilayah Jayamekar (sekarang sudah menjadi desa), sebuah dataran tinggi di sebelah barat desa. Untuk mengantisipasi penyerbuan, warga membuat pagar bambu setinggi dua meter yang mengelilingi desa. Pintu gerbangnya selalu dijaga ketat.

Kendati demikian Cibugel kerap kebobolan. Gerombolan DI/TII sering menyambangi desa mereka. Selain merampok, tak jarang mereka membunuh warga.

Salah satu kejadian yang cukup dikenang warga Cibugel terjadi awal November 1959. Gerombolan DI/TII datang dan merampok rumah Sukadma, seorang petani tembakau. Mereka mendapat perlawanan sengit yang mengakibatkan seorang anggota tewas akibat hantaman pisau pencacah tembakau.

“Meskipun Pak Sukadma terbunuh juga, tidak urung kejadian itu akan menimbulkan balas dendam,” ujar Darmi (75), saksi sejarah kejadian itu.

Apa yang ditakutkan Darmi kemudian terjadi.

Pembakaran sebuah kampung oleh gerilyawan DI/TII di Jawa Barat (Perpusnas RI)

Senin, 23 November 1959. Menjelang tengah malam, gelap gulita membekap Cibugel. Udara dingin terasa menggigit pori-pori. Tak seperti biasanya, suara binatang malam seolah libur bernyanyi. Padahal beberapa jam sebelumnya baru saja hujan rintik-rintik turun.

Di sebuah rumah, Rasadi yang sedang tak mendapat giliran jaga tengah tergolek. Tapi dia tak bisa menutup mata sepenuhnya. Merasakan ada sesuatu yang janggal. Sesekali dia terbangun lalu berdiam diri. Angin dingin bertiup menembus bilik-bilik kamarnya ketika dari arah utara terdengar suara senjata api menyalak.

Tanpa pikir panjang, Rasadi meraih sarung dan klewang. Secepat kilat dia keluar rumah dan berlari kencang ke arah pos tentara yang terletak di Jayamekar. Jalan menanjak dan basah tak ayal membuat napasnya terengah-engah. Beberapa puluh meter menjelang pos, sebuah tembakan menghantam tanah yang dipijaknya. Rasadi terguling namun segera bangkit dan kembali berlari.

Begitu melewati sebuah kolam besar, dia terhenyak sejenak. Dilihatnya dua pemuda kampung mengambang. Seperti Rasadi, mereka sepertinya hendak menuju pos tentara. Tapi mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, keduanya menjadi sasaran peluru hingga tewas seketika.

Rasadi akhirnya sampai ke pos tentara. Alangkah terkejutnya ketika dia menemukan hanya dua prajurit Regu Keamanan (RK) dari Batalyon 323 Kodam Siliwangi yang bertahan di pos. Yang satu tengah memegang M1 Garand sedangkan satunya lagi menembakkan tekidanto (mortir kecil bekas tentara Jepang).  

“Rupanya sembilan prajurit lainnya tengah berpatroli mengelilingi pagar pembatas desa, termasuk pimpinannya Letnan Koesnadi,” kenang Rasadi.

<div class="quotes-center font-g">“Saya tak kuasa melihat pemandangan itu. Sebelum bisa bertindak, belasan mayat menimpa tubuh saya hingga saya terkubur dalam tumpukan mayat,” ujar Martono.</div>

Rasadi panik. Terlebih saat prajurit pemegang mortir terjerembab terkena hantaman peluru persis di depannya. Bersama prajurit yang masih hidup, dia bergerak mundur ke arah selatan desa. Di jalan dia bertemu Zuhdi dan Uder, sesama anggota OKD, yang tengah siaga di dekat sebuah pohon.

“Sedang apa kalian di sini? Ayo mundur!” teriak Rasadi dalam bahasa Sunda.

“Kami sedang menunggu pasukan dari pos,” jawab Zuhdi.

“Pasukan tidak tahu di mana, asrama kosong!” ujar Rasadi.

Mereka bergerak ke arah selatan, melintasi pagar pembatas desa, dan bertahan di sebuah hutan kecil hingga pagi datang.

Sementara itu pos tentara yang kosong dibakar gerombolan DI/TII. Cibugel lalu dikepung dari empat jurusan.

Rasadi (Aryono/Historia.ID)

Martono, anggota OKD, sedang menemani komandan Suparma dan Lurah Cibugel Wikartapradja berpatroli di sekitar pagar desa. Begitu mendengar suara brengun dari arah pos tentara, mereka bergerak ke arah desa. Di pertigaan jalan mereka berserobok dengan gerombolan DI/TII yang datang dari arah barat.

“Karena merasa kalah jumlah, kami berbalik ke wahangan (sungai) Legok Cibiru,” kenang Martono (90). Legok Cibiru adalah lembah sungai yang membelah Desa Cibugel.

Diburu gerombolan DI/TII, mereka melakukan gerakan zig-zag hingga memasuki kebun pisang menjelang Legok Cibiru.

Pada saat yang hampir bersamaan, Tarsiyah baru saja menidurkan Acin, bayi lelakinya yang berusia delapan bulan. Belum sempat memejamkan mata, terdengar suara rentetan senjata menggema di seantero kampung.

Karsita, suaminya, terbangun dari tidur dan langsung meloncat. Setelah berpakaian seperlunya, dia meraih sepucuk bedil yang kebetulan sedang dipinjamkan kepadanya.

“Kang! Bagaimana ini? Ke mana saya harus membawa bayi ini?” teriak Tarsiyah setengah histeris.

“Cepat bawa anak itu ke wahangan (Legok Cibiru)!” jawab Karsita. Sejurus kemudian, dia sudah menghilang dalam kegelapan.

Martono (Aryono/Historia.ID)

Tanpa menunggu waktu, Tarsiyah menggendong Acin menuju lembah sungai. Dalam kegelapan malam, beberapa kali kakinya terantuk akar dan batu. Untung bayinya tetap anteng dalam dekapannya.

Di tengah jalan, dia bertemu Darmi, adiknya yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar. “Saya langsung menuntunnya ke arah wahangan,” kenang Tarsiyah.

Begitu sampai di dasar wahangan Legok Cibiru, mereka berlindung di balik sebuah batu besar.

Legok Cibiru sudah dipenuhi ratusan warga Cibugel; sebagian besar perempuan dan anak-anak. Mereka berlindung di balik batu dan pepohonan. Jerit dan tangis memenuhi seisi lembah begitu melihat api melalap rumah-rumah yang dibakar gerombolan.

“Seluruh lembah menjadi terang-benderang karena cahaya dari kobaran api di sekelilingnya,” ujar Martono.

Sekira pukul 1.30, gerombolan DI/TII mengepung lembah dari ketinggian. Mereka berteriak dan memaki dalam bahasa Sunda yang kasar. Sejurus kemudian terdengar senjata-senjata dikokang lalu secara bersamaan melepaskan tembakan.

<div class="quotes-center font-g">“Saya masih ingat dia anak yang manis dan baik. Wajar jika kemudian ibunya menjadi gila karena kehilangannya,” ujar Darmi.</div>

Rasakeun siahhh!” (Rasakan!)

Sok arek menta tulung ka saha ayeuna, heh!” (Mau minta tolong ke siapa sekarang, heh!)

Gerombolan DI/TII terus berteriak sambil menghujani lembah dengan peluru tajam dari berbagai arah.

Korban pun berjatuhan. Di tengah desingan peluru, perempuan dan anak-anak terjerembab bermandikan darah. Puluhan bocah sekarat di atas batu-batu sungai dengan usus memburai. Para ibu menjerit dan menggapai-gapai. Sebagian tewas dalam kondisi menyusui bayi. Darah membanjiri Cibugel.

“Saya tak kuasa melihat pemandangan itu. Sebelum bisa bertindak, belasan mayat menimpa tubuh saya hingga saya terkubur dalam tumpukan mayat,” ujar Martono dalam nada getir.

Gerombolan itu mengamuk. Peluru berhamburan hingga berjam-jam. Mereka menembak sambil berteriak-teriak histeris, memuaskan hawa nafsu membunuh.

“Tidak ada ampun buat kalian! Waktu kemarin ke mana saja kalian? Sekarang minta-minta tolong kepada kami? Sudah terlambat!” teriak seorang gerombolan dalam bahasa Sunda.

Tarsiyah. (Aryono/Historia.ID)

Martono pelan-pelan kehilangan kesadaran, hanyut dalam aliran air sungai yang berbau anyir darah.

Di balik batu besar, Tarsiyah dan Darmi merasakan ketakutan yang luar biasa. Sambil terus mendekap Acin, Tarsiyah berjongkok setengah tiarap. Sedang Darmi menjatuhkan diri di aliran sungai. Mulut mereka tak henti memanjatkan doa.

Di kanan-kiri mereka, satu demi satu orang berjatuhan. Suara jerit ketakutan para bocah bersanding dengan teriakan sakaratul maut perempuan-perempuan yang terkena peluru. Ijoh, yang berlindung di balik batu sebelah kanan Tarsiyah, terjengkang dihantam peluru kaliber besar. Sebelum meregang nyawa, dia merintih meminta seseorang membawakannya minuman.

“Dia bilang tolong, tolong, tolong… Tapi siapa yang berani menolong dalam kondisi seperti itu?” kenang Tarsiyah.

Hari mulai mendekati subuh. Suara tembakan masih terdengar satu dua. Beberapa gerombolan DI/TII mulai melepas lelah. Sebagian menjarah barang-barang berharga dan makanan dari puing-puing rumah warga.

Sebuah peluit panjang berbunyi. Kode dari pemimpin gerombolan yang memerintahkan anak buahnya segera menyingkir dari Cibugel.

Hayu balik! Balik! Balik!” (Ayo balik! Balik! Balik!)

Balik euy! Sakeudeung deui beurang yeuh!” (Balik! Sebentar lagi siang!) demikian teriakan para gerombolan mengajak kawan-kawannya untuk pulang ke markas.

<div class="quotes-center font-g">“Saat dimakamkan, saya masih ingat kebanyakan disatukan dalam satu lubang. Yang dimakamkan sendiri-sendiri hanya orang-orang penting seperti sesepuh desa dan perangkat desa,” ujar Rasadi.</div>

Kendati gerombolan DI/TII sudah meninggalkan Cibugel, warga yang masih hidup belum berani keluar dari persembunyian. Baru sekitar jam 6.30, beberapa lelaki memberanikan diri untuk keluar.

Darmi dan Tarsiyah yang masih terdiam dalam kubangan darah di wahangan Legok Cibiru sempat mendengar teriakan seorang lelaki: “Ibu-Ibu! Bapak-Bapak! Silakan keluar! Situasi sudah aman, ayo jangan takut. Mereka sudah benar-benar pergi.”   

Tarsiyah bangkit. Setengah histeris, dia memandang sekitarnya. Di balik bebatuan sungai dilihatnya ratusan mayat bergelimpangan. Air sungai sudah berubah warna merah. Bau anyir bersanding dengan bau kayu terbakar dan sisa-sisa kepulan mesiu yang menyengat hidung.

Tak kuasa menahan kegetiran, Tarsiyah hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil mendekap sang bayi. Terbayang olehnya orang-orang yang bergelimpangan itu menyapanya belasan jam yang lalu. Maut memang tak mengenal waktu. Ia bisa datang kapan saja dan di mana saja.

Sekitar jam 9, TNI mulai berdatangan dari Sumedang. Diiringi Lurah Wikartapradja, Suparma, Karsita, Rasadi, dan beberapa anggota OKD yang berhasil lolos dari buruan gerombolan DI/TII. Mereka kemudian mengangkut jenazah-jenazah dari wahangan dan mengobati orang-orang yang terluka di balai desa. Martono, satu dari beberapa anggota OKD yang berhasil diselamatkan.

Menurut Lurah Wikartapradja kepada Pinardi, saking banyaknya korban meninggal, mereka mendatangkan tenaga dari desa lain, yakni Desa Antara, untuk menguburkan jenazah-jenazah tersebut keesokan harinya. Mereka juga terpaksa menggunakan papan dari bangku-bangku tempat duduk di pendopo kelurahan untuk keperluan penguburan.

Darmi. (Aryono/Historia.ID)

Darmi masih ingat sempat berkeliling kampung untuk melihat situasi. Dia baru sadar bahwa pembantaian tak hanya terjadi di wahangan Legok Cibiru. Mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah, halaman rumah, dan bewak (lubang perlindungan di bawah kolong rumah). Osih, kawan sepermainannya, termasuk yang dibantai.

“Saya masih ingat dia anak yang manis dan baik. Wajar jika kemudian ibunya menjadi gila karena kehilangannya,” ujar Darmi.

Surat kabar Pikiran Rakyat, 26 November 1959 melansir, akibat penyerbuan DI/TII itu, sekitar 120 warga Cibugel tewas dan 60 lainnya menderita luka-luka. Bagian terbesar yang tewas adalah kaum wanita, anak-anak, dan para balita yang sengaja ditembak mati, bukan terjebak peluru dalam tembak-menembak.

Sementara Lurah Wikartapradja menyebut 122 orang tewas dan 64 orang luka-luka. Sebanyak 418 rumah dibakar gerombolan.

Warga Cibugel sendiri meyakini warga yang tewas berjumlah 123 orang, belum termasuk yang meninggal dalam perawatan di Sumedang, Bandung, dan Garut. Rasadi dan Martono malah menyebut jumlah korban lebih dari 200 orang.

Ratusan jenazah itu dimakamkan secara massal di depan Balai Desa Cibugel, tepatnya di kawasan yang sekarang bernama Juru Tilu.

Masjid Assyuhada, bekas lahan pemakaman massal korban keganasan DI/TII. (Aryono/Historia.ID)

“Saat dimakamkan, saya masih ingat kebanyakan disatukan dalam satu lubang. Yang dimakamkan sendiri-sendiri hanya orang-orang penting seperti sesepuh desa dan perangkat desa,” ujar Rasadi.

Untuk mengenang peristiwa itu didirikanlah Tugu Suhada di depan Balai Desa.

Usai Peristiwa 23 November 1959, seluruh warga Cibugel (kecuali anggota OKD dan laki-laki yang masih kuat) mengungsi ke Sumedang selama kurang lebih setahun. Mereka baru kembali ketika pemerintah setempat menyatakan wilayah Cibugel sudah aman, menyusul mulai menyerahnya sebagian gerombolan DI/TII pada akhir 1960.

“Sejak itu saya baru merasakan hidup aman dan tak terancam hingga kini,” ujar Tarsiyah ketika saya mengunjungi rumahnya di kawasan Juru Tilu.

Gerakan DI/TII berakhir secara resmi pada 1962 setelah 13 tahun mendirikan sebuah negara berasaskan hukum Islam dengan korban nyawa yang tidak sedikit.

Pinardi menyebut Peristiwa Cibugel sebagai yang paling menyedihkan dalam sejarah teror gerombolan Kartosoewirjo dan salah satu peristiwa terhebat sebagai akibat Perang Semesta (Perintah Perang Tanpa Kembali) yang dimaklumatkan Kartosoewirjo pada 11 Juni 1961. Dengan maklumat Perang Semesta, para pengikut DI/TII diperbolehkan membunuh semua orang, tak peduli perempuan maupun anak-anak, yang tak mau membantu perjuangan Kartosoewirjo.

Bagi Tarsiyah, Peristiwa 23 November 1959 adalah mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Dia bukan saja kehilangan orang-orang yang begitu baik kepadanya. Jiwanya juga terus terpaku pada peristiwa mengerikan di Legok Cibiru itu.

<div class="quotes-center font-g">“Mereka memperlakukan kami tidak selaiknya seperti saudara seagama, main sembelih, main bunuh seenaknya sendiri,” kata Rasadi.</div>

“Awal-awal saya selalu menangis terus jika ingat kejadian itu. Tapi kalau sekarang, sudah tidak begitu, walaupun karasana teh tetap we ketir (terasa masih begitu menggetirkan),” ujar Tarsiyah.

Acin, bayi kecil yang dulu dipangkunya saat kejadian, sekarang sudah menjadi seorang kakek dan tinggal di Pasar Minggu, Jakarta. Beberapa kali, dia mengajak Tarsiyah pindah ke Jakarta dan tinggal bersamanya, namun selalu ditolak. Alasannya, Tarsiyah ingin mati di tumpah darahnya.

Darmi merasakan hal yang sama seperti kakak pertamanya. Dia masih ingat detail Peristiwa Cibugel 23 November 1959, termasuk kondisi mayat orang-orang yang dibantai.

“Ada yang kepalanya hancur, otaknya keluar. Ada yang punggungnya berlubang besar dan isi perutnya terburai. Ihhh, pokoknya saya kadang tak bisa tidur jika ingat semua itu,” ujar Darmi sambil bergidik.

Rasadi dan Martono sedikitnya juga mengalami trauma. Ketika berkisah tentang peristiwa itu, sesekali mereka tampak emosional, menghela napas atau tetiba terdiam. Kepada saya, mereka mengatakan heran bagaimana bisa orang-orang yang mengaku beragama Islam itu bisa berlaku sadis dan bengis.

“Mereka memperlakukan kami tidak selaiknya seperti saudara seagama, main sembelih, main bunuh seenaknya sendiri,” kata Rasadi. Ada nada marah dalam ungkapannya.

Kehidupan terus berjalan. Desa Cibugel pun mengalami perubahan. Makam korban Peristiwa Cibugel 23 November 1959 sudah tak ada lagi. Sebagian dipindahkan keluarga masing-masing, sebagian lainnya sudah berganti bangunan. Sebagai penanda atas pengorbanan warga Cibugel, di lokasi kompleks pemakaman itu didirikan masjid bernama Assyuhada yang artinya para martir. Sementara korban Peristiwa Cibugel dikenang sebagai Pahlawan Tanpa Pusara.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
62a6e4124468e7613784d616