Lukisan Nyai Blorong di istananya yang dipenuhi susunan kepala manusia sebagai tumbal. (Repro Mededelingen van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap, 1879).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUATU sore, sekira 1960-an. Warga Magelang berkumpul di tepi jalan utama yang menghubungkan Magelang dan Yogyakarta sembari membunyikan kentongan dan apapun yang menimbulkan bunyi berisik. Sebagai anak kecil, Prapto Yuwono turut berbaur dalam kerumunan. Namun, herannya jalanan sedemikian sepi; tak ada yang lewat. Selang beberapa waktu, angin berhembus dari arah selatan.
“Rupanya, itulah cara orang menyambut lampor. Mereka membuat bunyi-bunyian, supaya pasukan Nyai Blorong yang berwujud lelembut itu tidak berhenti di tengah jalan. Sebab, jika pasukan itu berhenti, mampir di rumah warga, daerah tersebut akan diserang wabah penyakit,” ujar Prapto Yuwono, dosen Program Studi Sastra Jawa Universitas Indonesia.
Lampor biasanya merujuk pada tourne atau perjalanan ke beberapa wilayah, khususnya di Jawa, yang dilakukan Nyai Blorong beserta pasukannya.
Masyarakat Jawa punya beragam cara untuk menghadapi wabah atau pagebluk yang disebakan lampor. Di Semarang, misalnya, sekira tahun 2001, penduduk menggantungkan plastik berisi air berwarna di depan pintu. Cara ini diharapkan bisa menangkal pagebluk yang disebabkan kemarahan Nyai Blorong karena kehilangan selendangnya.
SUATU sore, sekira 1960-an. Warga Magelang berkumpul di tepi jalan utama yang menghubungkan Magelang dan Yogyakarta sembari membunyikan kentongan dan apapun yang menimbulkan bunyi berisik. Sebagai anak kecil, Prapto Yuwono turut berbaur dalam kerumunan. Namun, herannya jalanan sedemikian sepi; tak ada yang lewat. Selang beberapa waktu, angin berhembus dari arah selatan.
“Rupanya, itulah cara orang menyambut lampor. Mereka membuat bunyi-bunyian, supaya pasukan Nyai Blorong yang berwujud lelembut itu tidak berhenti di tengah jalan. Sebab, jika pasukan itu berhenti, mampir di rumah warga, daerah tersebut akan diserang wabah penyakit,” ujar Prapto Yuwono, dosen Program Studi Sastra Jawa Universitas Indonesia.
Lampor biasanya merujuk pada tourne atau perjalanan ke beberapa wilayah, khususnya di Jawa, yang dilakukan Nyai Blorong beserta pasukannya.
Masyarakat Jawa punya beragam cara untuk menghadapi wabah atau pagebluk yang disebakan lampor. Di Semarang, misalnya, sekira tahun 2001, penduduk menggantungkan plastik berisi air berwarna di depan pintu. Cara ini diharapkan bisa menangkal pagebluk yang disebabkan kemarahan Nyai Blorong karena kehilangan selendangnya.
Mitos Nyai Blorong masih eksis dalam tradisi tutur di Indonesia, yang juga disebarluaskan melalui beragam media, terutama film. Ia kerap digambarkan bisa berganti rupa dari sesosok perempuan cantik menjadi ular bersisik emas, atau sebaliknya. Selain sebagai panglima dunia makhlus halus, ia diyakini bisa memberikan kekayaan (pesugihan). Jika ingin bersekutu dengannya, syaratnya berat: bersedia berhubungan badan setiap malam Jumat kliwon dan menyediakan tumbal. Setelah bercinta, sisik di tubuh Nyi Blorong berguguran dan berubah menjadi kepingan emas dan butiran permata.
Sejak abad ke-19, H.A. van Hien sudah mencatat keberadaan Nyai Blorong. Dalam bukunya, De Javaansche geestenwereld, en de betrekking, die tussen de geesten en de zinnelijk wereld, verduidelijkt door petangan′s of tellingen bij de Javanen in gebruik yang terbit tahun 1896, van Hien membagi dunia makhluk halus di Jawa menjadi 95 jenis. Mengenai Nyai Blorong, dia menulis: “Segala jenis kekayaan akan diberikan kepada si pemanggil. Dan hal itu berjangka waktu selama tujuh tahun, namun bisa diperpanjang hingga dua kali lagi. Namun, selama itu harus ada yang dikorbankan, dan terakhir si pemanggil itu yang menjadi korban dan mengisi istana Nyai Blorong,” tulis van Hien.
Demi Pesugihan
Seorang petani miskin dari desa Soegihsaras, distrik Sidokantoen, berbincang dengan seorang tua yang dipanggil Kyai atau Embah. Si petani sudah lelah hidup miskin, bahkan paling miskin dibanding lima saudaranya. Dia ingin kaya dengan cepat.
Si Embah mau membantu, asalkan si petani mau menerima syaratnya: menyediakan tumbal. Si petani menyanggupi. Dia pun diminta menyiapkan satu kamar khusus, lengkap dengan pembaringan yang ditutup kelambu. Pada hari Jumat legi, dia diminta menyiapkan pelita di atas kasur, lengkap dengan bunga dan dupa.
“Sekarang sekitar tengah malam, dia mendengar suara seperti angin puyuh. Lalu setelah tenang, Blorong muncul di atas peraduan. Kakinya tidak terlihat, hanya tampak ekor ular yang seluruhnya tertutup sisik emas,” tulis J. Kramer, peneliti budaya berkebangsaan Belanda, dalam artikelnya “Blorong of de geldgodin der Javanen”, dimuat Mededelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (1904).
Kisah yang dituturkan Kramer menunjukkan kepercayaan atas tuah Nyai Blorong sudah berlangsung lama. Namun, umumnya masyarakat Jawa menganggap negatif terhadap orang kaya yang bersekutu dengan Nyai Blorong. Bahkan, pelakunya bisa kehilangan status sebagai anggota masyarakat.
Raden Ngabehi Ranggawarsito pun mengkritik praktik tersebut. Dalam Serat Jayengbaya, yang ditulisnya kala masih menjadi mantri carik atau juru tulis kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Sarataka sekira 1822–1830, Ranggawarsito menggunakan kata “Nyai Blorong” untuk mengolok-olok situasi masyarakat Jawa kala itu. Terjemahannya begini: Yang sudah-sudah cepat kaya/ sehingga seperti Nyai Blorong belaka/ tidak usah ke Gunung Cereme/ asal suka berbuat baik kepada tetangga/ melimpahkan belas kasih/ kiranya aku tidak akan, ketahuan mata-mata.
Asal-Muasal
Siapa Nyai Blorong? Beberapa sumber menyebutnya sebagai putri dari penguasa laut selatan, Ratu Kidul. Kisah ini antara lain tersurat dalam Babad Prambanan, yang disalin pada 1927. Babad ini punya versi lain yang lebih tua, yang disalin Wirsungun di wilayah Mangkunegaran pada 1885 atas prakarsa B.R.Ng. Keduanya menceritakan berdirinya Candi Prambanan dan juga kisah Ajisaka. Menariknya, mitos Aji Saka juga tersurat dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, sebuah kumpulan cerita wayang dan dongeng yang digubah dalam tembang macapat sekira abad ke-16.
Dikisahkan, karena membunuh seekor naga yang sedang bertapa di sebuah goa, Prabu Aji Saka dari Medhangkamulan memiliki seorang anak berwujud naga yang bernama Naga Nginglung. Kendati malu, Aji Saka akhirnya mau mengakuinya sebagai anaknya asalkan Naga Nginglung bisa mengalahkan musuhnya, Dewatacengkar yang menjelma jadi buaya putih dan bersemayan di pantai selatan.
Sementara itu, raja lelembut penguasa laut selatan yang bernama Nginangin menggelar rapat untuk membahas kekacauan akibat ulah Dewatacengkar. Ia pun membuat sayembara; barang siapa dapat mengalahkan buaya putih, akan dinikahkan dengan putrinya, Rara Blorong, yang berbadan manusia tetapi bersisik. Tak berselang lama, buaya putih itu sudah dikalahkan Naga Nginglung. Pernikahan pun digelar.
Menurut Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul” dimuat Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, ular adalah makhluk favorit dalam beberapa cerita rakyat yang berkembang di Asia Tenggara, Tiongkok, dan India. Dalam banyak cerita tersebut, ular atau naga sering dikaitkan dengan penguasa, panen, dan kesuburan.
Dalam kisah pewayangan di Jawa, terdapat tokoh Anantaboga yang digambarkan sebagai dewa berwujud naga. Ktut Ginarsa dalam Gambar Lambang menyebut bahwa Anantaboga berasal dari kata “ananta” dan “boga”, yang masing-masing punya arti “tiada berkesudahan” dan “bahan untuk hidup”. Jadi, Anantaboga melambangkan kemakmuran atau kebahagiaan.
Tak heran jika bagi masyarakat Jawa pedalaman yang agraris, Nyai Blorong punya makna penting. Perwujudannya dalam bentuk ular dianggap sebagai penjaga lahan pertanian dari serangan hama, terutama tikus. Maka, untuknya dilakukanlah sedekah bumi.
“Sosok Blorong ini kan bisa diwujudkan dengan ular, di mana dalam mitos Jawa, ular menjadi perlambang penjaga bumi. Dia bisa disebut sebagai simbol keamanan dunia agraris,” ujar Prapto.
Dalam perjalanan waktu, terutama karena sifat cerita rakyat (folklore) yang terus berkembang, sosok Nyai Blorong lebih lekat dengan pesugihan. Dalam analisis Prapto, hal ini biasa saja terjadi karena persoalan di zaman sekarang semakin sulit dan tak dapat terpecahkan, sehingga banyak orang ‘mencari’ jalan keluar ke dunia lain. Dalam alam pikir masyarakat Jawa, keberadaan dunia lain dengan penghuninya sudah menjadi satu-kesatuan yang utuh.
“Karena mereka sama-sama hidup, kemudian mereka boleh saling membantu. Seseorang yang memiliki keinginan besar meraih kekuasaan politik atau ekonomi sudah tentu akan melibatkan kalangan makhluk halus dalam meraih cita-citanya,” ujar Prapto.*