Kontroversi Aborsi

Menggugurkan kandungan jadi praktik lumrah dalam masyarakat kuno. Tapi soal etis-filosofis dan caranya kerap jadi perdebatan. Pangkalnya pada kapan janin mempunyai jiwa.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Kontroversi AborsiKontroversi Aborsi
cover caption
Sketsa pembelajaran tentang fetus di dalam rahim karya Leonardo Da Vinci. (Wikimedia Commons).

MENGANDUNG anak jadi pengalaman yang menyenangkan bagi Didi Nurida. Manajer pusat kecantikan di Surabaya ini sangat bersemangat kala berbicara soal itu. Didi hamil beberapa kali. Tapi hanya sekali yang berbuah anak. “Saya melahirkan anak pada 1985,” ujarnya. “Usai kelahiran itu, saya ke dukun beranak. Minta walik dadah. Jadi perut saya dipijat. Tujuannya mencegah kehamilan.”

Dukun itu memijat perut Didi dari atas dada sampai wilayah kewanitaannya. Pijatan itu membuat sel telur terhalang. Jika terjadi persenggamaan, sperma sulit masuk untuk membuahi. Hasilnya ampuh: dia tak pernah hamil. Tapi lama-lama dia kangen juga dengan kehamilan. Didi pun mengakhiri kontrasepsi itu pada 1997 dengan kembali ke dukun tersebut. Dia hamil tahun itu juga. 

Hatinya girang meski krisis moneter menerjang. Namun, baru enam minggu, perutnya tiba-tiba sakit. Dia mengalami pendarahan. Diagnosis dokter menunjukkan ada mioma (tumor jinak) di dinding rahim. Dokter memberi pilihan sulit: aborsi atau keselamatannya terancam. Didi memilih mempertahankan janinnya, apapun risikonya. Janin itu gugur dengan sendirinya, sedangkan Didi selamat.

MENGANDUNG anak jadi pengalaman yang menyenangkan bagi Didi Nurida. Manajer pusat kecantikan di Surabaya ini sangat bersemangat kala berbicara soal itu. Didi hamil beberapa kali. Tapi hanya sekali yang berbuah anak. “Saya melahirkan anak pada 1985,” ujarnya. “Usai kelahiran itu, saya ke dukun beranak. Minta walik dadah. Jadi perut saya dipijat. Tujuannya mencegah kehamilan.”

Dukun itu memijat perut Didi dari atas dada sampai wilayah kewanitaannya. Pijatan itu membuat sel telur terhalang. Jika terjadi persenggamaan, sperma sulit masuk untuk membuahi. Hasilnya ampuh: dia tak pernah hamil. Tapi lama-lama dia kangen juga dengan kehamilan. Didi pun mengakhiri kontrasepsi itu pada 1997 dengan kembali ke dukun tersebut. Dia hamil tahun itu juga. 

Hatinya girang meski krisis moneter menerjang. Namun, baru enam minggu, perutnya tiba-tiba sakit. Dia mengalami pendarahan. Diagnosis dokter menunjukkan ada mioma (tumor jinak) di dinding rahim. Dokter memberi pilihan sulit: aborsi atau keselamatannya terancam. Didi memilih mempertahankan janinnya, apapun risikonya. Janin itu gugur dengan sendirinya, sedangkan Didi selamat. 

“Saya sedih waktu itu. Saya coba lagi agar hamil. Meski keguguran lagi, saya selalu senang saat hamil. Dan berharap punya anak lagi,” ujarnya. Dia tak mengerti ketika kawan baiknya melakukan aborsi hanya karena tak ingin punya anak. Lebih-lebih saat dia tahu tetangganya di Surabaya bekerja untuk dokter (almarhum) Edward, yang membuka praktik aborsi ilegal sepanjang 1980–2010 dan dihukum penjara tiga tahun. 

“Bagi sebagian orang, aborsi sah-sah saja. Buat saya itu mengerikan,” kata Didi. 

Aborsi bukan saja membunuh janin, tapi juga membahayakan nyawa pasien. Terutama yang dilakukan secara serampangan. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), dikutip Guttmacher Institute dalam lamannya, pada 2008 angka kematian karena aborsi serampangan mencapai 43.000 perempuan. WHO merilis data itu tiap lima tahun sekali. 

Angka itu turun dibandingkan kurun sebelumnya yang mencapai 56.000 perempuan. Musababnya perkembangan teknologi kedokteran dan kebijakan sejumlah negara melegalisasi aborsi. Sejumlah pihak menilai praktik aborsi medis secara legal jauh lebih aman. Tapi bukan berarti kontroversi soal aborsi –mulai soal teknik sampai etis-filosofis– berakhir. Ditilik dari sejarah, kontroversi ini bertapak sejak berkurun-kurun lampau.

Sebuah lukisan kayu Jepang sekitar abad 19 yang mengatur larangan aborsi. (Public domain).

Ramuan Aborsi

Berbagai manuskrip memuat keterangan mengenai laku aborsi. Yang tertua berasal dari Tiongkok. “Sebuah manuskrip kedokteran berusia 5000 tahun menunjukkan penggunaan bubuk merkuri (shu yin) sebagai perantara aborsi (abortifacient),” tulis Alan F. Guttmacher dalam Pregnancy, Birth, and Family Planning. Tapi tak ada catatan terang bagaimana para tabib memperoleh dan menggunakan bubuk itu untuk melakukan aborsi. 

Manuskrip medis (Meteria Medica) Shen Nong, kaisar-cum-tabib tersohor Tiongkok, memuat keterangan lebih jelas mengenai laku aborsi. Dia menyebut Trichosanthes Kirilowii sebagai perantara aborsi. “Tanaman ini asli dari Tiongkok Selatan dan sudah tercatat pada Katalog Medis (Meteria Medica) karya Shen Nong pada 500 SM,” tulis Andy Miles dalam “Tian Hua Fen, An Integrative View”. 

Menurut Shen Nong, dikutip Miles, tanaman ini “bisa merangsang menstruasi, ekspulsi (pelepasan) plasenta, dan memudahkan praktik aborsi prematur yang disengaja.” Untuk laku aborsi, orang mesti meramu tanaman itu lebih dulu, kemudian menyeduh, dan meminumnya. 

Laku aborsi di belahan dunia lain, Yunani Kuno misalnya, juga menggunakan cara serupa. Hanya jenis tanamannya berbeda. Sejumlah ahli medis Yunani mengklasifikasikan tanaman perantara aborsi. Antara lain pennyroyal, artemisia, rue, silphium, dan mentimun sembur. Tanaman itu hanya tumbuh di wilayah Yunani. 

Hippocrates (460–370 SM), ahli medis terkemuka Yunani, dalam On the Nature of the Woman menyatakan tanaman itu ampuh sebagai perantara aborsi. Cara menggunakannya dengan diminum atau dimasukkan ke organ genitalia perempuan (pesari). Tapi Hippocrates tak menyetujui metode aborsi itu karena berbahaya. Kandungan racunnya tak hanya bisa membunuh janin, tapi juga ibu si janin. 

Terikat sumpahnya, Hippocrates tak mau melakukannya. “Aku tidak akan memberikan obat-obat yang mematikan, meskipun diminta, dan aku juga tidak akan memberikan nasihat seperti itu. Dengan cara yang sama, aku tidak akan memberikan obat-obatan kepada seorang perempuan yang bisa mengakibatkan aborsi.”

Maka dia menyarankan cara lain. “Dia pernah menangani seorang perempuan, kerabatnya sendiri. Perempuan itu khawatir hamil setelah bersanggama. Hippocrates menyarankan perempuan itu agar meloncat-loncat sembari melipat kakinya ke bokong. Pada loncatan ketujuh, janin itu jatuh ke tanah,” tulis Sue Blundell dalam Woman in Ancient Greece.

Kemanjuran metode-metode itu bergantung dari usia kandungan. Jika kandungan masih di bawah empat bulan, peluang keberhasilan pengguguran kandungan lebih besar. Menurut John Riddle dalam Eve’s Herb, ada kalanya metode ramuan justru bikin bayi cacat. Ini terjadi karena banyak sebab, antara lain usia kandungan lebih dari lima bulan dan kesalahan menakar komposisi ramuan.

Poster di Rusia tahun 1925 tentang peringatan kepada bidan akan bahaya aborsi. (Wikimedia Commons).

Di Dalam Rahim

Praktik aborsi berlangsung luas di Yunani. Orang Yunani tak memandang aborsi sebagai suatu pembunuhan atau perbuatan keji, apapun metode aborsinya. “Tidak ada hukum yang mengatur mengenai aborsi dan negara hanya turun tangan apabila hal itu berkaitan dengan perlindungan atas hak tuan (pemilik) perempuan, dalam kondisi dia merdeka atau menjadi budak,” tulis Nikolaos A. Vrissimtzis dalam Erotisme Yunani.

Sejumlah filsuf cenderung toleran terhadap laku aborsi. Plato (427–347 SM) berpendapat janin belum bisa dianggap sebagai manusia. Maka pengguguran janin tak bisa dianggap sebagai perbuatan kriminal. 

Dia juga menyarankan perempuan yang hamil karena hubungan inses agar menggugurkan kandungannya. Negara hanya menerima bayi yang sah menurut hukum. “Anak hasil incest adalah tidak baik bagi negara, maka harus digugurkan,” tulis C.B. Kusmaryanto dalam Kontroversi Aborsi, mengutip Plato.

Ada selingkar penentang laku aborsi di Yunani. Jumlah mereka sedikit. Mereka pengikut filsuf Phytagoras (582–496 SM). “Menurut mereka, nyawa atau jiwa manusia masuk ke tubuh sejak pembuahan. Kapanpun aborsi dilakukan, itu berarti penghilangan nyawa makhluk hidup,” tulis Kourkouta Lambrini dalam “Views of Ancient People on Abortion”, termuat di Health Science Journal, Vol. 7, tahun 2013. Tapi filsuf lain, Aristoteles (384–322 SM), menolak pendapat itu. 

Dia punya asumsi kehidupan belum dimulai saat pembuahan terjadi. Dia menamakan hasil pembuahan sebagai zigot. Tahap ini disebut tahap vegetatif (tumbuh-tumbuhan). Kemudian zigot membelah diri dan berkembang ke tahap animalia (binatang). Zigot pun berubah jadi embrio. Setelah itu, masuk tahap terakhir: masuknya jiwa ke embrio. Namanya pun berubah jadi janin. Saat inilah janin mulai bergerak. “Semua itu selesai dalam waktu 40 hari untuk janin laki-laki dan 90 hari untuk janin perempuan,” tulis Zubin Mistry, mengutip Aristoteles, dalam Alienated From the Womb.

Bersandar asumsi itu, Aristoteles menyatakan “aborsi harus dilakukan sebelum janin bernyawa dan menendang (quickening).” Dia menggolongkan aborsi semacam itu sebagai pengendalian kelahiran. Ini sesuai dengan konsepnya tentang kota ideal. “Jika pembuahan berlangsung kala jumlah penduduk berlebih, aborsi bisa dilakukan,” tulis John Riddle dalam Contraception and Abortion from the Ancient World to the Renaissance

Asumsi Aristoteles tentang tahap perkembangan janin itu bertahan selama ratusan tahun; diikuti banyak ahli medis dan dijadikan sandaran etis-filosofis laku aborsi di banyak tempat. Selama itu pula orang melakukan aborsi dengan banyak cara. Sebagian caranya masih warisan dari masa Yunani Kuno. Tapi sejumlah ahli medis juga mengembangkan cara baru. 

Relief di Angkor Wat yang menggambarkan proses aborsi. (Malcolm Potts/Wikimedia Commons).

Theodorus Priscianus, ahli medis dari Konstantinopel yang hidup pada masa awal abad pertengahan (5 M), mencatat aborsi bisa dilakukan dengan mandi. “Mandi air hangat yang dicampur dengan spons tampak sebagai laku untuk melicinkan uterus sehingga membuat perempuan relaks. Alhasil, janin mudah dikeluarkan,” tulis M.J. Elsakkers dalam Reading Between the Lines. Laku itu agak mirip dengan proses memperlancar kelahiran. Tapi bila perempuan melakukan cara ini sebelum janin bisa hidup di luar rahim (kehamilan sebelum lima bulan), praktik itu bisa disebut aborsi.

Di Romawi, para ahli medis memperkenalkan cara aborsi yang cukup menyakitkan: bedah perut (embriotomi). Cara ini berasal dari teknik bedah Claudius Galen, seorang ahli medis Yunani. “Dengan alat tajam, para ahli medis membelah uterus pasiennya,” tulis Plinio Prioreschi dalam “Contraception and Abortion in the Greco-Roman World” termuat di Vesalius Vol. I No. 2 tahun 1995. Setelah dibelah, janin bisa dikeluarkan. Praktik ini kaprah dilakukan selama abad pertengahan (5–15 M). 

Embriotomi menandai campur tangan laki-laki dalam laku aborsi. Sebelumnya, perempuan berkuasa penuh atas laku aborsi. Laki-laki hanya berperan sebagai pemberi saran. “Aborsi adalah tentang perempuan; dilakukan oleh perempuan untuk perempuan. Dan para penulis abad pertengahan sangat sadar tentang ini,” tulis Elsakker. 

Di wilayah Asia, orang belum mengenal teknik bedah tubuh. Setidaknya sampai kedatangan bangsa Eropa secara masif di wilayah ini pada abad ke-14. Untuk menggugurkan kandungan, perempuan bisa meminta dukun beranak agar memijat perut mereka. 

Keterangan itu termaktub dalam relief di Angkor Wat, Kamboja. Candi ini dibangun pada abad ke-12. “Relief aborsi tampak dalam panel tentang gambaran neraka tingkat 32. Seorang perempuan telentang; telanjang dengan tangan terikat; dan hamil 20 minggu. Ada seorang laki-laki yang memijat perutnya menggunakan alu,” tulis Malcolm Potts dkk. dalam “Thousand-year-old Depictions of Massage Abortion”, termuat di The Journal of Family Planning and Reproductive Health Care

Selain di Kamboja, orang-orang di Kepulauan Melayu dan Filipina juga akrab dengan pijat untuk aborsi. Pun ketika bangsa Eropa mulai menjejaki wilayah ini. Mereka biasanya mengombinasikan pijat dengan ramuan dari tanaman. “Para ahli etnografi dari banyak bagian wilayah tersebut telah menemukan bahwa umbi-umbian dan seni pijat untuk menggugurkan sudah merupakan bagian dari kebiasaan kaum perempuannya,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.

Tentang praktik aborsi, penduduk setempat menganggapnya kejadian biasa. “Dalam epik Sejarah Melayu (tahun 1612) pengguguran kandungan diterangkan sebagai kejadian biasa,” tulis Anthony Reid. 

Gerakan pendukung aborsi saat keputusan Mahkamah Agung menurunkan keputusan Roevs Wade yang melegalkan aborsi di Amerika, 22 Januari 1973. (Keystone).

Aborsi Modern

Saat taji bangsa Eropa kian bercokol di wilayah Asia Tenggara pada abad ke-19, perubahan cara pandang terhadap embrio terjadi di Eropa. Asumsi Aristoteles tentang janin mulai diserang. Ferdinand Kember, seorang dokter, ragu bahwa tahap kehidupan janin dimulai pada hari ke-40 setelah pembuahan. 

Menurut Kember, quickening bukan awal titik penting perkembangan bayi. Melalui penelitian mutakhir terhadap janin, Kember berkesimpulan proses penting itu dimulai sejak pembuahan. “Penemuan ini menyiratkan bahwa jiwa sudah ada saat pembuahan,” tulis Jeffrey H. Reiman dalam Abortion and the Ways We Value Human Life. Maka laku aborsi bisa dinilai sebagai pembunuhan manusia. Kelompok penentang aborsi pun beroleh angin. Di sejumlah negara, mereka menuntut pemerintah melarang laku aborsi dengan hukum. 

Sejumlah negara lantas merumuskan aturan mengenai aborsi. Di Amerika Serikat, beberapa negara federal mulai melarangnya. Koran-koran tak lagi bebas mengiklankan praktik aborsi. Sebagian lagi mengizinkan dengan beberapa syarat, misalnya tetap membolehkan aborsi terapetis (demi keselamatan ibu). Yang penting dilakukan secara medis. 

Saat itu teknologi kedokteran berkembang pesat. Ini membantu laku aborsi menjadi lebih aman dan cepat, misalnya dengan meminum pil khusus pengguguran. Orang bisa memperolehnya dengan bebas di apotek. 

Tapi memasuki abad ke-20, gerakan pro-aborsi kembali menguat. Ini terkait dengan kemunculan gerakan feminisme di sejumlah negara Barat. Menurut mereka, aborsi bukan soal kapan kehidupan dimulai, melainkan soal hak perempuan menentukan pilihannya. 

Di Indonesia, undang-undang mengenai aborsi sudah ada sejak 1918. “Undang-undang ini membuat aborsi yang semata-mata bertujuan menggugurkan kandungan menjadi tindak kejahatan,” tulis Gayung Kasuma dalam “Perilaku Aborsi di Jawa Masa Kolonial”, termuat di Kota-Kota di Jawa. Pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang ini lantaran melihat praktik aborsi yang membahayakan nyawa perempuan, seperti cara pijat tradisional. 

Undang-undang ini bertahan hingga kemerdekaan. Pemerintah melarang segala jenis praktik aborsi. Meski begitu, dukun dan dokter membuka praktik itu secara tertutup. Begitu terbongkar, praktik itu bikin geger. Seperti kasus dokter C.L. Blume di Jakarta pada 1960-an. Dia didakwa membuka praktik aborsi selama tujuh tahun. Teknik aborsinya mengikuti teknik di negara Barat: menginjeksi pasien dengan pantopan yang mengandung morfin. “Tujuannya membuat kandungan mati lemas,” tulis Kompas, 16 Agustus 1969. Semua proses aborsi hanya memakan waktu 20 menit. 

Hingga kini perdebatan soal aborsi masih berlangsung di banyak negara. Sementara perkembangan teknik aborsi begitu pesat. Cara pandang perempuan terhadap kehamilannya pun tak pernah seragam. Ada yang menikmatinya, ada pula yang tak menginginkannya sama sekali.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6520ed7cdfc25b099a1768f8