Makam John Casper Leyden di Taman Prasasti, Jakarta Pusat. (Arief Ikhsanudin/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
DIBANDING makam lainnya yang berjajar rapi di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, makam John Casper Leyden terlihat biasa saja. Hanya bangunan berlapis batu granit, berbentuk persegi, dengan tinggi sekira lutut orang dewasa. Kalah megah dan anggun dibanding makam di sisi kirinya, tempat bersemayam Olivia Mariamne, istri pertama Sir Thomas Stamford Raffles, penguasa Jawa (1811–1816) dan pendiri Singapura.
Bait puisi terukir di nisannya; sebuah penghormatan dari Walter Scott, sastrawan terkemuka Skotlandia.
DIBANDING makam lainnya yang berjajar rapi di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, makam John Casper Leyden terlihat biasa saja. Hanya bangunan berlapis batu granit, berbentuk persegi, dengan tinggi sekira lutut orang dewasa. Kalah megah dan anggun dibanding makam di sisi kirinya, tempat bersemayam Olivia Mariamne, istri pertama Sir Thomas Stamford Raffles, penguasa Jawa (1811–1816) dan pendiri Singapura.
Bait puisi terukir di nisannya; sebuah penghormatan dari Walter Scott, sastrawan terkemuka Skotlandia.
Peristiwa dinyanyikannya yang tidak lagi bersuara
Kariernya yang cemerlang dan singkat berakhir sudah
Dan terbungkamlah alunan bernada
Pada lampu pengetahuan beraneka
yang mencintai cahaya lagu yang tertumpah
di pantai maut yang jauh
di sanalah jenazah Leyden berlabuh
Leyden tentu bukan orang sembarangan. Museum Taman Prasasti, yang dulu bernama Kerkhof Laan, adalah tempat pemakaman orang elite di zaman kolonial. “Tidak semua orang Eropa bisa dimakamkan di sana. Hanya pejabat dan orang penting. Itu seperti San Diego Hill,” kata Lilie Suratminto, dosen sastra Belanda Universitas Indonesia, kepada Historia, merujuk kawasan pemakaman yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat, dengan layanan dan beragam fasilitas mewah.
Leyden adalah ahli linguistik asal Skotlandia. Karena kemampuannya itulah ia tiba di Batavia dan membantu penaklukan Inggris atas Jawa lebih dari dua abad lalu. Keberadaan makam Olivia di sisinya menunjukkan kedekatan hubungan Leyden dengan Raffles dan istrinya.
Anak Petani
Leyden lahir pada 8 September 1775 di Denholm, sebuah desa di perbatasan Skotlandia. Ayahnya seorang penggembala. Namun sedari kecil ia sudah akrab dengan buku. Ia hafal kisah-kisah dalam Injil, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ia melahap buku sejarah hingga karya sastra.
Leyden kuliah di Universitas Edinburg untuk belajar kepastoran. Sebagai mahasiswa yang rajin, ia mempelajari semua hal, kecuali teologi yang tak menarik hatinya. Kendati Leyden kemudian mendapat lisensi untuk jadi pengkhotbah dari kepastoran St. Andrews, ia memilih menggeluti bidang kedokteran dan linguistik serta tertarik menjadi seorang naturalis. Perkenalannya dengan beberapa sastrawan dan filolog mendorongnya untuk mempelajari bahasa Timur.
Leyden juga menjalin pertemanan dengan Walter Scott, sastrawan terkemuka Skotlandia. Mereka kemudian berkolaborasi untuk membuat kumpulan syair Minstrelsy of the Scottish Border(Sajak dari Perbatasan Skotlandia), tahun 1802. “Puisi Leyden sangat buruk –isinya berantakan dan cabul– namun itu bisa diterima dengan baik pada peralihan abad kesembilan belas,” tulis Tim Hannigan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa.
Dalam percakapannya dengan John Leyden-lah, Raffles pertama kali memikirkan Jawa sebagai tanah harapan.
Kesempatan untuk menjelajahi daerah Timur datang. Pada awal 1803 ia mendapat pekerjaan sebagai dokter sekaligus kepala rumah sakit di Madras, India. Waktu luangnya digunakan untuk menekuni kegairahannya akan botani, etnografi, dan linguistik. Tapi karena sakit, Leyden memutuskan pergi ke Penang untuk memulihkan kondisi kesehatannya pada Oktober 1805. Di sanalah ia bertemu dengan Raffles, yang saat itu menjabat sekretaris asisten gubernur Penang, beserta istrinya.
Leyden beristirahat di rumah Raffles di Runnymade, kediaman pejabat Inggris dengan lingkungan yang sehat. Ia dirawat Olivia. Kekaguman pada Olivia memunculkan hasratnya sebagai penyair. Bait puisi berisi pujian pun disampaikan khusus untuk Olivia. Ketertarikan terhadap Olivia tak berhenti ketika ia kembali ke India.
Kepada Raffles, Leyden kerap bercerita tentang budaya Timur. “Ia (Raffles) mendengarkan Leyden, ia duduk bersimpuh dan mendengarkan kisah filsafat Timur dan tradisi sastra Asia yang sesulit dan serumit sastra Romawi,” tulis Hannigan. “Dalam percakapannya dengan John Leyden-lah, Raffles pertama kali memikirkan Jawa sebagai tanah harapan. Tempat di mana seluruh mimpi kejayaan pada akhirnya bisa terwujud.”
Leyden tak lama di Penang. Pada 1806, setelah kesehatannya membaik, ia kembali ke India. Namun, ia tetap menjalin hubungan pertemanan yang akrab dengan Raffles dan istrinya melalui surat.
Penaklukan Jawa
Karier Leyden melejit setelah berada di Kalkuta, India. Kemampuannya sebagai ahli linguistik diakui setelah mendapatkan gelar profesor linguistik Hindia dari Universitas Kalkuta pada 1806. Penguasaannya atas budaya Asia tidak sebatas Hindustan. Studi Melayu menjadikannya anggota terkemuka dari masyarakat Asiatik.
Kemampuan Leyden menarik perhatian Lord Minto, gubernur jenderal Hindia Timur Inggris, yang kemudian menjalin hubungan pertemanan dan patronase. Ia berturut-turut ditunjuk menduduki beberapa jabatan: hakim di Parganas (Pergunnahs), Kalkuta; komisioner yang melakukan penelitian di wilayah taklukan baru Inggris, Mysore; hingga komisioner di Count of Request (Pengadilan Rakyat).
Untuk jabatan terakhir, Leyden harus menguasai beberapa bahasa Timur. Dan tugas ini membuatnya selalu sibuk. “Tapi sekarang ia memiliki kesehatan yang baik, dan ia menghabiskan setiap waktu senggang tugasnya untuk studi melelahkan mengenai bahasa dan literatur Timur,” tulis James Morton dalam The Poetical Remains of The Late dr. John Leyden.
Berkat rekomendasi Leyden, Raffles mengunjungi Lord Minto. Setelah pertemuan itu, Raffles ditugaskan memimpin invasi ke Jawa.
Kendati Leyden berhenti pada 1810 dan oleh Lord Minto ditempatkan di Assay Master di Mint, Kalkuta, ia tetap menyelesaikan hasil kerjanya sebelum kematiannya. Terutama terjemahan naskah dari bahasa Persia, Arab, dan Sanskerta. Ada juga buku filologi dan tata bahasa, termasuk bahasa Melayu. Karya terjemahannya antara lain Memoirs of Zehir-Ed-Din Muhammed Baber, Emperor of Hindustan dan Malay Annals.
Pada 1810, berkat rekomendasi Leyden, Raffles datang ke Kalkuta untuk mengunjungi Lord Minto. Setelah pertemuan itu, Raffles ditugaskan memimpin invasi ke Jawa. Penaklukan Jawa bukanlah hal yang baru dibahas. Selain itu, Inggris sudah menguasai Maluku sebagai pusat rempah-rempah.
Raffles berangkat ke Malaka untuk mengumpulkan informasi mengenai Jawa. Namun Raffles tak terlalu pintar bahasa Melayu. Pada awal 1811, ia menulis surat kepada Leyden tentang kesulitannya membaca naskah-naskah dan surat berbahasa Jawa.
Leyden, Lord Minto dan beberapa pasukan lain menyusul Raffles. Dari Kalkuta mereka berlayar ke Madras. Setelah mengumpulkan pasukan, mereka melanjutkan perjalanan.
“Mereka singgah di Penang, Malaka, dan tempat-tempat lain dalam rute mereka, di mana ia (Leyden) mendapat pekerjaan sulit untuk menerjemahkan surat-surat yang datang dari raja-raja dari bangsa-bangsa berbeda, yang masih bertetangga, dan mendikte pengumumam-pengumuman sebagai balasan dalam bahasa Melayu, Jawa, Bugis, dan Bali,” tulis Morton.
Kematian yang Mengejutkan
Pasukan Inggris mendarat di Cilincing, yang berjarak enam mil dari Batavia, pada 4 Agustus 1811. Mereka segera menguasai segala posisi di Ancol dan kemudian Tanjung Priok. Lalu, setelah menghadapi sedikit perlawanan, mereka merebut Benteng Meester Cornelis pada 27 Agustus 1811. Kesuksesan penaklukkan Jawa sudah di depan mata.
Kemenangan menaklukkan Jawa tak dirasakan Leyden. Sesuai dengan hasrat dan keingintahuannya yang besar, ia tidak tahan untuk menjelajahi Batavia. Ia berjalan di sekitar Cilincing dan menemukan sebuah gedung tertutup yang dianggapnya menyimpan naskah-naskah orientalis. Ia masuk. “Ketika meningalkan ruangan itu, ia menggigil dan sakit, gejala demam yang mematikan,” tulis Hannigan.
Setelah tiga hari sakit, pada 28 Agustus 1811, Leyden meninggal dunia di pangkuan Raffles, sahabatnya. Rencana Raffles dan Leyden untuk bersama-sama meneliti kehidupan Jawa langsung pupus. “Ia tentu mengharapkan Leyden bersama dengannya sebagai mitra kreatif untuk seluruh proyek besar (di Jawa) mendatang,” tulis Hannigan.
Mungkin ada ketakutan dalam diri Raffles bahwa jabatannya akan diambil oleh Leyden. Leyden kan dekat dengan Lord Minto.
Lord Minto memberikan pidato penghormatan kepada Leyden. Walter Scott, teman penyairnya, membuat sebuah puisi khusus untuknya berjudul The Lord of Isles. Menurut Hannigan, puisi itu berisi kepahlawanan Robert The Bruce, prajurit yang memimpin pembebasan Skotlandia atas Inggris dan kemudian diangkat jadi raja. Nama Leyden muncul dalam bait kesebelas bagian keempat. Bait tersebut diabadikan dalam nisan Leyden di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat.
Gerak pasukan Inggris sendiri tak terbendung lagi. Setelah melawan sebisanya, Gubernur Jenderal Hindia Timur Jan Willem Janssens menandatangani penyerahan kepada Inggris pada 18 September 1811. Rezim Prancis di Jawa pun berakhir untuk selamanya. Raffles kemudian diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa.
Namun, Lilie Suratminto curiga Leyden bukan mati karena malaria. “Kalau malaria biasanya rada lama, dua atau tiga minggu,” kata Lilie.
Meski belum ada bukti kuat, Lilie curiga Leyden dibunuh Raffles. Bagi Lilie, Raffles adalah orang yang ambisius. Hubungan Leyden dengan Lord Minto merupakan hal buruk bagi Raffles. “Mungkin ada ketakutan dalam diri Raffles bahwa jabatannya akan diambil oleh Leyden. Leyden kan dekat dengan Lord Minto,” kata Lilie. Namun Lilie tak menyinggung kedekatan hubungan Leyden dengan Olivia sebagai motif lainnya.
Yang pasti, Raffles tak mengabaikan pengaruh besar Leyden pada dirinya. Dalam pengantar bukunya, History of Java, yang ditulisnya saat menjadi penguasa Jawa, Raffles menulis: “Ada seseorang (J.C. Leyden, yang menemani selama ekspedisi ke Batavia pada 1811 dan meninggal di pangkuan saya beberapa hari setelah pendaratan pasukan Inggris) yang sangat berjasa bagi diri saya dalam persahabatan maupun perhatian, yang selama hidupnya menambal kekurangan dalam kerja yang tidak sempurna yang sekarang dapat dinikmati publik.”
Sebagai bentuk penghormatan lainnya, Raffles tak membiarkan Leyden sendirian di Taman Prasasti. Ia menguburkan jasad istrinya, Olivia, di samping makam Leyden. Sebuah permintaan yang diajukan Olivia menjelang kematiannya. Sebuah misteri yang belum terjawab.*