Jungkir Balik Nico Thomas di Arena Tinju (Bagian II – Habis)

Sukses menyusul Ellyas Pical sebagai juara dunia, Nico Thomas menjalani senjakala hidupnya dengan jalan berbeda. Kuncinya ingat nasihat ibu dan Tuhan.

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Jungkir Balik Nico Thomas di Arena Tinju (Bagian II – Habis)Jungkir Balik Nico Thomas di Arena Tinju (Bagian II – Habis)
cover caption
Nico Thomas, petinju Indonesia kedua yang menjadi juara dunia. (Fernando Randy/Historia.ID).

KONDISI Nico Thomas masih terlihat prima. Tubuhnya masih tegap meski usianya sudah memasuki 57 tahun. Sesekali ia masih menangani beberapa “member” untuk dilatih secara privat. Kadang di sekitaran Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), kadang di tempat lain, sesuai permintaan.

Menukil laman BoxRec, Nico menjalani karier tinju profesionalnya selama dua dekade (1986–2006) sebelum gantung sarung tinju. Setelahnya, ia tetap tak pernah jauh dari tinju. Beberapa kali ia ikut ajang tinju “veteran”, selebihnya melatih secara privat sejak 2015.

“Pensiun 2006. Sekolah? Dulu saya tinggalin SGO (Sekolah Guru Olahraga), sudah kelas III, karena diminta Pak Tinton [Suprapto] untuk masuk jenjang profesional. Kalau [melatih] member, untuk sehat saja. Di sini [GBK] sering, di kota juga ada,” ujar Nico saat berbincang dengan Historia medio 2022.

KONDISI Nico Thomas masih terlihat prima. Tubuhnya masih tegap meski usianya sudah memasuki 57 tahun. Sesekali ia masih menangani beberapa “member” untuk dilatih secara privat. Kadang di sekitaran Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), kadang di tempat lain, sesuai permintaan.

Menukil laman BoxRec, Nico menjalani karier tinju profesionalnya selama dua dekade (1986–2006) sebelum gantung sarung tinju. Setelahnya, ia tetap tak pernah jauh dari tinju. Beberapa kali ia ikut ajang tinju “veteran”, selebihnya melatih secara privat sejak 2015.

“Pensiun 2006. Sekolah? Dulu saya tinggalin SGO (Sekolah Guru Olahraga), sudah kelas III, karena diminta Pak Tinton [Suprapto] untuk masuk jenjang profesional. Kalau [melatih] member, untuk sehat saja. Di sini [GBK] sering, di kota juga ada,” ujar Nico saat berbincang dengan Historia medio 2022.

Karier sosok kelahiran Ambon, 10 Juni 1966 itu berangkat dari level amatir sejak 1978 dengan dilatih salah satu kakaknya, Nyong Thomas. Lantas, ketika mulai memijak level profesional di bawah manajemen Tonsco milik Tinton, ia dilatih kakaknya yang lain, Charles Thomas.  

Tiga tahun berselang, Nico menyusul idolanya, Ellyas Pical, untuk melingkarkan sabuk juara dunia di pinggangnya. Nico tercatat menjadi petinju Indonesia kedua yang memiliki sabuk juara dunia (versi IBF) usai menang angka dari petinju Thailand, Samuth Sithnaruepol, di kelas terbang mini pada 17 Juni 1989.

Namun, bukan saat meraih gelar IBF itu Nico mendapatkan bayaran tertinggi. Ada hal yang menurut Nico tak perlu diungkapkan soal momen itu. Ia tak pernah bicara soal bayaran saat bertarung melawan Samuth untuk merebut titel itu. Menurutnya, ada sabuk gelar lain, Oriental and Pacific Boxing Federation (OPBF), di mana ia mendapatkan bayaran tertinggi sebagai petinju profesional.

“Saya tinju pro sebenarnya sudah tertata rapi. Kalau dia menjalankan peraturan sesuai apa yang disepakati, jalan bagus sebenarnya,” ujarnya singkat.

Nico Thomas tengah melatih member. (Fernando Randy/Historia.ID).

Sekali ke Pasar Ikan Begitu Keluar Tetap Bau Amis

Nama Nicholas “Nico” Thomas kian melambung usai meraih gelar juara kelas terbang mini versi IBF pada 1989. Namun, sabuk juara itu hanya dimilikinya sekitar tiga bulan.

Saat melakoni laga wajib mempertahankan gelar melawan penantang asal Filipina, Algerico “Eric” Chavez, Nico langsung kehilangan gelar itu. Bertarung di GOR Lokasari pada 21 September 1989, Nico tersungkur dan tak mampu bangkit lagi di ronde kelima.

“Ya, [gelar IBF] waktu itu lepas. Kita kalah KO sama Chavez dari Filipina,” terang Nico.

Namun, bukan berarti karier Nico sudah habis. Ia bangkit ketika beralih haluan untuk mengincar gelar lain, Orient-Pacific Boxing Federation (OPBF). Kesempatan merebut gelar OPBF kelas terbang mini akhirnya didapatnya ketika sedang lowong.

Pada 11 Februari 1995, Nico menantang petinju Thailand Surachai Saengmorakot di Surabaya. Lewat 12 ronde, Nico akhirnya menang angka dan merebut sabuk juara. Gelar tersebut ia pertahankan selama tiga tahun hingga akhirnya Nico kalah angka dari petinju Jepang Uruf “Wolf” Tokimitsu pada 22 Februari 1998.

Di ajang versi OPBF itulah, aku Nico, dirinya pernah mendapatan bayaran tertinggi pada 1995. Bayaran itu didapat Nico saat berlaga untuk mempertahankan gelarnya melawan seorang petinju yang dia lupa namanya.

“Waktu itu sudah menang, sudah jadi juara [OPBF]. Untuk pertandingan ulang sama [promotor] Pak Turino Tidar, dia mau bayar saya Rp20 juta. Tapi pada saat itu matchmaker Pak Willy Lasut menawarkan mempertahankan gelar di luar [negeri], 15 ribu dolar,” kenangnya.

Nico memilih yang kedua. Hal itu pun memantik protes terhadap Nico.

“Nah, dibilang Nico Thomas enggak nasionalis. Sorry, Bro! Ini tinju bayaran, ya kan? Dia harus lihat bayarannya. Bukan mata duitan. Saya bilang oke, [tapi] Pak Tinton keberatan. Saya langsung ke ketua KTI (Komisi Tinju Indonesia) Pak Hendropriyono. Pak Tinton kan temannya Pak Hendro,” tambah Nico.

Terlepas dari kemudian kehilangan gelarnya pada 1998, Nico tetap mampu hidup berkecukupan dari hasil bertinju profesionalnya. Ada beberapa faktor penunjang. Selain disiplin pada kontrak, ada faktor istri, Farida Ade Yani, yang mengatur keuangan Nico.

“Kalau saya dari awal percaya Pak Tinton kenapa? Karena dia ambisinya sangat luar biasa. Saya juga selalu ada kontrak supaya petinju jangan nakal, supaya menjaga antara petinju dan manajer jalannya bagus,” lanjutnya lagi.

“Saya juga punya uang setelah saya [juara] OPBF yang dibayar 15 ribu dolar. Itu saja. [Ketika juara] IBF saya enggak punya duit karena mungkin saya orangnya boros. Setelah saya married tahun 1989, sudah ada ‘polisi keuangan’, ya itu istri saya. Kalau enggak, sudah enggak selamat. Saya pensiun 2006 enggak punya kerjaan [tetap] apa-apa, hanya [melatih privat] tinju tapi toh anak-anak saya tetap bisa sekolah,” terang Nico.

Bukan tanpa halangan Nico bisa berhasil, sebab janji-janji surga dalam lingkaran “dunia hitam” tak luput menggodanya. Namun, ia ingat nasihat ibunya, Helena Thomas, agar selalu di samping Tuhan untuk tetap berada di jalan yang benar.

“Saya dulu ke Jakarta [masuk tinju pro], ibu saya enggak kasih apa-apa. Cuman bilang: ‘Ingat Nyong, jangan lupa berdoa’. Itu saja. Saya merinding kalau ingat itu,” tambahnya.

Kini, Nico tinggal memetik “buah” dari perjuangannya di kala muda. Kondisinya masih prima di usia senja karena gaya hidupnya yang baik. Pun ekonomi keluarganya, sehingga ia tak mesti “jempalitan” mencari nafkah di masa istirahatnya sekarang. Hal itu tak didapat seniornya, Ellyas Pical, yang membuat Nico prihatin kepadanya.*

“Mohon maaf, mungkin karena saya dekat dengan Tuhan dari dulu. Orang melihat saya kadang-kadang [diejek] bencong karena saya enggak suka bergaul ke mana-mana, ya karena itu. Kalau tidak, mungkin saya juga seharusnya masuk penjara karena jual barang [narkoba] begituan. Eli Pical kan pernah kerja di [diskotek] Milles. Dia pernah telepon. Kata Eli Pical: ‘Nico, beta su kerja di Milles.’ Langsung saya bilang: ‘Eli ingat. Hati-hati! Sekali ke pasar ikan, begitu keluar tetap bau amis.’ Lalu enggak lama [Pical ditangkap],” tandasnya seraya menatap awang-awang, prihatin terhadap nasib Pical yang pernah dipenjara karena terlibat kasus narkoba pada 2005.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6639c45a3004a1ae980cc803