Merdeka Mata Uang

Dengan segala keterbatasan, Indonesia memiliki mata uang sendiri. Ia harus bersaing dengan uang Jepang dan NICA.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Merdeka Mata UangMerdeka Mata Uang
cover caption
100 Rupiah Seri ORI II, 1947. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

DALAM suatu pertemuan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada September 1945, Sjafruddin Prawiranegara, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, mengusulkan agar pemerintah Republik Indonesia menerbitkan mata uang sendiri sebagai pengganti mata uang Jepang yang masih berlaku. Ini penting bukan hanya sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga menjadi simbol negara yang merdeka dan berdaulat. Mulanya Bung Hatta ragu. Setelah diskusi panjang, akhirnya dia setuju. Tapi realisasinya butuh waktu lama. Bukan perkara mudah. Tak ada dana dan tenaga ahli terbatas. 

Di awal kemerdekaan, wilayah Indonesia menjadi pasar mata uang. Mata uang Jepang masih beredar dalam jumlah besar, meski nilianya terus merosot. NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), yang berusaha menguasai wilayah Indonesia, juga mengedarkan mata uang yang dikenal dengan sebutan “uang NICA” atau “uang merah”. Terjadilah krisis moneter. Inflasi.

DALAM suatu pertemuan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada September 1945, Sjafruddin Prawiranegara, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, mengusulkan agar pemerintah Republik Indonesia menerbitkan mata uang sendiri sebagai pengganti mata uang Jepang yang masih berlaku. Ini penting bukan hanya sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga menjadi simbol negara yang merdeka dan berdaulat. Mulanya Bung Hatta ragu. Setelah diskusi panjang, akhirnya dia setuju. Tapi realisasinya butuh waktu lama. Bukan perkara mudah. Tak ada dana dan tenaga ahli terbatas. 

Di awal kemerdekaan, wilayah Indonesia menjadi pasar mata uang. Mata uang Jepang masih beredar dalam jumlah besar, meski nilianya terus merosot. NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), yang berusaha menguasai wilayah Indonesia, juga mengedarkan mata uang yang dikenal dengan sebutan “uang NICA” atau “uang merah”. Terjadilah krisis moneter. Inflasi. 

10 Rupiah Seri ORI I, 1945. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Pemerintah kemudian mengeluarkan maklumat pada 2 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa uang NICA tak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Sehari kemudian, keluar maklumat yang menetapkan mata uang yang beredar selama pendudukan Jepang diakui sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Menurut Noek Hartono dalam Uang Kertas di Indonesia, NICA yang menguasai uang Jepang dalam jumlah tak sedikit, 200 juta, menghambur-hamburkannya untuk merusak harga pasaran. 

Untuk mengatasinya, salah satu jalan yang ditempuh adalah mengeluarkan mata uang sendiri. Pada Oktober 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis menginstruksikan tim Serikat Buruh Percetakan G. Kolff & Co. di Jakarta untuk mencari percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Anggotanya antara lain Mochtar Matata, Aus Suriatna, dan S.E. Osman –mereka pula yang kemudian menjadi anggota Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia, yang diketuai T.B.R. Sabarudin. Berdasarkan penilaian tim, Percetakan G. Kolff & Co. di Jakarta dan Percetakan Nederlandsche Indische Metaalwaren en Emballage fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang, dianggap memenuhi syarat.

100 Rupiah Seri ORI I, 1945. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

ORI 

Persiapan pun dilakukan. Percetakan Balai Pustaka Jakarta dan Percetakan De Unie berperan dalam desain dan bahan-bahan induk (master) berupa negatif kaca yang dilakukan Bunyamin Suryohardjo, yang pernah menimba ilmu membuat klise di Percetakan Gita Karya, Sukabumi, tahun 1924. Sedangkan pelukis Abdulsalam dan Soerono tercatat sebagai pelukis pertama ORI (Oeang Republik Indonesia). Untuk mencetak offset, karena Percetakan G. Kolff & Co. masih dikuasai Belanda, dilakukan di Percetakan Republik Indonesia, Salemba Jakarta. Untuk kertasnya sendiri didapat dari pabrik Letjes di Malang. Pencetakan ORI dilakukan pagi hingga malam sejak Januari 1946, ditangani R.A.S. Winarno dan Joenoet Ramli. 

Setelah melakukan persiapan, ORI pun tercetak pada 17 Oktober 1945, meski baru resmi beredar pada 30 Oktober 1946. Sjafruddin, menteri keuangan, bertanggungjawab atas peredaran mata uang Republik ini. 

100 Rupiah Seri ORI III, 1947. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Sehari sebelum beredar, lewat corong RRI, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan, sebagaimana dikutip Bank Notes and Coins From Indonesia 1945–1990: “Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru... Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita sendiri.” Tanggal 30 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Keuangan. 

Selain mengumumkan pemberlakuan ORI, pemerintah menetapkan penarikan uang Jepang. Proses penarikan uang Jepang dilakukan BNI 46 sebagai bank sentral –meski ORI baru berlaku di Jawa dan Madura, yang dikirim dalam gerbong-gerbong kereta api, dan dijaga secara ketat untuk menghindari perampokan. 

40 Rupiah Seri ORI III. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Pada awal peredarannya, setiap penduduk mendapat satu rupiah untuk mengganti sisa uang Jepang yang masih dapat dipakai hingga 16 Oktober 1946, tanggal yang ditetapkan untuk menukar simpanan di bank dengan ORI. Yang sudah berkeluarga mendapat tambahan 3 sen. 

ORI pertama ini, di bagian depan, bergambar Presiden Sukarno dengan latar Gunung Merapi. Ia terdiri atas delapan pecahan: 1 sen, 5 sen, 10 sen, 1⁄2 rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah. Walaupun unsur pengaman uang dan teknik pencetakannya masih sederhana, ORI sudah mencantumkan ciri-ciri umum uang seperti tanda tangan, tanggal/tahun emisi, ketentuan hukum, dan pernyataan sebagai alat pembayaran. 

5 Rupiah Seri ORIDA Banten, 1948. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Karena uang Jepang masih beredar, Undang-Undang No. 19/1946 tanggal 25 Oktober 1946 menetapkan patokan nilai 10 rupiah ORI = 5 gram emas murni dan nilai tukar 1 rupiah ORI = 50 uang Jepang di Jawa. Sedang di Sumatra, 1 rupiah ORI = 100 uang Jepang. 

Situasi keamanan yang genting dan ibukota Republik pindah ke Yogyakarta membuat seluruh materi percetakan ikut dibawa dengan kereta api. Ternyata di Yogyakarta pun mereka harus mencetak uang dengan berpindah-pindah tempat. Untuk menghindari serangan dan penggerebekan tentara Belanda, pencetakan ORI bahkan mesti kerap pindah di sejumlah percetakan di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. 

5 Rupiah Seri ORIDA Keresidenan Lampung, 1948. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

ORI juga menghadapi saingan dari uang NICA. Sampai-sampai Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan di daerah perbatasan Republik dan daerah pendudukan Belanda: tak boleh ada paksaan pada penduduk yang memilih mata uang yang disukai. Peredaran ORI tersendat. Terlebih, ORI dengan desain sederhana ini mudah dipalsukan. Selain bahan kertas yang dipakai gampang sobek, teknik mencetaknya pun belum rapi. Belanda memanfaatkan kelemahan itu dengan menerbitkan dan mengedarkan ORI palsu dan memasukkan uang NICA ke wilayah Republik. 

“Waktu awal kemerdekaan, peredaran ORI tak mudah. Pemerintah Belanda masih bergeliat waktu itu. Kalau kita ketahuan membawa atau mengedarkan ORI, kita dituduh pro-Republik, sehingga butuh perjuangan,” kata Made Sudiarta, analis Program Publik Media Senior dari Departemen Museum Bank Indonesia, yang menyimpan dan memamerkan koleksi mata uang. 

Pada 1946 sampai 1949, pemerintah Indonesia menebitkan lima seri/emisi ORI. ORI emisi
kedua bertanda tahun: “Djokjakarta 1 Januari 1947”, emisi ketiga “Jogjakarta 1 Januari 1947”, emisi keempat “Djogjakarta 23 Agustus 1948”, dan kelima “Djokjakarta 17 Agustus 1949”. 

5 Rupiah Seri ORIDA Bukittinggi, 1948. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

ORIDA 

Ketika Belanda melancarkan agresi militer, untuk mengatasi keterbatasan uang tunai akibat terputusnya komunikasi antara pusat dan daerah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1947 tanggal 26 Agustus 1947. Isinya, memberi mandat kepada para pemimpin daerah untuk menerbitkan “uang lokal”, kemudian dikenal Oeang Repoeblik Indonesia Daerah atau ORIDA. Mata uang ini antara lain beredar dan berlaku secara terbatas di Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh. 

Menurut Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945–1949, ada berbagai jenis ORIDA yang sempat diterbitkan. Ada ORIDA berupa Bon, bentuk surat Penerimaan Uang, bentuk pembayaran yang sah, dan bentuk Mandat. Fungsi sebagai alat pembayar dan penukaran berlainan. ORIDA dalam bentuk Mandat, misalnya, yang dikeluarkan Bengkulu dan Palembang, dipakai sebagai alat penukar beras dan padi. Istilah mandat sendiri punya arti, dengan penyerahan mandat ini, kas negara diperbolehkan mengeluarkan uang dan beras seharga padi/beras tersebut. 

10 Rupiah Seri ORIDA Propinsi Sumatera, 1948. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Dengan segala keterbatasan, kualitas ORIDA pun seadanya. Cetakannya umumnya menggunakan alat cetak tangan dengan klise-klise dari campuran timah dan bismuth –bahkan ada yang menggunakan klise dari kayu. Tanda-tanda pengaman pemalsuan pun sangat sederhana; berupa titik-titik, garis-garis putus tertentu, atau menggunakan stempel dan tandatangan. Bahan kertas terdiri dari HVS, kertas buku tulis, atau kertas tik. Tintanya bermacam-macam. Di Jambi menggunakan lilin merah dicampur terpentin sebagai pewarna. Di Rantau Prapat bahkan hanya menggunakan alat stensil biasa. 

Setelah pengakuan kedaulatan, dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), sejak 1 Januari 1950 mulai berlaku mata uang RIS sebagai pengganti ORI dan ORIDA.

Perkembangan penerbitan dan pengedaran mata uang di masa awal kemerdekaan bisa Anda saksikan di Galeri Numismatika Arthasuaka di Museum Bank Indonesia. “Koleksinya berasal dari peninggalan saat penjajahan bangsa asing (Belanda, Jepang, Inggris) yang dimiliki De Javasche Bank, ada yang membeli dari kolektor melalui lelang, ada juga yang hibah,” kata I Made Sudiarta. 

Lewat ORI dan ORIDA, Indonesia menegaskan diri sebagai negara merdeka.*

Majalah Historia No. 4 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
656e7b924629123161fdf3ca