PEREMPUAN sepuh itu keluar dari kamar. Dengan tertatih-tatih, dipapah putrinya, dia menaiki kursi roda. Saya menyalaminya. Terasa gemetar. Matanya terlihat redup ketika saya memulai pembicaraan dan menyebut sebuah nama. Hening sejenak.
“Apa yang Nak mau tahu tentang Si Aman?” dia bertanya lirih. Nyaris tak terdengar.
Pertanyaan tentang Aman, adiknya, mengingatkan Nursima (84 tahun) kembali pada peristiwa tahun 1966. Saat itu, di tengah situasi politik nasional yang memanas, seorang tetangganya datang berkunjung ke rumah orang tuanya di Alang-Alang Lawas, Kota Padang, Sumatra Barat.
“Sima, siapakah nama lengkapnya si Aman?” tanyanya.
“Arief Rachman Hakim. Ada apakah?” Nursima balik bertanya.
Hening sejenak.
“Sima. Ada sesuatu yang telah terjadi dengan adikmu di Jakarta. Kalian harus kuat.”
PEREMPUAN sepuh itu keluar dari kamar. Dengan tertatih-tatih, dipapah putrinya, dia menaiki kursi roda. Saya menyalaminya. Terasa gemetar. Matanya terlihat redup ketika saya memulai pembicaraan dan menyebut sebuah nama. Hening sejenak.
“Apa yang Nak mau tahu tentang Si Aman?” dia bertanya lirih. Nyaris tak terdengar.
Pertanyaan tentang Aman, adiknya, mengingatkan Nursima (84 tahun) kembali pada peristiwa tahun 1966. Saat itu, di tengah situasi politik nasional yang memanas, seorang tetangganya datang berkunjung ke rumah orang tuanya di Alang-Alang Lawas, Kota Padang, Sumatra Barat.
“Sima, siapakah nama lengkapnya si Aman?” tanyanya.
“Arief Rachman Hakim. Ada apakah?” Nursima balik bertanya.
Hening sejenak.
“Sima. Ada sesuatu yang telah terjadi dengan adikmu di Jakarta. Kalian harus kuat.”
KAMIS, 24 Februari 1966. Di bawah terik matahari, puluhan ribu mahasiswa bergerak menuju Istana Negara. Mereka datang dari dua arah: Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Merdeka Timur (kawasan Gambir). Mereka berjalan perlahan sembari mengangkat poster-poster berisi tuntutan dan meneriakan yel-yel anti-pemerintah.
Ismail Tukimin (79 tahun), kala itu mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), berjalan di sisi kanan barisan demonstran yang bergerak dari arah Gambir. Sebagai anggota Dinas Kesehatan Mahasiswa FKUI, matanya harus awas bilamana ada demonstran jatuh pingsan atau mengalami kecelakaan.
Namun baru saja beberapa detik melewati Gedung Markas Besar Angkatan Darat, terdengar rentetan tembakan dari arah depan. Secara refleks para demonstran tiarap. Ismail menjatuhkan diri di badan jalan aspal.
“Setelah menunggu agak lama, baru saja mau bangkit, eh terdengar lagi tembakan kedua dan ketiga,” kenang Ismail.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Saya terhenyak. Orang itu ternyata kawan saya satu fakultas di UI dan samar-samar saya seperti mengenal wajahnya.”<br>–Ismail Tukimin</div>
Sjarief Wasitaatmadja (77 tahun), kala itu mahasiswa FKUI angkatan 1962, juga ikut dalam barisan demonstran. Dia datang dari arah Jalan M.H. Thamrin. Selain ikut demonstrasi, dia juga meliput aksi demo untuk Mangle, majalah berbahasa Sunda yang berkantor di Bandung, di mana dia jadi koresponden.
Selangkah demi selangkah Sjarief dan mahasiswa lainnya mendekati wilayah Jalan Merdeka Utara. Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan.Sjarief tiarap seperti demonstran lainnya. Suasana berubah jadi mencekam.
“Ada yang kena! Ada yang kena!” sayup-sayup terdengar suara. Suara tembakan kembali terdengar. Barisan mahasiswa pun kocar-kacir.
Pada waktu hampir bersamaan, Hakim Sorimuda Pohan (77 tahun), saat itu ketua senat FKUI yang ikut merancang aksi demonstrasi, berkeliling dengan sepeda motor BMW untuk memantau situasi. “Waktu itu saya dibonceng Liem Bian Koen, rekan saya di KAMI,” ujar Hakim.
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) merupakan organ mahasiswa anti-Sukarno. Sedangkan Liem Bian Koen adalah nama Tionghoa dari Sofjan Wanandi, yang kini jadi pengusaha.
Hakim mendengar beberapa kali suara tembakan. Suasana jadi kacau. Karena panik, massa yang mengalir dari arah Gambir dan Jalan M.H. Thamrin berbalik arah kembali. Beberapa mahasiswi menangis. Terdengar juga teriakan: ada mahasiswa yang tertembak.
Hakim dan Liem Bian Koen bertahan di depan markas Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat). Mereka mencari informasi. Namun, informasi yang didapat simpang siur. Akhirnya, mereka memutuskan kembali ke kampus di Salemba.
Dalam situasi kacau memang tak ada yang bisa dilakukan para demonstran kecuali mundur. Namun, Ismail Tukimin malah bergerak maju guna memastikan apakah ada mahasiswa yang terluka.
“Karena saya pernah menjadi anggota Menwa (Resimen Mahasiswa), saya cukup terlatih untuk merayap secara cepat,” ujar Ismail.
Saat merayap itulah Ismail menemukan sosok lelaki, yang mengenakan celana panjang putih dan jaket kuning, terkapar berlumuran darah dengan kedua tangan terangkat laiknya orang menyerah. Dalam posisi tiarap, Ismail memeriksa nadinya. Masih ada denyut. Dia memeriksa semua kantong di tubuh lelaki malang itu dan menemukan dompet berisi selembar kartu mahasiswa bertuliskan: Arief Rachman Hakim, mahasiswa FKUI.
“Saya terhenyak. Orang itu ternyata kawan saya satu fakultas di UI dan samar-samar saya seperti mengenal wajahnya,” kata Ismail.
PADANG, 1952. Kesibukan mewarnai SDN II Kota Padang. Demi membantu pendirian tugu jadi Kota Padang, pihak sekolah menugaskan siswa-siswanya untuk mengambil batu di sungai.
Siang itu, Attaurachman atau biasa dipanggil Aman, yang masih duduk di kelas 4, ikut sibuk. Namun, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Saat menuju sungai, truk yang ditumpangi rombongan terguling. Semua penumpang terluka. Aman yang lukanya paling parah langsung dilarikan ke Rumah Sakit Megawati (sekarang Rumah Sakit Daerah M. Jamil Padang).
Perasaan Haji Syair serasa disambar geledek ketika mendengar kabar itu. Dia panik membayangkan kemungkinan terburuk menimpa anak keenamnya. Apalagi Aman, yang lahir di Padang pada 24 Februari 1942, masih kecil.
Haji Syair bersama istri, Hakimah, dan anak-anaknya bergegas pergi ke rumah sakit. Di sana mereka menemui dr. Atos, yang menangani Aman.
Dr. Atos mengatakan tulang kepala Aman retak dan Aman mengalami gegar otak yang parah. Dokter tak menjamin jiwa Aman terselamatkan. Bilamana selamat pun, ada kemungkinan syaraf di otaknya terganggu, kata dr. Atos.
Mendengar keterangan dokter, Haji Syair dan istrinya lemas. Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berdoa.
“Ayah bilang kepada kami, ndak apa Aman meninggal jika itu memang takdirnya; kami harus ikhlaskan. Tapi jikalau Aman selamat semoga dia menjadi anak yang semakin pintar dan cerdas,” ujar Nursima, anak kedua Haji Syair dan Hakimah.
Detik demi detik, jam demi jam, keluarga Aman menunggu dengan sabar. Lepas jam 12 malam, dr. Atos keluar dari ruang perawatan dan memberikan kabar: Aman sudah keluar dari situasi kritis dan dinyatakan selamat, kendati harus tetap mendapatkan perawatan sampai waktu yang tak bisa diperkirakan.
Berita itu disambut dengan rasa syukur. Sejak itu, nyaris tiap malam mereka melakukan salat tahajud demi kesembuhan total Aman. Setelah tiga bulan dirawat, Aman dinyatakan sembuh.
Aman kembali menjalani keseharian laiknya anak kecil lainnya. Dia juga tetap menjadi anak yang rajin dan patuh kepada orang tua. Setiap hari dia membantu sang ibu membuat penganan untuk dijual. Begitu bangun saat menjelang azan subuh, dia ikut mengolah kue dan mengantarkannya ke warung-warung sebelum berangkat ke sekolah.
“Sebagai keluarga yang kondisi ekonominya pas-pasan, kami harus menambah penghasilan dari berjualan penganan,” kenang Nursima.
Namun, ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada diri Aman. Dia jadi makin cerdas. Prestasinya di sekolah melesat. Bahkan, dia selalu meraih rangking pertama di kelasnya.
“Tak pernah dia keluar dari posisi rangking pertama,” ujar Nurbaety (72 tahun), salah satu adik Aman.
Aman tetap berprestasi ketika melanjutkan sekolah di SMP 3 Kota Padang dan SMA Bunda Kandung Kota Padang.
Menjelang naik ke kelas 3 SMA, Aman merantau ke Jakarta dan ikut Aswir, kakaknya yang nomor tiga. Lelaki kelahiran tahun 1938 itu tinggal di Gang Arimbi, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat dan bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan asuransi. Aman sendiri kemudian melanjutkan sekolah di SMA Negeri 7 Jakarta.
“Padahal hidup di Jakarta bukannya tambah senang malah tambah susah. Tidur saja di selembar tikar usang,” ujar Nursima.
Tahun 1962, Aman diterima kuliah di FKUI. Dia ingin menunaikan mimpinya menjadi seorang dokter, terinspirasi dari sosok dr. Atos yang menyelamatkan jiwanya.
Menjelang perploncoan di UI, Aman menulis surat untuk ibunya di Padang. Isinya: meminta izin untuk ganti nama. Surat balasan datang beberapa hari kemudian. Permintaannya untuk ganti nama direstui sang ibu. Maka, sejak itu Aman terdaftar sebagai mahasiswa FKUI dengan nama Arief Rachman Hakim. Arief berarti bijaksana, Rachman nama aslinya, dan Hakim diambil dari nama ibunya.
DI kalangan kawan-kawannya, Arief Rachman Hakim dikenal pendiam. Di kampus, dia juga bukan sosok yang menonjol. Biasa-biasa saja.
“Dia teman satu angkatan dengan saya, tapi tidak kenal baik. Karena sebagai mahasiswa yang berasal dari Jawa Barat, saya agak jarang berinteraksi dengan mahasiswa dari daerah lain,” ujar Sjarif.
Sebagai kakak, Nursima tahu betul watak Arief. Sejak bocah, Arief tak pernah bertingkah dan selalu menghindari konflik dengan kawan-kawannya. Arief juga irit bicara. Tempaan hidup yang susah telah membentuk pribadi yang sederhana dan dewasa.
Kesederhanaan tercermin dalam kehidupan sehari-harinya sebagai mahasiswa. Menurut Nursima, Arief tak pernah makan enak. Untuk pakaian, dia mengandalkan pemberian dari saudara-saudaranya. Bahkan tak jarang baju yang dipakainya penuh tambalan.
“Tidurnya hanya beralaskan tikar dan berselimutkan sarung. Padahal nyamuk di tempat dia tinggal sangatlah banyak,” ujar Nursima.
Nursima juga ingat Arief hanya punya satu buku tulis untuk kuliah. “Arief kalau berangkat ke Salemba jalan kaki dari Tanah Tinggi.”
Selesai kuliah, Arief selalu menyempatkan diri belajar dan membaca buku di perpustakaan kampus hingga sore dan pulang setelah magrib.
Di tengah ingar bingar politik pada zaman itu, apakah Arief tak tergoda untuk aktif di organisasi kampus?
Hakim mengatakan bisa jadi Arief adalah anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun Yozar Anwar, salah satu ketua Presidium KAMI, dalam catatan hariannya menyebut Arief adalah anggota Gerakan Pemuda Marhaen (GPM). Sedangkan Firman Lubis, mahasiswa FKUI angkatan 1962, menyebut dalam buku kenangannya semasa jadi mahasiswa, bahwa Arief adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Namun, pihak keluarga meragukannya. Nursima mengatakan Arief awam politik. Aktivitasnya paling banter sebagai anggota Khudamul Ahmadiyah, sejenis sayap kepemudaan Jemaat Ahmadiyah.
“Sejak di Padang, kami sekeluarga memang sudah menjadi anggota Jemaat (Ahmadiyah). Bahkan ibu kami termasuk anggota yang sangat aktif,” ujar Nursima.
Nursima yakin keikutsertaan Arief dalam aksi demonstrasi mahasiswa yang kerap digelar hanya sebatas solidaritas.
JAKARTA baru saja memasuki pagi. Udara lembap, karena semalam turun hujan, masih terasa di Tanah Tinggi. Arief baru saja selesai berpakaian. Seperti biasa, sebelum keluar rumah, dia meneguk segelas air putih lalu berpamitan kepada Aswir, kakaknya yang saat itu sedang tidak masuk kerja.
“Kamu jangan ikut demonstrasi, ya,” ujar Aswir.
“Ya, Uda. Aku mungkin hanya ikut membagi-bagikan air minum saja buat kawan-kawan yang sedang berdemonstrasi.”
“Janganlah, Man,” Aswir masih memanggil nama kecilnya. “Kita ini orang susah, jangan sampai kena masalah.”
Arief tersenyum sambil menganggukan kepala. “Aku pergi ya, Da…”
“Hatilah-hatilah, Man!”
Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S, aksi demonstrasi mahasiswa marak di Jakarta. Para mahasiswa yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi menuntut Presiden Sukarno membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, yang dituding berada di balik G30S. Mereka juga menuntut turunkan harga dan perombakan menteri. Ketiga tuntutan itu dikenal dengan istilah Tritura.
Pemerintah mengabaikan tuntutan mahasiswa. Sekalipun melakukan perombakan kabinet, dikenal dengan Kabinet Dwikora, Sukarno masih mendudukkan beberapa orang PKI. Mahasiswa kembali protes dan menggelar demonstrasi.
Hari itu, 24 Februari 1966, mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Mereka juga bergerak ke Istana Negara. Suara AK-47, senjata otomatis buatan Uni Soviet, menyalak.
Sayup-sayup Aswir mendengar rentetan tembakan. Dia sudah menduga demonstrasi mahasiswa akan berakhir rusuh. Mungkin ada mahasiswa yang jadi korban. Ah, betapa kasihan mahasiswa yang kena tembak itu, pikirnya. Dalam hati dia berdoa semoga semuanya baik-baik saja.
DI dekat Istana Negara, Ismail masih terpaku di hadapan tubuh Arief. Dia berpikir keras untuk menyelamatkannya. Namun, dia sadar tak dapat membopongnya sendirian. Sementara itu, orang-orang berlarian ke arah Gambir. Alih-alih peduli, mereka malah sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Muncul ide gila dalam benak Ismail. Tanpa banyak pikir dia meraih kaki seorang demonstran yang tengah lari. Gedebuk! Sebelum orang itu marah, Ismail langsung berteriak: “Tolong selamatkan kawan kita yang tertembak ini! Ayo!” Orang itu mafhum. Mereka membopong tubuh Arief menyeberangi Jalan Merdeka Utara, dan bergerak ke arah Gedung Pemuda (sekarang Gedung Mahkamah Agung).
Begitu mendekati Gedung Pemuda, mereka disambut beberapa petugas kesehatan tentara dan sipil. Tubuh Arief diletakkan di halaman gedung. Seorang petugas kesehatan tentara memeriksa kondisi Arief.
Hening sejenak. Suasana jadi tegang. Tetiba sang petugas menggelengkan kepala. Arief sudah tak bernyawa lagi.
“Kalau begitu saya harus membawa jasad kawan saya ini ke FKUI,” ujar Ismail.
“Tidak bisa! Jasad ini harus diregistrasi dulu di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sebelum dibawa ke UI,” ujar sang petugas.
“Baik. Kalau begitu saya ikut ke RSPAD,” kata Ismail.
Jasad Arief diangkut jip ambulans tentara. Ismail menyertai sopir menuju RSPAD. Suara sirene berdengung keras memecah kelengangan kawasan Gambir. Beberapa mahasiswa yang masih bergerombol terpaku di pinggir jalan. Dari jendela mobil, Ismail membuat tanda silang dengan kedua tangannya. Memberitahukan teman mereka sudah tiada.
Dari RSPAD, Ismail bergegas menuju kampus UI di Salemba dan langsung mendatangi kantor senat FKUI. Tangannya menggenggam sebuah dompet, jam tangan, dan jaket kuning berlumuran darah. “Intuisi saya mengatakan untuk menyerahkan semua milik Arief ke FKUI,” ujar Ismail.
Di kantor senat, Ismail bertemu dengan Hakim. Dengan wajah masih diselimuti ketegangan, dia menceritakan pengalamannya.
“Lalu di mana Arief sekarang?” tanya Hakim.
“Dia sudah meninggal. Jasadnya ada di RSPAD. Ini barang-barang dia yang sempat gue ambil, lu selamatkan ya.”
GANG Arimbi, Tanah Tinggi. Menjelang malam, suara ketukan terdengar. Aswir melangkah dan membuka pintu. Seorang tentara berdiri di depan pintu.
“Saudara Aswir?”
“Betul, Pak!”
“Saudara harap ikut dengan saya ke RSPAD. Adik anda, Arief Rachman Hakim, terkena tembakan di tangannya.”
Aswir lunglai. Namun, dia paksakan untuk kuat.
Setelah berpakaian, dia mengikuti tentara tersebut masuk mobil menuju RSPAD. Sesampai di sana, Aswir melihat banyak mahasiswa sudah menunggu. Perasaannya tak menentu.
Aswir lalu diajak menuju kamar mayat. Dia sesenggukan. Tak kuat menahan perasaan yang sedari tadi ditahan. Ya, Arief, adiknya, telah pergi.
SUASANA di Jalan Salemba No. 6 Jakarta hiruk pikuk. Rombongan mahasiswa yang baru berdemonstrasi duduk-duduk dalam kumpulan kecil.
Ismid Hadad (79 tahun), saat itu anggota Presidium KAMI Pusat yang juga wakil pemimpin redaksi Harian KAMI, baru saja mau keluar dari sekretariat KAMI Pusat saat tiga mahasiswa mendatanginya. Mereka melaporkan bahwa seorang mahasiswa FKUI bernama Arief Rachman Hakim gugur tertembak peluru Resimen Tjakrabirawa. Mayatnya ada di RSPAD.
“Selembar kartu tanda penduduk, kartu mahasiswa yang berlumur darah, serta sebuah arloji lantas mereka serahkan ke tangan saya,” ujar Ismid. Usai menyerahkan benda-benda itu, tiga mahasiswa itu pergi.
Dalam perasaan tak menentu, Ismid bergegas ke lantai dua untuk menemui Sjahriar Rasad. Namun, dekan FKUI itu tak ada di tempat. Saat kebingungan itulah, Ismid bertemu seorang dokter muda yang dia kenal. Dengan mobil pinjaman, mereka melaju menuju RSPAD.
“Sementara dokter muda itu menyetir mobil, saya lebih banyak diam. Terus terang saat itu saya merasa bingung karena baru sekarang mengurusi soal kematian seseorang,” kenang Ismid.
Sesampai di lokasi, mereka melihat pasukan Tjakrabirawa sedang berjaga di depan RSPAD. Tak mau menemui masalah, mereka menyusup ke kamar mayat dan menemukan jasad Arief tergeletak di sebuah brancard, tertutupterpal berwarna hijau kehitam-hitaman.
“Waktu kami buka, kondisi jenazah Arief masih dalam kondisi belum terurus. Keningnya tampak benjol dengan darah kering sekitar wajahnya. Begitu juga di dada sebelah kiri yang berlubang, darah tampak mengerak,” ujar Ismid.
Ismid memutuskan untuk memindahkan jenazah Arief. Dalam pikirannya, Rumah Sakit Umum Pusat atau RSUP (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) adalah tempat yang tepat. Namun, dokter-dokter RSPAD mengatakan tak ada mobil ambulans yang menganggur.
Mereka lantas meluncur ke RSUP. Di tengah jalan mereka harus berpisah karena mobil tak bisa melewati Jalan Kramat-Jalan Salemba Raya yang diblokir mahasiswa. Lewat Gang Kenari, Ismid berjalan kaki menuju RSUP. Di sana lagi-lagi tak ada ambulans. Dengan becak, Ismid bergerak menuju Rumah Sakit St. Carolus. Nihil.
Setengah putus asa, Ismid menyuruh abang becak menuju Jalan Kramat VII. Tujuannya, rumah Eri Soedewo, seorang dokter militer senior yang dia kenal. Eri tak ada di rumah, tetapi istrinya meminjamkan GAZ, jip buatan Uni Soviet. Ismid melarikan mobil ke arah RSPAD.
“Meskipun banyak penjagaan di berbagai sudut, saya lolos karena mungkin saya dikira perwira militer,” ujar Ismid.
Ketika Ismid datang, kamar mayat dipenuhi mahasiswa FKUI bersama dekan Sjahriar Rasad dan saudara-saudara Arief Rachman Hakim: Nurmainar, Aswir dan istrinya, serta Zuraida. Suasana kesedihan menyelimuti. Nurmainar dan Zuraida tak henti mencucurkan air mata. Yang membuat Ismid iba, jasad Arief masih sama seperti waktu dia tinggalkan.
“Saya lantas meminta tolong kepada kawan-kawan FKUI untuk membersihkan jasad Arief. Sementara Om Sjahriar berjanji akan mengurusi seluruh proses pemakaman Arief,” ujar Ismid.
Jasad Arief akhirnya dibawa pulang ke Gang Arimbi, Tanah Tinggi. Karena tak ada satu pun ambulans, jenazah diangkut dengan GAZ.
Menjelang malam dan diiringi hujan rintik-rintik, jip meluncur dengan membawa lima penumpang: Ismid sebagai sopir, Aswir, Zuraida, Nurmainar, seorang mahasiswa FKUI, dan jenazah Arief.
“Karena ruang belakang GAZ tidak begitu panjang, kaki almarhum terjulur ke luar mobil hingga air hujan membasahinya,” kenang Ismid.
Di tengah jalan, rombongan bertemu beberapa anggota Resimen Mahasiswa Djakarta Raya (Resimen Mahadjaya) yang tengah mencari jenazah Arief (isu bertiup kencang bahwa sekelompok tentara sedang bergerak untuk “menculik” jenazah Arief guna menghilangkan bukti).
“Saya lega dan merasa aman karena seterusnya kami dikawal oleh kawan-kawan Resimen Mahadjaya yang juga menumpang sebuah mobil,” ujar Ismid.
Jalan menuju Tanah Tinggi jelek dan berlubang. Karena kehabisan bensin, GAZ mogok di tengah jalan. Terpaksa mobil didorong beramai-ramai hingga mencapai rumah Aswir. “Masyarakat pun saat itu sudah banyak yang berkumpul dan membantu,” kenang Ismid.
Tiba di rumah duka, masalah baru muncul. Tak ada uang untuk membeli kain kafan dan kapur barus. Ismid lantas menghabiskan seluruh isi dompetnya untuk membeli perlengkapan. Untuk melapisi kain kafan, seorang ibu menyumbangkan sehelai kain batik.
“Saya betul-betul tak mungkin melupakan peristiwa itu,” ujar Ismid.
SEJUMLAH aktivis mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi tahun 1966 meyakini bahwa peluru yang mengenai dada Arief Rachman Hakim berasal dari arah Istana Negara. Dengan kata lain, mereka menuduh pelaku penembakan adalah prajurit Resimen Tjakrabirawa, kesatuan pengawal Presiden Sukarno.
Namun, lain pendapat mahasiswa lain pula pendapat prajurit Tjakrabirawa. Ketika saya mengonfirmasi kepada beberapa eks prajurit Tjakrabirawa yang kala itu bertugas di Istana Negara, ceritanya tentu saja berlainan.
Kolonel (Purn.) H.W. Sriyono (89 tahun) masih ingat bagaimana situasi saat itu sangat kacau. Ketika massa berkerumun di sekitar Merdeka Utara, dia memang mendengar rentetan tembakan. Namun, Sriyono yakin tembakan itu bukan berasal dari kesatuannya.
“Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam,” ujar Sriyono.
Sriyono anggota Resimen Tjakrabirawa dari Detasemen Pengamanan Chusus (DPC). Dia berasal dari unsur Corps Polisi Militer (CPM).
Kedisiplinan Tjakrabirawa terbukti saat menghadapi aksi nekat sekelompok mahasiswa yang masuk ke halaman Istana Negara. Mereka yang tadinya akan menurunkan bendera Merah Putih untuk digantikan jaket kuning berlumuran darah, hanya diperintahkan untuk pergi.
“Tapi karena awalnya mereka ngotot, ya terpaksa kami menembakan senjata ke atas sebagai peringatan, baru mereka bubar,” kenang Sriyono.
Keterangan Sriyono diperkuat Kolonel CPM (Purn.) Maulwi Saelan, mantan wakil komandan Resimen Tjakrabirawa. Dalam otobiografinya Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Maulwi menyebut kematian Arief Rachman Hakim sengaja diarahkan kepada kesatuannya sebagai penyebab.
Maulwi ingat, beberapa jam setelah kejadian itu, ratusan mahasiswa dengan memakai truk-truk tentara mengelilingi jalan-jalan sekitar Istana Negara sambil mengibarkan jaket kuning berlumuran darah dan berteriak: “Tjakra pembunuh! Tjakra pembunuh!”
Isu pun bertiup kencang: Arief Rachman Hakim tewas ditembak seorang prajurit Tjakrabirawa di depan Gedung Pemuda, tepat di seberang markas Resimen Tjakrabirawa bagian Detasemen Kawal Pribadi (DKP).
Mendengar teriakan itu, Kapten KKO AL Edi Hidrosin, komandan kompi di Detasemen Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa yang pasukannya tengah bertugas, langsung mengumpulkan anak buahnya. Dia memeriksa satu per satu senjata para prajuritnya.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam.<br>– Kolonel (Purn.) H.W. Sriyono</div>
“Ternyata Hidrosin menemukan kenyataan tidak terdapat satu pun peluru yang keluar dan laras senjata semuanya bersih,” ujar Maulwi.
Lantas siapa yang menembak Arief?
Maulwi punya versi sendiri berdasarkan cerita yang diperoleh setahun setelah kejadian. Saat itu, Maulwi sudah dipindahkan dari Resimen Tjakrabirawa ke Markas Besar Polisi Militer. Di sanalah, dia mendengar cerita dari beberapa anggota Polisi Militer Daerah Militer V Jakarta Raya (POMDAM V JAYA) bahwa yang menembak Arief adalah seorang prajurit dari POMDAM V JAYA yang saat itu sedang ditugaskan di kesatuan garnizun ibu kota Jakarta.
“Saya sendiri sudah meminta kepada Brigjen TNI dr. Rubiono, perwira sandi yang selalu bersama saya, agar segera mengusahakan visum et repertum Arief Rachman Hakim untuk dilaporkan kepada Presiden Sukarno,” ujar Maulwi.
Namun, hingga Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, tak ada visum et repertum. Jadilah pendapat bahwa pembunuh Arief Rachman Hakim adalah anggota Resimen Tjakrabirawa terus diyakini sebagian besar khalayak hingga kini.
NURSIMA tak kuasa menahan air mata ketika mendengar kabar kematian Arief Rachman Hakim. Satu lagi anggota keluarga pergi setelah sang ayah, Haji Syair, wafat tiga bulan sebelumnya. Sementara ibunya, Hakimah, hanya terdiam dalam kesedihan.
Atas rekomendasi pemerintah daerah setempat, semua anggota keluarga Haji Syair bertolak ke Jakarta pada hari itu juga. Mereka berangkat menggunakan kapal Koan Maru. Perjalanan laut yang memakan waktu berhari-hari menyebabkan mereka tak bisa menghadiri pemakaman Arief.
Sementara di Tanah Tinggi, suasana masih berkabung. Dari rumah duka, jenazah Arief dibawa dan disemayamkan di Aula UI. Jenazahnya disalatkan usai salat Jumat dengan Ustaz Ahmad Nuruddin dari Jemaat Ahmadiyah bertindak sebagai imam. Setelah itu jenazah dibawa ke peristirahatan terakhir di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blok P Kebayoran, Jakarta Selatan (dipindahkan ke TPU Tanah Kusir karena terkena proyek pembangunan Kantor Walikota Jakarta Selatan pada 1970-an).
Puluhan ribu orang mengantar kepergian Arief. Jaket kuning berlumuran darah kering berada di barisan paling depan, diapit panji-panji dari berbagai kampus. Pita hitam terikat di lengan para mahasiswa sebagai tanda berkabung.
“Bayangkan saja, kepalanya sudah di Blok P, ekornya masih belum berakhir di Salemba,” kenang Hakim.
Hakimah, Nursima, dan beberapa keponakan Arief baru sampai di Jakarta pada awal Maret 1966. Mereka lalu diantar para mahasiswa untuk berziarah ke makam Arief. Di depan makam Arief, tangis Hakimah pun pecah.
“Sejak itulah Mama menjadi orang yang begitu pendiam. Kehilangan Arief yang sangat dikasihinya begitu membekas hingga beliau meninggal pada 1983,” ujar Nurbaety.
Arief Rachman Hakim kemudian dianggap sebagai martir yang menentukan perjalanan bangsa ini. Sukarno jatuh. Soeharto berkuasa. Arief ditetapkan sebagai Pahlawan Ampera.
Siapa nyana mahasiswa pendiam yang dalam kesehariannya tidur beralaskan tikar usang itu bisa menjadi seorang pahlawan. Tak ada seorang pun bisa mengira.
“Ketika pergi, baru sekitar tiga bulan dia menikmati kasur baru yang saya belikan buat dia. Jika ingat itu rasanya saya sedih sekali,” ujar Nursima dengan mata berkaca-kaca.*