Para kadet dari pelajar Indonesia, Filipina, Burma, dan Semenanjung Melayu berfoto di kampus Akademi Militer Sobudai, April 1945. (Repro Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang: Sekitar Perang Pasifik 1942-1945).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEJUMLAH pemuda Sumatra mengutarakan kepada Naito Keizo, konsulat Jepang yang berkantor di Medan, ihwal keinginan untuk belajar di Jepang.
Naito mulanya tak yakin. Pengetahuan pemuda Indonesia mengenai Negeri Matahari Terbit sangat minim. Namun, mengingat ada pula pemuda Jawa yang berminat belajar ke Jepang, Naito bersikeras membujuk Uchida. Pada November 1932, Naito mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Uchida Koya di Tokyo.
SEJUMLAH pemuda Sumatra mengutarakan kepada Naito Keizo, konsulat Jepang yang berkantor di Medan, ihwal keinginan untuk belajar di Jepang.
Naito mulanya tak yakin. Pengetahuan pemuda Indonesia mengenai Negeri Matahari Terbit sangat minim. Namun, mengingat ada pula pemuda Jawa yang berminat belajar ke Jepang, Naito bersikeras membujuk Uchida. Pada November 1932, Naito mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Uchida Koya di Tokyo.
“… saya mohon agar orang-orang asing seperti ini yang masih belum memahami bahasa Jepang dapat diberi kelonggaran untuk belajar di sekolah Jepang,” tulis Naito dalam suratnya, dimuat Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia karya Ken’ichi Goto, sejarawan Universitas Waseda.
Permohonan Naito dikabulkan. Menurut Ken’ichi, dua orang yang kali pertama berangkat ke Jepang untuk belajar adalah Madjid Usman dan Mahjuddin Gaus, keduanya dari Minangkabau, Sumatra Barat. Gaus belajar kedokteran di Universitas Jikei. Kelak, ia menjadi satu-satunya pemuda Indonesia yang menyelesaikan pendidikan hingga mencapai gelar doktor di Jepang sebelum Perang Dunia II. Sedangkan Usman belajar ilmu hukum di Universitas Meiji.
Di Jepang, pada 1933 Gaus dan Usman menggagas terbentuknya organisasi persahabatan mahasiswa bernama Serikat Indonesia. Gaus terpilih sebagai ketua dan Usman sebagai sekretaris jenderal. Anggotanya tak sampai sepuluh orang. Di dalamnya termasuk W.J.S. Poerwadarminta –kelak dikenal sebagai ahli bahasa dan penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia– yang tengah mengajar bahasa Melayu di Tokyo Foreign Language School. Poerwadarminta, yang rumahnya rutin jadi tempat pertemuan, menjadi bendahara organisasi.
Serikat Indonesia menyusun terbitan berkala, Berita Indonesia, yang memuat esai para pelajar tentang pengalaman di Negeri Sakura. Terbitan itu dikirim ke Indonesia untuk dimuat Bintang Timoer di Batavia dan koran Radio yang dicetak di Padang, kampung halaman Gaus dan Usman.
Secara organisasi, kegiatan Serikat Indonesia tak berkaitan dengan politik. “Namun dari sudut pemakaian kata ‘Indonesia’ dalam bahasa Melayu pada organisasi tersebut, jelas mereka telah menaklukkan daerahisme dan sukuisme dan saling memastikan dengan tegas kesatuan sebagai bangsa Indonesia,” tulis Ken’ichi.
Gerbang Sekolah Dibuka
Kemenangan militer Jepang atas Rusia dalam Perang Tsushima pada 1904–1905 mengerek citra Jepang sebagai negara maju. Ekspansi ekonominya juga mencengangkan. Ribuan gerai “Toko Jepang” yang melegenda tersebar di Indonesia dan menyediakan kebutuhan barang-barang dengan harga murah. Banyak orang Indonesia pergi ke Jepang untuk belajar dari kemajuan ekonomi Jepang.
Menurut Peter Post, karena terancam, pada 1933, pemerintah Hindia Belanda meninggalkan kebijakan “politik terbuka” dan mulai campur tangan dalam masalah ekonomi. Proteksi diberlakukan untuk melindungi industri tekstil dan perusahaan dagang Belanda yang besar. Sebaliknya, karena kebijakan proteksi itu mengancam pondasi ekonominya, Jepang menyerukan Pan-Asia.
“Seruan ini jatuh di tanah yang subur dan dijemput gerakan nasionalis,” tulis Peter Post dalam pengantar buku The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War.
Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia mengarahkan perhatian ke Jepang. Beberapa di antaranya berkunjung ke Jepang. Salah satunya Parada Harahap, redaktur koran Bintang Timoer.
Pada November 1933 hingga Januari 1934, Parada memimpin delegasi perdagangan dan industri berkunjung ke Jepang. Dalam memoar perjalanannya Menoedjoe Matahari Terbit yang terbit pada 1934, ia memuji kemajuan Jepang. Ia juga menyeru para pelajar Indonesia supaya mengalihkan perhatiannya dari pendidikan Eropa ke Negeri Sakura.
“Ke mana mestinya kita pergi belajar? Ke Jepang tentu!” tulis Parada.
Salah seorang pemuda yang turut serta dalam rombongan Parada adalah Sudibjo Tjokronolo, lulusan Algemeene Middelbare School atau setara sekolah menengah atas di Batavia. Semula Sudibjo berangan-angan melanjutkan sekolah ke Belanda sebagaimana kebanyakan golongan terpelajar lainnya. Karena kurang biaya, Sudibjo mengalihkan pandangannya ke Jepang.
“Saya nilai Jepang cukup memadai untuk sekolah di sana. Bukankah Jepang bisa menang perang dengan Rusia, satu negara Barat. Bukankah orang Jepang digolongkan setaraf dengan bangsa Eropa,” tulis Sudibjo Tjokronolo yang termuat dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang: Sekitar Perang Pasifik 1942–1945 karya tim Persada Senior, organisasi alumni pelajar Indonesia yang pernah sekolah di Jepang. “Jepang punya semangat nasional yang bisa dipelajari dan dicontoh.”
Kala itu Jepang menawarkan biaya sekolah yang lebih murah ketimbang Belanda. Pernah terdengar desas-desus di lingkungan cendekiawan Indonesia bahwa kehidupan di Jepang di zaman itu bisa cukup dengan 50-80 yen sebulan. Jika di Belanda, bisa tiga sampai empat kali lipat.
Segala hal yang berbau Jepang bukan tak mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda. Dalam laporan yang terbit pada 1942, pemerintah Hindia Belanda menyebut adanya “aktivitas subversif” orang-orang Jepang, dari turis hingga ilmuwan, dari perwakilan dagang hingga mata-mata, selama satu dekade. Mereka menggerakkan kampanye Pan-Asia melalui penerbitan, dukungan keuangan maupun distribusi barang murah, hingga mendorong orang Indonesia belajar di Jepang dengan biaya murah. Tujuannya agar kaum bumiputra melawan pemerintah Hindia Belanda.
“Beberapa lusin pemuda tertarik, dengan murahnya pendidikan yang ditawarkan kepada mereka dan dukungan keuangan yang dijanjikan kepada orang-orang yang bahkan tidak bisa membayar biaya yang rendah ini, pergi ke Jepang,” tulis Biro Informasi Belanda dalam Ten Years of Japanese Burrowing in the Netherlands East Indies.
Laporan itu juga menyebutkan, setiba di Jepang, para pemuda yang siap untuk bertindak sebagai alat propaganda Jepang dibantu secara finansial. “Mereka sering diundang untuk menghadiri pertemuan kelompok Pan-Asia. Pada kongres mereka diajukan sebagai ‘orang Indonesia’ dan pemimpin dari ras yang telah bangkit melawan penindas Belanda,” tulis laporan itu.
Bagi Jepang sendiri, penguasaan atas negara-negara Selatan merupakan kewajiban sesuai doktrin politik yang disusun Asosiasi Asia Raya (Dai Ajia Kyokai), sebuah organisasi berpengaruh di Tokyo yang didirikan pada Januari 1933. Ditegaskan lagi dengan pernyataan Pangeran Konoye yang bertindak selaku perdana menteri pada Februari 1938 bahwa Jepang bertanggung jawab mendirikan sebuah era baru di Asia Timur, yakni persemakmuran Rakyat Asia Merdeka.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Saya nilai Jepang cukup memadai untuk sekolah di sana. Bukankah Jepang bisa menang perang dengan Rusia, satu negara Barat.</div>
Terlibat Politik
Para pemimpin Serikat Indonesia kerap mendapat undangan untuk menghadiri berbagai pertemuan, terutama dari Asosiasi Asia Raya. Dari sinilah Gaus menjalin persahabatan dengan Nakatani Takeyo, sekjen Asosiasi Asia Raya. “Gaus berhubungan akrab sekali bagaikan abang-adik dengan Nakatani Takeyo, Sekjen Asosiasi Asia Raya tersebut,” tulis Ken’ichi.
Hubungan persahabatan dengan Nakatani turut membangun sikap politik Gaus. Gaus makin menunjukkan sifat memusuhi penjajahan dan menuntut kebebasan bangsanya. Hal itu tampak ketika Gaus berbicara dalam Kongres Asia Raya yang digelar Asosiasi Asia Raya pada Desember 1933.
“Kemerdekaan itu merupakan hak sejak dilahirkan sebagai manusia bagi bangsa mana pun, kami juga mau merdeka seperti negara lainnya,” ucap Gaus dalam Kenang-Kenangan Gaus, dimuat Ken’ichi.
Sementara Usman mendapat pengaruh Joesoef Hassan, teman sekampus namun beda jurusan. Hassan, belajar ekonomi, diselundupkan Toindo Kyoei-Doshikai (Asosiasi Orang Jepang di Batavia) untuk menyelidiki niat Jepang hendak menyerang Jawa.
Dalam “Diskusi Gerakan Nasionalisme Asia” pada 21 Februari 1935, giliran Usman yang unjuk gigi. Di hadapan para perwakilan bangsa-bangsa Asia, ia menyuarakan pandangan politiknya. “Orang-orang kulit putih kolonialis ini dengan berbagai cara telah menindas rakyat kami secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan,” ucap Usman dalam Dai Ajia Shugi (Asia Raya), dimuat Ken’ichi.
Aktivitas Gaus dan Usman bukannya tak diawasi intelijen Belanda di Jepang. Tak lama setelah berpidato dalam diskusi pada Februari 1935, Usman diancam intel Belanda agar tak meneruskan aktivitas politiknya. Tapi berkali-kali pula ia tetap mendatangi berbagai undangan pertemuan dan berpidato. Maka, pantaslah Usman, seperti disebut Ken’ichi, menjadi seorang penyerang di barisan terdepan dalam aktivitas pembicaraan anti-Belanda.
Pada 1938, Sudjono, pemuda asal Brancang, Madiun, yang juga sarjana hukum jebolan Universitas Leiden, datang ke Jepang. Sudjono yang menggantikan Poerwadarminta sebagai pengajar bahasa Melayu di Osaka meneruskan peran Gaus sebagai pemimpin Serikat Indonesia. Kala itu makin banyak pelajar Indonesia di Jepang meski yang tergabung dalam Serikat Indonesia tak lebih dari 20 orang.
Di bawah kepemimpinan Sudjono, gerak Serikat Indonesia makin radikal. Pada November 1939, ketika Majelis Islam A’la Indonesia, federasi ormas Islam di Indonesia, menjadi peserta Perkumpulan Islam Jepang (Dai Nippon Kaikyokai), Serikat Indonesia mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan Indonesia Raya –sesuatu yang dilarang di Indonesia.
Terlibat Perang
Para pelajar Indonesia memainkan peranan, terutama dalam membantu balatentara Jepang, di masa Perang Dunia II. Sudjono, pemimpin Serikat Indonesia, diminta turut serta armada perang menuju Jawa.
“Anda penting untuk menghubungi pemimpin-pemimpin Indonesia di sana,” tulis Sudjono menirukan Nakayama, kolonel yang menjemputnya, termuat dalam Mr. Sudjono: Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942. Sudjono di kemudian hari menjadi penghubung militer Jepang dengan tokoh-tokoh Indonesia sesampainya di Banten, tempat pendaratan pertama pasukan Jepang.
Mohammad Juli, asal Batu Sangkar, Sumatra Barat, yang belajar teknik pembuatan keramik di Seto, Aichi, diminta menjadi penyiar radio. Ia siaran selama 30 menit setiap malam sejak akhir 1941 sampai tibanya pasukan Jepang di Jawa pada Maret 1942. Dari bilik studio di Tokyo, Juli menyiarkan kepada rakyat Indonesia bahwa tentara Jepang datang sebagai pembebas.
Namun, bukan berarti semuanya membeo kemauan Jepang. Oemarjadi Njotowijono, pelajar ilmu bisnis di Universitas Hitotsubashi yang memimpin Serikat Indonesia selepas Sudjono pulang ke Jawa, kritis terhadap ajakan perang Jepang. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya ia menaruh curiga bahwa Jepang tak beda dari negara-negara Eropa dan Amerika yang menindas bangsa Asia. Ia berkaca kepada sikap Jepang yang mengobarkan perang dengan Tiongkok, sesama bangsa Asia.
Dalam majalah Kakushin edisi Agustus 1939, Oemarjadi menulis: “Sebelum meletus perang Jepang-Tiongkok, rakyat yang tertindas dari daratan Asia kita ini pernah menganggap Jepang sebagai satu-satunya negara yang menolong diri mereka dari keadaan susah.”
Situasi perang membuat kegiatan pendidikan di Jepang lumpuh. “Di sekolah, sejak memuncaknya peperangan pada awal tahun 1944 hampir-hampir tidak ada kuliah. Mahasiswa-mahasiswa dipekerjakan di pabrik senjata, misalnya di Tachikawa. Juga untuk latihan ketentaraan banyak mahasiswa yang dikirim ke medan perang,” tulis Omar Barack, pelajar asal Samarinda yang belajar ekonomi politik di Universitas Waseda.
Ketika makin terdesak dalam perang, Jepang mau tak mau menambah serdadu. Pada akhir 1944, lewat Kokusai Gakuyukai (sekolah bagi seluruh pelajar asing yang belajar bahasa Jepang), pemerintah mengumumkan kesempatan masuk akademi militer. Mereka diizinkan masuk Rikugun Shikan Gakko atau Rikushi, Akademi Militer Angkatan Darat, berpusat di Sobudai, sekira 60 kilometer di sebelah barat Tokyo.
“17 pelajar Indonesia dari Jawa dan Sumatra mengajukan diri untuk masuk ke Akademi Militer tersebut,” tulis Saari Ibrahim dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.
Saari yang asal Lampung baru saja menyelesaikan pendidikan bahasa sebelum masuk akademi militer. Di Sobudai, ia diajari keterampilan perang seperti menggunakan light machine, gun, rifle, revolver, dan granat tangan. Pelajar dari luar Jawa dan Sumatra juga mengikuti akademi militer namun ditempatkan dalam yurisdiksi Angkatan Laut.
Jepang bertekuk lutut setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom Amerika Serikat.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Tentara Jepang dan pelajar Indonesia kala itu seperti suami istri yang tidur sebantal namun berbeda mimpi.</div>
Setelah Perang Usai
Perang membuat banyak sekolah tutup. Namun, menurut Hassan Shadily, pelajar asal Pamekasan di Universitas Kyoto yang juga pernah ikut akademi militer di Sobudai, banyak pelajar Indonesia enggan meninggalkan Jepang. Mereka tak akan pulang sebelum membawa gelar.
Menurut data yang dihimpun Persada Senior, jumlah mahasiswa yang belajar di Jepang sebelum perang dan sekitar 1942–1945 sebanyak 94 orang. “Tentu saja bahwa di luar daftar ini masih ada beberapa putra Indonesia yang ada di Jepang ketika itu,” tulis Hassan yang kelak lebih dikenal sebagai penyusun Kamus Bahasa Indonesia-Inggris.
Di kemudian hari, para pelajar yang sempat menuntut ilmu di Jepang berkarya di tanah air. Selepas Indonesia merdeka, Sudjono bekerja di bagian hukum di Kementerian Luar Negeri Indonesia. Oemarjadi menjadi duta besar di Jenewa, Swiss, dan pernah menjabat sekretaris jenderal ASEAN. Omar Barack menjadi ketua Copra Selling Pool in Japan yang bertanggung jawab menyuplai kopra ke Jepang. Mahjuddin Gaus sendiri, setelah lulus dari kedokteran Universitas Jikei, membuka praktik di Singapura.
Zaman telah mengantarkan para pemuda yang mestinya belajar justru menjadi tenaga perang. Sebagian bahkan yakin Jepang adalah pembebas Indonesia dari penjajah Belanda. Seperti ditulis sejarawan Ken’ichi Goto, antara tentara Jepang dan pelajar kala itu seperti suami-istri yang tidur sebantal namun berbeda mimpi.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 17 Tahun II 2014.