Van der Tuuk di rumahnya di Singaraja Selatan, Bali, 1880. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
AWAL 1853, dari basis pemerintah kolonial di Barus, van der Tuuk melakukan perjalanan menuju pedalaman Batak. Tujuannya hanya satu: mengamati kehidupan dan kebudayaan suku Batak asli. Dia sadar bahaya menantinya kalau memasuki wilayah yang belum dikuasai Belanda. Kabar miring di kalangan Eropa juga memberitakan tentang kegemaran orang Batak menyantap orang. Hidupnya dalam pertaruhan.
Bermodal pengetahuan bahasa Batak pesisir dan disertai seorang pedagang Melayu, van der Tuuk tiba di Lembah Bakara pada bulan Februari. Demi keselamatannya, dia mengaku diri bernama Raja Lambung di hadapan penguasa Tanah Batak, Ompu Sohauaon yang bergelar Sisingamangaraja XI. Raja Lambung adalah putra mahkota dari Sisingamangaraja X yang hilang ketika kaum Padri Minangkabau menyerang Tanah Batak. Bermata sipit dan berkulit kuning ditambah fasih berbahasa Batak, penyamaran van der Tuuk berjalan mulus untuk sementara waktu.
Van der Tuuk jadi orang Eropa pertama yang menyaksikan keberadaan Danau Toba –tempat yang bagi pendatang asing saat itu tak lebih dari kabar burung. Sebelum van der Tuuk, orang Batak Toba gigih merahasiakan petunjuk arah ke Danau Toba.
AWAL 1853, dari basis pemerintah kolonial di Barus, van der Tuuk melakukan perjalanan menuju pedalaman Batak. Tujuannya hanya satu: mengamati kehidupan dan kebudayaan suku Batak asli. Dia sadar bahaya menantinya kalau memasuki wilayah yang belum dikuasai Belanda. Kabar miring di kalangan Eropa juga memberitakan tentang kegemaran orang Batak menyantap orang. Hidupnya dalam pertaruhan.
Bermodal pengetahuan bahasa Batak pesisir dan disertai seorang pedagang Melayu, van der Tuuk tiba di Lembah Bakara pada bulan Februari. Demi keselamatannya, dia mengaku diri bernama Raja Lambung di hadapan penguasa Tanah Batak, Ompu Sohauaon yang bergelar Sisingamangaraja XI. Raja Lambung adalah putra mahkota dari Sisingamangaraja X yang hilang ketika kaum Padri Minangkabau menyerang Tanah Batak. Bermata sipit dan berkulit kuning ditambah fasih berbahasa Batak, penyamaran van der Tuuk berjalan mulus untuk sementara waktu.
Van der Tuuk jadi orang Eropa pertama yang menyaksikan keberadaan Danau Toba –tempat yang bagi pendatang asing saat itu tak lebih dari kabar burung. Sebelum van der Tuuk, orang Batak Toba gigih merahasiakan petunjuk arah ke Danau Toba.
“Mereka menganggap itu sebagai tempat tinggal para dewa dan kekuatan yang mengendalikan dunia,” tulis van der Tuuk dalam suratnya tanggal 23 Juli 1853 kepada Profesor Jan van Gilse, sekretaris Lembaga Alkitab Belanda, dikutip E.M. Beekman dalam Fugitive Dreams: An Anthology of Dutch Colonial Literature.
Selain melihat Danau Toba dan rumah-rumah Bolon yang megah bak istana, van der Tuuk mendapati apa yang dicarinya. Dia bercengkerama dengan para datu (dukun adat) yang menyalin tulisan kitab kulit kayu yang disebut pustaha. Gambaran peradaban Batak diperolehnya melalui pustaha: sejarah penciptaan, cerita rakyat, pranata sosial, hingga mantra-mantra.
Namun, setelah beberapa hari, identitasnya terkuak oleh seseorang yang mengenalnya di Barus. “Aku dikelilingi oleh ratusan orang Batak bertombak. Mereka mencurigai dan memperdebatkanku sebagai mata-mata pemerintah Belanda,” tulis van der Tuuk kepada van Gilse.
Setelah menodongkan pistolnya ke hidung Sisingamangaraja XI, van der Tuuk berhasil melarikan diri. Kendati demikian, muhibah singkat itu memberikan wawasan penting bagi van der Tuuk. Dia menyadari jika orang Batak Toba telah mengenal tradisi literasi.
Di akhir suratnya kepada van Gilse, van der Tuuk menyatakan, “Sekarang aku yakin untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak Toba” –tugas yang semula dibencinya.
Menjadi Penerjemah Injil
Herman Neubronner van der Tuuk lahir di Malaka pada 24 Oktober 1824 ketika wilayah itu dikuasai Belanda. Ayahnya, Selfridus van der Tuuk, seorang Belanda totok. Sedangkan ibunya, Loisa Neubronner, keturunan Eurasia berdarah Melayu. Setelah Malaka ditukar dengan Bengkulu lewat Traktat London, van der Tuuk menghabiskan masa kecilnya di Surabaya.
Pada usia 15 tahun, van der Tuuk menamatkan sekolah formalnya. Dia diterima di jurusan hukum Universitas Groningen sesuai keinginan ayahnya. Namun, di tengah jalan dia lebih tertarik mendalami studi linguistik. Sejak 1845, van der Tuuk mempelajari bahasa-bahasa Timur seperti Ibrani, Arab, dan Sanskerta di Universitas Leiden. Setahun kemudian, publikasi perdananya diterbitkan.
Dia meninjau suntingan teks sastra Melayu Johor Manikam karya J.J. de Hollander, dosen bahasa Melayu Universitas Breda. Dengan menggunakan nama pena S.B., van der Tuuk dalam artikel “Geschiedenis van Djohor Manikam, uitgegeven van Dr. J.J. de Hollander”, dimuat majalah De Gids Vol. 10, No. I, 1846, mengkritisi terjemahan Hollander yang dianggapnya banyak bercampur dengan bahasa Melayu pasar sehingga bermutu rendah.
Kemampuan van der Tuuk menguasai bahasa tidak terlepas dari daya ingatnya yang luar biasa. “Dia mempunyai photographic memory,” tulis Beekman. Bakat van der Tuuk menarik perhatian Nederlands Bijbelgenootschap (NBG/Lembaga Alkitab Belanda) untuk mempekerjakannya. Saat itu, NBG membutuhkan beberapa ahli bahasa untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Makassar, Batak, Dayak, dan Bugis. Atas rekomendasi dosennya di Leiden, van der Tuuk menjadi utusan NBG untuk meneliti bahasa Batak.
Pada 8 Desember 1847, van der Tuuk menandatangani kontrak dengan NBG. Dia ditugaskan membuat kamus bahasa Batak beserta tata bahasanya. Selanjutnya, dia diharuskan menerjemahkan kitab Injil Perjanjian Baru ke dalam dialek bahasa Batak.
“Van der Tuuk tidak pernah menyenangi instruksi kedua penugasannya. Sikapnya terhadap agama Kristen tidak begitu positif dan selama hidupnya kemudian antipatinya menjadi lebih kuat,” tulis A. Teeuw, akademikus dan kritikus sastra Indonesia, dalam pengantar buku van der Tuuk, A Grammar of Batak Toba, cetakan 1971.
Toh, dia tetap menerima tawaran itu dengan pertimbangan pragmatis. Bekerja di Hindia Belanda memberinya kesempatan untuk mengunjungi keluarganya. Dan lagi, NBG membayarnya sebesar 4.000 gulden setahun untuk pekerjaan yang dia senangi.
Di Tanah Batak
Setibanya di Sumatra pada 1851, van der Tuuk ditempatkan di Barus. Demi pengumpulan bahan penelitian, dia melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaan rakyat lokal. Dengan berjalan kaki, van der Tuuk melintasi seluruh kawasan Batak.
Si Pandortuk atau Raja Tuk –demikian orang-orang Batak memanggilnya– menerima siapa saja yang bertandang ke rumahnya. Pergaulan yang akrab dengan orang Batak menyebabkan van der Tuuk menentang penggunaan bahasa Melayu. Laporannya kepada NBG disertai kritik mengenai sikap pejabat Belanda yang tidak mengetahui bahasa Batak dan watak rakyatnya.
“Bila pemerintah ingin memajukan orang-orang pribumi maka para pejabat hendaklah menyapa hati mereka dan itu tidak akan terjadi selagi mereka masih mempergunakan bahasa Melayu pasar. Kita terlalu sombong untuk bergaul dengan orang pribumi secara erat dan memahirkan bahasanya kita anggap barang sepele saja. Perkawinan kita dengan untung laba telah mencekik setiap perhatian untuk orang pribumi,” tulis van der Tuuk kepada NBG, dikutip Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia.
Van der Tuuk pula yang mendesak agar misi zending segera mengutus penginjilnya ke Tapanuli. Dia juga menganjurkan agar para penginjil itu setibanya di Tapanuli mengawini gadis-gadis Batak dan memelihara babi untuk membendung pengaruh Islam dari arah selatan. Desakan ini dilatari rasa frustrasinya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Dalam suratnya kepada NBG, 27 Maret 1854, van der Tuuk menyebut kesulitan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak karena tak ada kata yang dapat ditemukan dalam bahasa ini, misalnya untuk menjelaskan kata surga, neraka, dan keabadian. “Saya merasa bahwa suatu terjemahan Alkitab yang sesungguhnya baru membuahkan hasil setelah ada pengaruh dari para zendeling,” tulis van der Tuuk, dikutip Kees Groeneboer, “Dari Radja Toek sampai Goesti Dertik” termuat dalam Jurnal Humaniora Vol. 14, No. 2, 2002.
Pada April 1857, van der Tuuk memutuskan ambil cuti ke Belanda. Dia membawa 152 pustaha dan 29 manuskrip bahasa untuk diolah. Di masa ini, dia menerbitkan karya literaturnya tentang linguistik Batak: Bataksch-Nederduitsch Woordenboek (Kamus Batak-Belanda, 1861) dan Tobasche Spraakkunst (Tata Bahasa Toba, 1864). Dia juga menjadi linguis pertama yang merancang aksara Batak. Dalam Bataksch Leesboek (Buku Bacaan Batak, 1860), dia membaginya ke dalam tiga set berdasarkan sub-etnis: Angkola-Madailing, Toba, dan Pakpak. Selain itu, beberapa kitab Injil berhasil diterjemahkannya, yaitu Kejadian, Keluaran, Yohanes, dan Lukas.
Menurut Uli Kozok, filolog Universitas Hawaii, tata bahasa Batak Toba karya van der Tuuk merupakan gramatika pertama mengenai salah satu bahasa lokal di Hindia Belanda yang disusun secara ilmiah. “Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa mengingat bahwa zaman van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah Batak masih merupakan terra in cognita (tanah yang tidak diketahui) di peta ilmiah,” tulis Kozok dalam Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak.
Gusti Dertik
Sekembalinya dari Belanda, van der Tuuk ditugaskan lagi oleh NBG. Kali ini, dia diminta menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Bali. Namun, keberangkatan ke Bali tertunda karena terjadi perang lokal di distrik Buleleng dan wabah epidemi kolera. Sementara menunggu keadaan pulih, van der Tuuk ditempatkan di Lampung.
Di Lampung, van der Tuuk tidak membuang waktu. Dia menjelajahi wilayah yang masih asing itu. Dalam kurun setahun (1868–1869), dia menulis sebuah manuskrip setebal 600 halaman memuat kamus Lampung-Belanda. Karya van der Tuuk ini menjadi sumber primer untuk mengkaji bahasa Lampung kuno. “Namun kamus itu tidak jadi dipublikasikan, barangkali karena pada saat itu belum ada cetakan huruf bahasa Lampung yang cocok,” tulis Groeneboer.
Pada April 1870, van der Tuuk akhirnya tiba di Bali. Dia tinggal di dusun Bataran, dekat Buleleng. Seperti yang dilakukannya di negeri Batak, dia menyatu dengan masyarakat Bali. Dia selalu tampil eksentrik: mengenakan sehelai sarung ke mana-mana dan mandi di pancuran bersama warga.
Namun, pekerjaan penerjemahannya menghadapi kendala. Menurut van der Tuuk, orang-orang Bali memakai bahasa Jawa halus yang banyak kosakatanya termuat dalam sumber-sumber tertulis. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa Kawi (Jawa Kuno). Mau tidak mau dia harus mempelajari bahasa Kawi terlebih dahulu. Hal ini berdampak pada macetnya penerjemahan Injil.
Van der Tuuk mengundurkan diri dari NGB pada 1873. Untuk seterusnya, dia bekerja sebagai pegawai pemerintah sebagai ahli bahasa. Kadangkala dia diperbantukan ke Batavia untuk menguji calon amtenar dari Belanda yang akan bertugas di Hindia Belanda.
Kendati pegawai pemerintah, van der Tuuk kerap mengecam pemerintahnya yang pasif terhadap kesewenangan raja-raja lokal terhadap rakyat kecil. Dia membenci orang Belanda yang suka menyembunyikan perbuatan jahatnya di balik Alkitab. Dia juga mencerca penginjil-penginjil zending yang hendak mengkristenkan pribumi tanpa mau mempelajari bahasanya. Umpatan pun dialamatkannya kepada orang Bali yang melakoni kesenian gandrung (penari lelaki berbusana perempuan) yang dianggapnya sebagai contoh kurangnya moral.
Menurut pengakuan Raja Badung, maka di seluruh pulau Bali hanya terdapat satu orang yang mengerti bahasa Bali, yaitu Gusti Dertik.
Hasratnya untuk menyusun kamus Kawi tak pernah pudar. Dia menemukan sumber tertulis yang tiada terhitung banyaknya. Ribuan naskah lontar yang tersimpan di istana-istana, candi-candi, hingga milik keluarga-keluarga Bali menjadi bahan penulisan kamusnya. “Menurut pengakuan Raja Badung, maka di seluruh pulau Bali hanya terdapat satu orang yang mengerti bahasa Bali, yaitu Gusti Dertik,” tulis Nieuwenhuys.
Van der Tuuk tenggelam oleh bahan yang melimpah. Dia bahkan hampir gila karena setiap hari muncul naskah-naskah lain dengan varian baru. Hal ini berpengaruh terhadap emosinya yang cenderung meledak-ledak.
Keadaan fisiknya menyusut tajam. Hidupnya kurang terawat. Dia hidup membujang dan hanya ditemani pembantu, koki, dan seorang nyai. Sepanjang hari dihabiskannya untuk menyusun kamus Kawi sembari berjuang melawan penyakit disentri akut.
Pada 17 Agusutus 1894, dia meninggal dunia di Rumah Sakit Militer Surabaya dan dimakamkan di kota itu. Untunglah dia sudah merampungkan karyanya, setelah menekuninya selama hampir seperempat abad, kendati belum siap cetak. Kamus tribahasa Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek menjadi karya monumentalnya.
Atas usaha epigraf Jan Laurens Andries Brandes, tiga jilid pertama kamus itu terbit antara 1897–1899. Baru pada 1912 seluruh proyek itu selesai menyusul terbitnya jilid keempat. Jilid terakhir itu disunting Douwes Adolf Rinkes, direktur pertama Balai Pustaka. Seluruh isi kamus itu berjumlah 3.600 halaman.
“Sampai bertahun-tahun Kamus Kawi-Bali-Belanda karya van der Tuuk menjadi pegangan utama bagi siapapun yang berhasrat menekuni studi bahasa dan sastra Jawa Kuno,” tulis P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku.
Paradoks van der Tuuk
Seorang pendeta muda bernama Inger Ludwig Nommensen mengunjungi van der Tuuk di Amsterdam tahun 1861. Dia mau belajar bahasa dan budaya Batak. Nommensen kelak dikenal sebagai misionaris paling berhasil di Tanah Batak. Sedangkan van der Tuuk, kendati mengaku ateis, telah membuka pintu bagi penyebaran misi Kristen di Sumatra Utara.
Mengutip A. Teeuw dalam artikel “Herman Neubronner van der Tuuk: Perintis Ilmu Bahasa Indonesia”, dimuat Kompas, 13 Agustus 1994, van der Tuuk adalah manusia penuh paradoks. Dia sungguh marginal dari berbagai segi. Dia bukan totok Belanda, juga bukan Indonesia. Kritiknya terhadap pemerintah Hindia Belanda dan sistem kolonial pedas dan menohok. Sebagai ahli bahasa, van der Tuuk adalah seorang ilmuwan militan sekaligus flamboyan yang emosional. Dia mencela kemapanan akademisi Belanda yang hidup dan menulis sesuka hati di ruang universitas tanpa menyadari masalah-masalah yang dihadapi peneliti lapangan. Hal ini pernah ditunjukannya kepada Profesor Taco Roorda, guru besar bahasa Jawa Universitas Delft. Dia menentang analisis Roorda yang menyatakan bahasa Jawa sebagai induk segala bahasa Nusantara. Roorda sendiri tak pernah mengunjungi Hindia Belanda. Sementara van der Tuuk mengemukakan interpretasinya mengenai perbedaan bahasa di Nusantara berdasarkan perkembangan sejarah, khususnya dengan menguraikan hukum-hukum bunyi bahasa (klankwetten). Rob Nieuwenhuys, penulis biografi van der Tuuk, menggambarkan perdebatan itu bagaikan “perang pena tanpa ampun” yang dimenangkan van der Tuuk.
Van der Tuuk seumur hidup membabat rimba untuk meramu data dan mengumpulkan pengetahuan. Dia meninggal dalam keterasingan, penuh dendam, dan curiga terhadap sesama manusia. Namun setelah kematiannya, namanya diakui sebagai linguis paling berpengaruh di Belanda, negeri yang tidak sudi diakui van der Tuuk sebagai tanah airnya.
Sebaliknya, nama dan karyanya justru berjarak dari telinga manusia Indonesia. Meski sama-sama menyuarakan derita rakyat negeri terjajah, dia tak seharum Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang mencuat lewat roman Max Havelaar. Padahal karya-karya lingusitik van der Tuuk adalah wujud dedikasi dan totalitas untuk pengetahuan bahasa-bahasa Nusantara. Ia menjadi catatan rekaman zaman yang penting tentang negeri yang kelak bernama Indonesia.*