Seorang perempuan Jawa sedang menyiapkan obat atau ramuan. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
RUMAH itu tampak asri. Lahannya, seluas 1000 meter persegi, dipenuhi tanaman yang tertata rapi. Sebagian besar tanaman mendapat label: nama dan khasiatnya. Sebuah apotek berdiri persis di depan pintu masuk. Sementara ruang praktik akupunktur memakai ruangan di rumah utama. Taman Sringanis, yang didirikan sastrawan Putu Oka Sukanta dan istrinya Endah Lasmadiwati, terbuka untuk umum. Lokasinya berada di Kampung Cimanengah 29, Cipaku, Bogor Selatan.
“Mereka yang datang ke sini itu kami berikan layanan bagaimana menjaga kesehatan keluarga supaya tidak bergantung pada pengobatan yang mahal,” ujar Prasasti Baroto, penanggung jawab kebun dan tanaman Taman Sringanis.
Pengelola taman siap memberikan informasi dan konsultasi gratis soal kesehatan. Mereka juga menyediakan obat herbal murah yang diproduksi sendiri dan sudah mendapat izin Departemen Perindustrian. “Herbal itu kan ramuan, dasarnya ada yang hasil penelitian dan empirik. Kami memakai yang empirik,” ujarnya.
RUMAH itu tampak asri. Lahannya, seluas 1000 meter persegi, dipenuhi tanaman yang tertata rapi. Sebagian besar tanaman mendapat label: nama dan khasiatnya. Sebuah apotek berdiri persis di depan pintu masuk. Sementara ruang praktik akupunktur memakai ruangan di rumah utama. Taman Sringanis, yang didirikan sastrawan Putu Oka Sukanta dan istrinya Endah Lasmadiwati, terbuka untuk umum. Lokasinya berada di Kampung Cimanengah 29, Cipaku, Bogor Selatan.
“Mereka yang datang ke sini itu kami berikan layanan bagaimana menjaga kesehatan keluarga supaya tidak bergantung pada pengobatan yang mahal,” ujar Prasasti Baroto, penanggung jawab kebun dan tanaman Taman Sringanis.
Pengelola taman siap memberikan informasi dan konsultasi gratis soal kesehatan. Mereka juga menyediakan obat herbal murah yang diproduksi sendiri dan sudah mendapat izin Departemen Perindustrian. “Herbal itu kan ramuan, dasarnya ada yang hasil penelitian dan empirik. Kami memakai yang empirik,” ujarnya.
Sejak ribuan tahun silam, orang menggunakan tanaman untuk menangani beragam penyakit. Ia menjadi praktik pengobatan tertua yang tercatat dalam sejarah dan tetap menjadi bagian penting dalam pengobatan hingga hari ini.
Bukti tertua dokumentasi pengobatan herbal berada di dinding gua Lascaux, Prancis, yang diperkirakan berasal dari masa 25.000 SM. Sedangkan bukti tertulis menyusul beberapa ribu tahun setelahnya. Bangsa Sumeria, Mesir Kuno, dan Tiongkok mempeloporinya. Berbagai catatan pengobatan herbal ditulis dalam inskripsi maupun manuskrip.
Bangsa Mesir Kuno dan Tiongkok merekam beragam jenis tanaman berikut khasiat dan cara pemakaiannya sejak lebih dari 3.000 SM. Bangsa Mesir menyatukan pengobatannya dengan kulinari. Sementara orang Tiongkok mengonsumsi obat secara terpisah dari masakan. Namun, bangsa Mesir maupun Tiongkok bergantung pada tanaman yang berasal dari luar wilayah mereka, terutama dari India dan Nusantara.
Kepulauan Nusantara menjadi pemain penting dalam dunia pengobatan kuno. Lada, pala, jahe, dan cengkeh bukan saja komoditas perdagangan terpenting di masa lalu tapi juga sedikit di antara bahan ramuan atau obat Nusantara.
Tradisional vs Modern
Sejumlah etnis di Nusantara memiliki sistem pengobatan tradisional, yang terjejaki dalam naskah-naskah kuno. Di Bali, misalnya, ada kitab lontar Usada Buddha Kecapi (tentang pengobatan), Usada Dalem (ramuan dan tata cara pengobatan penyakit dalam), Taru Pramana (khasiat tanaman obat), dan Usada Carekan Tingkeb (kumpulan tanaman obat dan kegunaannya). Sementara Jawa punya Serat Primbon Jami Jawi (berisi 3.000 resep jamu), Serat Primbon Jampi (rangkaian doa, mantra, dan obat-obatan dari alam), atau Serat Kwaruh (berisi 1.734 ramuan jamu jawa). Pengobatan tradisional, terutama di Jawa dan Bali, merupakan perpaduan kearifan lokal dan metode pengobatan lain seperti Ayurveda (India), Tiongkok, dan Unani (Arab).
Penduduk Nusantara biasa mengobati sendiri penyakitnya. Di pasar terdapat tukang rempah- rempah, yang bukan hanya menjual ramuan tapi juga memberi petunjuk cara penggunaannya. Selain mendapatkannya dari agen-agen milik Tionghoa, tukang rempah-rempah biasa mendapatkan tanaman herbal dari tukang akar-akaran. “Yang disebut terakhir mendapatkan tumbuhan obatnya langsung dari hutan untuk kemudian dijual, kebanyakan ke tukang rempah- rempah, tapi terkadang mereka juga menjualnya langsung ke pasar,” tulis Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies.
Bila penyakitnya berat dan tak bisa ditangani sendiri, penduduk mendatangi dukun, tabib, atau sinshe. Dukun akan mengobati pasien dengan teknik, ramuan herbal, dan mantra-mantra. Tradisi tersebut terus bertahan, salah satu sebabnya karena dukun biasanya orang yang dituakan di sebuah kampung atau bahkan wilayah yang lebih besar.
Beberapa penjelajah Barat mendeskripsikan pentingnya pengobatan tradisional di Nusantara. Antonio Galvao, yang pernah jadi gubernur Portugis di Maluku, misalnya, menulis pada 1544, sebagaimana disitir Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680, “Di sini orang tidak biasa menyajikan sirup, atau obat cuci perut, apalagi membedah. Satu-satunya obat mereka ialah ramuan dan jamu yang umum dikenal. Mereka tidak menjahit luka tapi mengobatinya dengan pucuk pisang yang dibakar, dan selagi masih panas, dicampur minyak.”
Tertarik pada teknik pengobatan Timur, Georg Everhard Rumpf, botanis asal Jerman, meneliti tanaman-tanaman herbal dan pengobatan di Nusantara pada akhir abad ke-17. Penjelasan kegunaan berbagai tanaman yang dia teliti dibubuhkan dalam Herbarium Amboinense, terbit tahun 1690. Bayam berduri, misalnya, dia tulis memiliki khasiat untuk mengobati gangguan empedu dan penawar rasa sakit; kembang sepatu berkhasiat untuk menghaluskan dan mengkilatkan rambut dan kulit.
Namun, ada juga yang memberi apresiasi negatif. Terlebih ketika wabah malaria dan kolera yang menjangkiti Jawa pada abad ke-17 tak bisa ditangani dengan pengobatan tradisional. Belum lagi pengobatan medis modern dari Barat mulai masuk ke Hindia Belanda. Pendirian rumah sakit di sejumlah tempat yang diikuti pendirian sekolah medis, pengujian vaksin cacar, serta pembuatan dan penggunaan obat kian mempertegas kehadiran pengobatan modern di Nusantara. Namun, pengobatan tradisional tak lantas tersingkir.
Lalu, datanglah masa yang disebut Liesbeth Hesselink sebagai medical market atau pasar medis. Dalam pasar medis, yang di Indonesia mulai dipopulerkan secara gencar pada 1985, pasien dianggap sebagai konsumen dan pengobatan diilustrasikan sebagai pasar di mana hukum permintaan dan penawaran berlaku. Akibatnya, pengobatan menjadi mahal. Orang lalu mencari pengobatan yang terjangkau dan efektif.
“Pengobatan dengan herbal itu dianggapnya alternatif. Jika ke dokter sudah tidak sembuh, baru ke herbal,” ujar Tito dari Taman Sringanis.
Warisan Leluhur
Sariyah Soema Atmaja, ibu rumah tangga berusia 80 tahun asal Bogor. Di usia senjanya dia mengalami beragam gangguan kesehatan dan dia menanganinya dengan pengobatan herbal. “Kalau mules/diare, mami makan pucuk daun jambu klutuk (yang) dijadikan lalapan dengan nasi. Kalau darah tinggi kumat, menggodok daun salam. Pegal-pegal nggak enak badan, mami peras air daun binahong,” ujar mantan ketua Wirawati Catur Panca Kota Bogor itu.
Sariyah mewarisi pengetahuan itu dari orangtuanya dan mewariskan ke salah satu anaknya. “Herbal jelas lebih murah dan kalau mau, kita bisa tanam sendiri. Pasti lebih menghemat biaya. Sedangkan medis memang lebih praktis, tapi kadang kala menimbulkan efek samping dan makan biaya banyak,” ujar Sariyah.
Selain turun-temurun, pengobatan herbal menyebar dari mulut ke mulut. Beragam buku pun sudah mengupasnya, mempermudah orang untuk meraciknya sendiri. Melihat adanya ceruk bisnis, muncul banyak perusahaan yang menawarkan obat-obatan herbal atau jamu kemasan. Tinggal seduh atau minum, tanpa repot mencari tanaman atau meraciknya. Pada 1999, dari 723 perusahaan obat tradisional, 92 di antaranya merupakan industri besar. Mereka disatukan dalam wadah Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat-Obatan Indonesia.
“Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, penggunaan pengobatan komplementer dan alternatif dalam 20 tahun terakhir semakin meningkat tajam, tidak hanya sekadar karena tren back to nature, namun juga karena CAM merupakan sumber layanan kesehatan yang mudah diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat luas,” tulis Ning Hermanto dan Ahkam Subroto dalam Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping. CAM merujuk akronim dari Complementary and Alternative Medicine atau pengobatan alternatif. Menurut Ning dan Ahkam, sampai tahun 2007, sekira 40 persen penduduk Indonesia menggunakan pengobatan tradisional.
Beragam produk lahir, konsumen bertambah. Anna Dwi Kusuma, wiraswastawati asal Batang, salah satu penggunanya. Dia bilang puas dengan pengobatan herbal yang dijalaninya guna mengobati obesitas dan beberapa penyakit. “Karena terjadi perubahan lebih baik, maka semakin nyaman menggunakan obat herbal,” ujarnya. Pengguna pengobatan herbal bahkan merambah kalangan selebritas atau pejabat teras. Musisi Katon Bagaskara, misalnya, memilih pengobatan tradisional Jawa untuk mengobati lukanya akibat terjatuh di panggung saat konser Mei lalu. Dia puas karena hasilnya lebih cepat dan aman.
“Banyak orang beralih ke pengobatan herbal bukan berarti pengobatan herbal lebih aman ketimbang pengobatan medis modern yang melalui kaidah-kaidah keilmuan ketat, namun lebih karena pola pikir dan kultur masyarakat Indonesia yang masih tradisional dan sering lebih percaya akan kebiasaan atau pengalaman,” ujar praktisi kesehatan dr. Wibisono.
“Kekurangannya, sebagian besar herbal belum dilakukan uji klinis, namun hanya karena pengalaman turun-temurun, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara empirik-medik. Bahkan mungkin juga mengandung efek samping yang belum diketahui.”
Selain itu, seperti dalam dunia medis modern, obat herbal pun tak luput dari tangan-tangan kotor yang memproduksi obat dengan campuran bahan kimia sintetis tanpa mencantumkannya. Razia jamu pun kerap dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di sejumlah daerah.
Sama seperti obat-obatan modern, obat herbal harus memenuhi kriteria aman sesuai persyaratan yang ditetapkan; khasiatnya harus dibuktikan berdasarkan uji klinis dan memenuhi standar mutu. “Obat herbal seharusnya tidak dipakai untuk penyakit serius yang diagnosisnya hanya dapat ditegakkan oleh dokter. Obat herbal dapat digunakan bila tidak ada lagi obat rasional yang dapat menyembuhkan,” tulis Jusuf Hanafiah, seorang dokter dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, dalam Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4.
Perjalanan pengobatan herbal terus berlanjut hingga kini, beriringan dengan pengobatan medis. Masing-masing punya plus-minus.*