Robby Herman Mongisidi memegang foto kakaknya, Robert Wolter Mongisidi saat muda. (Petrik Matanasi/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
KENDATI usianya sudah 86 tahun, tubuhnya masih sehat dan terlihat gagah. Ingatannya masih kuat, suaranya pun jelas. Kala ditemui Historia.ID pekan lalu, Jumat (5/1/24), dia bercerita dengan lancar. Dialah Robby Herman Mongisidi.
Robby merupakan warga Malalayang pensiunan tentara. Satu hal yang mungkin membuatnya bangga, selain berhasil menjadi tentara, adalah penempatan pertamanya di kesatuan yang memakai nama mendiang kakaknya: Batalyon 720/Wolter Mongisidi.
Robby merupakan adik kandung Pahlawan Nasional Robert Wolter Mongisidi. Usia keduanya terpaut jauh, lebih dari sepuluh tahun. Robby belum tahu banyak ketika kakaknya berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan kembali Belanda. Namun, Robby beruntung. Dia mengetahui orang yang tahu detail cerita detik-detik terakhir Wolter. Oleh karenanya, dia bergegas menemui orang itu.
KENDATI usianya sudah 86 tahun, tubuhnya masih sehat dan terlihat gagah. Ingatannya masih kuat, suaranya pun jelas. Kala ditemui Historia.ID pekan lalu, Jumat (5/1/24), dia bercerita dengan lancar. Dialah Robby Herman Mongisidi.
Robby merupakan warga Malalayang pensiunan tentara. Satu hal yang mungkin membuatnya bangga, selain berhasil menjadi tentara, adalah penempatan pertamanya di kesatuan yang memakai nama mendiang kakaknya: Batalyon 720/Wolter Mongisidi.
Robby merupakan adik kandung Pahlawan Nasional Robert Wolter Mongisidi. Usia keduanya terpaut jauh, lebih dari sepuluh tahun. Robby belum tahu banyak ketika kakaknya berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan kembali Belanda. Namun, Robby beruntung. Dia mengetahui orang yang tahu detail cerita detik-detik terakhir Wolter. Oleh karenanya, dia bergegas menemui orang itu.
Suatu hari di bulan Desember 1974, Robby sedang mudik ke Malalayang. Desember adalah bulan yang meriah di Sulawesi Utara. Robby saat itu merupakan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Limboto dengan pangkat letnan. Dia pernah menjadi komandan rayon militer (Danramil) di Limboto.
Lantaran penasaran dengan cerita tentang abangnya, Robby memanfaatkan waktu mudiknya itu untuk menemui Pendeta Purukan.
“Keluarga ingin tahu,” kata Robby.
Beruntunglah Robby, sang pendeta yang berusia 67 tahun itu mau bercerita kepadanya. Bahkan, ia bersedia direkam dengan tape recorder. Cerita Pendeta Purukan setidaknya membuat keluarga besar Petrus Mongisidi jadi tahu detik-detik terakhir kematian Wolter.
Selain telah terekam dalam sebuah kaset pita, detik-detik kematian Wolter yang dikisahkan Pendeta Pulungan sering diceritakan Robby kepada kawannya. Salah satunya kepada Maulwi Saelan, rekan seperjuangan Wolter yang kemudian menjadi wakil komandan Resimen Tjakrabirawa. Maulwi mencatat pula kisah eksekusi Wolter Mongisidi dalam memoarnya, Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Kakak Maulwi, Emmy Saelan, juga berjuang dengan Wolter Mongisidi di sekitar Makassar. Mereka sering bersama hingga dikira seperti orang Makassar. Sepenelusuran Robby, menurut anak buah Wolter bernama Wim Tenges, mereka tidak pacaran. Emmy yang lebih tua telah berlaku seperti seorang kakak di kalangan pejuang Makassar.
Divonis Mati
Sejak lama, Tomohon telah menjadi kota pelajar. Sekolah calon penginjil di sini sudah ada sejak 1868. Di awal abad ke-20, sekolah yang mencetak para pendeta itu dikenal sebagai School tot opleding van Inlandse Leeraren (STOVIL). Siswa STOVIL tak melulu dari Tomohon, mereka dari berbagai daerah di seantero Sulawesi Utara, salah satunya Justus Dirk Purukan. Setelah belajar di STOVIL, mereka disebar ke berbagai daerah.
Sekeluar dari STOVIL, Purukan menjadi pendeta. Pada 1930-an, Pendeta Purukan tinggal di Malalayang di luar Manado. Dia mengalami masa perang yang sulit, di mana tentara Jepang menduduki Sulawesi Utara dengan kejam. Setelahnya, dia mengalami kembalinya tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) di Sulawesi Utara.
Pendeta Purukan, disebut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900–1950, sejak 1 Agustus 1948 diangkat menjadi pendeta tentara KNIL untuk Batalyon Infanteri ke-18 di Manado dengan pangkat letnan cadangan kelas satu. Pendeta Purukan lalu dipindahkan ke Makassar pada 23 April 1949. Di Makassar Pendeta Purukan juga hanya sebentar. Bulan September 1949 dia sudah kembali ke Manado. Setelah KNIL bubar, dirinya menjadi pendeta untuk orang-orang sipil. Pendeta Purukan juga tetap tinggal di Malalayang.
Saat ditemui Robby tahun 1974, Pendeta Purukan berusaha mengumpulkan segala ingatannya atas apa yang terjadi pada dini hari 5 September 1949 di Makassar, kota tempat dirinya menjadi pendeta tentara KNIL itu. Pendeta Purukan pun menceritakan semuanya kepada Robby.
Sekitar jam 12 malam jelang 5 September 1949, Pendeta Purukan sedang bersiap. Tiba-tiba datang kendaraan power wagon milik tentara KNIL yang kemudian berhenti di tepi jalan depan rumahnya. Sopirnya datang menghampirinya.
“Pak, silakan naik,” kata sopir tentara itu kepada Pendeta Purukan.
Pendeta Purukan pun naik ke mobil dan duduk di sebelah sopir. Di belakang keduanya ada tentara yang tidak memakai tanda pangkat. Power wagon itu sempat memutari kota Makassar sebelum berhenti di sekitar masjid raya sekitar satu jam. Mobil kemudian jalan lagi ke arah luar kota namun tak terlalu jauh meninggalkan kota. Mereka tiba di sebuah kompleks bangunan di daerah Tello.
Pendeta Purukan tampak asing dengan tiga gedung di tempat mobil mereka berhenti. Kala itu sudah sekitar jam 4 subuh.
Jaksa Hamzah mendatangi dan memberi tahu Pendeta Purukan untuk bisa memimpin ibadah menjelang acara inti di malam itu. Inti dari acara pada dini hari itu adalah eksekusi tembak mati kepada Robert Wolter Mongisidi.
Sang tereksekusi divonis mati oleh pengadilan otoritas Belanda di Makassar atas tuduhan terorisme. Bagi orang Belanda, Wolter dianggap menebar teror sehingga dicap ekstrimis.
Sebaliknya, bagi kebanyakan orang Indonesia di sekitar Makassar, terlebih orang Indonesia pendukung kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Wolter digolongkan sebagai patriot-pejuang. Wolter terkait dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dan Harimau Indonesia.
Seperti Pendeta Purukan, Wolter juga orang Malalayang. Mereka semacam tetangga yang jarak rumahnya berjauhan. Wonter sendiri merupakan putra petani kelapa bernama Petrus Mongisidi dan Lina Suawa. Mereka orang Bantik.
Wolter berada di Makassar setelah tentara Jepang menduduki Sulawesi. Setelah 1945, Wolter termasuk pemimpin gerakan anti-Belanda di sekitar Makassar. Dia di kubu berlawanan dengan Pendeta Purukan.
Suasana masih gelap di lokasi tempat Wolter akan dieksekusi. Tentu saja Pendeta Purukan tak akan bisa membaca apapun dari Alkitab yang dibawanya. Namun, sebagai lulusan STOVIL pasti banyak ayat serta doa yang diingatnya. Salah satunya Mazmur 23:4.
“Sekalipun aku berjalan dalam lembah bayang-bayang maut, aku tidak akan takut dan gentar. Karena Tuhan adalah gembalaku…,” ucap Pendeta Purukan.
Permintaan Terakhir
Pendeta Purukan berdoa hingga matanya tertutup karena kekhusyukan. Namun ketika matanya terbuka, Wolter tak terlihat lagi olehnya. Rupanya Wolter sudah dalam posisi berlutut karena khusyuk juga ketika ikut berdoa. Posisi berlutut itu membuat pakaiannya dipenuhi lumpur. Wolter tentu ditanyai oleh jaksa apa saja permintaan terakhirnya.
“Kemarin hari Minggu saya tunggu keluarga untuk datang pertemuan terakhir, tapi tidak ada yang datang,” kata Wolter. Beberapa keluarga Wolter di Makassar tak bisa hadir. Apalagi yang di Malalayang. “Sampaikan kepada Papa dan saudara-saudara, saya jalankan hukuman tembak ini dengan tenang.”
Wolter kemudian ingin menulis. Namun, dirinya maupun pendeta tak punya kertas dan pulpen. Itu menarik perhatian komandan regu eksekusi Sersan Smit, yang segera menanyainya.
“Perlu apa?” tanya Smit dalam bahasa Belanda kepada pendeta.
“Secarik kertas,” jawab Pendeta Purukan.
Smit lalu mengambil kertas dari buku catatannya dan kemudian memberikannya ke pendeta. Oleh pendeta kertas itu diberikan ke Wolter. Selain itu pendeta juga meminjamkan pulpennya kepada Wolter.
Wolter yang telah menulis banyak puisi itu pun menuliskan kata-kata terakhirnya. Dia ingin apa yang ditulisnya itu diberikan kepada keluarganya. Isinya: Setia hingga terakhir di dalam keyakinan. 5 September 1949. RWM.
Selain itu, Wolter ingin dimakamkan di Polongbangkeng, Takalar, di selatan Makassar.
“Karena banyak teman saya yang gugur di sana,” kata Robby mengikuti ucapan Wolter sebagaimana yang disampaikan Purukan.
Polongbangkeng merupakan basis gerilyawan Republik Indonesia. Daerah itu sering didatangi Wolter dan kawan-kawan seperjuangannya.
Wolter lalu sedikit berinteraksi dengan para prajurit yang akan mengeksekusinya. Kendati di ujung maut, dia tak sedikit pun menyalahkan lawannya itu.
“Saudara-saudara tidak bersalah, karena saudara-saudara hanya menjalankan tugas,” kata Wolter kepada para eksekutornya.
Saya tidak mau ditutup mata. Saya ingin melihat peluru-peluru penjajah mau menerpa dada saya.
Pekik Merdeka
Setelah mengucapkan itu, Wolter digiring ke sebuah tiang beton di dekat tanggul. Kakinya dirantai dan tangannya diborgol. Wolter bersandar di tiang. Pinggangnya lalu diikat dengan tali ke sebuah tiang. Setelahnya, dada kirinya diberi penanda warna merah sebagai sasaran tembak. Mata Wolter awalnya hendak ditutup.
“Saya tidak mau ditutup mata. Saya ingin melihat peluru-peluru penjajah mau menerpa dada saya,” kata Wolter menolak. “Setelah saya teriak ‘merdeka’ tiga kali, baru tembak!”
Pendeta Purukan melihat upacara tembak mati itu dalam jarak 25 meter dari Wolter. Regu tembak tentu saja telah bersiap.
“Vuur,” perintah komandan regu tembak kepada para penembaknya. Vuur berarti tembak.
Ketika mendengar perintah tembak itu, Pendeta Purukan hanya bisa menutup mata. Matanya baru dibukanya setelah penembakan. Wolter dilihatnya tetap dalam posisi berdiri tapi kepalanya terkulai. Itu berkat ikatan pada tiang beton.
Dokter dan perawat lalu memeriksa jenazah dan melaporkan kepada komandan garnisun tentara di Makassar bahwa Wolter sudah tewas.
“Ada delapan (lubang, red.) peluru: 4 di dada kiri, 1 di perut, 1 di dada kanan, 1 di pelipis kiri, 1 dari ketiak kiri tembus ketiak kanan,” terang Robby.
Jenazah Wolter kemudian dimasukkan peti. Pendeta lalu melakukan ibadah lagi untuk Wolter yang sudah almarhum.
Sikap Wolter tak berubah hingga ajal menjemputnya. Apa yang ditulis Wolter dengan kertas dari Sersan Smit dan pulpen Letnan Pendeta Purukan, diingat oleh Kodam Hasanuddin sebagai moto mereka: Setia Hingga Akhir.*