Amelia de la Rama, aktris Filipina kekasih Sukarno. (Istimewa).
Aa
Aa
Aa
Aa
TIBA di lapangan terbang, Presiden Filipina Diosdado Macapagal menyambutnya lalu membawanya ke rumah (mansion) José P. Laurel, mantan presiden Filipina (1943–1945), tempat Presiden Sukarno biasa menginap. Di mansion itu tinggal Laurel, istri, dan anak-cucunya. Untuk memeriahkan kedatangan Sukarno, mereka mendatangkan Bayanihan Cultural Ensemble, suatu perkumpulan paduan suara, yang menyambut Sukarno dengan tari lenso. Dua gadis dari kelompok ensemble itu menghampiri Sukarno dan mengajak menari.
“Sukar untuk menolaknya, karena itu aku mulai menari dan GEGER! Kilat lampu! Jepretan kamera! Dan induk karangannya: ‘Lihat Sukarno pengejar-cinta mulai lagi’,” ujar Sukarno dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“Aku menyukai gadis-gadis yang menarik di sekelilingku, karena gadis-gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang.”
TIBA di lapangan terbang, Presiden Filipina Diosdado Macapagal menyambutnya lalu membawanya ke rumah (mansion) José P. Laurel, mantan presiden Filipina (1943–1945), tempat Presiden Sukarno biasa menginap. Di mansion itu tinggal Laurel, istri, dan anak-cucunya. Untuk memeriahkan kedatangan Sukarno, mereka mendatangkan Bayanihan Cultural Ensemble, suatu perkumpulan paduan suara, yang menyambut Sukarno dengan tari lenso. Dua gadis dari kelompok ensemble itu menghampiri Sukarno dan mengajak menari.
“Sukar untuk menolaknya, karena itu aku mulai menari dan GEGER! Kilat lampu! Jepretan kamera! Dan induk karangannya: ‘Lihat Sukarno pengejar-cinta mulai lagi’,” ujar Sukarno dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“Aku menyukai gadis-gadis yang menarik di sekelilingku, karena gadis-gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang.”
Sukarno melakukan kunjungan kerja ke Manila, Filipina, pada 8 Januari 1964 untuk membahas Maphilindo (Malaysia-Philippines-Indonesia).
Maphilindo merupakan upaya meredam persengketaan batas negara akibat bergabungnya Sabah dan Sarawak ke negara Malaysia pada 1963. Filipina menganggap Sabah merupakan bagian dari negaranya. Sedangkan Indonesia menilai Malaysia tak lain sebagai negara boneka yang dibentuk sebagai bagian dari upaya imperialis Inggris mempertahankan kekuasaan di Asia Tenggara.
Ini merupakan kunjungan resmi kedua terkait soal Maphilindo. Kunjungan pertama dilakukannya pada Agustus 1963. Di sesela pertemuan resmi dengan Macapagal, Sukarno menikmati saat-saat santai dengan politisi negara itu. Dalam sebuah pesta di rumah Laurel, yang dihadiri sosialita Filipina, dia bertemu lalu menaruh hati pada seorang aktris Filipina: Amelia de la Rama –ada juga yang menulis Amalia de la Rama.
Terekam dalam Dokumen Marcos
Kisah kasih Sukarno dengan Amelia de la Rama beredar kencang di kalangan jurnalis Filipina saat itu. Perihal hubungan khusus ini juga didengar José María Sison, pendiri dan ketua Partai Komunis Filipina (CPP) yang kini seorang eksil politik di Belanda.
Sison pernah mengunjungi Indonesia pada 1963 dan 1964 sebagai koresponden Eastern World yang berbasis di London dan anggota Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Dia menjalin hubungan akrab dengan banyak petinggi Partai Komunis Indonesia. Kitab merah yang ditulis Sison, Philippine Society and Revolution (1971), mirip judul dan isinya dengan kitab karangan Aidit, Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1958).
Di dalam buku kenangannya, At home in the world: portrait of a revolutionary (2004), Sison menulis: “Sesudah kunjungan Sukarno di Manila guna menghadiri konferensi Maphilindo pada 1963, satu tabloid kuning menyebut diriku sebagai kaki tangan Sukarno, dan bahkan menuding diriku sebagai orang yang bertindak membeli sebuah rumah mewah di Forbes Park untuk dihadiahkan kepada seorang perempuan Filipina yang ditengarai sebagai kekasihnya, yaitu seorang sosialita ternama Amelia de la Rama, yang tak pernah kukenal sebelumnya.”
Karena bersumber dari gosip dan tak punya bukti kuat, kisah cinta itu seolah omong kosong belaka. Namun, hubungan Sukarno dan Amelia rupanya juga terekam dalam apa yang bisa disebut sebagai “dokumen Marcos”.
Setelah runtuhnya diktator Ferdinand Marcos, Presiden Corazon Aquino membentuk Komisi Presiden untuk Pemerintahan yang Bersih (PCGG). Tugasnya antara lain menyelidiki dan membawa kembali kekayaan Marcos beserta kroni-kroninya yang didapat melalui korupsi. PCGG langsung memulai tugasnya dengan menyita dan meneliti semua dokumen pribadi milik Marcos. Satu dokumen tertanggal 29 Juli 1964 menyatakan perihal kekasih Sukarno.
Dokumen tersebut sesungguhnya membahas skandal keuangan Harry S. Stonehill, mantan tentara Amerika yang berkat jalinan kerjasamanya dengan Marcos –kala itu anggota Kongres– mampu membangun kerajaan bisnis di Filipina. Stonehill dideportasi pada 1962 karena menyuap politisi lokal. Namun dia masih bisa mengendalikan bisnisnya di Filipina melalui José B. (“Jobo”) Fernandez, pendiri Far East Bank and Trust.
Kelompok Jobo agresif mengembangkan bisnis; termasuk ke Indonesia. Karena tak punya pijakan kuat di Indonesia, kelompok Jobo mencoba meyakinkan Daniel Aguinaldo untuk bergabung dengan mereka karena, tulis dokumen tersebut, “Dan Aguinaldo, lewat Amalia Amante, sang kekasih Sukarno, berhasil memperoleh konsensi kayu yang sangat baik di Indonesia, sehingga mampu memiliki pijakan.”
Daniel Aguinaldo, pendiri dan pemilik Aguinaldo Development Corporation (ADECOR), adalah multijutawan Filipina. Dia menginvestasikan kekayaannya lebih dari 100 juta peso untuk konsesi hutan, peternakan mutiara, industri, dan real estate.
Namun, Dan Aguinaldo tak tertarik. Karena itu, kelompok Jobo coba mendekati Amalia melalui Vicente Fernandez, saudara Jobo yang pernah ditaksir Amelia. Penulis dokumen itu melaporkan, dengan cara itulah “mereka mendapatkan pangkalan beroperasi.”
Keyakinan itu bukan tanpa dasar, karena “Sukarno baru-baru ini membeli sebuah rumah di Forbes Park seharga 400 ribu peso tunai atas nama Ny. Amalia de la Rama, yang dikenal sebagai Amalia Amante.”
Forbes Park adalah kawasan perumahan mewah di Manila, yang merupakan tempat tinggal para jutawan dan kaum elite negara itu.
Sayangnya, “dokumen Marcos” tak memberikan petunjuk lain untuk melacak kebenaran kisah ini. Selain itu, tidak ada data atau dokumen lain sebagai pembanding. Seandainya benar, tentu ini bukan hal yang baru. Bukankah Ratna Sari Dewi melakukan hal serupa dengan investasi Jepang?
Bukan Roman Picisan
Kisah kasih Sukarno di Manila juga terekam dalam khasanah literatur Filipina, dalam bahasa Inggris. Yaitu, novel Ermita buah pena Fransisco Sionil José (dikenal sebagai Frankie), penulis terkemuka Filipina, yang terbit pada 1988.
Ermita diambil dari nama daerah utama di Manila sebagai pusat bisnis, budaya, dan pemerintahan. Novel ini sendiri menceritakan perjalanan hidup seorang gadis muda, Ermi Rojo, yang menjadi perempuan penghibur kelas atas di kalangan pebisnis dan orang-orang penting. Salah satu kekasih gelap Ermi adalah “Orang Besar” (Great Man), “seorang pemimpin Asia Tenggara yang sudah menua dan jompo”. Perjumpaan mereka terjadi pada Februari 1964 kala si “Orang Besar” berada di Manila.
Ermi memanggil si Orang Besar sebagai “Yang Mulia” karena menyadari kekuasaan yang dimilikinya. Si Orang Besar merasa malu dengan panggilan tersebut karena dia merasa cukup tua untuk menjadi ayahnya. “Mengapa kamu tidak memanggilku ‘Bapak’? Itu berarti ‘ayah’ dalam bahasaku.” Ermi menyanggupinya. Namun, dalam hati, Ermi bertanya-tanya apakah benar semua kisah tentang percintaan si lelaki itu. Dan si Orang Besar tampaknya tahu.
Si lelaki menggenggam tangannya. “Aku sudah tua, Ermi,” ujarnya pelan, dengan rasa sedih. “Semua kisah yang kau baca tentang diriku –semua itu benar adanya 20 tahun lalu. Tak lagi kini. Seperti kau tahu, kau tak mesti berbagi ranjang denganku. Ada ranjang kosong di kamar sebelah. Sudahkah kau tahu, aku mengorok...”
“Adalah suatu keistimewaan bagi diriku untuk dapat membahagiakanmu, Bapak,” ujar Ermi dengan tulus.
“Nafasku bau, terutama di pagi hari.”
Ermi mendekatkan diri padanya, perlahan menciumnya, dan membaui nafasnya. “Bau bawang,” ujarnya sambil terkekeh.
Lewat lukisan realistis di atas dapat kita baca bahwa kisah kasih Ermi dan si Orang Besar cukup mendalam, tidak sebatas hubungan seksual belaka. Mereka dapat dengan jujur bercakap dan bercanda, seakan tiada batasan kelas sosial, seperti layaknya sepasang kekasih.
Menariknya, Frankie juga menyingung peran Ermi dalam mempengaruhi keputusan ekonomi si Orang Besar dan hadiah rumah di Forbes Park.
“Setelah si Orang Besar kembali ke negaranya, sangatlah mudah bagi Ermi untuk berhenti dari pekerjaannya itu. Seminggu kemudian, ia dihadiahkan satu rumah baru di Forbes Park, rekening bank yang sungguh menawan yang membuatnya mampu menikmati kaviar untuk bertahun- tahun lamanya. Dan jika ia hendak memanfaatkannya, ia dapat dengan mudah menjual pengaruhnya kepada para pengusaha Filipina yang hendak menanamkan modal di negara si Orang Besar.”
Benarkah si Orang Besar merepresentasikan sosok Sukarno?
Sebagai wartawan muda Manila Times pada 1950-an, Frankie tidaklah asing dengan sosok Sukarno. Dia pernah bertemu dengan Sukarno di Malacanang. “Pada 1950-an, Sukarno sering datang ke Manila dengan menyamar karena dia punya beberapa kekasih perempuan di sini dan beberapa politisi dan pebisnis Filipina yang memiliki kepentingan di Indonesia menjadikannya sebagai perantara,” ujar Silone dalam wawancara dengan Charlson Ong, dalam Likkhaan 5, jurnal sastra Filipina kontemporer, tahun 2011.
Dalam wawancara melalui email, Frankie hanya memberi jawaban singkat soal karakter dalam novelnya. Mengenai Ermi dia menyebut tokoh fiktif belaka, sementara si Orang Besar: “Ya, ia Sukarno.”
Sebuah Pengakuan
Berbeda dari kisah Ermi yang dilukiskan masih sangat muda, Amelia de la Rama berusia 36 tahun saat berjumpa dengan Sukarno, dengan kecantikan yang masih memikat.
Amelia lahir dari keluarga konservatif di Bulacan, Filipina tahun 1927. Nama sebenarnya Amelia Amante. Ketika berusia 15 tahun, dia minggat dari rumah untuk mengikuti jantung hatinya. Mereka menikah dan memiliki seorang anak. Ketika usianya 20 tahun, suaminya meninggal dunia.
“Aku tak benar-benar menjalani hidup nyaman sebagaimana orang bayangkan. Aku menikah muda. Ketika anakku lahir, ayahku meninggal dunia. Aku merawat anakku dan juga ibuku. Aku belajar bergantung pada diriku sendiri sejak saat itu,” ujarnya, dikutip jurnalis-cum-kritikus film Norma L. Japitana dalam Maya Pobre and the Killers Baratilyo (1995).
Amelia kemudian terjun ke dunia film. Dia mendapat peran kecil dalam film Pangarap Ko’y Ikaw Rin (1947), Bulakenyo (1949), The Steel Claw (1961), dan Manila, Open City (1968). Ketika menapaki kariernya, dia sempat menikah lagi dengan seorang pengacara yang pernah jadi konsul di Hongkong. Suaminya punya hubungan dengan keluarga Osmeña dari Cebu, yang punya pengaruh kuat dalam politik maupun bisnis di Filipina. Dari perkawinan inilah Amelia mencantumkan nama keluarga suaminya, de la Rama. Perkawinan itu kemudian bubar.
Perannya dalam The Steel Claw, film produksi Hollywood yang diproduseri, disutradarai, dan dibintangi George Montgomery, melambungkan namanya. Status selebritas membuat kehadiran Amelia disambut di setiap pesta saat Osmeña dan orang-orang besar dari selatan menjalankan bisnis mereka dengan kesenangan. Saat itulah dia bertemu Sukarno.
“Dalam kehidupan setiap perempuan hanya ada satu cinta yang agung. Saya beruntung berkenalan dengan presiden. Ini terjadi di sebuah pesta yang digelar untuknya. Saya ada bersama Nick Osmeña dari Cebu. Ada ketertarikan instan ketika kami bertemu...,” ujar Amelia. Nicasio (Nick) Osmeña adalah putra sulung Sergio Osmeña Sr., mantan presiden Filipina (1944–1946) yang gambar mukanya menghiasi mata uang 50 peso.
Baginya, tahun-tahun bersama Sukarno terasa menyenangkan. Tak ada kenangan bersama lelaki lain yang bisa merenggutnya. Dia berpergian bersama Sukarno ke beberapa negara. Dia juga pernah diajak ke Istana Tampaksiring di Bali. Amelia suka mengenang hari-hari di mana dia bersama Sukarno berjalan mengelilingi istana. Inilah waktunya percakapan intim; tentang urusan negara, tentang istri-istri lainnya, tentang Dewi.
Amelia menyimpan hubungannya dengan Sukarno selama 15 tahun sebelum dia membuat pengakuan ke publik pada 1979. Bukan hanya sebagai kekasih, tapi juga seorang istri. Kepada harian Hongkong Standard awal Februari 1979, Amelia mengaku pernah dinikahi Sukarno. Amelia mengenang, dia tiba di Jakarta pada 1964 dan, dengan diam-diam, menikah dengan Sukarno di masjid istana.
“Saya sendiri yang tidak mau perkawinan kami diumumkan,” ujarnya, dikutip majalah Tempo edisi 17 Februari 1979, “karena kedudukan beliau, karena saya seorang Filipino. Ingat kesukaran yang timbul setelah dia menikah dengan Dewi?”
Tak ada kabar atau publikasi tentang pernikahan mereka. Bahkan kedatangan Amelia luput dari pemberitaan koran. Menariknya, pada tahun yang sama, Presiden Macapagal melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Di sesela kunjungan, Sukarno dan Macapagal mengunjungi Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Bali –menginap di Istana Tampaksiring.
“Sukarno adalah laki-laki yang bisa memberi pengertian, cinta, dan kelembutan,” ujarnya. “Dan saya tidak pernah bertemu dengan pria yang begitu mudah berkawan dan begitu sopan.”
Dan Sukarno memberi panggilan sayang untuknya: Sampaguita –bunga melati, kembang nasional Filipina.
Kekasih Terakhir?
Sukarno wafat pada 21 Juni 1970. Amelia tak berada di sisinya. Bahkan sebagaimana pengakuannya, dia berjanji tak akan melawat saat Sukarno wafat. “Tapi saya berjanji bahwa saya akan berkunjung ke kuburannya dengan menaburkan bunga sampaguita,” ujarnya, dikutip Tempo.
“Saya ingin mengingatnya seperti saya melihatnya. Mengenakan seragam putih, gagah dan membawa tongkat komando.”
Di balik ketidakhadirannya, mungkin dapat kita pinjam imajinasi yang dilukiskan Frankie dalam novel Ermita perihal perjumpaan terakhir Ermi dengan si Orang Besar.
Suaranya lemah namun hangat seperti biasa. “Aku bahagia bisa melihat dirimu.” Ermi memeluknya, baju dan nafasnya terhanyut dalam bau rumah sakit.
Larut di dalam kesedihan, Ermi dapat merasakan tepukan lembut tangannya di punggungnya. “Ermiku,” gumamnya, sambil mendorong perlahan dirinya agar dapat menatap wajahnya yang dibasahi air mata.
Dengan ini maka berakhirlah kisah kasih Amelia dengan Sukarno. Enam bulan kemudian setelah Sukarno wafat, muncul berita pernikahan Amelia dengan James Willard Braly, seorang pensiunan pilot Angkatan Udara Amerika Serikat dan ajudan Presiden Dwight David Eisenhower. “Ini pernikahan keempat mempelai perempuan. Dia dinikahi Sukarno pada 1963, tapi Sukarno mengatur baginya untuk meninggalkan negara itu sebelum kup yang menggulingkannya pada 1967,” tulis Toledo Blade, 5 Januari 1971.
Usai itu, tidak kita ketahui bagaimana perjalanan hidup Amelia de la Rama, sang sampaguita.*
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lisandro Claudio dan Ambeth Ocampo.