Dua Sosok Eropa Biang Onar di Lombok

Dua perang besar berkecamuk di Lombok pada 1839 dan 1894. Di balik itu ada andil dua petualang lihai dari Eropa.

OLEH:
Buyung Sutan Muhlis
.
Dua Sosok Eropa Biang Onar di LombokDua Sosok Eropa Biang Onar di Lombok
cover caption
Penaklukan istana Cakranegara, Lombok 1894. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

PENYULUT perang itu bernama George Peacock King dan Vasily Panteleimonovich Malygin. Keduanya orang Eropa. King warga Inggris kelahiran Bengal, sedangkan Malygin berasal dari Moldova.

Sejarah mencatat nama kedua lelaki itu punya andil dalam dua perang besar di Lombok. King terlibat dalam perang di tahun 1839, sementara Malygin penyulut perang Lombok 1894.

King datang ke Lombok tahun 1834, setelah perusahaannya bangkrut di Surabaya. Menurut Phil Jarratt dalam Bali Heaven and Hell, King juga terlilit utang, sehingga berupaya mencari peruntungan, merintis usaha dari awal di pulau seberang timur Bali itu.

PENYULUT perang itu bernama George Peacock King dan Vasily Panteleimonovich Malygin. Keduanya orang Eropa. King warga Inggris kelahiran Bengal, sedangkan Malygin berasal dari Moldova.

Sejarah mencatat nama kedua lelaki itu punya andil dalam dua perang besar di Lombok. King terlibat dalam perang di tahun 1839, sementara Malygin penyulut perang Lombok 1894.

King datang ke Lombok tahun 1834, setelah perusahaannya bangkrut di Surabaya. Menurut Phil Jarratt dalam Bali Heaven and Hell, King juga terlilit utang, sehingga berupaya mencari peruntungan, merintis usaha dari awal di pulau seberang timur Bali itu.

Di awal-awal King membangun kongsi dengan Mads Johansen Lange, seorang pedagang asal Denmark. “Mereka mengiklankan beras Lombok murah di surat kabar di Singapura, Cina, dan Australia. Kehadiran mereka segera menarik banyak kapal Eropa ke Ampenan,” tulis Jarratt.

Mads Johansen Lange. (Wikimedia Commons).

Dampak positif publikasi itu juga tercatat dalam buku Mads Lange The Bali Trader. Pada 1835, 15 kapal Inggris dan tiga kapal Prancis menambatkan sauh di lepas pantai Ampenan. Lima tahun kemudian kapal-kapal Inggris kembali ke perairan ini. Kali ini lebih banyak, tercatat sebanyak 25 kapal. Kapal-kapal ini sebenarnya pengangkut narapidana Inggris yang kembali dari Australia, yang kemudian membawa beras Lombok untuk pasar Cina, Mauritius, Singapura, dan Eropa.

“Orang-orang Eropa menggantikan orang-orang Cina sebagai pengelola beras di Ampenan, Buleleng, dan Kuta, yang memfasilitasi pertukaran dengan kapal-kapal Barat,” tulis Anthony Webster dalam Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750.

Jumlah beras yang dibawa dari Ampenan berkisar antara 10.000 hingga 14.000 ton setiap tahun. Bisnis ini tentu sangat menguntungkan keduanya. Usaha yang berjalan dengan lancar karena mendapat perlindungan raja-raja setempat.

Namun, dukungan itu menjadi petaka di belakang hari. Baik Lange maupun King sama-sama berebut pengaruh. Akhirnya, terjadi perseteruan antarkerajaan yang berujung peperangan. Lange berada di kubu Kerajaan Singasari di Cakranegara, sedangkan King mem-backup tentara dan persenjataan bagi Kerajaan Mataram. Dalam Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat disebutkan pertempuran itu berlangsung selama dua tahun, sejak 1838 sampai 1839.

Menurut Djoko Dwinanto dalam Bara Api di Tanah Lombok, Kerajaan Singasari saat itu didukung Belanda. “Karena Inggris memihak Mataram, Belanda lalu memutuskan untuk memihak Singasari,” tulis Djoko.

Perundingan perang Lombok tahun 1894. Kiri-kanan (duduk): Anak Agung Ketut Karangasem, Mayor Jenderal P.P.H. van Ham, Mayor Jenderal J.A. Vetter, Residen M.C. Dannenbargh, dan Gusti Jelantik. (C.J. Neeb/Leiden University Library/Wikimedia Commons).

Kerajaan Mataram yang dibantu pasukan Inggris dari Singapura, akhirnya berhasil menghancurkan Kerajaan Singasari. Di Cakranegara, di bekas istana Singasari inilah kemudian didirikan kerajaan baru, tempat bertakhta Anak Agung Gede Ngurah Karangasem. Sosok ini adik kandung Raja Mataram Anak Agung Ketut Ngurah Karangasem.

Keterlibatan King dalam perang Lombok jilid satu dicatat H.J. Huskus Kosman, pejabat yang mewakili pemerintah Hindia Belanda saat perundingan di istana Cakranegara pada 1843. 

“Huskus Kosman jelas-jelas menyebutkan dalam laporannya itu bahwa yang menyulut api peperangan 1838 antara Kerajaan Singasari dan Mataram adalah G.P. King. Memang sebagian besar laporan-laporan orang Belanda yang dikirim pada pemerintah Betawi sebagai pengamat (fact finding) ke Lombok, memberatkan penyebab perang saudara itu kepada orang Inggris itu,” kata Anak Agung Ktut Agung dalam Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya membantu Kerajaan Mataram dalam peperangan tersebut, King mendapat fasilitas-fasilitas perdagangan yang sangat luas dari Raja Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Ia lalu diangkat sebagai syahbandar Ampenan.

Sosok yang memonopoli perdagangan beras itu meninggalkan Lombok tahun 1845. Ia lalu membuka jaringan usaha di Samarinda, Borneo. Jadi, “Orang Eropa pertama yang berdagang di Sungai Berau bukanlah William Lingard, melainkan George Peacock King,” sebut Muzium Brunei dalam The Brunei Museum Journal Vol. 4 Edisi 1, 1977.

Vasily Panteleimonovich Malygin. (caciula.md).

Separuh abad kemudian, orang asing lain muncul di istana Cakranegara. Dialah Malygin. Sejarawan Soviet, Elizaveta Ivanovna Gnevusheva dalam Issue of History, No. 11, November 1969, C. 206–210, menggambarkan Malygin sebagai orang Eropa berkumis dan sedikit janggut, memiliki mata dan rambut yang gelap. Pandangannya penuh perhatian dan keseriusan.

Malygin dengan cepat mendapat kepercayaan raja yang kini telah uzur. Ia pun diangkat menjadi penasihat.

Gnevusheva mencatat, pada April 1894, Malygin diminta raja membeli sejumlah besar senjata dan amunisi di Singapura. Saat ia pergi itulah, Belanda mengirim sebuah ekspedisi ke Lombok, terdiri dari 2.500 tentara, dipimpin Jenderal Vetter dan Van Ham.

Dalam buku Propinsi Sunda Ketjil terbitan Departemen Penerangan, disebutkan pasukan Belanda tiba di Ampenan pada 5 Juli 1894. Selama tiga minggu di Lombok, Vetter dan balatentaranya tidak mendapat kesulitan. Dalam sebuah perundingan, raja mengabulkan keinginan Belanda, di antaranya harus tunduk di bawah pemerintahan Belanda dan bersedia membayar upeti sebesar satu juta gulden.

Hingga pada malam 25 Agustus 1894, tiba-tiba perkemahan Belanda yang tak jauh dari pusat kekuasaan Cakranegara, diserang ribuan prajurit kerajaan. Ternyata, beberapa malam sebelumnya, Malygin tiba dan segera menemui raja. Ia keberatan atas kesepakatan raja dengan pihak Belanda. “Malygin membuat rencana untuk menghancurkan detasemen Belanda melalui serangan malam,” kata Gnevusheva.

Kehancuran istana Cakranegara. (Wikimedia Commons).

Malygin turun tangan melatih prajurit Kerajaan Mataram menembakkan meriam dan senapan. Hasilnya sungguh menakjubkan. Serangan pada malam itu menewaskan lebih dari 500 serdadu Belanda, termasuk Jenderal Van Ham.

Kekalahan Belanda pada ekspedisi pertama lalu ditebus beberapa bulan kemudian. Setelah mendapat tambahan pasukan, akhirnya Kerajaan Mataram dan istana Cakranegara berhasil ditaklukan. Kejatuhan yang menjadi awal dari kekuasaan Belanda di Pulau Lombok.

Malygin ditangkap lalu diadili selama dua tahun di pengadilan Surabaya. “Pada 18 November 1896, Mahkamah Agung Hindia Belanda menghukum Malygin 20 tahun penjara,” sebut Gnevusheva.

Namun, pada Agustus 1898, Malygin dibebaskan dan dipulangkan ke Rusia. Ia dinyatakan bersalah. Tapi apa pun kesalahannya, ia orang Eropa, sehingga memperoleh pengampunan. Di depan hukum saat itu, tentu berbeda jauh dengan perlakuan terhadap para inlander.*

Penulis pernah menjadi wartawan di beberapa media cetak dan online. Kini penulis lepas dan telah menulis beberapa buku.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6538b7f3c4b95026d77952f6