Menjaring Tenaga Ahli Asing

Bagaimana Indonesia sebagai negara yang baru merdeka memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga ahli di jawatan-jawatan pemerintah? Impor!

OLEH:
Budi Setiyono
.
Menjaring Tenaga Ahli AsingMenjaring Tenaga Ahli Asing
cover caption
Dr. Menne menerima kunjungan Menteri Kesehatan Abdul Azis Saleh tahun 1958. (Dok. Keluarga Menne).

USAI menyelesaikan studi kedokteran, Bruno F.M. Menne bekerja di klinik almamaternya, Universitas Freiburg, tanpa bayaran. Istrinya, Gertrud Menne, terpaksa mencari nafkah. Jerman pascaperang menghadapi masalah kesulitan ekonomi. Maka, ketika mendengar bahwa Indonesia membutuhkan banyak tenaga dokter, mereka mengambil kesempatan ini.

Pada September 1955, dari Rotterdam, mereka berlayar menuju Indonesia. “Kami menghabiskan waktu dua setengah bulan di perjalanan, dengan anak berusia enam tahun dan bayi,” ujar Gertrud Menne, dimuat suedkurier.de, sebuah media online di Jerman, 14 Mei 2008. “Tak ada kamus, tak ada penerjemah, tak ada sama sekali.”

USAI menyelesaikan studi kedokteran, Bruno F.M. Menne bekerja di klinik almamaternya, Universitas Freiburg, tanpa bayaran. Istrinya, Gertrud Menne, terpaksa mencari nafkah. Jerman pascaperang menghadapi masalah kesulitan ekonomi. Maka, ketika mendengar bahwa Indonesia membutuhkan banyak tenaga dokter, mereka mengambil kesempatan ini.

Pada September 1955, dari Rotterdam, mereka berlayar menuju Indonesia. “Kami menghabiskan waktu dua setengah bulan di perjalanan, dengan anak berusia enam tahun dan bayi,” ujar Gertrud Menne, dimuat suedkurier.de, sebuah media online di Jerman, 14 Mei 2008. “Tak ada kamus, tak ada penerjemah, tak ada sama sekali.”

Di Jakarta, dr. Menne dan keluarga menempati asrama Kementerian Kesehatan selama dua bulan. Ini diperlukan untuk orientasi dan pembekalan sebelum penempatan. Ternyata dr. Menne ditempatkan di Kalimantan; mula-mula di Sampit, Kalimantan Tengah, lalu Martapura, Kalimantan Selatan. Dr. Menne bukan hanya menangani pasien di rumah sakit pusat tapi juga puluhan klinik. Yang terjauh hanya bisa dicapai dengan menyusuri sungai dan hutan Kalimantan selama dua minggu.

“Ia satu-satunya dokter untuk daerah seluas Swiss.”

Ada banyak dokter Jerman yang bekerja di Indonesia awal 1950-an. Kedatangan dokter-dokter Jerman tak lepas dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengisi kelangkaan tenaga ahli.

Dr. Menne ketika bertugas di Sampit, Kalimantan Tengah tahun 1956. (Dok. Keluarga Menne).

Eksodus Warga Belanda

Setelah Indonesia merdeka, banyak warga Belanda memilih meninggalkan Indonesia. Sebagian dari mereka memutuskan kembali ketika melihat ada kemungkinan bagi Belanda menguasai kembali bekas jajahannya. Pengakuan kedaulatan tahun 1949 mendorong mereka melakukan eksodus.

“Para pemimpin Indonesia secara resmi menyuarakan kekecewaan atas eksodus cepat ribuan pekerja Belanda terampil,” tulis Morning Bulletin, 6 Agustus 1951. Dampak dari eksodus tersebut, Indonesia kekurangan dokter, insinyur, administrator terlatih, hingga teknisi.

Indonesia tidaklah kekurangan sumber daya manusia. Justru sebaliknya, sejak kemerdekaan, jumlah pegawai negeri cenderung meningkat tapi, sayangnya, tanpa diimbangi layanan yang baik dan efisien. Dan pemerintah bukannya tak menyadari. Menurut Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, sejak Kabinet Hatta hingga Sukiman, pemerintah berupaya memangkas jumlah pegawai hingga separuhnya tapi selalu gagal. Kabinet Wilopo memilih jalan lain; alih-alih mengambil kebijakan pengurangan pegawai, ia melarang lembaga-lembaga pemerintah menerima pegawai baru kecuali mereka yang punya keahlian khusus.

Pegawai dengan keahlian khusus inilah yang jadi ganjalan. Beberapa pegawai Belanda memang masih di posisinya. Sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), mereka tetap mendapat gaji sesuai peraturan tahun 1949 (Betalingsregeling Ambtenaren en Gepension atau BAG) selama dua tahun. Setelah itu, kontrak bisa diperpanjang. Tapi siapa yang bisa menjamin mereka bertahan sementara sentimen anti-Belanda terus menguat?

Maka, pemerintah mengambil kebijakan untuk merekrut tenaga-tenaga ahli asing. Pada 1950, Kantor Urusan Pegawai (kini, Badan Kepegawaian Negara) membentuk Panitia Urusan Tenaga Ahli Bangsa Asing (PUTABA) untuk mencari dan merekrut tenaga-tenaga ahli asing yang akan bekerja di jawatan-jawatan pemerintah.

“Mereka dengan demikian akan bekerja di bawah bos Indonesia dan dengan rekan-rekan dan bawahan Indonesia,” tulis Farabi Fakih dalam disertasinya di Universitas Leiden bertajuk “The Rise of the Managerial State in Indonesia”.

Setelah mempelajari dan menyurvei berbagai kementerian, PUTABA menaksir kebutuhannya: 1.700–2.000 tenaga ahli.

Gedung di Jl. Kramat Raya 132 Jakarta Pusat yang dulu digunakan sebagai Kantor Urusan Pegawai. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Yang Utama Bahasa

Pada Juni 1950, PUTABA mengirim sebuah tim yang dipimpin Prof. Gunarso dari Fakultas Teknik di Bandung (kini, Institut Teknologi Bandung); Prof. Sukarja, seorang praktisi medis; dan Marsoro, kepala Kantor Urusan Pegawai, untuk melakukan kunjungan ke sejumlah negara Eropa: Belanda, Jerman, Austria, Swiss, Swedia, dan Denmark.

“Tim tidak pergi ke Inggris, tetapi fokus pada negara-negara yang menggunakan ‘bahasa Jermanik’,” tulis Farabi.

Kendati demikian, penguasaan bahasa Inggris menjadi salah satu syarat pelamar diterima; selain bahasa Jerman, Belanda atau Indonesia. “Bahasa Prancis dan Italia tidak disebut. Tetapi walaupun demikian beberapa tenaga yang berasal dari negara-negara tersebut diterima juga. Syarat mutlak yang harus tetap dipenuhi ialah bahwa mereka harus dapat memakai salah satu bahasa yang diuraikan di atas,” tulis Dunia Internasional, Vol. 3 tahun 1952.

Syarat lainnya, menurut Farabi, para pelamar harus memiliki enam sampai delapan tahun pengalaman kerja dan berumur 30–45 tahun.

Selama di Eropa, tim tersebut menjalin hubungan dengan pemerintah/serikat/organisasi ahli setempat, mengunjungi para pembesar, menyebarkan informasi melalui media, serta memasang iklan lowongan. Dalam iklan yang diterbitkan di Austria, misalnya, gaji yang sangat besar sebesar Rp1.810 per bulan ditawarkan, selain bonus f.13.000 yang akan dibayar dalam mata uang Austria setelah masa kontrak tiga tahun.

Untuk memperlancar rekrutmen, kantor PUTABA akhirnya dibuka di Den Haag, Belanda, di bawah pimpinan Hermen Kartowisastro, penasihat keuangan dan ekonomi Komisariat Agung Republik Indonesia; semacam kedutaan besar sementara. Kantor ini punya dua bagian yang memainkan peranan penting: Bagian Sekretariat dan Pengiriman (lihat infografis di bawah).

Kriteria seleksi bukan hanya mencakup kompetensi pelamar di bidang mereka tetapi sikap mereka terhadap kemerdekaan Indonesia.

Menurut W. Petersen dalam Some Factors Influencing Postwar Emigration from the Netherlands, biro tenaga kerja di Den Haag bermaksud merekrut sekira 2.000 tenaga ahli, sebagian besar warga Belanda. Kontrak tiga tahun ditawarkan kepada 400 dokter, 200 insinyur, 200 ahli pelayaran, 30 profesor dari berbagai mata kuliah serta banyak guru sekolah menengah dan sekolah dagang, dan dalam jumlah lebih kecil ekonom, akuntan, teknisi tekstil, geolog, sosiolog, ahli statistik.

“Kriteria seleksi bukan hanya mencakup kompetensi pelamar di bidang mereka tetapi sikap mereka terhadap kemerdekaan Indonesia dan semua ini menyiratkan status orang-orang kulit putih di sana,” tulis Petersen.

“Co” (cooperatif) dan “non-co” memang menjadi isu hangat di Indonesia, yang ditujukan kepada pegawai-pegawai Belanda. Tak heran jika, sebelum pelamar diterima, PUTABA mengumpulkan referensi dari pihak ketiga, termasuk aliran atau sikap politik si pelamar, sebagai bahan pertimbangan.

Tawaran PUTABA tak bertepuk sebelah tangan. Medisch Contact, organ resmi Ikatan Dokter Belanda, misalnya, kerap memuat informasi maupun diskusi mengenai lowongan ini. Beberapa dokter Belanda, yang lama dan pernah bekerja di Indonesia, juga berbagi pengalaman dan pandangan mereka. Salah satunya dr. C. Lankeren, dokter di Kisaran, Sumatra Utara. Dalam tulisan bertajuk “Artsen voor Indonesie (III)”, dimuat 10 Januari 1952, ia berharap rekan-rekan muda di Belanda tertarik memberikan kontribusi dan memanfaatkan banyak kesempatan di bidang medis.

“Dokter yang datang untuk bekerja di sini akan selalu menjadi lebih kaya (terutama dalam hal pengalaman)...,” tulis Lankeren.

Hermen Kartowisastro saat menjabat wedana Semarang dan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1938. Ia kemudian menjadi pemimpin kantor PUTABA di Den Haag, Belanda. (KITLV).

Singkong dan Mentega

Sebagai payung hukum, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1951. Isinya, pemberian tunjangan luar biasa kepada tenaga-tenaga ahli asing yang bekerja sebagai pegawai negeri tetap atau sementara maupun dalam ikatan dinas serta yang akan didatangkan ke Indonesia. Besarnya: dua puluh lima perseratus dari pendapatan bersih bulanan dibayar dengan rupiah dan dua puluh perseratus, dengan maksimum Rp500, dari gaji pokok bulanan dibayar di negeri asal dan dengan mata uang negeri itu.

PP ditetapkan pada 3 Februari 1951 tapi mulai berlaku 1 Januari 1951. PP ini mendapat sorotan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana terekam dalam Risalah Perundingan, Vol. 13 tahun 1951, yang diterbitkan DPR. Bahkan Iwa Kusumasumantri (tak berpartai) mendorong mosi yang disokong Partai Murba.

Iwa mempertanyakan mengapa PP hendak menjamin pegawai-pegawai Belanda lebih baik lagi, padahal sudah dijamin dalam persetujuan KMB tetap bekerja hingga masa kontrak berakhir pada 31 Desember 1952, dan mengapa PP ini berlaku sejak 1 Januari 1951?

“Karena takut, takut nanti ada ‘exodus’ pegawai-pegawai Belanda itu pada penghabisan tahun ini. Demikianlah, kata ketua Panitia Urusan Tenaga Ahli Bangsa Asing dalam salah satu suratnya,” ujar Iwa. “... ini menimbulkan tertawaan yang sangat menggelikan, jika kita ingat kepada keinginan bangsa kita dulu untuk mengusir penjajah asing dari negeri ini.”

PP ini dianggap diskriminatif; tenaga ahli asing mendapat roti dan mentega sementara tenaga ahli bangsa sendiri mendapat singkong. Mereka mengusulkan agar “tunjangan keahlian” diberikan untuk semua pegawai, asing maupun asli (Indonesia).

Keberangkatan Marsoro ke Den Haag juga mendapat sorotan. Bagi anggota DPR, upaya itu mengabaikan tenaga bangsa sendiri, yang keahliannya tak kalah dari tenaga ahli asing. Pemerintah seharusnya bekerja lebih efisien dan terlebih dulu mengurusi pegawai-pegawainya dengan baik.

Tapi mosi gagal. Kebijakan rekrutmen tenaga ahli asing pun berlanjut.

Pada akhir 1951, sejumlah tenaga ahli asing mulai berdatangan ke Indonesia. Jumlahnya tak sampai 100 orang, sementara 200 orang lainnya masih dalam proses negosiasi. Sebagian besar bertolak ke Indonesia dengan kapal laut, beberapa lainnya yang benar-benar dibutuhkan dikirim dengan pesawat terbang.

“Di samping desakan ekonomi dan sosial sudah barang tentu ada tenaga-tenaga ahli juga yang menyediakan diri untuk bekerja pada pemerintah Indonesia semata-mata terdorong oleh minat yang besar terhadap pembangunan suatu negara yang muda dan oleh keinginan hendak memperluas pengetahuan dan pengalamannya,” tulis Dunia Internasional.

Tenaga ahli asing mendapat roti dan mentega sementara tenaga ahli bangsa sendiri mendapat singkong.

Tahun berikutnya, jumlahnya meningkat. Hingga akhir 1952, ada 416 tenaga ahli yang diterima.

Dari sisi kebangsaan, warga Belanda mendominasi. Antara lain tersebar sebagai ahli kesehatan dan obat-obatan sebanyak 35 orang, ahli pelayaran (60), ahli pendidikan (50), dan ahli keuangan (35). “Hal ini dapat dimengerti karena pada umumnya orang Belanda lebih mengetahui keadaan- keadaan (pemerintah, tata usaha, sosial dan politik) di Indonesia, pun bahasanya di Indonesia pada waktu ini masih lebih mudah dimengerti daripada bahasa-bahasa asing lainnya. Ini ternyata terhadap ahli-ahli di lapangan pelayaran, Pendidikan, dan keuangan,” tulis Dunia Internasional.

Dari bidang keahlian, dokter dan ahli obat-obatan mendominasi. Yang terbanyak dari Jerman (95) lalu Austria (27). “Tenaga-tenaga ahli kesehatan di negara-negara ini lebih banyak daripada kebutuhan, hingga mereka terpaksa merantau keluar negeri,” tulis Dunia Internasional. Kendati demikian, jumlah dokter yang direktut amat sedikit hanya 17 orang.

Sedikitnya dokter dan ahli obat-obatan dari Belanda bikin J. Knoppe, dokter yang bertugas di Soe, Timor, prihatin. Dalam tulisan bertajuk “Artsengebrek in Indonesie”, dimuat Medisch Contact edisi 24 April 1952, ia menekankan peran penting yang bisa dimainkan teman-teman seprofesinya di Belanda untuk menjalin persaudaraan di antara bangsa-bangsa di dunia.

“Dari titik inilah ada rasa malu bahwa permintaan pemerintah Indonesia untuk dokter muda Belanda mengambil lapangan kerja di Indonesia praktis tak membuahkan hasil. Mereka telah berpaling ke negara-negara Eropa lainnya dan sejak itu sekira 200 dokter tiba dari Jerman, Austria, Italia, dan lain-lain,” tulis Knoppe.

Tenaga ahli yang direkrut PUTABA melenceng jauh dari target. Untuk tahun 1952, pemerintah memutuskan mengimpor 8.000 pekerja asing, berdasarkan penghitungan yang terkoordinasi dengan berbagai kementerian. “Jumlah ini lebih besar dibandingkan kuota orang asing yang diizinkan masuk ke negara ini oleh pemerintah pra-Federal tahun 1949 (4.000 orang). Jumlah ini juga jauh lebih besar ketimbang tahun sebelumnya yang mencapai 1.700–2.000 tenaga ahli asing,” tulis Farabi.

Asrama Kementerian Kesehatan di Medan Merdeka Selatan Jakarta tahun 1955. (Dok. Keluarga Menne).

Kurang Memuaskan

Menurut majalah Hemera Zoa, yang diterbitkan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, Kabinet Natsir setuju untuk mendatangkan 200 dokter biasa dan beberapa spesialis. Namun, karena pekerjaan PUTABA kurang memuaskan, Kementerian Kesehatan meminta dan mendapatkan izin melakukan rekrutmen sendiri.

Maka, Kementerian Kesehatan mengutus dr. Pirngadi, kala itu kepala departemen personalia Kementerian Kesehatan, ke Eropa untuk mencari dokter-dokter yang mau bekerja pada pemerintah Indonesia.

“Tentang pertanyaan bangsa apakah yang harus didatangkan adalah termasuk dalam lapangan politik. Buat kita menurut pengalaman adalah kenyataan bahwa umumnya yang dapat kita gunakan adalah dokter-dokter bangsa Belanda, Austria, Hongaria, Jerman, dan Italia,” tulis Hemera Zoa, Vol. 60, tahun 1953.

Di Den Haag, Kementerian Kesehatan membentuk dewan penyeleksi yang diketuai Soewandhi. Seorang pelamar yang diterima akan mendapat uang perlengkapan f.1.000 dan f.500 untuk anak dan istri. Gaji yang diberikan sesuai dengan BAG 1949 ditambah 25% dalam mata uang rupiah.

“Doctors Needed in Indonesia”, begitulah berita Sarasota Herald Tribune, harian yang terbit di Amerika Serikat, 27 Maret 1952. Isinya menguraikan upaya Kementerian Kesehatan. “Sejauh ini 58 dokter telah mendaftar. Sekitar 50 persen orang Belanda. Sisanya berasal dari negara-negara Eropa Barat lainnya, khususnya Jerman,” tulis Sarasota Herald Tribune. Berita dengan isi sama juga muncul di koran terbitan Amerika lainnya seperti Star News dan Lawrence Journal World.

Upaya Kementerian Kesehatan mulai membuahkan hasil. “Hingga sekarang yang telah kita datangkan sudah ada 100 orang. Umumnya mereka dapat menyesuaikan diri dan dapat kita gunakan,” tulis Hemera Zoa.

Gaji dokter asing tidak seharusnya lebih tinggi dari dokter lokal. Di beberapa tempat, staf kesehatan mogok atau menyampaikan petisi keberatan.

Salah satu dokter yang datang ke Indonesia adalah C.J. van Beek. Dari Mei 1952 sampai Mei 1955 ia berpraktik sebagai dokter spesialis mata di Indonesia Timur. Ia berbagi pengalamannya melalui tulisan berjudul “Three Year’s Personal Experience in Indonesia”, dimuat jurnal Ophthalmologica, Vol. 132, No. 5, 1956.

Ketika mengunjungi Komisariat Agung di Den Haag, Van Beek bertemu dan mendapat tawaran dari dr. Pirngadi. Antara lain kondisi kerja yang menyenangkan, alat-alat yang memadai, tunjangan dari gaji resmi dalam gulden, gaji yang rendah dalam rupiah untuk bekerja di tengah penduduk, pendapatan yang tinggi dari praktik swasta, serta sebuah mobil yang bisa digunakan saat bertugas maupun tidak.

“Hampir semua aspek ini terpenuhi; tapi mobil untuk dokter mata tak pernah tiba di Makassar, alat tes kacamata hanya setelah 21⁄2 tahun, dan karena dokumen saya hilang di Jakarta, saya menerima gaji dan tunjangan dalam gulden hanya setelah 7 bulan,” tulis Van Beek.

Kendati belum ada data pasti, sama seperti PUTABA, Kementerian Kesehatan berupaya merekrut lebih banyak dokter di tahun-tahun berikutnya. Namun upaya ini tidak selalu disambut kalangan dokter Indonesia.

Menurut Saki Murakami dalam “Call for Doctors!”, dimuat Cars, Conduits, and Kampongs yang disunting Rosemarijn Hoefte dan Henk Schulte Nordholt, Ikatan Dokter Indonesia menyatakan ketidakpuasan atas perbedaan perlakuan tersebut. Bagi mereka, gaji dokter asing tidak seharusnya lebih tinggi dari dokter lokal. Di beberapa tempat, staf kesehatan mogok atau menyampaikan petisi keberatan.

“Namun, secara umum, kebutuhan akan dokter asing dinilai lebih serius daripada masalah yang mereka buat dan tak pernah ada perubahan drastis atas kebijakan merekrut orang-orang asing sebelum ia diam-diam mereda,” tulis Murakami.

Bahder Djohan, pemimpin Universitas Indonesia, menjalin kerja sama dengan University of Kentucky. (Repro Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan).

Sebuah Kegagalan

Sementara mempekerjakan tenaga ahli asing, pemerintah bersiap diri untuk melepaskan ketergantungan itu. Salah satu caranya dengan mengirim pegawai-pegawai negeri sipil untuk belajar di luar negeri. Menurut Farabi, selama 1950–1956 pemerintah mengirim 284 orang dengan ikatan dinas dan 142 dengan pertukaran untuk belajar di Belanda. Jerman Barat berada di urutan kedua dengan pengiriman 242 orang.

“Hal ini sesuai dengan kebijakan awal PUTABA, yang mungkin karena alasan linguistik memprioritaskan negara- negara ‘berbahasa Jermanik’ sebagai sumber pekerja terampil,” tulis Farabi.

Jawaban lain lewat pengembangan sistem pendidikan tinggi. Kekurangan tenaga ahli juga dipenuhi melalui jaringan afiliasi universitas. Misalnya, pada 1955, Bahder Djohan sebagai pemimpin Universitas Indonesia yang kala itu juga membawahkan Institut Teknologi Bandung dan Fakultas Pertanian Bogor, menjalin kerja sama dengan University of Kentucky.

“Dalam waktu 5 bulan setelah aku kembali ke Indonesia, sejumlah tenaga guru-guru besar yang diperlukan bersama dengan istrinya, telah berada di Indonesia,” ujarnya dalam Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan.

Pada akhirnya gerak PUTABA sendiri tersendat-sendat. Selain tak mampu memenuhi kebutuhan, banyak pelamar punya kualitas mengecewakan. Beberapa pemuda Swiss yang dikirim ke Indonesia hanya memiliki pendidikan dasar, yang tak seimbang dengan gaji yang mereka peroleh. Menurut Farabi, bagi Sjafruddin Prawiranegara, masalahnya tampaknya bukan bagaimana mendatangkan mereka ke Indonesia tapi mengeluarkan mereka dari Indonesia.

“Secara umum, upaya Indonesia dalam memperoleh tenaga ahli asing untuk bekerja secara langsung dan organik sebagai pegawai negeri sipil nasional adalah sebuah kegagalan. PUTABA terus beroperasi sampai pertengahan tahun 1950-an, namun jumlah yang direkrut jauh dari yang dibutuhkan,” tulis Farabi.

Dr. Menne mengunjungi rumah penduduk untuk memberikan pengobatan tahun 1957. (Dok. Keluarga Menne).

Cinta Indonesia

Banyak tenaga ahli asing, terutama dokter, memperpanjang masa tugasnya di Indonesia setelah kontrak pertamanya berakhir. Salah satunya dr. Menne.

Setelah tiga setengah tahun di Kalimantan, dr. Menne pindah tugas ke wilayah pegunungan di Kuningan, Jawa Barat, yang tidak aman. Sebisa mungkin ia menjaga diri agar tak menjadi korban dari ulah gerombolan pemberontak.

“Jika para teroris kembali ke markas mereka di pegunungan, suami saya selalu pergi ke rumah sakit untuk mengobati korban luka dan mutilasi,” kata Gertrud Menne.

Pada awal 1960-an dr. Menne dan keluarganya akhirnya pulang ke Jerman. Ia lalu membuka praktik di Albbruck, distrik Waldshut. Tapi cinta mereka terhadap Indonesia tak pernah hilang. “Setidaknya kami pergi ke sana sepuluh kali.” Dan itulah kenapa Gertrud Menne memberi judul bukunya, yang mengisahkan pengalaman di Indonesia dan terbit tahun 2007: Aus den Augen, aber nicht aus dem Herzen: Erinnerungen an Indonesien. Jauh di mata, dekat di hati.

Gertrud Menne meninggal dunia pada Juni 2015 di usia 92 tahun, menyusul suaminya, dr. Menne, yang meninggal tahun 1993. “Itu hari yang sangat panas, 35 derajat, dan salah seorang teman berkata: ‘Ia pasti senang, karena ini sehangat di Indonesia,” ujar Dieter Menne, putra dari pasangan dr. Menne dan Gertrud via surel.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6423d6df6b4579210ad6fef8