Jepang memaksa tawanannya berjalan kaki ratusan kilometer. Dari dua ribu lebih tawanan, hanya enam tawanan dari Australia yang selamat karena melarikan diri. Tawanan Inggris tewas semua.
Kuburan tawanan perang di Kamp Sandakan. (Repro Laden, Fevered, Starved: The POW's of Sandakan North Borneo, 1945).
Aa
Aa
Aa
Aa
LYNETTE Ramsay Silver masih ingat ketika seorang perempuan mendatanginya di tahun 1993. Perempuan itu memintanya menulis tentang peristiwa tragis di Sandakan, kota pelabuhan di pantai timur Kalimantan Utara, yang dikenal dengan sebutan Sandakan Death March atau Pawai Kematian Sandakan. Perempuan itu ingin ada yang mencatat kisah pilu itu, yang memakan ribuan korban jiwa, termasuk kakaknya.
Perempuan itu lalu memperkenalkannya pada Keith Botterill, mantan prajurit Angkatan Darat Australia yang ditawan Jepang di Sandakan dan salah satu dari segelintir tawanan yang selamat. “Pertemuan pertama kami sangat istimewa,” ujar Lynette, sejarawan yang fokus pada sejarah Sandakan, kepada Historia. Lynette tak kesulitan memahami cerita Keith. Dia sudah tahu banyak kisah yang Keith bicarakan.
Pertemuan Lynette dan Keith makin sering terjadi, terutama 12 bulan terakhir sebelum kematian Keith pada Januari 1997. Keseharian tawanan di kamp militer Jepang dan topik-topik lain yang tak umum menjadi inti pembicaraan mereka.
LYNETTE Silver masih ingat ketika seorang perempuan mendatanginya di tahun 1993. Perempuan itu memintanya menulis tentang peristiwa tragis di Sandakan, kota pelabuhan di pantai timur Kalimantan Utara, yang dikenal dengan sebutan Sandakan Death March atau Pawai Kematian Sandakan. Perempuan itu ingin ada yang mencatat kisah pilu itu, yang memakan ribuan korban jiwa, termasuk kakaknya.
Perempuan itu lalu memperkenalkannya pada Keith Botterill, mantan prajurit Angkatan Darat Australia yang ditawan Jepang di Sandakan dan salah satu dari segelintir tawanan yang selamat. “Pertemuan pertama kami sangat istimewa,” ujar Lynette, sejarawan yang fokus pada sejarah Sandakan, kepada Historia. Lynette tak kesulitan memahami cerita Keith. Dia sudah tahu banyak kisah yang Keith bicarakan.
Pertemuan Lynette dan Keith makin sering terjadi, terutama 12 bulan terakhir sebelum kematian Keith pada Januari 1997. Keseharian tawanan di kamp militer Jepang dan topik-topik lain yang tak umum menjadi inti pembicaraan mereka.
Lynette lalu menelusuri arsip dan melakukan sejumlah wawancara. Meski sebelumnya sudah ada perhatian orang Australia terhadap kekejaman Jepang, “tapi aku yang pertama menelusuri secara mendetail kekejaman yang dilakukan terhadap tawanan perang Sekutu dan penduduk setempat dalam kaitan dengan Sandakan dan Pawai Kematian, dan orang pertama yang menelusuri nasib tiap tawanan yang berjumlah 2.500,” ujarnya.
Penelusuran Lynette membuahkan hasil, yang terbaik adalah buku Sandakan: A Conspiracy of Silence. Lynette bukan hanya membeberkan keseharian para tawanan yang mengerikan akibat siksaan, tapi juga menghadirkan bagaimana ribuan nyawa harus melayang. Bukan semata-mata oleh Jepang, pasukan Sekutu juga punya andil melalui pembatalan sebuah operasi penyelamatan tawanan. “Aku sebetulnya menginvestigasi alasan mengapa usulan misi rahasia untuk menyelamatkan tawanan pada April 1945 dibatalkan,” ujar Lynette. Akibat pembatalan itu, hampir semua tawanan tewas. Dan Sekutu merahasiakannya selama bertahun-tahun.
Perang Pasifik
Setelah membombardir Pearl Harbor, Hawaii pada akhir 1941, militer Jepang merangsek cepat ke berbagai tempat di selatan, termasuk Indonesia. Mereka menyasar tempat-tempat kaya sumber daya alam, terutama minyak. Pada Desember 1941, dari Davao, Filipina, Jepang masuk dan merebut Tarakan di Kalimantan. Jepang memutuskan menjadikan Kalimantan sebagai tempat sumber minyak dan transit.
“Orang Jepang membutuhkan basis di Kalimantan untuk meningkatkan jangkauan pesawat mereka yang beroperasi dari Singapura. Dan sebagai tempat pengisian ulang bahan bakar, plus tempat pemeliharaan dan basis taktis militer lainnya,” ujar Lynette.
Diputuskanlah pembangunan lapangan udara di Sandakan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, Jepang mendatangkan ribuan romusha dari Jawa. Selain itu, selepas menguasai Singapura pada awal 1942, Jepang memindahkan lebih dari 2.000 tawanan Sekutu, terutama asal Australia dan Inggris. Keith Botterill termasuk tawanan itu. Di Sandakan, para tawanan maupun romusha bekerja tanpa peralatan alias tangan kosong. Persediaan obat-obatan ala kadarnya. Namun, pada setahun pertama, Jepang menyediakan jatah makanan yang tak terlalu buruk. Situasi tersebut berlangsung hingga akhir 1943 ketika Kempeitai (polisi militer Jepang) mencium adanya gerakan bawah tanah yang dilakukan para tawanan perang.
Dari penggeledahan, tentara Jepang menemukan radio komunikasi hingga obat-obatan. Hukuman berat dijatuhkan; ditusuk bayonet atau ditembak mati. Tentara Jepang juga memindahkan tawanan secara besar-besaran ke kamp-kamp di pedalaman. Di sinilah para tawanan sering mengalami siksaan. Beberapa di antaranya bahkan dikandangkan dalam kurungan kecil dalam waktu lama.
“Saya dikurung dalam kandang di Sandakan selama 40 hari 40 malam. Selama itu saya dipukul setiap hari. Saya juga tak diizinkan mencuci atau bercukur, dan tujuh hari tak diberi makanan,” kenang Keith Botterill dalam kesaksiannya di borneopow.info.
Jepang juga mulai memotong jatah makanan. “Makanan di kamp itu tidak cukup untuk membuat kami tetap dalam kesehatan baik. Beberapa orang meninggal karena kelaparan. Pada akhirnya kami hanya menerima 75 gram beras per hari,” lanjut Keith.
Australia sempat merencanakan upaya pembebasan tawanan. Agen-agen intelijen lokalnya memasok informasi pada April 1945. Mereka kira Jepang dan semua tawanan sudah pindah dan kamp Sandakan kosong. Namun ternyata informasi itu salah. Operasi penyelamatan pun batal.
Satu per satu tawanan tewas. Namun, meski banyak kekejaman yang dilakukan serdadu Jepang, ujar Lynette, “Mayoritas tawanan perang Sekutu tewas akibat malnutrisi dan sakit.”
Romusha juga menerima perlakuan yang tak kalah buruk. Mereka tak terorganisasi dan tak punya persediaan medis sementara tawanan perang punya seorang perwira yang secara hierarkis diakui Jepang. Gaji yang dijanjikan tak dibayar sepenuhnya. “Kondisi romusha tergantung kebijaksanaan masing-masing pasukan Jepang dan situasi di lokasi setempat,” ujar Aiko Kurasawa, sejarawan Keio University, Jepang kepada Historia.
Pawai Kematian
Kemajuan Sekutu, terutama AS di bawah Jenderal Douglas MacArthur, membuat Jepang setahap demi setahap kehilangan daerah pendudukannya. Memasuki tahun 1945, ketika Sekutu membombardir Sandakan, dari udara maupun laut, Jepang sudah jauh melemah. Karena Sandakan makin tak aman, Jepang berencana pindah ke pedalaman beserta para tawanan dan romusha.
Markas Besar Garnisun Jepang di Borneo di bawah Jenderal Yamawaki Masataka mengeluarkan perintah pada pertengahan Januari 1945 untuk memindahkan dan mempekerjakan tawanan perang dan romusha di Jesselton (kini Kota Kinabalu, ibu kota negara bagian Sabah), yang berjarak 335 km. Pemindahan harus segera dilakukan.
“Kapal selam AS sudah hampir memblokade Kalimantan. Sekutu mencegat dan men-decoding sinyal Jepang, sehingga kapal-kapal selamnya tahu persis di mana harus berpatroli. Inilah sebabnya mengapa para tawanan perang dan Jepang harus berjalan kaki di Borneo, karena perjalanan laut dan udara adalah mustahil,” ujar Lynette.
Rombongan pertama, terdiri dari sembilan kelompok yang masing-masing sekira 50 tawanan, berangkat pada akhir Januari ke Jesselton dalam waktu hanya 17 hari. Keith ikut di dalamnya. Mereka berjalan kaki melintasi belantara untuk menghindari musuh, yang membombardir pantai barat (Jesselton). Karena bombardir Sekutu itu pula perwira Jepang yang memimpin rombongan mengubah tujuan ke Ranau (227 km), terletak di kaki Gunung Kinabalu. Di sana sedang ada pembangunan kamp-kamp tawanan perang.
Dalam perjalanan, beberapa anggota rombongan terserang malaria dan tak kuat melanjutkan perjalanan. Mereka pun ditinggalkan begitu saja atau dibunuh agar tak merepotkan. Sebanyak 75 persen anggota rombongan akhirnya mencapai sebuah pedesaan di Ranau dan Paginatan.
“Mereka yang selamat akhirnya meninggal, terutama akibat disentri yang mewabah, diperburuk oleh kelaparan dan penyakit lain,” ujar Lynette. “Itu lebih tepat disebut sebagai pawai menuju kematian –karena kondisi mengerikan di kamp-kamp tujuan.”
Rombongan kedua mulai meninggalkan Sandakan pada 29 Mei. Jumlahnya lebih besar, 536 tawanan. Pengawal Jepangnya pun lebih banyak dan galak, sering kali mereka menyuruh para tawanan mencari makanan selama di perjalanan. Seluruh penjara tawanan perang dibakar, termasuk rumah sakit serta seluruh catatan dan peralatan.
Kondisi para tawanan tak sebaik rombongan pertama, jatah makanan lebih sedikit. Malaria juga menjadi pembunuh paling mematikan. Anggota rombongan yang tak sanggup melanjutkan perjalanan dibunuh di tengah jalan. Rombongan ini akhirnya sampai Ranau pada 26 Juni. Hanya sedikit anggota yang selamat dan tibanya pun tak bersamaan. “Sekira 70 persen tewas,” ujar Lynette.
Pada pertengahan Juni, sisa tawanan yang berada di Sandakan memulai perjalanan. Jumlahnya hanya sekira 75 orang. Lynette sendiri memperkirakan tinggal 65 tawanan dengan kondisi kesehatan yang buruk. “Semua tewas sebelum mencapai 42 kilometer dari Sandakan (atau 34 mil dari kamp),” ujar Lynette.
Para tawanan selamat harus menghadapi kehidupan buruk di Ranau. Mereka ditempatkan di gubuk-gubuk sempit dan kotor. Jepang tak memberikan perawatan medis ataupun obat-obatan yang memadai. Hanya ada seorang dokter Australia dan sersan bagian medis yang bekerja namun tak lama mereka pun tewas. Jatah makanan yang ada sangat minim serta buruk. Satu per satu tawanan tewas –mereka yang masih hidup lalu dieksekusi ketika perang usai.
Dua tawanan mencoba kabur tapi tertangkap dan disiksa Jepang hingga tewas. Namun, itu tak menyurutkan tekad Keith untuk kabur. Bersama temannya Anderson, Moxham, dan Short, Keith kabur pada 7 Juli 1945. “Kami harus pergi sebelum menjadi terlalu lemah,” ujar Keith.
Mereka masuk dan tinggal di hutan selama enam pekan. Beruntung, malam pertama dalam pelarian, mereka menemukan tempat pembuangan beras Jepang. Ransum untuk hidup selama pelarian itu pun aman hingga beberapa waktu. Tiga pekan kemudian Anderson meninggal. Mereka bertiga lalu meneruskan perjalanan hingga bertemu penduduk yang memberikan bantuan makanan dan gubuk sebagai tempat tinggal. Ketiganya tetap tinggal di sana hingga Mayor Ripley dari AD Australia datang menjemput.
Pasca Perang
Menurut Lynette, dari ribuan tawanan yang ikut Pawai Kematian Sandakan, separuhnya tewas di perjalanan dan sisanya tewas di tujuan. Di akhir perang, hanya enam tawanan dari Australia yang selamat karena melarikan diri. Tawanan Inggris tewas semua.
Dari sejumlah dokumen yang ditemukan Lynette, pada akhir 1945 beberapa ratus romusha selamat dan bertahan hidup berkat gudang perbekalan tapioka dan beras yang mereka temukan di perjalanan di dekat kamp tawanan perang, 8 kilometer dari kota. “Dokumen itu juga menunjukkan, dari 1.700 romusha Jawa di Kudat pada Agustus 1944, hanya 300 yang hidup pada akhir perang,” ujar Lynette, merujuk pada wilayah di Sabah yang dijadikan lokasi pembangunan lapangan terbang.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, informasi enam tawanan selamat asal Australia menjadi sumber utama para investigator kejahatan perang Jepang. Dengan bukti-bukti lain, mereka membawanya ke pengadilan kejahatan perang. “Sebagian besar tentara Jepang itu diadili dan dinyatakan bersalah, sesuai yang dituduhkan. 11 di antaranya dieksekusi atas kejahatan yang dilakukan di Sandakan, Ranau, atau Pawai Kematian. Sisanya ditahan,” ujar Lynette.
Di Sabah, di bekas kamp tawanan Sandakan, pemerintah Australia mendirikan sebuah monumen granit untuk mengenang mereka yang tewas, diresmikan Maret 1999. Berbagai monumen juga berdiri di sebagian besar negara bagian Australia. Selain itu, ada juga seremonial rutin dan wisata menelusuri jalur Pawai Kematian.
“Kisah Sandakan dan Pawai Kematian-nya merupakan salah satu kisah Perang Dunia II yang paling tragis,” ujar Lynette.*