Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (menjabat 1750-1761). (Rijksmuseum).
Aa
Aa
Aa
Aa
PERKAWINAN antarras menjadi fenomena yang marak terjadi di zaman kolonial Belanda. Banyaknya penduduk laki-laki Eropa yang datang dan tinggal di sejumlah wilayah Nusantara pada abad ke-17 hingga 18, tak berbanding lurus dengan jumlah wanita Eropa yang ada di wilayah tersebut. Akibatnya, tak sedikit pria Eropa memilih hidup bersama wanita lokal, yang kemudian melahirkan anak-anak berdarah campuran, dikenal dengan Eurasia atau Mestizo.
Kebijakan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang melarang penduduk kota yang baru didirikannya memiliki gundik atau melakukan hubungan di luar nikah, membuat pemerintah Batavia mempromosikan pernikahan yang sah antara pegawai rendahan VOC dengan wanita lokal.
PERKAWINAN antarras menjadi fenomena yang marak terjadi di zaman kolonial Belanda. Banyaknya penduduk laki-laki Eropa yang datang dan tinggal di sejumlah wilayah Nusantara pada abad ke-17 hingga 18, tak berbanding lurus dengan jumlah wanita Eropa yang ada di wilayah tersebut. Akibatnya, tak sedikit pria Eropa memilih hidup bersama wanita lokal, yang kemudian melahirkan anak-anak berdarah campuran, dikenal dengan Eurasia atau Mestizo.
Kebijakan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang melarang penduduk kota yang baru didirikannya memiliki gundik atau melakukan hubungan di luar nikah, membuat pemerintah Batavia mempromosikan pernikahan yang sah antara pegawai rendahan VOC dengan wanita lokal.
Menurut sejarawan Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur, tak hanya merestui pernikahan antarras, pemerintah bahkan memfasilitasi dengan membeli sejumlah wanita dari pasar Asia untuk dikirim ke Batavia, tempat wanita-wanita tersebut diiklankan untuk dijual sebagai calon pengantin.
Terlepas dari pandangan moralitas Coen, alasan pemerintah Batavia mempromosikan pernikahan antarras para imigran Eropa dengan wanita lokal karena wanita Asia dipandang tidak terlalu menginginkan harta dibandingkan wanita Eropa. “Berdasarkan alasan ini, VOC dapat menghemat pengeluaran untuk membiayai pengiriman perempuan dari Eropa,” sebut Taylor. “Selain itu, istri dengan kemauan yang sederhana dianggap tidak akan mendorong suaminya yang bergaji rendah untuk melakukan perdagangan ilegal.”
Alasan lain adalah anak-anak yang lahir dari perkawinan antarras dipandang dapat hidup sehat di daerah tropis dibandingkan anak-anak yang lahir dari orang tua Eropa yang daya tahan hidupnya lebih rendah. Seiring berjalannya waktu, perkawinan antarras, yang melahirkan penduduk Eurasia di wilayah koloni, turut berperan besar dalam terbentuknya kaum elite kolonial, terlebih hubungan di antara orang-orang pada zaman VOC berkembang berdasarkan ikatan keluarga.
Petugas kehakiman J.L.T. Rhemrev mungkin salah satu voorkind paling terkenal yang memakai nama keluarga yang dibalik.
Namun, penulis Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda mengungkapkan jumlah pernikahan laki-laki VOC dengan wanita Kreol atau Eurasia pada umumnya sedikit. Hubungan antara gundik dengan laki-laki Eropa justru lebih banyak terjadi, karena pada masa itu hanya yang berpangkat tinggi yang dapat menikah, dan jumlahnya tergolong kecil dari populasi orang Eropa di wilayah koloni. Sebagian besar dari populasi ini justru merupakan para pegawai rendah dan serdadu yang tidak hanya berasal dari Belanda, tetapi juga dari berbagai negara lain di Eropa seperti Prancis, Jerman, Denmark, Skotlandia, dan Inggris.
“Mereka memiliki kontak paling banyak dan paling erat dengan penduduk Asia, terutama karena hubungan mereka dengan para budak perempuan Asia,” tulis Reggie.
Hal lain yang menyebabkan pergundikan marak adalah kebijakan yang mewajibkan laki-laki dari kalangan biasa tidak bisa menikah tanpa persetujuan atasan VOC. Kebijakan ini tak hanya berlaku untuk para pegawai rendah, tetapi juga bagi penduduk koloni yang bukan budak. Sementara itu, bila ada laki-laki Eropa yang ingin menikahi budak perempuan Asia, maka ia harus lebih dahulu melunasi pembelian budak tersebut kepada VOC, yang memiliki posisi sebagai pemilik budak di wilayah koloni, atau membayar secara angsuran dipotong dari gajinya. Para wanita tersebut juga harus dibaptis dan diberi nama Kristen sebagai tanda dilahirkan kembali.
Menurut Reggie, sejak 1828, para laki-laki Eropa di wilayah koloni diizinkan untuk mengakui anak-anak mereka yang lahir dari hubungan pergundikan yang disebut voorkinderen. Meski begitu, kebijakan ini tak wajib sehingga ada pula laki-laki Eropa yang tidak mengakuinya, tetapi tetap mendaftarkannya dalam daftar kelahiran. “Pendaftaran ini mewajibkan sang ayah Eropa untuk merawat dan mendidik anak-anak tersebut,” sebut Reggie.
Hal itu mendorong lahirnya fenomena khas kolonial, di mana anak-anak berdarah campuran didaftarkan kelahirannya dengan diberi nama keluarga sang ayah, namun dengan urutan huruf terbalik.
Salah satu tokoh yang melakukan hal tersebut adalah Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk (1785–1827), putra dari Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk dan cucu Gubernur Jenderal VOC Jeremies van Riemsdijk (menjabat 1775–1777).
“Pada 1808, dari hubungannya dengan Bamie, seorang perempuan non-Kristen yang bebas, dia mempunyai seorang putri yang telah dibaptis, Marie Sussana van Riemsdijk. Enam anaknya yang lain lahir dari seorang non-Kristen yang bebas juga, Manies van Bali. Scipio kemudian membaptis mereka semua. Pembaptisan ini menimbulkan kewajiban untuk membesarkan mereka sebagai orang Eropa di rumahnya sendiri ketimbang dibesarkan oleh kerabat pribuminya di kampung,” tulis Taylor.
Meski membaptis semua anaknya yang dilahirkan oleh Manies van Bali, Scipio tidak menikahi wanita itu. Ia memberikan nama Kijdsmeir, nama keluarganya dengan urutan huruf terbalik. Anak-anaknya itu masih berstatus tidak sah, dan oleh karena itu, guna memperkuat status sosial mereka, Scipio mengadopsi anak-anak tersebut sejak balita.
Selain Scipio, laki-laki Eropa lain yang melakukan hal serupa adalah Willem Jacob Cranssen, anggota Raad van Indie. Pada awal abad ke-19, sebut Reggie, Cranssen menjalin hubungan dengan seorang gundik pribumi. Anak-anak yang terlahir dari hubungan itu diberi nama keluarga dengan urutan huruf terbalik, yakni Nessnarc.
“Petugas kehakiman J.L.T. Rhemrev mungkin adalah salah satu voorkind paling terkenal yang memakai nama keluarga yang dibalik. Rhemrev yang pada 1903 melakukan penelitian mengenai ketidakberesan di Deli adalah salah satu keturunan seorang laki-laki bernama Vermehr,” sebut Reggie.
Fenomena membalikan nama keluarga menarik perhatian salah satunya P.A. Daum, novelis yang cukup tersohor di zaman kolonial Belanda. Penulis Gerard Termorshuizen dalam “P.A. Daum on Colonial Life in Batavia”, yang dipublikasikan dalam Jakarta Batavia: Socio-Cultural Essays, menyebut sebagian besar novel Daum, yang umumnya diterbitkan dengan nama samaran Maurits, berlatarkan masyarakat Eropa di Hindia Timur pada akhir abad ke-19, juga turut menyoroti fenomena pemberian nama keluarga dengan urutan huruf terbalik.
“Dalam Nummer Elf, misalnya, kita bertemu dengan seorang jurus tulis bernama Esreteip, putra seorang pria bernama Pieters, dan Yps Nesnaj, putri prajurit Jansen,” sebut Termorshuizen. Dalam novel tersebut, Yps Nesnaj dikisahkan sebagai seorang nyai dari pria Eropa totok bernama George Vermey.
Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750–1761) berbeda dengan Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk dan Willem Jacob Cranssen dalam hal memberikan nama keluarga. Meski mengakui seorang anak perempuan dari budaknya bernama Jasmina van Soembawa, Mossel memilih memberikan marga Schulp kepada putrinya yang dinamai Arnolda. Walaupun nama marga tersebut tidak berasal dari nama keluarga dengan urutan huruf terbalik, nama Schulp secara tidak langsung menyatakan hubungan keluarga dengan Mossel. Pasalnya, schulp memiliki arti “kulit kerang” dan mossel dalam bahasa Belanda berarti “kerang”.
“Mossel mewariskan kepadanya hak tanah dan rumah bernama Batenburg ketika dirinya meninggal pada 1761. Delapanbelas tahun kemudian uang sejumlah 10.000 rix dolar dicairkan oleh walinya sekaligus pengakuan atas Arnolda sebagai anak Mossel. Ia mendapat penghormatan yang sama dengan saudara tirinya, termasuk sebutan juffrouw (nona),” tulis Taylor.*