Diorama peristiwa penyergapan serdadu marinir Belanda di Prambonwetan. (Marjolein van Pagee).
Aa
Aa
Aa
Aa
SELARIK pesan singkat dari Marjolein van Pagee, jurnalis sejarah dari Belanda, singgah di telepon genggam saya. Isinya memberitahukan pembuatan film dokumenter Patrouille Teeken: Reis naar Prambon Wetan (Patroli Teeken: Perjalanan ke Prambon Wetan) telah rampung. “Tayangannya bisa kamu saksikan di youtube.com sekarang,” ujar Marjolein.
Patrouille Teeken rilis tahun 2014, berkisah tentang penelusuran Marjolein terhadap insiden penyergapan sebuah patroli brigade marinir Belanda di luar Prambonwetan, sebuah desa di Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur, pada 23 Juli 1949. Penyergapan itu, yang disusul penahanan terhadap beberapa prajurit Belanda, berujung pada pembalasan tanpa ampun dari militer Belanda kepada penduduk desa.
SELARIK pesan singkat dari Marjolein van Pagee, jurnalis sejarah dari Belanda, singgah di telepon genggam saya. Isinya memberitahukan pembuatan film dokumenter Patrouille Teeken: Reis naar Prambon Wetan (Patroli Teeken: Perjalanan ke Prambon Wetan) telah rampung. “Tayangannya bisa kamu saksikan di youtube.com sekarang,” ujar Marjolein.
Patrouille Teeken rilis tahun 2014, berkisah tentang penelusuran Marjolein terhadap insiden penyergapan sebuah patroli brigade marinir Belanda di luar Prambonwetan, sebuah desa di Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur, pada 23 Juli 1949. Penyergapan itu, yang disusul penahanan terhadap beberapa prajurit Belanda, berujung pada pembalasan tanpa ampun dari militer Belanda kepada penduduk desa.
“Sekitar 60 orang tewas dan 50 rumah musnah terbakar akibat bombardir dan pembersihan yang dilakukan tentara Belanda,” ujar Marjolein, fotografer perempuan yang belajar ilmu sejarah di Universitas Leiden, Belanda.
Peristiwa itu juga pernah diangkat Wim Hornman, novelis perang dari Belanda, ke dalam novelnya, Patrol Teeken, yang terbit tahun 1996. Sayangnya, novel tersebut melulu bercerita dari sisi orang-orang Belanda. “Pesan dari novel itu adalah betapa mengerikannya orang-orang Indonesia saat membunuh para marinir yang mereka serang,” kata Marjolein.
Penyergapan
Selasa, 23 Juli 1949. Di antara Punggulrejo dan Banjararum, satu regu marinir pimpinan Letnan Satu Leen Teeken tengah menyusuri jalan pagi itu. Mereka datang dari arah pos Rengel dengan tujuan desa Prambonwetan, yang menurut militer Belanda “bermasalah” karena sering menjadi pangkalan gerilyawan.
“Saya masih ingat, suasana saat itu begitu sunyi dan tenang,” ujar Ben Reurling (88 tahun), salah seorang anggota patroli tersebut.
Menurut Marjolein, patroli itu sendiri terkesan mendadak. Tanpa ada koordinasi sebelumnya, sehari sesudah mengambil alih pos Rengel dari sebuah kesatuan Angkatan Darat Belanda pada 22 Juli 1949, Teeken secara tiba-tiba memutuskan pergi ke Prambonwetan. “Sepertinya ini insiatif dari Teeken untuk menunjukan siapa yang berkuasa di wilayah tersebut,” ujar Marjolein.
Tanpa disadari regu Teeken, di balik tanggul sungai kecil antara Karuman dan Boro (dua dukuh yang masuk wilayah Desa Banjararum), sepasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pimpinan Letnan Muda Noortjahjo dari Brigade Ronggolawe tengah mengintai pergerakan mereka. Ikut pula beberapa penduduk Prambonwetan. Salah satunya bernama Josephus Antonius Soetjipto, saat itu remaja berusia 12 tahun.
“Saya saat itu, dengan membawa sebuah karaben pendek, ikut mengintai di balik tanggul dekat batas dukuh,” ujar Soetjipto (79 tahun), pensiunan pegawai Badan Pertanahan Nasional, kepada Historia.
Satu, dua, hingga sepuluh langkah, para serdadu itu dibiarkan lewat begitu saja. Namun begitu mereka sampai di dekat batas dukuh Boro, terdengar teriakan keras dari Noortjahjo: “Salvooo!” Dan peluru pun berhamburan. Suaranya berdesing bersanding dengan gelegar suara granat dan teriakan-teriakan menyeramkan dari pihak penyergap.
Menghadapi sergapan tiba-tiba itu, regu Teeken langsung panik. Alih-alih membalas tembakan, mereka malah menjadi sasaran empuk para gerilyawan. Empat serdadu langsung mati di tempat, termasuk Teeken yang batok kepalanya hancur kena pecahan granat. “Saya melihat isi kepalanya berceceran di pematang sawah,” kenang Soetjipto.
Mengetahui komandannya tewas, sisa regu patroli yang terdiri dari tujuh marinir dan seorang petunjuk jalan bernama Teng Tjing Teek lintang pukang. Mereka kabur ke arah utara, melewati sawah-sawah berlumpur. Sementara itu, para pemuda desa yang sebagian besar bersenjata kelewang, golok, tombak, dan bambu runcing memburu di belakang mereka.
Sebelum sisa regu pasukan tersebut mencapai tanah kering, dari balik tanah tinggi berbatu di depan mereka, bermunculan pasukan TNI. “Mereka adalah seksi Letnan Muda Sanyoto yang memang ditugaskan untuk menutup jalur pelarian musuh,” tulis buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe yang disusun Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe.
Tak ada upaya yang bisa dilakukan para marinir itu kecuali menyerah. Hanya Teng Tjing Teek, yang terlanjur kalap, nekat menembakkan karaben pendeknya. Dasar sial, senjatanya kehabisan peluru. Ia membanting senjatanya ke sebuah pohon dan langsung angkat tangan tanda menyerah. Namun sebutir peluru terlanjur menembus dadanya. Ia tewas seketika. Para pemuda yang dikuasai amarah langsung mencincang mayatnya tanpa ampun.
Tak jauh dari para penyincang mayat Teng Tjing Teek, penduduk desa mengepung ketujuh marinir yang sudah menyerah. Menghadapi situasi kritis tersebut, para serdadu yang sudah hampir kehabisan napas hanya bisa pasrah menunggu nasib. Sebagian terlihat ketakutan.
“Pateni wae!”
“Londo asuuu!”
“Bunuh saja!”
Sadar situasi gawat, Letnan Muda Sanyoto langsung bertindak. Ia memerintahkan pasukannya mengamankan para serdadu Belanda. Sebagai bentuk pelampiasan rasa marah, penduduk desa melucuti seragam ketujuh marinir itu. “Semuanya diambil, dari baju hingga sepatu, pokoknya yang tersisa di tubuh mereka hanya celana kolor,” ujar Soetjipto.
Dengan hanya menggunakan sarung, marinir-marinir itu digiring ke Prambonwetan. Setelah diberi pakaian layak dan istirahat beberapa jam, mereka dibawa ke Jatirogo dan Tempayang. Di kedua desa itu mereka ditahan di suatu tempat rahasia.
“Atas perintah Komandan Brigade I Ronggolawe Letnan Kolonel Soedirman, para tawanan itu diberikan perawatan kesehatan secara khusus oleh seorang dokter tentara,” ujar Letnan Jenderal (Purn.) Rukmito Hendraningrat, eks Kepala Staf Brigade I Ronggolawe, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid 2.
Bahkan untuk makan dan minum para tawanan, prajurit-prajurit Brigade Ronggolawe diperintahkan mencari roti, keju, dan susu. Padahal, kata Rukmito, untuk keseharian sendiri mereka kadang harus menahan lapar. “Memang mulanya kami marah dan kesal tapi lambat laun kami paham, Pak Dirman ingin mengajari kami bagaimana memperlakukan sesama manusia walaupun itu musuh kita sendiri,” ujarnya.
Operasi Pembersihan
Setelah ditinggalkan pasukan Ronggolawe, Prambonwetan dikecam ketakutan. Desas-desus bahwa desa di pinggir Sungai Bengawan Solo itu akan “dibersihkan” mulai menyebar. Sebagian warga menyeberang ke selatan Bengawan Solo malam itu. Sebagian lainnya memilih bertahan di lubang-lubang perlindungan yang mereka buat.
Benar saja. Besoknya, sekitar pukul 6 pagi, dari desa di seberang Prambonwetan yang terpisah Bengawan Solo, terdengar suara berdesing keras diakhiri desis mengerikan. Ledakan lantas terjadi di seantero desa. Prambonwetan dibombardir dengan kanon dan peluru mortir.
Selesai membombardir, para personel militer Belanda masuk ke Prambonwetan. Pembersihan dijalankan dengan melepaskan tembakan-tembakan membabi buta. Karena tak jua menemukan kawan-kawan mereka yang hilang, pasukan Belanda membakar puluhan rumah yang dicurigai sebagai basis para gerilyawan.
“Dari seberang Bengawan Solo, saya menyaksikan asap mengepul tanda desa saya sudah terbakar,” ujar Soetjipto.
Begitu pasukan Belanda pergi, sekitar pukul 12 siang, orang-orang Prambonwetan yang menyingkir memberanikan diri untuk kembali. Sesampai di desa, mereka menemukan rumah-rumah sudah terbakar dan sanak saudaranya bergelimpangan menjadi mayat.
“Saya sendiri menemukan adik kakek saya yang bernama Sariban sudah meninggal, lalu Pakde Samsi dan istrinya, juga kawan saya yang bernama Buntoro, saya lihat terduduk di dekat kakus dengan lobang besar di dadanya,” ujar Soetjipto.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Dari seberang Bengawan Solo, saya menyaksikan asap mengepul tanda desa saya sudah terbakar.</div>
Menurut Lilik (73 tahun), Soekilan yang saat itu menjabat sebagai carik desa sempat mencatat nama-nama korban dan jumlah rumah yang terbakar akibat operasi pembersihan tersebut. “Jumlah lengkapnya: 64 warga Prambonwetan tewas dan 54 rumah musnah terbakar,” ujar Lilik, putra dari Suratni, eks kepala desa Prambonwetan yang tewas ditembak tentara Belanda pada Juni 1949.
Dalam surat kabar NRC Handelsblad edisi 4 April 2015, Marjolein sempat mengonfirmasi aksi balas dendam ini kepada sejumlah veteran militer Belanda yang bertugas di sekitar Prambonwetan pada tahun itu. Salah satunya Letnan Carel van Lookeren Campagne (90 tahun) yang saat itu ditugaskan mencari anggota patroli Teeken yang hilang.
Campagne mengatakan tak pernah mendengar adanya operasi pembersihan terhadap Prambonwetan. Namun ia menjelaskan bahwa kala itu emosi para prajurit memang sangat tinggi dan dorongan melakukan aksi balas dendam sangat besar. “Sulit sekali untuk tidak emosi saat itu, hingga untuk mencegahnya, berkali-kali saya meneriakkan kata-kata kasar kepada mereka,“ ujarnya.
Ben Reurling, salah seorang marinir yang tertawan TNI, juga bilang tak tahu-menahu soal aksi tersebut. Yang ia ingat, TNI memperlakukan mereka dengan baik selama penawanan. “Jika aksi balas dendam itu memang terjadi, tentunya saya secara pribadi sungguh-sungguh merasa malu,” ujar satu-satunya eks tawanan yang berumur panjang.
Para eks serdadu Belanda bisa berkilah. Namun, setelah bertahun-tahun meneliti kasus ini, Marjolein sudah menunjukkan kebenaran kisah pembersihan Prambonwetan.*