Yang Tertinggal di Hiroshima

Anak kampung Jasinga belajar ke Jepang. Menyaksikan langsung keganasan bom atom di Hiroshima. Menjadi penggerak hubungan Indonesia-Jepang.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Yang Tertinggal di HiroshimaYang Tertinggal di Hiroshima
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina

HIROSHIMA, 6 Agustus 1945. Pagi itu, Hasan Rahaya bersama tiga mahasiswa lainnya berada di ruang kuliah. Suara sirene tanda aman sudah terdengar; pertanda pesawat udara Amerika sudah melintas. Mereka siap mengikuti pelajaran fisika. Dosen mereka, seorang tua berkepala plontos, baru mulai menulis beberapa huruf di papan tulis ketika cahaya seperti kilat menyambar dari arah jendela.

Hasan menoleh ke jendela. Tiba-tiba tubuhnya terpelanting, menghantam langit-langit, lalu jatuh ke lantai. Menyusul kemudian langit-langit ambrol. Sebuah piano terjatuh dari lantai atas mengenai kepalanya. Darah mengucur. Dia pingsan. Tapi berkat piano itu pula dia terlindung dari reruntuhan.

Beberapa menit kemudian, Hasan siuman. Kepalanya sakit luar biasa. Kulitnya tertutup debu. Dia mencoba bangkit, menyingkirkan puing-puing bangunan dari sekitar piano dan tubuhnya. Dia melihat bangunan Universitas Hiroshima, kampusnya, luluh lantak. Hanya tersisa sedikit bangunan utama.

Tak jauh darinya, sesosok tubuh menggeliat dari reruntuhan. Dia adalah Arifin Bey, mahasiswa Indonesia sekaligus teman Hasan. Kepalanya juga terluka. Mereka saling mendekat dengan wajah heran, lalu menengok ke sekeliling. Kawan-kawan dan dosen mereka tak bergerak tertimbun reruntuhan.

HIROSHIMA, 6 Agustus 1945. Pagi itu, Hasan Rahaya bersama tiga mahasiswa lainnya berada di ruang kuliah. Suara sirene tanda aman sudah terdengar; pertanda pesawat udara Amerika sudah melintas. Mereka siap mengikuti pelajaran fisika. Dosen mereka, seorang tua berkepala plontos, baru mulai menulis beberapa huruf di papan tulis ketika cahaya seperti kilat menyambar dari arah jendela.

Hasan menoleh ke jendela. Tiba-tiba tubuhnya terpelanting, menghantam langit-langit, lalu jatuh ke lantai. Menyusul kemudian langit-langit ambrol. Sebuah piano terjatuh dari lantai atas mengenai kepalanya. Darah mengucur. Dia pingsan. Tapi berkat piano itu pula dia terlindung dari reruntuhan.

Beberapa menit kemudian, Hasan siuman. Kepalanya sakit luar biasa. Kulitnya tertutup debu. Dia mencoba bangkit, menyingkirkan puing-puing bangunan dari sekitar piano dan tubuhnya. Dia melihat bangunan Universitas Hiroshima, kampusnya, luluh lantak. Hanya tersisa sedikit bangunan utama.

Tak jauh darinya, sesosok tubuh menggeliat dari reruntuhan. Dia adalah Arifin Bey, mahasiswa Indonesia sekaligus teman Hasan. Kepalanya juga terluka. Mereka saling mendekat dengan wajah heran, lalu menengok ke sekeliling. Kawan-kawan dan dosen mereka tak bergerak tertimbun reruntuhan.

Melalui lubang kaca yang pecah berantakan, mereka keluar. Langit kelam. Kabut hitam menghalangi pandangan. Udara sangat panas.

Dua mahasiswa lainnya, Pengiran Yusof (Brunei) dan Abdul Razak (Malaysia), tergopoh-gopoh mendekat. Keempatnya lalu bergegas menuju asrama, sekira 600 meter dari kampus.

Sepanjang perjalanan, mereka berpapasan dengan orang-orang yang lintang pukang dengan kulit terbakar. Pepohonan meranggas. Hewan ternak mati. Bangunan rata dengan tanah. 

Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Belakangan mereka tahu bahwa tepat pukul 08.15 waktu Jepang, bom atom dijatuhkan di Hiroshima.

Nun jauh di Indonesia, keluarga Hasan mendengar kabar Hiroshima dibom atom. Mereka tak tahu harus bagaimana. Tak ada orang yang bisa dihubungi untuk cari tahu nasib Hasan.

“Di Jasinga sudah dikabarkan udah nggak ada. Dengan kejadian dramatis seperti itu tidak mungkin ada manusia yang selamat,” kata Deden Rochmawati, anak pertama Hasan Rahaya, kepada Historia.id.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61f7ae51cb2bdde7d5e8d78e_Intersection%2029.jpg" alt="img"></div><figcaption>Kota Hiroshima, Jepang setelah bom atom dijatuhkan oleh pembom AS “Enola Gay”, 1945. (shutterstock)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="muhammad-ali" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61f7ae56ef5754033f8db313_Intersection%2030.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/hasan-rahaya-tertinggal-di-hiroshima/ferdi-hasan-podcast.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Ferdi Hasan</b><br>Anak kedua Hasan Rahaya</span></div></div></div>

Suka Bahasa

Jasinga berjarak 50 kilometer arah barat kota Bogor, Jawa Barat. Di sinilah Hasan Rahaya dilahirkan pada 22 Desember 1922. Ayahnya bernama Raden Rahaya, ibunya Siti Hajah Junaini. Mereka memiliki sembilan anak. Hasan Rahaya anak bungsu.

Ayah Hasan bekerja sebagai demang, sedangkan ibunya mengurus rumah tangga. Hasan mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Jasinga. 

Hasan punya ketertarikan khusus pada pelajaran bahasa. Nilainya selalu baik dalam mata pelajaran ini. Dia sehari-hari berbahasa Sunda di lingkungan keluarganya. Pelajaran bahasa Melayu dan Belanda membuatnya terhubung dengan orang-orang dari luar Jasinga. Dia juga mempelajari bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah.

“Waktu pelaksanaan belajar di sekolah MI Muhammadiyah ini dimulai pukul 13.00 hingga pukul 15.00,” kata Hasan dalam memoarnya Garuda Matahari.

Itu artinya Hasan langsung sekolah lagi sepulang dari Sekolah Rakyat. Pada sore hari, dia pulang ke rumah dan membantu ibunya berjualan di warung.

Hasan lulus dari dua sekolah itu dengan nilai memuaskan. Dia melanjutkan ke Schakel School atau sekolah peralihan dari Sekolah Rakyat menuju MULO (setingkat SMP sekarang). Dia menyelesaikannya dengan predikat murid terbaik. Bahasa Belandanya pun kian moncer. Dia ingin bersekolah lebih tinggi lagi. 

Hasan pergi ke Batavia untuk belajar di sekolah guru Muhammadiyah. Di sini dia belajar bahasa Inggris yang belum pernah dipelajarinya. Dia lagi-lagi lulus dengan menggenggam rangking pertama.

Arkian lulus, Hasan mulai mengajar di sekolah Ijtimaiyah Tanah Abang. Selama mengajar, guru-guru di sekolah itu sering membicarakan orang-orang Jepang. Kala itu segala yang berbau Jepang tengah jadi buah bibir. Produk Jepang telah membanjiri Hindia Belanda sejak 1930-an. 

Pasukan Jepang pun sudah memasuki kota-kota di Hindia Belanda. Tentara Belanda kewalahan menghadapinya hingga akhirnya menyerah pada 8 Maret 1942. 

Hasan memutuskan pulang kampung.

Tentara Jepang Mendarat di Jawa. (Troppenmuseum)


Penerjemah di Kantor Jepang

Ketika Hasan kembali, kampungnya telah berubah. Ayahnya tak lagi menjabat demang. Pabrik karet milik orang Belanda diambil alih oleh Jepang. Tentara Jepang juga berseliweran di kampungnya.

Pada mulanya, penduduk takut melihat orang-orang Jepang masuk kampung. Muasalnya orang-orang Belanda membisiki penduduk bahwa orang Jepang itu jahat, kejam, dan akan membunuh mereka semua. Mendengar itu, keluarga Hasan mengungsi keluar Jasinga.

Hasan berbeda. Dia tetap tinggal di Jasinga dan menemui orang-orang Jepang itu. Mereka bercakap dalam bahasa Inggris. Orang Jepang itu mengatakan, “Kamu jangan takut. Orang-orang Indonesia jangan takut. Indonesia saudara. Saya mencari orang-orang berkulit putih.”

Hasan lalu mengajak keluarga dan warga lainnya kembali ke Jasinga. Dia meyakinkan penduduk bahwa orang-orang Jepang itu tak berbahaya. Keluarganya mempercayainya. Mereka kembali ke rumah, membuka warung, dan menjalankan pabrik tahu.

Orang-orang Jepang kerap kali sarapan pagi di warung ibu Hasan. Menurut orang Jepang, sarapan buatan ibu Hasan sangat lezat. Saban hari mampir sarapan, orang-orang Jepang itu akrab dengan Hasan. Mereka lalu tukar-menukar bahasa. Hasan mengajari mereka bahasa Melayu, sedangkan orang-orang Jepang memperkenalkan bahasa Jepang.

Sam Suhaedi, rekan Hasan saat di Jepang, membenarkan kedekatan itu. Dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945, Sam menyebut hal ini bukan hanya terjadi pada Hasan, tapi juga pemuda lainnya. Umumnya kedekatan itu terjalin antara perwira dan pemuda.

Karena tak menemukan orang Belanda, tugas orang-orang Jepang selesai di Jasinga dan berpindah ke Bogor. 

Kepergian orang Jepang meninggalkan kesan mendalam bagi Hasan.

“Sepanjang saya wawancara Pak Hasan, terus melihat diari-diarinya Pak Hasan, tidak pernah ada orang Jepang ini begini-begitu. Semuanya baik,” kata Yan Zavind Aundjan, penulis buku memoar Hasan Rahaya.

Selepas kepergian orang Jepang dari Jasinga, Hasan kembali ke Jakarta untuk mengajar di sekolah Muhammadiyah. Dia juga mengambil kursus bahasa Jepang.

Setelah rampung kursus pada 1943, Hasan mengajar bahasa Jepang dan olahraga di almamaternya. Tak lama dia menerima tawaran kerja sebagai penerjemah di Gunseikanbu (kantor pemerintahan militer Jepang). Dia pun hidup enak dan menikmati berbagai fasilitas. Dari sepeda, tempat tinggal, pakaian, sampai makanan.

Hasan mempunyai atasan bernama Kataoka Seiichi. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama ketika perjalanan dinas ke luar kota. Suatu hari, mereka pergi ke Jawa Timur dan bertemu seorang petani perempuan. Kataoka ingin tahu bagaimana hasil pertanian di sana. Tapi perempuan itu hanya bisa berbahasa Jawa. Hasan pun tak menguasai bahasa Jawa.

Kataoka bertanya ke Hasan mengapa perempuan itu tak menggunakan bahasa Indonesia. Hasan menjawab, “bahasa Indonesia hanya diketahui sebagai bahasa kesatuan di kalangan pemuda saja, dan hanya beberapa orang tertentu saja yang mengetahui.”

Kataoka kepikiran menyampaikan masalah ini ke atasannya. Tak lama setelah itu, Jepang mengumumkan bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib di sekolah.

“Itu jasa Pak Hasan,” kata Yan.

Yan menambahkan, Hasan juga mengusulkan dan mengganti surat-menyurat administrasi pemerintahan militer Jepang jadi dwibahasa, bahasa Jepang dan Melayu.

Selama bekerja di Gunseikanbu, Hasan melihat para pegawai pemerintahan dari kalangan anak negeri sering dikumpulkan. Mereka diceramahi tentang maksud kedatangan Jepang oleh instruktur Jepang. Mereka juga mengikuti pelatihan. Hasan mengisi dua kegiatan, menggantikan instruktur Jepang.

Tugas Hasan mirip dengan tugas tokoh-tokoh pergerakan nasional yang bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang. Mereka memanfaatkan kerja sama ini untuk memupuk nasionalisme di kalangan rakyat. Sedangkan bagi Jepang, mereka menjadi pintu masuk untuk menguasai sumber daya manusia dan alam Indonesia.

Hasan Rahaya waktu kuliah di Jepang. (Koleksi keluarga)


Belajar ke Jepang

Selain merangkul tokoh-tokoh pergerakan nasional, Jepang berusaha merengkuh pemuda Indonesia. Mereka menyediakan beasiswa. Selama belajar di Jepang, seluruh biaya hidup ditanggung pemerintah Jepang. Banyak pemuda antusias dengan program Nanpo Tokubetsu Ryogakusei (Nantoku) itu.

Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia menyebut mereka yang memilih mencari ilmu di Jepang cenderung anti-Belanda, anti-kolonialisme, dan mengharapkan dorongan, dukungan, bimbingan dari politikus ultra-nasionalis Jepang yang anti-Barat. Calon-calon pelajar itu berasal dari keluarga dengan status sosial tinggi. Umumnya keluarga mereka menyandang gelar bangsawan dan mengenyam pendidikan Belanda.

Jepang memberangkatkan pemuda-pemuda terpilih pada 1943. Jumlahnya 52 orang: 24 orang dari Jawa, 7 orang dari Sumatra, dan 21 orang dari wilayah Indonesia timur.

Tahun berikutnya, Jepang kembali mengirim pelajar Indonesia ke Jepang. Kesempatan ini datang kepada Hasan.

“Almarhum ayah saya ini adalah batch kedua yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di universitas di Jepang pada 1944,” kata Ferdy Hasan, anak kedua Hasan Rahaya. 

Malam sebelum berangkat ke Jepang, Hasan dan rombongan pelajar bertemu dengan Sukarno dan Mohammad Hatta di Cikini, Jakarta.

“Kami diberikan nasihat, amanat untuk belajar bermacam-macam disiplin ilmu di Jepang, khususnya ilmu teknologi dan seni untuk kemudian bisa disumbangkan kepada bangsa dan negara di kemudian hari,” kata Hasan.

Pergi ke Jepang merupakan keputusan terpenting dalam hidup Hasan. Ketika saudara dan keluarganya memilih jalan berdagang, dia justru menempuh jalur pendidikan. Dia juga sangat percaya diri dengan penguasaan bahasa Jepangnya.

Setibanya di Jepang pada 1944, Hasan menempati sebuah kamar di asrama pelajar Asia Tenggara di Tokyo. Dia mendapati kemampuan bahasa Jepangnya belum cukup untuk kuliah. Karena itu, Hasan dan kawan-kawannya harus kursus bahasa Jepang lagi selama setahun. Dia senang bisa belajar bahasa Jepang dengan penutur asli yang ramah di tengah bentang alam yang indah.

Hari-hari penuh keceriaan berubah menjadi kecemasan pada akhir 1944. Kursus menjadi jauh lebih berat. Sebab, pesawat udara Sekutu sudah merangsek ke Tokyo.

“Kami menyaksikan penjatuhan bom-bom dan beribu-ribu bom yang telah menghancurkan sebagian kota Tokyo dan sekitarnya. Pemandangan ini kami saksikan hampir tiap hari dan tiap malam,” kata Hasan.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="z46z1goo-spek-bom-atom" data-w="720" data-h="1565" data-domain="my"></div></div>

Akibat serangan itu, suplai kebutuhan pokok terganggu. Makanan langka, listrik putus-nyambung, bahan pakaian pun dijatah. Dalam centang perenang itu, Hasan ditunjuk menjadi sekretaris perkumpulan pelajar Nantoku. Tugasnya mengkoordinasi pertemuan dan diskusi Nantoku.

Situasi Tokyo kian gawat. Sebelum terjadi apa-apa terhadap pelajar Asia Tenggara di Tokyo, pemerintah Jepang memindahkan mereka ke kota-kota yang dianggap aman. 

Arifin Bey, kawan Hasan, dalam “Bom Atom di Atas Hiroshima” di Berkala Ilmu Kedokteran, September 1989, menyebut para mahasiswa itu dipencarkan ke kota-kota seperti Kyoto, Kumamoto, Fukuoka, Yamaguchi di sebelah barat Jepang, atau ke Akita, Chiba, Hakodate, dan sebagainya, di bagian utara Jepang.

Hasan dan tiga temannya, termasuk Bey, kebagian pindah ke Hiroshima. “Karena sampai saat itu Hiroshima belum pernah dijamah oleh pengebom-pengebom Amerika,” kata Arifin Bey.

Hiroshima jauh lebih tenang dan sepi daripada Tokyo. Hasan dan tiga kawannya tinggal di asrama, sekira 600 meter dari kampus mereka. Tiap hari mereka memperhatikan kota ini makin sepi. Para lelaki Jepang pergi berperang ke kota-kota lain.

Tak ada tanda-tanda kota ini bakal diserang. Tapi segalanya berubah pada 6 Agustus 1945. Hiroshima hancur lebur oleh bom atom Amerika Serikat yang dijatuhkan dari pesawat B-29. Kekuatannya 20.000 kali lipat dari bom biasa. 

Tapi takdir menentukan: Hasan selamat. 

Saat belajar di Jepang. (Koleksi keluarga)


Nasib Tak Menentu

Sempat terkubur reruntuhan Universitas Hiroshima, Hasan Rahaya dan ketiga temannya keluar melalui jendela dan memutuskan kembali ke asrama yang juga sudah ambruk.

Seseorang dari reruntuhan asrama meminta tolong. Suara Syarif Adil Sagala, teman Hasan sesama pelajar Indonesia. Hasan memunguti reruntuhan asrama dan menarik Sagala keluar. 

Tak lama, jilatan api tampak di seluruh kota dan membakar asrama. Seorang mahasiswa Malaysia, Nick Yusof, berteriak minta tolong. Namun, karena paniknya, ia berlari menuju nyala api dan tak pernah kembali. 

Hasan bersama kawan-kawannya berkali-kali menyelamatkan orang dari reruntuhan dan membawanya ke tempat aman di tepi sungai tak jauh dari asrama. Tindakan mereka terpatri sangat kuat di ingatan orang-orang yang mereka selamatkan.

“Mereka menghibur kami meskipun kamilah yang seharusnya menenangkan mereka. Mereka menyanyikan lagu-lagu daerahnya untuk kami. Bengawan Solo dan Terang Boelan. Kami lalu menggesek violin dan menyanyikan lagu Jepang untuk mereka. Mereka dan kami saling menghibur,” kata Meiko Kurihara, penyintas bom atom sekaligus tetangga para pelajar, kepada interview.tsuguten.com.

Lalu angin bertiup kencang, membuat api menyapu mereka. Dengan segera Hasan mengintruksikan agar terjun ke Sungai Motoyasu yang berada persis di depan asrama. Mereka bertahan di dalam air selama berjam-jam. Kemudian mereka bergerak menuju sebuah jembatan untuk menghindar dari lalapan api.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-title="BOM HIROSHIMA" data-url="n0ydmrk7-bom-hiroshima" data-w="720" data-h="997" data-domain="my"></div></div>

Setelah api mereda, Hasan dan kawan-kawannya naik ke darat. Pakaian basah kuyup. Tubuh menggigil. Setelah berkeliling-keliling mencari tempat berteduh, mereka memutuskan beristirahat dan menginap di pelataran kampus Universitas Hiroshima.

Nasib Hasan dan kawan-kawannya terlunta-lunta di Hiroshima. Suatu hari, seorang Jepang bernama Mr. Miwa menawarkan untuk untuk tinggal di rumahnya, yang hanya retak akibat goncangan bom. 

Belum surut air mata di Hiroshima, bom atom kedua menghantam kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Jepang hancur lebur. Kehancuran dua kota itu membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. 

Nasib para pelajar Asia Tenggara jadi tak menentu. Pemerintah Jepang mengumumkan beasiswa mereka tak berlanjut. Mereka hanya punya dua pilihan: tetap bertahan dengan biaya sendiri atau pulang ke negeri masing-masing.

Hasan memilih tetap tinggal di Jepang.

<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa24d17ae67c46d38136c6_Foto-5.jpg" alt="img"></div> <figcaption>Bangunan di Hiroshima yang hancur usai di Bom Atom. (wikimediacommons )</figcaption></figure></div>

Bertahan di Jepang

Hasan masih trauma dengan peristiwa bom atom. Dia juga senang mendengar kabar Indonesia sudah merdeka. Tapi tentara Belanda mempersulit kepulangan pelajar Indonesia. Kontak dengan keluarga pun terputus –baru tiga bulan kemudian dia bisa mengirimkan surat. Daripada menunggu nasib yang tak pasti, Hasan melamar kerja di Markas Tentara Pendudukan Amerika Serikat di Yokohama. 

Hasan mendapat kabar lamarannya sebagai penerjemah diterima. Dia bekerja selama beberapa bulan dan mendapatkan cukup uang. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk berkenalan dengan banyak perwira tinggi Jepang dan Sekutu. Hubungan baik terjalin.

Hasan sering menerima pemberian alkohol dan rokok dari atasannya. Karena tak merokok dan bukan peminum, dia menjualnya kepada orang Jepang dan tentara Amerika Serikat. 

Hasan menggunakan uang itu untuk meneruskan kuliah Ilmu Politik di Universitas Keio, Tokyo, pada 1948. Dia lulus kuliah dengan predikat memuaskan pada 1951. Setelah itu, dia bekerja di Sun Show Trading, perusahaan Jepang di Osaka hingga pengujung 1951.

Tujuh tahun tinggal di Jepang, Hasan mendapat banyak hal: gelar sarjana, kekasih, teman-teman internasional, komunitas akademis, komunitas Indonesia di Jepang, dan pengalaman berbisnis. 

“Beliau sendiri juga banyak kenal dengan petinggi-petinggi Jepang, dan petinggi-petingi militer Amerika yang ada di Jepang saat itu,” kata Yan.

Potret Hasan Rahaya muda saat tiba di Indonesia sekitar tahun 1950an. Ketika itu keluarga kaget karena melihat Hasan tampak sehat. ( Foto / Dokument Keluarga )<br>

Hasan merasa sudah cukup tinggal di Jepang. Saatnya pulang ke Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 1949, urusan administrasi ke Indonesia jadi lebih mudah bagi para Nantoku.

Setiba di rumahnya di Jasinga pada 1951, Hasan disambut haru oleh keluarga. Mereka kaget Hasan masih sehat. Tak ada bekas radiasi. Padahal keluarganya sempat membaca artikel tentang korban bom atom di Hiroshima yang tak berumur panjang karena radiasi.

Orang-orang di kampungnya juga bangga. Mereka punya seorang sarjana dari Jepang. Seperti eks pelajar Indonesia di Jepang lainnya yang juga pulang, dia menerima sambutan yang baik dari masyarakat.

<div class="video-content"> <video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/hasan-rahaya-tertinggal-di-hiroshima/Hiroshima%204.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/hasan-rahaya-tertinggal-di-hiroshima/Hiroshima%204.mp4"></video></div>

Bisnis Film hingga Besi Tua

Hasan melepas rindu beberapa lama di rumah sebelum mengikuti sebuah pelatihan di Kalimantan selama enam bulan. “Dalam pelatihan tersebut saya banyak belajar bisnis dan ilmu perdagangan,” kata Hasan.

Hasan menerapkan hasil pelatihan dengan berbisnis di bidang perfilman. Dia membuka beberapa bioskop di bawah bendera Gamelan Corporation di desa-desa. Filmnya impor dari Jepang, India, Amerika Serikat, dan Mesir. Dia sengaja menyisipkan film Jepang karena ingin memperkenalkan adat istiadat Jepang pada zaman damai. “Berlainan dengan kehidupan Jepang waktu perang,” kata Hasan.

Hasan tak kesulitan memperoleh film itu. Sebab jaringannya di Jepang sangat membantu. Tapi film-film Jepang tak laku di Indonesia. Penonton lebih suka film goyang India dan koboi Amerika Serikat. Meski begitu, Hasan mengaku bisnis bioskopnya cukup moncer.

“Usaha saya di bidang perfilman cukup berhasil, meski saat itu perusahaan film belum begitu canggih dan modern, tapi saya cukup menikmati usaha itu,” kata Hasan.

Beranjak dari bisnis film, Hasan masuk bisnis percetakan al-Qur’an. Ini pun terjadi berkat jaringannya di Jepang. Omar Barack, eks pelajar Indonesia di Jepang, memperkenalkannya dengan K.H. Idham Chalid, tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Dari sini, dia berkenalan dengan tokoh NU lainnya.

Latar belakang organisasi keagamaan Hasan adalah Muhammadiyah. Dia punya banyak kenalan top di organisasi ini seperti K.H. Bagoes Hadikoesoemo. Tapi dia justru masuk struktural NU. Dari pergaulannya dengan tokoh-tokoh Islam, dia mendapat order untuk mencetak al-Qur’an.

Hasan kemudian melempar order percetakan itu ke Jepang, yang memiliki kualitas lebih bagus dan harga lebih murah. Selain mencetak, dia menjadi pengoreksi al-Qur’an bersama K.H. Abubakar Atjeh.

“Jadi dulu kalau orang Islam ngaji, itu di belakang mushaf Al-Qur’an ada tulisannya; ‘Abubakar Atjeh sama Raden Hasan Rahaya’,” kata Yan.

(Kiri) Hasan Rahaya berpose diruangan kantornya sekitar tahun 1960an. Saat itu Hasan mulai berbisnis film hingga ekspor besi tua (Kanan) Hasan Rahaya berserta Istri saat menghadiri acara ramah tamah di Jakarta. ( Foto / Dokumen Keluarga )

Ketika Jepang telah bebas dari pendudukan Sekutu pada 1952, pembangunan kota-kota yang hancur akibat perang digiatkan. Jepang perlu barang-barang konstruksi seperti besi dan baja. Hasan menangkap peluang itu. Dia membuka ekspor besi tua ke Jepang bersama Ali Said, kelak menjadi Jaksa Agung pada 1973-1981. 

“Saya kumpulkan dari pedagang-pedagang Madura sepanjang daerah Ancol dan Priok, Jakarta,” kata Hasan. Besi-besi itu dilebur di Jepang untuk bahan baku bangunan.

Bayangkan, bangunan-bangunan baru di Jepang dibangun kembali dari besi-besi tua orang-orang Madura!

Ekspor besi tua tak berjalan lama. Hasan mulai kesulitan menyuplainya. Tapi sebelum bisnisnya jatuh, dia lebih dulu mempersiapkan bisnis ekspor barang lainnya ke Jepang. Sebaliknya, dari Jepang, dia mengimpor tekstil.

Bisnis Hasan didukung oleh jaringan eks pelajar Nantoku. Mereka juga terjun ke dunia bisnis dengan Jepang. Pusat bisnis mereka berada di Osaka. Untuk mengabarkan kondisi bisnis di Jepang, mereka menerbitkan media Pewarta Dagang di Osaka. 

Mereka, menurut Aiko Kurasawa, memiliki jasa besar dalam merebut inisiatif kegiatan perdagangan dengan Jepang dari tangan Belanda ke tangan orang Indonesia. Padahal saat itu hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang belum terbentuk. Eks Nantoku telah memulai hubungan Indonesia dan Jepang lebih dulu melalui jalur bisnis.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="6x6v0wrr-korban-bom-atom" data-w="720" data-h="2402" data-domain="my"></div></div>

Hubungan Indonesia-Jepang

Hasan punya cara unik memperkuat hubungan Indonesia-Jepang. Dia menggabungkan kebudayaan dengan ekonomi. Maka dia ikut mendirikan Asosiasi Persahabatan Indonesia-Jepang (Nichi-I Shinzen) pada 1956. Dia juga duduk sebagai direktur Perguruan Bahasa Jepang (Nippon Bunka Gakuin) pada 1958.

Pada akhir 1950-an, Jepang mengalami peningkatan ekspor. Mereka menargetkan Indonesia sebagai pasar produknya. Karena itulah, mereka rela membayar pampasan perang, yaitu kompensasi atas pendudukan di Indonesia pada 1942-1945. 

Jepang sangat terbantu dengan jejaring eks pelajar Nantoku. Tapi bulan madu hubungan Indonesia-Jepang berakhir pada 1960-an. Indonesia cenderung mendekat ke negara-negara berhaluan kiri. Hubungan Indonesia-Jepang pun merenggang.

Hasan Rahaya dan Istrinya Susi Susati saat berada di kapal Bhineka 1 sekitar tahun 1980an. (Foto / Dokumen Keluarga )

Negosiasi kerja sama industri tambang bauksit dan timah antara Indonesia-Jepang ikut terganggu. Dalam proses ini, Hasan berperan sebagai penerjemah.

Ketika hubungan itu terganggu, Hasan dan eks pelajar Nantoku berpaling ke jalur kebudayaan untuk menjaga hubungan dengan Jepang. Indikasinya pendirian Perhimpunan Alumni dari Jepang (Persada) pada 5 Juli 1963. Organisasi ini diketuai oleh Umarjadi Njotowijono dan Hasan sebagai wakil ketua.

“Persada ini didirikan sebagai wadah untuk membina persatuan dan kesatuan alumni dari Jepang serta untuk membantu pemerintah dalam menyukseskan programnya sesuai dengan disiplin ilmu yang dituntut oleh masing-masing anggota,” kata Hasan.

Perubahan politik setelah 1965 membuat hubungan Indonesia-Jepang kembali mesra. Sukarno tenggelam bareng gagasan ekonomi berdikarinya, Soeharto muncul bersama keterbukaan pada modal asing. Jepang lekas mengambil kesempatan. Jejaring eks pelajar Nantoku aktif kembali.

Hasan bahkan mendirikan perusahaan pelayaran kargo Bhinneka Lines pada 1965 untuk mendukung aktivitas ekspor-impor Indonesia-Jepang. “Beliau satu-satunya orang yang pertama kali membuka usaha kargo perkapalan di Indonesia, yang melakukan hubungan bisnis perkapalan Indonesia dengan pihak Jepang,” kata Yan.

Melalui usaha kargo, nama Hasan kian berkibar di Jepang. Dia kerap diundang ke Jepang untuk tujuan bisnis. Dalam pertemuan dengan banyak orang, dia sering membeberkan kesaksian langsungnya saat peristiwa bom atom di Hiroshima.

Pada 2005, Hasan memperoleh medali Order of the Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon, penghargaan tertinggi ketiga dari tujuh jenjang penghargaan pemerintah Jepang. Dia dinilai telah ikut memperkuat hubungan Indonesia-Jepang.

Terkenang Hiroshima

Kemesraan hubungan bisnis Indonesia-Jepang berkelindan dengan aktivitas eks pelajar Nantoku dalam mengembangkan organisasi Indonesia-Jepang-Asia Tenggara. Hasan, misalnya, mengurus Kamar Dagang Industri Indonesia-Jepang; Asean Council of Japan Alumny (Ascoja), wadah untuk seluruh eks alumni Jepang se-Asia Tenggara; dan Asian Japan Alumny (Asja), wadah untuk seluruh eks alumni Jepang se-Asia.

Hasan juga aktif di International Students Institute dan Komaba International Students. Keduanya berpusat di Tokyo. Kesibukannya makin bertambah meski fisiknya menua. Dia pergi ke Amerika Serikat untuk memperluas pelayaran kargonya pada 1980-an. Dia kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan Universitas Darma Persada (Unsada) di Jakarta bersama kawan-kawannya eks pelajar Nantoku.

Koneksi kuat Hasan dan kawan-kawannya dengan pemerintah Jepang tampak dari keberhasilannya mengundang Kaisar Akihito dan permaisuri datang ke Unsada pada 3 Oktober 1991.

Empat tahun kemudian, giliran Hasan dan eks pelajar Nantoku penyintas bom di Hiroshima memenuhi undangan Kaisar. Mereka menghadiri peringatan 50 tahun bom atom di Hiroshima. Peringatan digelar di Peace Memorial Park, pusat ledakan bom atom. 

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2b4a519af257a4f60bbb_Intersection%2032.jpg" alt="img"></div><figcaption>Kunjungan ke Peace Memorial Park, Hiroshima, Jepang, pada tahun 1995. (Koleksi keluarga).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="muhammad-ali" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2b46a5efac01662badd6_Intersection%2031.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/hasan-rahaya-tertinggal-di-hiroshima/yan-podcast.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Yan Zavin</b><br>Penulis Biografi Hasan Rahaya.</span></div></div></div>

Di Peace Memorial Park, terdapat museum dan monumen-monumen untuk mengenang para korban dan penyintas bom atom. Salah satunya monumen untuk penyintas dari Asia Tenggara termasuk Indonesia. 

Hasan mengaku peristiwa itu membuatnya selalu terkenang Hiroshima. Kemana pun kakinya melangkah, Hiroshima selalu ada di ingatannya.

“Anda tahu lagu ‘I left my heart in San Francisco’ yang dinyanyikan Frank Sinatra? Saya merasakan hal yang sama. ‘I left my heart in Hiroshima’,” kata Hasan kepada Katrin Figge, penulis berdarah Jerman-Indonesia, dalam katrinfigge.com.

Hasan Rahaya wafat di Jakarta pada 30 November 2014. Hatinya tertinggal di Hiroshima, tapi kisah hidupnya untuk semua manusia.*

Memorial Hasan Rahaya. (Koleksi keluarga).


Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
61dd04d6edd2914ccb19da6c