Lima jurnalis Australia tewas dalam tugas di Timor Timur. Pemerintah Indonesia dan Australia seolah menutupinya. Dalihnya demi menjaga hubungan baik kedua negara.
Shirley Shackleton, istri mendiang jurnalis Gregory John Shackleton, berziarah di Tanah Kusir, Jakarta, 14 Oktober 2012. (Bayu Maitra).
Aa
Aa
Aa
Aa
LANGIT pagi itu agak mendung. Shirley Shackleton, berusia 80 tahun, terpekur di samping sebuah pusara di dalam kompleks Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Scarf hijau melingkari lehernya. Matanya sembab habis menangis.
Dia menaburkan bunga di pusara itu. Terpahat pada batu nisan lima nama jasad yang terkubur: Garry James Cunningham, Gregory John Shackleton, Malcolm Harvie Rennie, Anthony John Stewart, dan Brian Raymond Peters. Mereka jurnalis televisi Australia. Semuanya wafat bersamaan pada 16 Oktober 1975.
“Mereka dibunuh dalam tugas. Saya ke sini berusaha membawa pulang jasad suami saya,” kata Shirley, janda mendiang Greg Shackleton, kepada para pewarta pertengahan Oktober 2012.
LANGIT pagi itu agak mendung. Shirley Shackleton, berusia 80 tahun, terpekur di samping sebuah pusara di dalam kompleks Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Scarf hijau melingkari lehernya. Matanya sembab habis menangis.
Dia menaburkan bunga di pusara itu. Terpahat pada batu nisan lima nama jasad yang terkubur: Garry James Cunningham, Gregory John Shackleton, Malcolm Harvie Rennie, Anthony John Stewart, dan Brian Raymond Peters. Mereka jurnalis televisi Australia. Semuanya wafat bersamaan pada 16 Oktober 1975.
“Mereka dibunuh dalam tugas. Saya ke sini berusaha membawa pulang jasad suami saya,” kata Shirley, janda mendiang Greg Shackleton, kepada para pewarta pertengahan Oktober 2012.
Jasad suaminya terkubur bersama empat kawannya di pusara itu selama 37 tahun. Selama itu pula Shirley berusaha memulangkannya. Nick Xenophon, senator independen Australia yang mendampingi Shirley, meminta gubernur Jakarta yang baru ikut membantu Shirley. Dia juga berharap kebenaran di balik kematian lima wartawan itu diungkap.
Berpuluh tahun kasus yang sohor disebut Balibo Five itu muncul dan tenggelam. Tak jelas siapa yang membunuh; bagaimana dan mengapa wartawan itu dibunuh. Pemerintah Indonesia dan Australia seolah menutupinya. Dalihnya menjaga hubungan baik kedua negara.
Mengungkap Pelanggaran
Gough Whitlam, perdana menteri Australia, datang ke studio Channel 7, tempat Greg bekerja, awal September 1975. Whitlam akan diwawancarai mengenai anggaran belanja Australia. Di ruang rias, dia bertemu Greg. Whitlam tahu keinginan Greg: meliput situasi di Timor Timur.
Kala itu, perhatian pemerintah dan masyarakat Australia terhadap Timor Timur meningkat. Terutama setelah militer Indonesia menduduki beberapa wilayah di Timor Timur sejak Agustus 1975. Pasukan Fretilin, yang pro-kemerdekaan, terpaksa mundur dari beberapa kantongnya seperti Batugade.
Gough memberi tahu Greg situasi di sana kacau dan berbahaya. Daerah itu tak bertuan sejak meletusnya Revolusi Bunga 1974 di Portugal, yang menelurkan dua keputusan bagi negeri jajahan Portugal: dekolonialisasi dan demokratisasi. Setelah revolusi, orang-orang Portugal hengkang. Timor Timur bergolak. Partai politik tumbuh dengan tujuan masing-masing: integrasi ke Indonesia (Apodeti), federasi ke Portugal (UDT), dan kemerdekaan (Fretilin). Invasi militer Indonesia menambah pelik.
“Jika ada apa-apa, tak akan ada yang dapat mengurus kamu di sana,” kata Gough kepada Greg, seperti diungkapnya saat memberikan kesaksian untuk National Press Club di Australia, November 1995.
Seminggu kemudian, Gough kembali bertemu Greg dan memperingatkannya. Tapi Greg tak peduli. Menurutnya, invasi itu harus disiarkan kepada masyarakat dunia. Bahwa itu pelanggaran atas sikap pemerintah Indonesia sendiri, yang sebelumnya melalui Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan tak berminat menyerang Timor Timur.
Pengungkapan kebenaran peristiwa Balibo Five bukan pertarungan antara rakyat Indonesia dan Australia.
Berangkatlah Greg bersama dua kawannya, Anthony dan Garry, pada awal Oktober 1975. Setiba di Dili, mereka bertemu Tony Maniaty, jurnalis ABC (Australian Broadcasting Corporation), yang baru kembali dari Balibo, sebuah kota kecil di dekat perbatasan Timor Barat, 10 kilometer dari wilayah Indonesia.
Tony memberi tahu bahwa kapal perang Indonesia sudah bersiaga di tepi pantai; siap menyerang orang-orang Fretilin. Dia mengingatkan bahaya peliputan tapi mereka mengabaikannya. Bersama dua jurnalis Channel 9, Malcolm dan Brian, mereka memutuskan tetap ke Balibo untuk meliput operasi militer rahasia Indonesia.
Tiba di Balibo pada 13 Oktober 1975, mereka menempati sebuah rumah di dalam wilayah Fretilin. “Untuk keamanan, tembok rumah itu diberi gambar bendera Australia dan ditulis ‘embassy’,” kata Clinton Fernandes, dosen senior di University of New South Wales, Australia, kepada Historia. Tiga hari kemudian, menjelang subuh, militer Indonesia dengan berpakaian sipil; kemeja dan celana pipa lebar, bergerak ke Balibo.
Pagi hari, kontak senjata meletup. Kelima jurnalis naik ke sebuah bukit untuk mengambil gambar. Mereka ketahuan, lalu ditembaki. Ketakutan, mereka kembali ke dalam rumah. “Saat itulah tentara menemukan mereka. Mereka ditembak meski sudah mengangkat tangan tanda menyerah dan berkata, ‘Australia… Australia… Journalist’,” ungkap Clinton.
Saat ditembak, mereka berpakaian sipil. Anehnya, ketika mayat mereka ditemukan beberapa hari kemudian, pakaian militer melingkupinya. Jasad mereka terbakar. Peristiwa itu baru diketahui pemerintah Australia pada 21 Oktober 1975. Pemerintah Indonesia menyatakan mereka tewas secara tak sengaja dalam baku tembak. Gough, yang merestui invasi Indonesia ke Timor Timur, menerima penjelasan itu.
Dari Balibo, jenasah para wartawan dipindahkan ke pemakaman Karet pada 1975, lantas kena gusur dan dipindah ke Tanah Kusir pada 1979. Pada 1975, Shirley berupaya memulangkan jasad suaminya. Namun, Departemen Luar Negeri Australia memberitahukan bahwa dia harus membayar $48.000.
Keberatan Rakyat Australia
Berbeda dengan sikap pemerintahnya, rakyat Australia mempertanyakan kematian para wartawan. Buruh pelabuhan menyerukan boikot atas kapal-kapal Indonesia, “Sampai kami mengetahui kejelasan kematian wartawan kami,” kata seorang ketua Federasi Buruh Pelabuhan Sydney. Protes semakin deras setelah Roger East, jurnalis yang menyelidiki kematian temannya, tewas pada Desember 1975 di Dili. Kunjungan Persatuan Wartawan Indonesia pada 1976 diboikot.
Empat tahun kemudian, seperti dikutip Kompas, 20 Oktober 1979, Menteri Penerangan Ali Moertopo menyatakan Indonesia tak terlibat dalam kematian enam jurnalis Australia itu. Pemerintah Australia mengukuhkan pernyataan itu pada 1996. Kasus pun dianggap selesai. Kerabat korban menuduh dua negara itu menutupi kasus tersebut terkait dukungan mereka satu sama lain dalam invasi Timor Timur.
Ketika John Howard menjabat perdana menteri Australia, kasus ini kembali mengemuka karena ada kesaksian baru. Alexander Downer, menteri luar negeri Australia, menyuruh pengadilan Coroner New South Wales mengusut kembali pada 1998. Hasilnya, pada 2007 dinyatakan bahwa kelima wartawan itu dibunuh. Pengadilan juga mengusulkan untuk membawa pelakunya ke pengadilan kejahatan perang. Namun, pemerintah Australia tak menanggapinya. Pemerintah Indonesia menilai usulan itu bisa memperburuk hubungan dua negara.
“Ini sangat aneh. Tapi menjadi jelas bahwa perjuangan mewujudkan keadilan bukan pertarungan antara rakyat Australia dan rakyat Indonesia atau Timor Leste, melainkan pertarungan melawan mereka yang menginginkan kekebalan,” kata Clinton.
Maka, Shirley akan terus kesulitan membawa jasad suaminya pulang. Tapi di hadapan aktivis HAM Indonesia, Shirley bilang, “Saya tak akan menyerah.”*