KANOPINYA berwarna keperakan. Sisi kiri dan kanannya dipasangi kaca. Ia terletak di tengah jalur pedestrian Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Inilah stasiun bawah tanah Moda Raya Terpadu (MRT) Bundaran Hotel Indonesia (HI).
MRT adalah jenis angkutan massal baru berbasis rel di ibu kota. Minggu, 24 Maret 2019, Presiden Joko Widodo alias Jokowi meresmikan operasi komersial MRT.
Sebelum diresmikan dan hingga akhir Maret 2019, MRT diuji coba secara gratis untuk masyarakat. Saya berkesempatan mencobanya.
“Selamat datang, selamat siang, Pak. Ingin mencoba MRT?” tanya lelaki yang berjaga di depan tangga menuju ke bawah tanah.
Saya menjelajah tiap jengkal stasiun. Warna putih, perak, dan abu-abu mendominasi. Modern dan futuristik. Kereta MRT bernama Ratangga artinya kereta perang, kereta para pejuang. Interiornya elegan.
Ratangga bergerak cepat di dalam perut ibu kota dan berhenti di lima stasiun bawah tanah sepanjang jalan M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman. Tak ada pemandangan menarik. Hanya lorong gelap di kanan dan kiri.
Ratangga menyembul ke permukaan tanah, berada di jalur layang, mendekati stasiun Sisingamangaraja di wilayah Kebayoran Baru. Ratangga lanjut membelah rimba beton bertingkat di selatan Jakarta, mengawang di atas kemacetan lalu lintas, menempuh tujuh stasiun layang, hingga akhirnya tiba di stasiun Lebak Bulus.
Perjalanan dari pusat ke selatan sepanjang 16 kilometer makan waktu 30 menit, termasuk berhenti semenit di 11 stasiun. Sebuah keajaiban di Jakarta!
KANOPINYA berwarna keperakan. Sisi kiri dan kanannya dipasangi kaca. Ia terletak di tengah jalur pedestrian Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Inilah stasiun bawah tanah Moda Raya Terpadu (MRT) Bundaran Hotel Indonesia (HI).
MRT adalah jenis angkutan massal baru berbasis rel di ibu kota. Minggu, 24 Maret 2019, Presiden Joko Widodo alias Jokowi meresmikan operasi komersial MRT.
Sebelum diresmikan dan hingga akhir Maret 2019, MRT diuji coba secara gratis untuk masyarakat. Saya berkesempatan mencobanya.
“Selamat datang, selamat siang, Pak. Ingin mencoba MRT?” tanya lelaki yang berjaga di depan tangga menuju ke bawah tanah.
Saya menjelajah tiap jengkal stasiun. Warna putih, perak, dan abu-abu mendominasi. Modern dan futuristik. Kereta MRT bernama Ratangga artinya kereta perang, kereta para pejuang. Interiornya elegan.
Ratangga bergerak cepat di dalam perut ibu kota dan berhenti di lima stasiun bawah tanah sepanjang jalan M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman. Tak ada pemandangan menarik. Hanya lorong gelap di kanan dan kiri.
Ratangga menyembul ke permukaan tanah, berada di jalur layang, mendekati stasiun Sisingamangaraja di wilayah Kebayoran Baru. Ratangga lanjut membelah rimba beton bertingkat di selatan Jakarta, mengawang di atas kemacetan lalu lintas, menempuh tujuh stasiun layang, hingga akhirnya tiba di stasiun Lebak Bulus.
Perjalanan dari pusat ke selatan sepanjang 16 kilometer makan waktu 30 menit, termasuk berhenti semenit di 11 stasiun. Sebuah keajaiban di Jakarta!
Rel Akan Lenyap
Keajaiban pernah dirasakan warga Jakarta setelah Indonesia merdeka. Mereka bisa naik trem listrik sesuka hati. Tak ada lagi diskriminasi. Tak perlu lagi menumpang di gerbong khusus, di kelas dua, seperti yang mereka alami di masa kolonial Belanda. Harga karcisnya terjangkau.
Trem sudah beroperasi sejak 1869. Pada mulanya digerakkan oleh kuda, yang mulutnya dipasangi besi melintang dan dihubungkan tali kendali, sehingga ada istilah “zaman kuda gigit besi”. Ia lalu digantikan trem uap dan akhirnya trem listrik.
Ketimbang pakai becak atau opelet, warga Jakarta lebih memilih trem listrik menuju pusat kota yang berada pada poros Kota Tua, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Tanah Abang, Gambir, Manggarai, Senen, dan Jatinegara. Gedung-gedung pemerintahan, pasar, permukiman, dan pertokoan berjejer sepanjang poros ini.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Sudah tidak cocok lagi untuk kota-kota besar yang modern. Terkecuali kalau berjalan<br>di bawah tanah,<br>~Sukarno</div>
Angkutan lain yang lebih murah adalah kereta listrik. Ia melayani penumpang rute Kota-Gambir-Manggarai dan Tanah Abang-Manggarai-Jatinegara-Senen-Kota. Orang menyebutnya Ringbaan Djakarta. Pengoperasiannya di bawah Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). Tetapi jumlah armada dan jalurnya tidak banyak. Kereta pun jadi sesak penumpang.
DKARI ingin menambah rangkaian kereta. Tetapi kas mereka kosong. Padahal DKARI memprediksi penduduk Jakarta kelak bertambah dan luas wilayahnya berkembang. Mereka memikirkan suatu hari nanti rel dalam kota di permukaan tanah lenyap. Rel itu harus masuk ke perut bumi.
“Teringat kita kepada susunan yang lebih sempurna dengan kereta di bawah tanah (underground) yang terdapat di kota-kota besar seperti London, Berlin, New York, dan sebagainya. Dan kapan Jakarta akan mencapainya?” catat Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya terbitan 1952.
Inilah mula ide membangun sistem angkutan massal cepat dalam kota berbasis rel serupa MRT sekarang.
Kereta Bawah Tanah
Wilayah di luar pusat kota masih berupa udik atau desa. Penuh pohon rimbun dan tanah kosong. Perjalanan ke udik rerata menghabiskan waktu 15-30 menit dengan kendaraan bermotor berkecepatan 30 kilometer per jam.
Pemerintah Kotapradja Jakarta –waktu itu masih bagian dari Provinsi Jawa Barat– berkeputusan mengembangkan kota ke wilayah selatan. Sebuah kota satelit telah dibangun di Kebayoran pada 1949.
“Tujuannya untuk menanggulangi masalah kekurangan perumahan yang dialami kota Jakarta,” kata Siswantari, pengajar Program Studi Sejarah pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Kota satelit ini memiliki fasilitas penunjang: jalan lurus, rumah sakit, tempat ibadah, kantor polisi, taman, lapangan olahraga, hingga sekolah. Serba teratur dan lengkap.
Jarak Kebayoran dengan pusat kota sekira 7 kilometer. Untuk sampai ke sana bisa menggunakan bus Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Perjalanan akan melalui dua jalan baru nan lebar: M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman.
Di dua jalan itulah, Presiden Sukarno berupaya menuangkan gagasannya tentang Jakarta yang modern. Selain jalan-jalan lebar, gedung bertingkat, dan taman, Sukarno membayangkan Jakarta punya sebuah sistem angkutan umum canggih berbasis rel. Dia kurang sreg dengan trem dan kereta listrik di permukaan tanah.
“Sudah tidak cocok lagi untuk kota-kota besar yang modern. Terkecuali kalau berjalan di bawah tanah,” kata Sukarno kepada Sudiro, wali kota Jakarta 1953–1959, dikutip Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945–1966.
Keinginan Sukarno mengubur trem listrik dituruti Sudiro. Jalur trem hilang, berganti aspal. Sebagai gantinya, armada bus-bus baru berjalan di atas kuburan jalur rem.
Tetapi jalur kereta listrik di permukaan selamat. Sudiro menyatakan tak sanggup menggantinya dengan jalur bawah tanah. Tak ada biaya.
Soemarno, gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 1960–1964 dan 1965–1966, berupaya mendukung ide kereta bawah tanah. Terutama untuk mengurai simpul macet dari Thamrin menuju kantong bisnis-ekonomi dan permukiman lama, yaitu Manggarai, Tanah Abang, Jatinegara, Senen, Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Kota Tua.
Soemarno menaruh kepercayaan pada kereta listrik sebagai pemecah keruwetan lalu lintas. Kereta listrik mengangkut 80.000 penumpang setiap hari pada masanya. Tapi banyak jalur kereta listrik bersilangan dengan jalan raya. Tiap kereta lewat, pintu pengaman persilangan akan turun. Kemacetan pun mengular.
“Maka jalan penyelesaian satu-satunya ialah pembangunan under-ground di dalam kota,” kata Soemarno dalam “Djakarta Raya Perlu Mempunyai Kereta-Api Dibawah Tanah (Underground)”, dimuat mingguan Djaja, 15 Februari 1964. Dalam bayangannya, jalur kereta permukaan cuma untuk ke luar kota.
Soemarno berencana mengubah jalur permukaan kereta api di lintas Manggarai-Gambir-Jakarta Kota sepanjang 9 kilometer dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota sejauh 10 kilometer menjadi jalur bawah tanah. Dua jalur kereta itu selalu sarat penumpang.
Jalur kereta bawah tanah itu nantinya terhubung dengan jalur permukaan. Soemarno mengajukan stasiun Jakarta Kota dan Manggarai sebagai stasiun peralihan dari jalur permukaan ke bawah tanah, dan sebaliknya sekaligus stasiun peralihan perjalanan dari dan ke luar kota.
Soemarno secara terbuka meminta warga Jakarta menanggapi gagasannya. Dia juga berjanji membawa gagasannya kepada Sukarno.
Seorang warga menanggapi gagasan Soemarno. “Sangat ideal apabila dapat diadakan under-ground atau mono-rail di ibu kota ini,” tulis Pandu Suharto dalam “Satu Segi Pemetjahan Praktis Masalah Pengangkutan di Ibukota”, termuat dalam Djaja, 23 Oktober 1965.
Tetapi peristiwa Gerakan 30 September 1965 pecah. Hari-hari berikutnya, Soemarno mengakhiri jabatannya dan digantikan Ali Sadikin. Sedangkan Sukarno terjungkal dari kekuasaannya dan digantikan Soeharto.
Pada masa Ali Sadikin, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta meningkat. Ali melihat alat pemecah masalah lalu lintas terletak pada transportasi publik. Dia mengarahkan warga kota untuk lebih banyak menggunakan kereta dan bus. “Perbandingan penggunaan angkutan dengan kereta api dan bus adalah 60:40,” kata Ali Sadikin dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin Gubernur Kepala DKI Ibukota Jakarta 1966–1977.
Tetapi Ali belum bisa mewujudkan angka tersebut. Dia juga buka kartu bahwa keuangan Jakarta tak sanggup membiayai jalur kereta bawah tanah dan melayang. Akhirnya, dia menukar prioritasnya menjadi penyediaan bus. Bus-bus ini melintasi jalur padat baru, yaitu jalur Thamrin menuju Kebayoran Baru.
Saat itu, Kebayoran Baru tidak lagi dianggap sebagai kota satelit. Kebayoran sudah menjadi bagian dari Jakarta lantaran perluasan wilayah Jakarta menuju kota metropolitan. Kebayoran juga merangsang pertumbuhan wilayah ekonomi-bisnis baru di selatan seperti Blok M dan Lebak Bulus.
Pada dasawarsa ini pula muncul istilah Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi). Konsep ini berisi rencana pengembangan kawasan metropolitan bukan hanya ke selatan, melainkan juga ke barat (Tangerang) dan timur (Bekasi). Pemerintah pusat ikut mendukung konsep Jabotabek. Kebijakan dari pusat ini pula yang turut membawa pengaruh pada transportasi publik di Jakarta.
MRT Blok M-Kota
Pada 1970-an, konsultan transportasi asal Jerman Barat diundang pemerintah pusat dan DKI Jakarta untuk urun rembug. Mereka kemudian melakukan kajian dengan membaginya berdasarkan jalur dan modanya. Jakarta Metropolitan Area Transportation Study (JMATS) untuk kajian prasarana dan sarana angkutan jalan raya; Mass Rapid Transit Study (MRTS) dan Jakarta Rapid Transit Study Eastern Corridor (JRTSEC) untuk kajian kereta bawah tanah dan melayang.
Dua kajian terakhir menekankan pengembangan fungsi kereta rel listrik. “Jarak kedatangan 10 menit pada jalur Kota dan Jatinegara sepanjang 12,5 kilometer,” catat Jakarta’s Traffic and Transportation Report from DKI.
Tetapi pemerintah pusat dan DKI Jakarta menyatakan tak bisa melaksanakan hasil kajian tersebut. Alasannya, biaya perbaikan transportasi massal berbasis rel terlalu mahal.
Pada 1977, Japan Railway Technical Services (JARTS), konsultan transportasi asal Jepang, menyarankan pemerintah Indonesia, DKI Jakarta, dan Jawatan Kereta Api untuk membangun jalur layang untuk kereta listrik sepanjang 17,8 kilometer dari Manggarai-Gambir-Kota. Jepang siap membantu perencanaan dan pemberian pinjaman sekaligus biaya pembangunannya.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Kehadiran suatu bentuk MRT merupakan prasyarat berfungsinya kota secara efektif dan efisien.<br>~Eko Budihardjo</div>
Usulan itu disetujui pemerintah pusat. JARTS kemudian membuat rencana induk untuk pengembangan kereta listrik Jabotabek. Hasilnya rampung pada 1981 –kemudian direvisi tahun 1985– dan dilaporkan kepada Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga bantuan kerja sama teknik asal Jepang.
Setelah itu, terbitlah Keppres No. 26/1982 tentang pembentukan tim koordinasi pengendalian pembangunan kereta api Jabotabek.
Kajian JARTS dan JICA dalam Urban/Suburban Railway Transportation in Jabotabek Area mengulas pengembangan kereta listrik Jabotabek, yang terintegrasi dengan rencana tata kota keseluruhan. Kajian itu juga menyarankan pembangunan jalur kereta baru di dua wilayah. Pertama, poros selatan ke utara, Blok M-Kebayoran-Senayan-Sudirman-Thamrin-Gajah Mada/Hayam Wuruk-Kota. Kedua, poros timur ke barat, Pondok Gede-Kebon Jeruk-Cileduk. Dasar pemikirannya, poros-poros ini semakin berkembang dan padat. Terutama di poros pertama.
Perkantoran, termasuk kantor pemerintahan, pusat bisnis, dan permukiman tumbuh di sepanjang poros ini. Kemacetan pun mulai membuat perjalanan jadi lebih lama.
Menteri Perindustrian A.R. Soehoed menggambarkan perubahan keadaan di jalur Kebayoran-Kota. “Tinggal di Kebayoran, pergi ke Kota sekarang kan semrawut jalannya. Orang dari Kebayoran ke Senayan memakai jalan yang sama seperti orang yang datang dari Kebayoran mau ke Kota. Lha, itu sebetulnya bikin kacau,” kata Soehoed dikutip Clayperon, Januari 1982.
Soehoed menghendaki ada jalan raya melayang atau bawah tanah tanpa hambatan sehingga kendaraan bermotor bisa melaju 100 kilometer per jam. Tetapi usulan pribadi ini tak sejalan dengan rencana pengembangan transportasi massal Jakarta.
Pada masa Soeprapto, gubernur DKI Jakarta 1982–1987, gagasan mengenai MRT dibahas dan diperdebatkan oleh pemerintah pusat, DKI Jakarta, dan JARTS. Kajian JARTS dan JICA sebelumnya direvisi pada 1985, dengan menekankan pada kapasitas transportasi untuk mencapai hasil maksimal dengan investasi minimum. Penekanan pada pembangunan sistem MRT poros Blok M-Kota.
Istilah MRT mulai kerap muncul dalam bahasan seputar pembangunan transportasi publik berbasis rel, menggantikan istilah kereta subway atau underground. Dan untuk kali pertama pengembangan MRT terpisah dari PJKA. Sebab tidak ada jalur kereta di poros Blok M-Kota. Kemungkinan teknologi dan jenis keretanya pun berbeda.
JARTS mengulas transportasi di kota-kota padat lainnya di dunia seperti Tokyo, London, Paris, New York, dan Hong Kong. Populasi penduduk di kota-kota tersebut berada di bawah Jakarta. Antara 2 sampai 8 juta orang. Tetapi semuanya punya dan sedang membangun MRT. Kota-kota itu menyebut MRT sebagai Metro.
London menjadi kota kelahiran MRT pada 1863. Sedangkan Singapura mulai mengkaji MRT pada 1972, membangunnya pada 1983, dan mengoperasikannya pada 1987. Demikian catatan Zulfiar Sani dalam “Perencanaan Pembangunan Sistem Angkutan Massal (Mass Rapid Transit) Subway di Jakarta”,tesis pada jurusan Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1993.
Penduduk Jakarta berjumlah 9 juta orang pada 1982. Tetapi tak ada sistem MRT untuk melayani penduduk sebanyak itu.
Target pembangunan MRT yang ditetapkan pada 1992 tak bisa dicapai karena penundaan proyek, masalah pendanaan, dan lain-lain.
JARTS bukan hanya memperkenalkan MRT tetapi juga memberikan gambaran altenatif moda lain berupa Light Rail Transit (LRT) atau kereta ringan. Ini barang baru. Belum banyak dikenal oleh orang Indonesia.
LRT hampir mirip MRT. LRT menggunakan tenaga listrik, berteknologi canggih, trek ganda, jarak kedatangan singkat, dan harus berjalan tanpa gangguan persilangan dengan jalan raya.
Beda LRT dan MRT terletak pada jalur dan kapasitas angkut. Jalur LRT sebagian besar melayang, sedangkan jalur MRT bisa kombinasi layang dan bawah tanah. Bobot kereta LRT juga lebih ringan sehingga berdaya angkut sedikit di bawah kereta MRT.
Wiyogo Atmodarminto, gubernur DKI Jakarta 1987–1992, tertarik dengan LRT. Dia tahu Manila, ibu kota Filipina, telah mengoperasikan LRT sejak 1984. Kalau Manila bisa, kenapa Jakarta tidak? “Maka DKI mengusulkan sistem kereta api ringan itu,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur.
Usulan ini beroleh sambutan dari PT Citra Patenindo Nusa Pratama, perusahaan milik Tutut Soeharto, putri sulung Presiden Soeharto. Salah satu kerjanya mengelola wahana Titihan Samirono di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sejak April 1989.
Titihan Samironoadalah kereta wisata berjalur layang. Ia memutari lintasan sepanjang 3,2 kilometer dan bergerak dengan kombinasi tenaga angin dan arus listrik (aeromovel).
PT Citra menyatakan siap berinvestasi pada aeromovel di jalur Blok M-Kota. “Teknologi aeromovel itu nantinya akan menjangkau semua lapisan masyarakat. Tidak hanya bagi golongan bawah yang mendambakan angkutan cepat dan murah, level menengah ke atas pun cocok,” kata Irsan Ilyas, direktur pelaksana PT Citra, kepada Clayperon, No. 28 tahun 1989.
Tapi aeromovel terkendala izin dan sertifikat dari Departemen Perhubungan (Dephub) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Kalau diintegrasikan, masyarakat akan diberikan kemudahan untuk datang ke suatu tempat sehingga meninggalkan kendaraan pribadi.<br>~Joko Widodo</div>
Jadwal Ulang
Bandul kembali berayun pada moda MRT. Soerjadi Soedirdja, gubernur DKI Jakarta 1992–1997, lebih menghendaki MRT Blok M-Kota. Dia berupaya menciptakan prakondisi pembangunan MRT. Antara lain dengan menerapkan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi melalui Three-in-One. Aturan ini mengharuskan setiap mobil berisi minimal tiga penumpang di sejumlah jalan dan pada waktu tertentu. Maksudnya supaya masyarakat beralih dan membiasakan diri dengan angkutan massal.
Sokongan terhadap rencana pembangunan MRT kian kuat. Salah satunya berasal dari kalangan ahli perencana kota bernama Eko Budihardjo. Dia mengabarkan hasil rekomendasi International Conference on Mobility and Transportation for Elderly and Disabled People di Lyon, Prancis, pada Juni 1992.
“Salah satu rekomendasi yang dirumuskannya adalah bahwa untuk kota yang berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa, kehadiran suatu bentuk MRT merupakan prasyarat berfungsinya kota secara efektif dan efisien,” tulis Eko Budihardjo, yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang dalam “Paradoks Lalu-Lintas”, dimuat Kompas, 6 Juli 1994.
Menurut Eko, MRT memang butuh biaya tinggi. Investor MRT akan sulit memperoleh modalnya kembali dalam waktu dekat. Setidaknya perlu waktu 40-60 tahun. Bahkan banyak operator MRT di belahan dunia lainnya merugi. Tetapi Eko melihat keuntungan MRT di masa depan jauh lebih besar daripada biaya pembangunan awalnya; dari terciptanya lingkungan bersih di perkotaan, pengurangan konsumsi BBM, hingga ongkos transportasi murah.
Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie berada pada kutub yang sama dengan Eko Budihardjo. Dia mengusulkan jalur MRT bawah tanah sepanjang 14 kilometer dari Blok M ke Kota.
Melalui BPPT, Habibie menggandeng Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) untuk mengkaji kemungkinan MRT di Jakarta. Hasil kajiannya berjudul Jakarta Mass Transit System Study terbit pada 1992. Berdasarkan hasil kajian itu, Habibie menyarankan untuk membentuk tim studi MRT yang terdiri atas BPPT, DKI Jakarta, Dephub, Bappenas, dan PU.
Pada Agustus 1994, pemerintah pusat dan DKI Jakarta akhirnya menyepakati pembangunan MRT. Tidak hanya dari selatan (Blok M) ke utara (Kota) sepanjang 20 kilometer, melainkan juga dari barat (Grogol) ke timur (Jalan Pramuka) sejauh 40 kilometer.
“Untuk itu Habibie merangkul dua konglomerat terkemuka, masing-masing Aburizal Bakrie dan Ir. Fadel Muhammad, selaku calon investor utama pembangunan MRT itu,” tulis Kompas, 23 Februari 1996.
Dana pembangunan MRT berasal dari patungan pemerintah pusat, DKI Jakarta, dan investor swasta Indonesia, Prancis, Jepang, dan Jerman. Para investor swastatergabung dalam Indonesia Japan Europe Group (IJEG). Masing-masing investor dari tiga negara mempunyai koordinator. Koordinator investor Indonesia dipegang oleh PT Bakrie Investindo, Jepang oleh Itochu Corp., dan Eropa di bawah koordinasi Ferrostaal AG.
IJEG kemudian menugaskan suatu kelompok konsultan untuk membuat desain dasar (basic design) proyek MRT. Pekerjaan itu rampung pada Desember 1996 dan dirangkum dalam laporan berjudul Jakarta Mass Rapid Transit Project Blok M-Kota.
“Desain dasar merekomendasikan seluruh rel berada di bawah tanah,” tulis Pacific Consultants International dan Almec Corporation dalam The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabotabek (Phase I). Tak perlu ada pembebasan lahan dan kerusakan estetika kota. Depo kereta akan berada di sekitar daerah Fatmawati.
Warga Jakarta bergembira menyongsong rencana pembangunan MRT. Mereka membayangkan bisa menggunakan MRT sebelum tahun 2000 setelah penantian panjang puluhan tahun lamanya.
Tetapi pembangunan MRT Jakarta ternyata telat dari jadwal. Ada banyak penyebabnya. Dari perdebatan tarif, perbedaan desain, ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab, ketidaksepakatan pembagian dana pembangunan, ketiadaan peta utilitas bawah tanah di Jakarta, hingga konflik internal antarinvestor.
Pemerintah DKI Jakarta menjadwalkan ulang. Selambatnya akhir tahun 1997. Namun krisis ekonomi menerpa Indonesia.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Saya berharap subway dibangun tahun 2001. Presiden Abdurrahman Wahid sudah setuju subway harus menjadi prioritas.<br>~Sutiyoso</div>
Dan akhirnya
Sutiyoso, gubernur DKI Jakarta 1997–2007, berupaya membangkitkan asa pembangunan MRT. Rutenya mengalami perombakan sedikit; diperpanjang dari Kota hingga Fatmawati, jalur yang dianggap signifikan di sektor komersial hingga pemerintahan. Dia kemudian menemui Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
“Saya berharap subway segera dibangun tahun 2001. Karena saat pertemuan terakhir dengan Presiden KH Abdurrahman Wahid, sudah disetujui subway harus menjadi prioritas,” kata Sutiyoso, dikutip Kompas, 15 November 2000.
Sutiyoso mengklaim dana pembangunan sudah tersedia dari Jepang. Bentuknya utang luar negeri berjangka waktu 40 tahun dan berbunga ringan. Atas pinjaman tersebut, Jepang mensyaratkan pengadaan teknologi dan komponen kereta berasal dari Jepang.
Utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur di Jakarta memerlukan keterlibatan pemerintah pusat. Pinjaman dari satu negara tidak bisa diberikan langsung kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sutiyoso lantas berbicara kepada lima menteri terkait. Ternyata subway berada di prioritas ketiga rencana pembangunan nasional setelah pipanisasi Jawa-Sumatra dan pengembangan transportasi di Surabaya.
Kendati demikian, pemerintah pusat meminta Jepang melakukan kajian terhadap pembangunan MRT. Pengerjaannya dilakukan JICA. Hasil kajian rampung pada 2001 berjudul The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabotabek (Phase I).
Dalam laporannya, JICA merekomendasikan pemerintah Indonesia mencari pinjaman lunak serta membentuk dan memberi dukungan terbatas kepada badan pelaksana MRT. Lalu, guna mengoptimalkan penggunaan MRT, langkah-langkah peningkatan perlu dilakukan. Mencakup penerapan sistem jalan berbayar (ERP), menaikkan harga bahan bakar, menaikkan biaya pendaftaran kendaraan bermotor, menaikkan ongkos parkir, hingga memprioritaskan peningkatan layanan kereta api dan bus kota –kemudian busway pada 2004– sebagai pengumpan (feeder) bagi MRT.
Tetapi pemerintah cenderung ragu-ragu mengambil tindakan. Hingga meminta JICA melakukan kajian lagi. Di sisi lain, warga Jakarta terus mendesak gubernur untuk memecahkan persoalan transportasi publik. Akhirnya, Sutiyoso mencari cara sendiri.
Sutiyoso pergi ke Bogota, Kolombia, untuk mempelajari sistem Bus Rapid Transit (BRT) pada 2003. Sistem ini mempunyai lajur khusus untuk bus. Sutiyoso mengadopsinya untuk Jakarta. Dia menyebutnya busway –sekarang kita menyebutnya TransJakarta. Rute pertamanya ialah Blok M-Kota dan beroperasi pada 15 Januari 2004.
Selain busway,Sutiyoso berupaya mengalihkan pemakai kendaraan pribadi lewat monorel. Moda ini berbeda dari MRT dan LRT. Relnya tunggal, berada di atas permukaan tanah, dan kapasitas angkutnya jauh di bawah MRT dan LRT.
Sutiyoso menyepakati kerja sama pembangunan monorel dengan Hitachi, perusahaan swasta asal Jepang, pada Mei 2004. Hitachi menyatakan sanggup membiayai, membangun, dan mengoperasikan monorel bersama investor swasta lainnya dalam sebuah konsorsium besar.
“Dana membangun monorail relatif lebih murah sebagai transportasi massal,” kata Sutiyoso dalam Refleksi Pers Kepala Daerah Jakarta 1945–2012: Sutiyoso. Menurut Sutiyoso, monorel masuk dalam pola transportasi makro Jakarta bersama subway dan busway.
Jalur monorel terdiri atas rute biru (Kuningan-Senayan) dan hijau (Kampung Melayu-Roxy). Pemancangan tiang pertama dilakukan Presiden Megawati Sukarnoputri di Senayan pada 14 Juni 2004.
Ketika tiang-tiang monorel telah terpancang di sejumlah rute biru, pembangunan MRT terbuka lagi. Pada 2004, Kementerian Perhubungan dan DKI Jakarta menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pengembangan MRT dengan prioritas koridor Lebak Bulus-Kota. Setahun kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan MRT sebagai proyek nasional.
Dana pinjaman untuk pembangunan MRT didapat dari Japan Bank for International Corporation (JBIC). JICA, yang sebelumnya melakukan studi soal MRT, dilibatkan sebagai penilai. JBIC dan JICA kemudian merger dan membentuk JICA “baru” yang bisa memberikan dukungan dalam bentuk kerja sama teknik, pinjaman lunak, dan bantuan hibah.
Sementara MRT mulai berproses, pembangunan monorel terempas lantaran konsorsium investornya kehabisan dana. Tiang-tiang bekas monorel itu masih teronggok di kawasan Kuningan dan Senayan.
Sepanjang kepemimpinannya, Sutiyoso lebih banyak bergelut dengan pengembangan busway. Dia tak punya cukup waktu untuk mengolah kembali rencana pembangunan MRT.
Sesuai rekomendasi JICA, Fauzi Bowo alias Foke, gubernur DKI Jakarta 2007–2012, membentuk Badan Usaha Milik Daerah yang berwenang mengurus MRT, yaitu PT MRT Jakarta, pada 17 Juni 2008. Pada tahun yang sama perjanjian pinjaman untuk tahap konstruksi ditandatangani, termasuk studi kelayakan pembangunan MRT.
Di pengujung jabatannya, Foke meresmikan pencanangan pembangunan proyek MRT tahap pertama dari Lebak Bulus-Bundaran HI.
Masa Jokowi menjabat gubernur DKI Jakarta 2012–2014 pembangunan fisik MRT dimulai. Peletakan batu pertama (groundbreaking) dilakukan di tempat yang sekarang jadi stasiun MRT Dukuh Atas pada Oktober 2013. Tiang-tiang pancang lalu berdiri. Satu demi satu box girder untuk jalurnya tersambung. Lantas relnya terpasang.
Selagi pembangunan MRT berlangsung, Jokowi mengusulkan proyek monorel dilanjutkan. Tetapi Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok keberatan karena lokasi depo monorel berada di atas waduk, tak jauh dari sebuah tanggul penahan banjir. Ada ancaman tanggul jebol bila depo dibangun di sana.
Ahok lebih kepincut dengan rencana LRT gagasan Adhi, kontraktor berstatus BUMN. LRT akan menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. Salah satu jalurnya bertemu dengan jalur MRT dan KRL di wilayah Sudirman. LRT melibatkan PT Kereta Api Indonesia sebagai operatornya dan BUMN sebagai pemodalnya.
Kendati Jokowi naik jadi presiden, pembangunan MRT berlanjut kala Ahok menjabat gubernur DKI Jakarta 2014–2017. Bor raksasa untuk membuat jalur bawah tanah datang. Disusul rangkaian keretanya dari perusahaan Nippon Sharyo. Pembangunan LRT juga mulai dijalankan pada 2015.
Pembangunan MRT tahap pertama selesai pada masa Anies Baswedan jadi gubernur.
MRT akhirnya mewujud. Tetapi persoalan transportasi di Jakarta sejatinya belum selesai. MRT tak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditunjang moda transpotasi publik lain.
Ketika meresmikan MRT pada 25 Maret 2019, Jokowi mengulang kembali pentingnya integrasi semua jenis moda transportasi publik.
“Kalau ini diintegrasikan, masyarakat akan diberikan kemudahan-kemudahan untuk datang ke sebuah tempat sehingga meninggalkan motor pribadi, mobil pribadi, karena lebih nyaman, lebih cepat naik MRT, naik Transjakarta, naik moda LRT yang akan selesai juga, harapan kita itu,” ucap Jokowi.
Mari kita tunggu, keajaiban apa lagi yang akan hadir di Jakarta.