NAMANYA Khoe Tjong Hok. Dalam kehampaan, setelah bercerai dari istrinya, ia pergi meninggalkan rumahnya di Semarang, Jawa Tengah. Meninggalkan ayahnya yang kaya, anaknya yang masih balita. Dengan berjalan kaki, ia memulai pengembaraan.
Barangkali ia berjalan kaki melewati Ungaran lalu melintasi Sungai Tuntang. Dari sini jalan yang ditapakinya mirip dengan yang pernah dilalui penyair Prancis Arthur Rimbaud ketika dikirim ke kamp militernya di Salatiga.
Sama seperti Rimbaud, langkah kakinya terhenti di Salatiga. Sebuah kelenteng tua menyambutnya. Ia menginap di sana. Tak seperti Rimbaud yang tak lebih dari dua minggu di Salatiga atau musafir lain yang hanya menginap barang dua atau tiga hari, ia ternyata tak pernah pulang.
Khoe Tjong Hok menetap di kelenteng dan mengabdi sebagai juru kunci. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis Jawa yang dicintainya dan dikaruniai lima anak. Tak hanya itu, ia melahirkan makanan kecil berbentuk prisma segitiga yang hingga saat ini dikenal sebagai makanan khas Salatiga: enting-enting gepuk.
NAMANYA Khoe Tjong Hok. Dalam kehampaan, setelah bercerai dari istrinya, ia pergi meninggalkan rumahnya di Semarang, Jawa Tengah. Meninggalkan ayahnya yang kaya, anaknya yang masih balita. Dengan berjalan kaki, ia memulai pengembaraan.
Barangkali ia berjalan kaki melewati Ungaran lalu melintasi Sungai Tuntang. Dari sini jalan yang ditapakinya mirip dengan yang pernah dilalui penyair Prancis Arthur Rimbaud ketika dikirim ke kamp militernya di Salatiga.
Sama seperti Rimbaud, langkah kakinya terhenti di Salatiga. Sebuah kelenteng tua menyambutnya. Ia menginap di sana. Tak seperti Rimbaud yang tak lebih dari dua minggu di Salatiga atau musafir lain yang hanya menginap barang dua atau tiga hari, ia ternyata tak pernah pulang.
Khoe Tjong Hok menetap di kelenteng dan mengabdi sebagai juru kunci. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis Jawa yang dicintainya dan dikaruniai lima anak. Tak hanya itu, ia melahirkan makanan kecil berbentuk prisma segitiga yang hingga saat ini dikenal sebagai makanan khas Salatiga: enting-enting gepuk.
Kelenteng Hok Tek Bio. (Setyaji Risky Utomo)
Rumah Dewa Bumi
Gerbang merah itu dijaga oleh dua ekor naga. Di tengahnya tergantung papan nama hitam dengan tulisan emas “T.T.I.D. Hok Tek Bio” lengkap dengan aksara Tionghoa.
Seperti kelenteng kebanyakan, Hok Tek Bio mencolok karena didominasi warna merah di antara bangunan-bangunan lain di Jalan Sukowati, Salatiga. Memasuki halaman depan, dua hiolo raksasa yang berbentuk menyerupai labu air Tiongkok mencuri pandang. Dua hiolo ini dipakai sebagai tempat untuk membakar hio atau kertas doa.
Bangunan utama kelenteng Hok Tek Bio merupakan ruangan persegi sekira 4 X 4 meter. Langit-langitnya terbuat dari kayu-kayu besar berwarna coklat dan tampak sangat tua. Di sinilah Hok Tek Tjing Sien, Sang Dewa Bumi, bertakhta sebagai tuan rumah. Altarnya diapit oleh Dewa Kejujuran dan Dewa Pengusir Unsur Jahat.
Sebuah prasasti batu pualam beraksara Tionghoa kuno terpatri di sisi timur ruangan Dewa Bumi. Prasasti ini menandai pemugaran yang dilakukan pada 1872. Tersua pula nama-nama donaturnya. Namun, kapan kelenteng ini dibangun belum terlacak. Yang jelas, sudah sejak lama kelenteng Hok Tek Bio menjadi episentrum komunitas Tionghoa di Salatiga.
Sony Ho, pengurus Yayasan Tri Darma Hok Tek Bio, bersama prasasti pemugaran klenteng pada 1872. (Setyaji Risky Utomo)
Sebagian dari orang-orang yang membentuk komunitas Tionghoa di Salatiga datang dari daerah pinggiran. Mereka kemudian meramaikan ruas Soloscheweg (Jalan Solo), yang kini menjadi Jalan Jenderal Sudirman.
“Ada yang dari daerah Kopeng, dari daerah Bringin, daerah Suruh,” terang Sony Ho, pengurus Yayasan Tri Darma Hok Tek Bio, menyebut kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang.
Sony berkisah, dulu kelenteng Hok Tek Bio juga digunakan sebagai tempat tetirah bagi para pedagang dan pejalan Tionghoa dari luar kota. Mereka biasanya adalah para pedagang dengan pedati maupun para pejalan kaki.
Berita dari suratkabar De Locomotief menyebut hal yang sama dengan Sony ketika toapekong (patung dewa yang dipuja) di kelenteng Hok Tek Bio hilang pada 1939.
“Diduga aksi pencurian terjadi di sini, karena klenteng kerap menampung orang-orang dari luar Salatiga, yang datang mencari keberuntungan dengan menyendiri di kamar selama beberapa hari. Kabarnya, pengunjung terakhir adalah seorang Tionghoa dari Pekalongan,” tulis De Locomotief, 26 September 1939.
Rumah Dewa Bumi memang selalu terbuka bagi mereka yang hendak berteduh. Lebih dari satu dekade sebelum toapekong hilang, seorang laki-laki Tionghoa tiba dari Semarang. Ia diterima Dewa Bumi dan tinggal di sini hingga akhir hayat.
Ilustrasi Fujian menuju Semarang. (Gun Gun Gunadi/Historia.ID)
Juru Kunci
Khoe Tjong Hok lahir di Fukien (Fujian), daerah pesisir selatan Tiongkok daratan, pada 1882. Ia dan keluarganya kemudian migrasi ke Semarang awal 1920-an. Ayahnya, Khoe Beng Na, adalah seorang tabib terkemuka dan kaya. Mereka datang ke Semarang dengan sebuah kapal besar. Bahkan ketika meninggal pada 1935, peti mati Khoe Beng Na dibuat berbentuk kapal.
Ketika bermigrasi ke Semarang, Khoe Tjong Hok membawa istrinya, Oei Tan Nio. Mereka kemudian dikaruniai seorang anak perempuan bernama Khoe Djoen Nio yang lahir di Semarang pada 1926. Kendati demikian, keluarga tabib ini ternyata tak lama hidup bersama.
“Tahun berapa saya kurang tahu, dia bertengkar dengan istrinya terus cerai,” kata Hartono, cucu Khoe Tjong Hok.
Khoe Tjong Hok meninggalkan keluarganya. Berjalan kaki ke arah selatan hingga tiba di Salatiga, sebuah kota kolonial di lereng timur Gunung Merbabu. Ia kemudian tinggal di kelenteng tua Hok Tek Bio. Di kelenteng Dewa Bumi itu ia mengabdi sebagai juru kunci.
Gunung Merbabu terlihat dari Kota Salatiga sekira tahun 1920-1930. (KITLV/Wikimedia Commons)
Salatiga tampaknya memberi kenyamanan bagi Khoe Tjong Hok. Di kota ini ia juga bertemu seorang gadis Jawa bernama Suminah. Mereka jatuh cinta, kemudian menikah dan tinggal bersama merawat kelenteng. Anak pertama mereka Khoe Poo Liong kemudian lahir pada 1928.
Karena bekerja sebagai juru kunci adalah pengabdian, Khoe Tjong Hok tentu tak mengharapkan upah. Ia bersyukur telah diizinkan tinggal dan mendapat jatah makan. Namun untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya, ia kemudian mulai berjualan kacang sangan di pintu masuk kelenteng. Dari berjualan kacang sangan inilah, ide untuk membuat camilan yang memiliki nilai lebih pun muncul.
Jika sebelumnya ia hanya berjualan kacang sangan, Khoe TJong Hok kemudian menambahkan gula. Namun, bukan hanya kacang yang dilumuri gula atau camilan serupa gula kacang. Ia memproses kacang tanah dan gula sedemikian rupa hingga membentuk camilan serupa prisma segitiga yang disebut enting-enting gepuk. Kala itu, 1929.
Kacang dan Gula
Membuat enting-enting gepuk taklah sederhana. Khoe Tjong Hok harus mencari batu kali berukuran besar, membelahnya menjadi lempengan persegi, dan mengasahnya. Batu inilah yang digunakan sebagai alas menggepuk kacang. Sementara alat pukulnya adalah kayu sawo yang dibentuk silinder dengan gagang. Kayu sawo yang ulet dan lentur tak mudah pecah jika digunakan sebagai alat gepuk.
Winiarti, cucu Khoe Tjong Hok, yang kini juga melanjutkan produksi enting-enting gepuk, menjelaskan proses pembuatan enting-enting gepuk yang cukup panjang.
Mula-mula kacang tanah harus disangan –bukan digoreng– menggunakan tong besi. Kacang disangan hingga menguning lalu didinginkan. Setelah dingin, kacang digiling untuk mengupas kulitnya. Antara kacang dan kepala kacangnya juga harus dipisahkan.
Kacang kemudian dimasak bersama cairan gula. Direbus hingga mengental seperti gulali. Setelah itu kacang dan gula yang telah menyatu dipindahkan ke tatakan batu. Digepuk hingga lumat dengan kayu sawo. Kacang yang telah menjadi remah-remah tetap merekat karena gula.
Setelah lumat, kacang dan gula digesut menggunakan botol kaca. Dibuat memanjang dan lebar dan digunakan sebagai lapisan luar. Lalu diisi kacang sangan yang juga telah digepuk hingga halus, ditutup, kemudian diulur. Dua kayu pipih panjang digunakan untuk mencepit enting-enting gepuk ini agar berbentuk segitiga panjang. Terakhir, dipotong-potong hingga membentuk prisma segitiga lalu dibungkus.
“Dulu membungkusnya pakai daun bambu yang dikeringkan,” kata Winiarti.
Hartono mengatakan bahwa sebelum ada enting-enting gepuk, camilan serupa ada di Tiongkok. Namun, di Tiongkok, kacang dan gula hanya ditumbuk dan dibentuk menyerupai bola-bola kacang.
Proses pembuatan enting-enting gepuk. (Setyaji Risky Utomo)
“Kalau di China hanya digulung-gulung, dipotong-potong, jadi bentuknya bulat-bulat,” terang Hartono.
Khoe Tjong Hok awalnya hanya membuat enting-enting dalam jumlah kecil dan dijual pada hari-hari besar Tionghoa seperti Imlek dan Cap Go Meh. Namun, renyahnya enting-enting gepuk mengundang banyak permintaan di luar hari-hari besar.
Keluarga Khoe Tjong Hok juga makin besar. Ia dan Suminah diberkahi lima anak. Khoe Poo Liong, Khoe Djioe Nio, Khoe Tang Nio, Khoe Poo Soen, dan Khoe Poo Hauw.
Lanny Kurniawati, anak Khoe Djioe Nio, menyebut tak butuh waktu lama agar enting-enting gepuk dikenal secara luas. Bahkan bukan hanya orang Tionghoa tapi juga masyarakat umum.
“Setelah mungkin satu dua kali akhirnya punya langganan, bolak-balik, (enting-enting gepuk) menjadi ciri khas. Kalau setiap ada acara ke Salatiga pulang beli ini gitu. Memang hanya dijual di pintu masuk sebelah kanan di dalem kelenteng,” kata Lanny.
Melihat camilan manis ini banyak penggemar, Khoe Tjong Hok mulai menjualnya di depan bioskop yang terletak di pertigaan, tak jauh dari kelenteng. Dengan tampah dan keranjang berisi penuh enting-enting gepuk, anak-anaknya menjajakan camilan manis itu kepada orang-orang yang hendak nonton film.
“Pembelinya malah penjajah-penjajah itu. Jadi mami saya (Khoe Tang Nio) yang pakai keranjang itu,” kata Hartono.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62258bcf971cfa1d5f53bb7c_Intersection%209.jpg" alt="img"></div><figcaption>Enting-enting gepuk. (Fernando Randy/Historia.ID)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62258bd5ab1e8668554bc70d_Intersection%2010.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/kacang-gula-dan-laki-laki-dari-fukien/Winiarti%20podcast.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Winarti.</b><br>Cucu Khoe Tjon Hok. (Dokumen pribadi).</span></div></div></div>
Toko Sederhana
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, keluarga Khoe Tjong Hok harus mengungsi ke Boyolali. Dengan begitu usaha enting-enting gepuk berhenti. Keluarga ini bertahan hidup dengan menjual kain-kain jarik yang sempat dibawa mengungsi. Duka tak hanya sampai di situ. Suminah meninggal dunia sehari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Khoe Tjong Hok baru memboyong kembali keluarganya ke Salatiga tahun 1950-an. Sisa-sisa perang masih terlihat. Rumah dan pertokoan Tionghoa di Soloscheweg yang dibakar hanya menyisakandinding-dinding pelana kuda ngang shan khas rumah orang Tionghoa.
<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62258bdcb2da990b03fbfaea_Intersection%2011.jpg" alt="img"></div> <figcaption>Rumah dan pertokoan Tionghoa di Soloscheweg (sekarang Jalan Jenderal Sudirman) hancur pada 1947. (Nationaal Archief)</figcaption></figure></div>
Khoe Tjong Hok mencoba membangkitkan kembali usaha enting-enting gepuknya. Pemasarannya diperluas. Promosi digenjot. Pada 1963, iklan enting-enting gepuk tayang di majalah Mingguan Djaja :“Kirim uang Rp 630,- anda akan terima satu packet berisi 100 bidji enting2 gepuk jang enak rasanja.” Begitulah isi sebuah iklan yang dibuat oleh Toko Idjo dari Jalan Kotapradja Salatiga dalam majalah nasional itu.
Usaha enting-enting gepuk Khoe Tjong Hok berkembang cukup pesat hingga langit mendung menyelimuti kelenteng Hok Tek Bio. Pada 2 Maret 1971, Khoe Tjong Hok, laki-laki dari Fukien yang melahirkan enting-enting gepuk itu, meninggal dunia di usia 89 tahun.
Jenazah Khoe Tjong Hok ternyata tak bisa disemayamkan di dalam kelenteng. Khoe Djioe Nio, anak kedua, akhirnya membeli rumah petak kecil di seberang kelenteng. Jenazah Khoe Tjong Hok bersemayam di rumah ini sekira lima hari sebelum dimakamkan.
Toko sederhana. (Setyaji Risky Utomo)
Sepeninggal Khoe Tjong Hok, hanya Khoe Djioe Nio yang melanjutkan usaha enting-enting gepuk. Di rumah yang awalnya dipakai sebagai rumah duka itulah, Khoe Djioe Nio mengayunkan kembali kayu sawo untuk menggepuk gula dan kacang. Belakangan rumah ini juga menjadi toko yang diberi nama Toko Sederhana.
Karena enting-enting gepuk telah dikenal luas, Toko Sederhana dengan cukup mudah mendapat pelanggan. Tak sedikit dari mereka yang berasal dari luar kota; datang untuk membeli enting-enting gepuk sebagai oleh-oleh maupun dijual kembali.
“Dengan antusias pelanggan yang membludak setiap hari, akhirnya mama saya mengajak kakak dan adik-adiknya untuk produksi bersama-sama,” kata Lanny.
Pada 1973, Khoe Poo Liong, anak pertama Khoe Tjong Hok, memproduksi enting-enting gepuk di rumahnya di Kalinyamat, tak jauh dari klenteng.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62258bf00c73e03e156a712c_Intersection%2012.jpg" alt="img"></div><figcaption>Bagian depan toko Sederhana. (Setyaji Risky Utomo)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62258be5dcbb80e5a8639503_Intersection%2013.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/kacang-gula-dan-laki-laki-dari-fukien/Lany%20K%20podcast.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Lanny K.</b><br>Cucu Khoe Tjon Hok. (Dokumen pribadi).</span></div></div></div>
Klenteng & 2 Hoolo
Kala itu, enting-enting gepuk hanya disebut enting-enting gepuk. Melihat mulai muncul enting-enting gepuk buatan orang lain, Khoe Poo Liong dan Khoe Djioe Nio memikirkan merek apa yang dipakai agar pelanggan dengan mudah mengenali enting-enting gepuk warisan Khoe Tjong Hok.
Khoe Poo Liong memakai merek Klenteng karena dari situlah enting-enting gepuk bermula. Sementara Khoe Djioe Nio memilih merek 2 Hoolo karena dua hiolo (mereka menuliskannya “hoolo”) yang berdiri di depan kelenteng tampaknya mudah diingat. Enting-enting gepuk merek 2 Hoolo milik Khoe Djioe Nio kemudian juga diproduksi oleh Khoe Tang Nio di Kalibodri, Khoe Poo Soen di Kalinyamat, dan Khoe Poo Hauw di Jalan Senjoyo. Masing-masing sekira satu kilometer dari klenteng.
“Itu jadi dua merek yang berbeda dengan isi dan rasa yang sama,” ujar Lanny.
Karena pelanggan kebingungan memilih mana enting-enting gepuk asli warisan Khoe Tjong Hok, kelima bersaudara ini akhirnya menentukan satu merek. Maka merek Klenteng dan 2 Hoolo dilebur menjadi Klenteng & 2 Hoolo. Inilah merek legendaris yang kelak selalu dicari orang ketika hendak membeli enting-enting gepuk.
Pada 1977, Khoe Djioe Nio dengan Toko Sederhananya mengalami kesulitan produksi. Toko Sederhana yang berada di tengah ruko-ruko satu tembok dan mulai padat tak mendapat izin produksi. Suara pukulan kayu sawo pada batu juga mengganggu tetangga sekitar. Akhirnya, Toko Sederhana tidak lagi produksi dan hanya menjadi pusat penjualan enting-enting gepuk yang disetorkan oleh saudara-saudaranya.
“Jadi dari Kalinyamat di gerobak sama digendong pakai selendang. Yang di Jalan Kalibodri itu mereka jalan kaki, tiga orang itu. Satu orang itu bisa menggendong tiga besek-tiga besek,” kata Lanny.
Kendati menghadapi kendala, bisnis enting-enting gepuk makin sukses. Hartono ingat betul, sejak 1978, ketika masih berusia 10 tahun, ia harus membantu produksi enting-enting gepuk ibunya, Khoe Tang Nio, anak ketiga dari Khoe Tjong Hok. Padahal mereka memiliki karyawan.
“Jadi kita masih motongi pakai cutter. Kita bikin kotak persegi empat. Terus capnya masih manual. Jadi pakai stampel, masih manual,” kata Hartono.
Karena pelanggan semakin banyak dan Toko Sederhana kebanjiran pesanan, Khoe Djioe Nio dan saudara-saudaranya memecah distribusi. Masing-masing rumah produksi kemudian memiliki pelanggan sendiri-sendiri. Namun Toko Sederhana tetap mendapat kiriman enting-enting gepuk dari mereka untuk dijual.
Khoe pada hiolo kiri dan xiōngdì jiěmèi pada hiolo kanan. Khoe menandai marga. Sedangkan xiōngdì jiěmèi artinya kakak adik satu saudara. Anak-anak Khoe Tjong Hok menuliskannya dengan aksara Tionghoa pada hiolo yang tergambar di bungkus enting-enting gepuk. Simbol bersatunya keluarga Khoe Tjong Hok.
Lima saudara dari generasi kedua memang meneruskan usaha enting-enting gepuk. Namun, saat ini tidak semua keturunan Khoe Tjong Hok meneruskan usaha enting-enting gepuk. Hanya tiga keluarga dari generasi ketiga yang terus membuat enting-enting gepuk.
Khoe Poo Liong, anak pertama, meninggal pada 1990. Produksinya diteruskan anak angkatnya, Khoe Yu Che, yang ketika mualaf berganti nama menjadi Yusuf Hidayatullah. Yusuf meninggal dunia pada 2019. Kepada istrinya, Juwariah, ia mewariskan pabrik enting-enting gepuk dengan sebuah masjid berbentuk kelenteng di sampingnya.
Khoe Djioe Nio, anak kedua, yang sejak 1977 tidak lagi produksi, meninggal dunia pada 2009. Ia mewariskan Toko Sederhana kepada Lanny Kurniawati.
<div class="quotes-center font-g">Khoe pada hiolo kiri dan xiōngdì jiěmèi pada hiolo kanan. Khoe menandai marga. Sedangkan xiōngdì jiěmèi artinya kakak adik satu saudara. Anak-anak Khoe Tjong Hok menuliskannya dengan aksara Tionghoa pada hiolo yang tergambar di bungkus enting-enting gepuk. Simbol bersatunya keluarga Khoe Tjong Hok.</div>
Khoe Tang Nio, anak ketiga, meninggal dunia pada 2010. Produksi enting-enting gepuk diteruskan anak ketiganya, Hartono, sejak 1990.
Anak-anak Khoe Poo Soen yang telah memiliki pekerjaan masing-masing tak ada yang meneruskan produksi enting-enting gepuk sejak Poo Soen meninggal pada 2010.
Sementara usaha milik Khoe Poo Hauw kini masih dilanjutkan oleh istrinya Oh Fang Ing dan anaknya Winiarti. Khoe Poo Hauw meninggal pada 2007.
Xiōngdì jiěmèi terus menjadi pegangan generasi ketiga Khoe Tjong Hok. Satu merek dipakai bersama. Setiap keturunan boleh memakai cap Klenteng & 2 Hoolo. Masing-masing juga memiliki pelanggan dan tidak boleh saling berebut pasar.
“Satu merek aja, cap Klenteng & 2 Hoolo. Kita ndak ada saling, istilah basa jawane,ngrusuhi ya,” kata Hartono.
Pasar yang makin luas membuka kesempatan bagi orang lain untuk memproduksi enting-enting gepuk dengan merek sendiri. Mereka mulanya para pegawai enting-enting gepuk Klenteng & 2 Hoolo.
“Sejak tahun 1975 pun sudah ada karyawan pakde saya, Khoe Poo Liong, yang keluar dan bikin sendiri. Bikin pabrik sendiri. Anak-anaknya (meneruskan), sampai sekarang,” terang Hartono.
Hartono menyebut ada hampir seratus merek enting-enting gepuk di Salatiga. Dari cap Gedung, Naga Bintang, Rumah, Noga, Arya Mas, Kuda Berlian, Dua Pohon Kelapa, Pohon Cemara, Koi, hingga Taj Mahal. Namun tak semua diproduksi harian. Sebagian besar hanya diproduksi menjelang hari raya Idul Fitri.
Munculnya enting-enting gepuk merek baru sempat merepotkan Hartono. Meski merek Klenteng & 2 Hoolo sudah terkenal, masih banyak pembeli yang salah mengira. Pasalnya, hampir semua merek mengadaptasi penampilan Klenteng & 2 Hoolo.
Pada 1990, ketika Hartono mulai memegang tongkat estafet enting-enting gepuk dari ibunya, ia pernah mencoba mengubah kemasan agar berbeda dari merek-merek lain. Namun, apa yang dilakukan Hartono diikuti juga oleh merk lain.
“Pernah plastiknya saya ganti warna ijo, semua merek ganti warna ijo. Saya ganti warna merah, semua ganti warna merah. Ini untuk bos-nya saya ganti warna kuning, semua jadi kuning. Nanti mungkin kalau saya ganti pelangi, semua jadi ikut pelangi,” ujarnya .
Selain warna, ilustrasi bungkus enting-enting gepuk pun hampir serupa dengan Klenteng & 2 Hoolo. Cap Rumah, misalnya, memiliki ilustrasi rumah yang mirip kelenteng. Sementara Cap Gedung Batu menyematkan gambar bangunan seperti kelenteng dengan dua pagoda di sampingnya. Bahkan merek-merek yang tidak ada hubungan dengan bangunan pun tetap menautkan ilustrasi dengan kelenteng.
“Cap Burung ya burungnya nempel di kelenteng. Macam-macamlah,” terang Hartono sambil tertawa.
Sementara beberapa merek seperti Cap Pohon Cemara dan Cap Dua Pohon Kelapa hanya mengidentifikasi warna bungkusnya saja; kuning dengan ilustrasi merah.
“Tapi ndak papa Mas, wong namanya cari makan. Yang penting dia pakai mereknya sendiri,” kata Hartono. Para penerus enting-enting gepuk cap Klenteng & 2 Hoolo memahami bahwa enting-enting gepuk sesungguhnya telah menjadi rezeki bagi banyak orang Salatiga.
“Mama saya dari dulu berpesan bahwa kita nggak mungkin sampai kehilangan berkat. Jadi kita jangan nutupin berkat orang lain. Kalau mau meniru untuk mereka cari makan nggak papa lah,” tutur Lanny.
Enting-enting gepuk cap Klenteng & 2 Hoolo. (Fernando Randy/Historia.ID)
Benang Merah Sejarah
Bentuknya prisma segitiga. Begitu digigit, bangunan prisma runtuh dan menyisakan remah-remah halus perpaduan gula dan kacang. Rasanya manis dan sedikit gurih. Sebagai cemilan kering, enting-enting gepuk diklaim bisa tahan hingga enam bulan. Namun, menyimpan berlama-berlama kacang dan gula yang digepuk, yang bungkusnya hanya kertas, adalah ide buruk.
Enting-enting gepuk memang camilan yang tak tahan lama. Jika terkena dingin akan melempem kacangnya. Jika terkena panas pasti meleleh gulanya.
Enting-enting gepuk seperti bayi yang rapuh. Begitulah Lanny mengibaratkan camilan kecil ini. Pasalnya, enting-enting gepuk masih diproduksi dengan cara yang tak berubah hampir satu abad lamanya. Dengan perangkat yang tak pernah berubah pula, yakni tatakan batu kali dan godam kayu sawo. Bukan dengan mesin-mesin plus bahan-bahan pengawet hari ini.
Semua itu dilakukan untuk menjaga rasa yang telah diwariskan Khoe Tjong Hok. Pernah suatu kali enting-enting gepuk dibuat dengan cara diblender untuk menghaluskan kacangnya. Tapi kacang tak mau jadi enting-enting gepuk karena mengeluarkan minyak.
Enting-enting gepuk cap Klenteng & 2 Hoolo. (Fernando Randy/Historia.ID)
Winiarti mengatakan, sama seperti banyak hal di dunia, enting-enting gepuk sebenarnya telah mengalami perubahan rasa. Hal ini ditengarai karena kualitas gula yang makin menurun. Menurutnya, gula yang bagus adalah gula kristal dengan warna kekuningan. Tapi kini sulit didapatkan.
“Jadi gula yang bagus itu gula tebu yang sudah tua. Tapi gula sekarang belum wayahe diopek saja sudah pada ditebasi. Makanya kan enting-enting yang sekarang dengan enting-enting yang dulu masih enak dulu,” ujar Winiarti.
Meski demikian, baik Winiarti, Hartono maupun Lanny berharap enting-enting gepuk bisa terus diproduksi. Suara pukulan kayu sawo pada kacang dan gula bisa terus didengar setiap pagi di rumah-rumah produksi mereka.
Selain sebagai penggerak ekonomi keluarga dan warga sekitar, enting-enting gepuk adalah benang merah sejarah keluarga. Warisan dari leluhur mereka yang hampir seabad lalu berjalan kaki dari Semarang ke Salatiga. Namanya Khoe Tjong Hok.