4 Sehat 5 Sempurna

Slogan perbaikan gizi ini diadopsi dari Amerika Serikat. Namun, sehat tak hanya ditentukan oleh makanan dan tambahan susu tetapi juga perilaku.

OLEH:
Aryono
.
4 Sehat 5 Sempurna4 Sehat 5 Sempurna
cover caption
Ilustrasi pembagian makanan 4 Sehat 5 Sempurna di sekolah dalam buku pelajaran sekolah dasar. (Repro Bahasa Kita, 1975).

NEGERI Belanda permulaan musim semi 1949. Poorwo Soedarmo, lulusan Stovia tahun 1927, berdiri di dekat geladak kapal saat SS Polydorus memasuki Noordhollandsch Kanaal. Poorwo tak hendak pesiar. Dia bekerja sebagai dokter kapal barang SS Polydorus untuk trayek Jakarta- Amsterdam selama Februari sampai September 1949. Ketika melewati kanal itu, dia menatap anak-anak kecil bermain sembari mandi sinar matahari. Dia takjub. 

“Mereka tampak gemuk, gembira, dan bergairah. Sungguh suatu gambaran ideal health. Betapa bedanya dengan anak-anak di Jakarta,” kenang Poorwo dalam otobiografinya, Gizi dan Saya

Ketika mendarat di Amsterdam, Poorwo menemui beberapa dokter yang sebelum tahun 1940 pernah bertugas di Hindia Belanda, khususnya di bidang gizi. Dari Jansen B.C.P, yang pernah meneliti vitamin B1 di Hindia Belanda, Poorwo mengetahui anak-anak di Belanda gemuk dan sehat karena mendapat jatah susu di sekolah. 

NEGERI Belanda permulaan musim semi 1949. Poorwo Soedarmo, lulusan Stovia tahun 1927, berdiri di dekat geladak kapal saat SS Polydorus memasuki Noordhollandsch Kanaal. Poorwo tak hendak pesiar. Dia bekerja sebagai dokter kapal barang SS Polydorus untuk trayek Jakarta- Amsterdam selama Februari sampai September 1949. Ketika melewati kanal itu, dia menatap anak-anak kecil bermain sembari mandi sinar matahari. Dia takjub. 

“Mereka tampak gemuk, gembira, dan bergairah. Sungguh suatu gambaran ideal health. Betapa bedanya dengan anak-anak di Jakarta,” kenang Poorwo dalam otobiografinya, Gizi dan Saya

Ketika mendarat di Amsterdam, Poorwo menemui beberapa dokter yang sebelum tahun 1940 pernah bertugas di Hindia Belanda, khususnya di bidang gizi. Dari Jansen B.C.P, yang pernah meneliti vitamin B1 di Hindia Belanda, Poorwo mengetahui anak-anak di Belanda gemuk dan sehat karena mendapat jatah susu di sekolah. 

Poorwo juga mengunjungi A.G. van Veen dan De Hass (ahli kesehatan anak) yang pernah melakukan agronomic health survey di Hindia Belanda. Dia mendapat kopian hasil survei yang tak pernah dipublikasikan itu karena bisa meresahkan masyarakat. Saat kembali ke Jakarta, Poorwo membawa oleh-oleh 15 kilogram buku dan publikasi tentang gizi. Sebagai dokter kapal, tak banyak yang dikerjakannya. Maka, dia menghabiskan 39 hari pelayaran Amsterdam-Jakarta untuk membaca. 

Tertarik pada ilmu gizi, Poorwo menempuh pendidikan gizi di Institute of Nutrition di Manila dan lulus tahun 1950. Setelah itu mulailah dia menyosialisasikan pentingnya gizi bagi masyarakat –kelak, dia dijuluki Bapak Gizi Indonesia. Dalam otobiografinya, dia menyebut gizi merupakan indikator penting kualitas sebuah bangsa. 

Poorwo Soedarmo. (Istimewa).

Pentingnya Gizi 

Di awal kemerdekaan, pemerintah tak bisa melakukan banyak hal terkait perbaikan kesehatan dan nutrisi. Bahkan, kondisi gizi di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Tingkat kematian ibu dan bayi, misalnya, sangat tinggi akibat kekurangan gizi. Tak heran jika satu dari sebelas program Kementerian Kesehatan pada 1950-an adalah perbaikan gizi. Program ini dijalankan Lembaga Makanan Rakyat (LMR), yang dibentuk tahun 1952. Poorwo Soedarmo ditunjuk sebagai ketuanya. 

LMR adalah lembaga dengan baju baru dari Intituut Voor de Volkvoeding (IVV) yang didirikan pada 1934. IVV memusatkan perhatian pada penelitian mengenai pengaruh gizi terhadap kesehatan. Sebagai pengganti IVV, LMR punya tugas lebih luas. 

“Program pertama yang dilakukan adalah pelatihan dan pendidikan mengenai gizi, pada saat yang sama melakukan survei dan penelitian mengenai gizi,” tulis Soekirman dalam “Priorities in Dealing with Nutrition Problems in Indonesia”, yang diterbitkan Cornell University pada 1974. 

Poorwo menyadari upaya itu tidaklah mudah. Pengetahuan sebagian masyarakat mengenai gizi masih nol sementara tak ada tenaga terlatih untuk melakukan penyuluhan. Maka, sekira tahun 1951, mulailah dia melakukan kursus tiga mingguan untuk melatih petugas gizi. Selain itu, Poorwo mendirikan sejumlah sekolah untuk mencetak ahli-ahli gizi. 

“Tenaga yang bekerja di LMR sangat terbatas. Baru ada empat akademisi, yang setidaknya dibutuhkan 10 akademisi, ditambah tenaga semi akademis serta ahli diet dan juru penerangan makanan,” ujar Poorwo, dikutip Star Weekly, 23 Agustus 1953. 

Untuk memudahkan penyampaian pesan kepada masyarakat, pada 1952 Poorwo membuat slogan “4 Sehat 5 Sempurna”, yang diadopsi dari slogan Amerika Serikat selama Perang Dunia II: “eat the basic seven every day”. 

“Memang saat itu kita mengacu ke Amerika. Sebab, mereka paling lengkap dalam kajian, komunikasi, dan edukasi kepada masyarakat mengenai gizi,” ujar Soekirman, ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia, sebuah yayasan yang bergerak dalam penelitian tentang pemberian vitamin tambahan ke pangan. 

Memang saat itu kita mengacu ke Amerika. Sebab, mereka paling lengkap dalam kajian, komunikasi, dan edukasi kepada masyarakat mengenai gizi.

Slogan 4 Sehat 5 Sempurna adalah pesan untuk menu makanan rakyat, terdiri atas empat makanan pokok seperti nasi, daging (protein), sayuran, dan buah serta susu sebagai penyempurna. Poorwo juga membuat slogan “Murah Tetapi Baik” untuk menekankan bahwa daging, yang harganya kadang tak terjangkau, bisa digantikan dengan tempe, oncom, dan teri yang juga kaya protein. 

Mulailah LMR melakukan kampanye 4 Sehat 5 Sempurna. Poster-poster, dirancang seorang pegawai Departemen Penerangan yang bernama Trip, dibagi-bagikan dan dipasang untuk menyampaikan pesan. Kampanye juga dilakukan melalui majalah dan suratkabar serta radio dan film. 

Upaya ini berbenturan dengan banyak masalah di lapangan. Pilihan masyarakat terhadap ragam makanan terbatas karena mereka masih bergantung pada beras, tak tahu mengenai makanan seimbang, dan lemahnya daya beli. Faktor budaya juga berperan. 

“Penduduk di beberapa daerah masih menganggap sayuran adalah makanan orang melarat. Maka ketika mereka menjadi mampu, mereka tak makan sayuran lagi. Akibatnya menjadi mampu adalah jatuh sakit,” ujar Gunung Iskandar, wakil ketua Panitia Negara Perbaikan Makanan, dikutip Star Weekly, 23 Agustus 1953. 

Dalam laporan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1955 berjudul “A Report on Some Aspects of Food, Health, and Society in Indonesia”, antropolog sosial Maurice Freedman menyebut pesan 4 Sehat 5 Sempurna tak sampai sasaran karena sebagian penduduk Indonesia masih buta huruf. LMR juga dinilai gagal melatih ahli makanan untuk memahami faktor sosio-ekonomi dan budaya yang mempengaruhi preferensi makanan. 

“Peragaan gizi tidak melibatkan partisipasi publik dan disampaikan dalam bentuk kuliah didaktik. Untuk alasan ini, mereka gagal mendorong perubahan perilaku penduduk dan adopsi makanan seimbang,” tulis Freedman, dikutip Vivek Neelakantan dalam “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia: Social Medicine, Public Health and Medical Education, 1949 to 1967”, disertasi untuk meraih gelar PhD di Universitas Sidney. 

Ilustrasi pentingnya makanan 4 Sehat 5 Sempurna dengan jajan di warung koperasi sekolah dalam buku pelajaran sekolah dasar. (Repro Bahasa Kita, 1975).

Kekurangan Pangan 

Sejalan dengan program peningkatan gizi, pemerintah berupaya mengatasi persoalan produksi dan distribusi bahan makanan. Dalam pidato peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952, Presiden Sukarno menyebut persediaan makanan rakyat sebagai soal hidup atau mati. “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak aanpakken (menangani) soal makanan rakyat ini secara besar-besaran secara radikal dan revolusional, kita akan mengalami malapetaka,” ujar Sukarno. 

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah meluncurkan berbagai program untuk menggenjot produksi dan distribusi bahan makanan, termasuk meningkatkan komposisi makanan masyarakat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, namun tak menuai hasil. Ketergantungan pada beras masih tinggi. Produksi padi tak cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang jumlah penduduknya terus meningkat. Akibatnya, Indonesia terus mengimpor beras. Bahkan pada 1964, Indonesia mengalami kekurangan beras yang akut. 

“Selama akhir 1950-an dan awal 1960-an, akibat inflasi yang tinggi, Indonesia kian beralih ke singkong yang relatif miskin protein, sebagai alternatif makanan yang lebih murah ketimbang beras dan daging,” tulis B. Napitupulu dan Sunardjo dalam “Perkembangan Persediaan Bahan Makanan di Indonesia dalam Djangka Waktu 1951–1959”, dimuat Medan Ilmu Pengetahuan 3 No. 1 tahun 1962. 

Pada Juli 1964, Menteri Kesehatan Satrio melancarkan program Revolusi Makanan Rakyat untuk menjamin ketersediaan pangan dengan mekanisme produksi dan distribusi yang merata. Untuk itu, digelarlah Operasi Pemberantasan Buta Gizi di tingkat provinsi dan kabupaten dengan dasar 4 Sehat 5 Sempurna. Program ini bertujuan mempromosikan produksi dan konsumsi jagung sebagai pengganti beras. Kendati demikian, karena makanan pokok di Indonesia sangat beragam, Kementerian Kesehatan memberikan otonomi penuh kepada pemerintah daerah untuk menentukan bagaimana slogan 4 Sehat 5 Sempurna dijalankan. 

“Operasi ini dilakukan untuk menggugah kesadaran gizi di kalangan anak sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui, serta memperkenalkan perubahan pola makan,” tulis Vivek Neelakantan. “Namun, karena Revolusi Makanan dilaksanakan selama konfrontasi dengan Malaysia, itu hanya berhasil sebagian.” 

Tumpeng Gizi Seimbang.

Selain Konfrontasi, kondisi ekonomi Indonesia tengah terpuruk. Inflasi membumbung tinggi. Jumlah penduduk terus meningkat yang tak bisa diimbangi produksi pangan. Praktis, segala upaya LMR dengan kampanye 4 Sehat 5 Sempurna bisa dibilang gagal. 

Namun, kegagalan itu tak lantas menyurutkan langkah pemerintahan Soeharto, pengganti Sukarno, untuk meneruskan kampanye 4 Sehat 5 Sempurna. 

Di awal Orde Baru, pemerintah menjalankan Applied Nutrition Program yang didanai organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) –kemudian dikenal sebagai program nasional Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Kegiatannya meliputi penyuluhan gizi, pelayanan gizi di Posyandu, hingga peningkatan keragaman bahan pangan dengan mendorong pemanfaatan lahan pekarangan (karang kitri). 

“Applied Nutrition Program adalah satu-satunya program pemerintah dengan kegiatan penyuluhan gizi yang lebih terencana,” tulis Soekirman. 

Pada 1974, melalui Instruksi Presiden No. 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat, pemerintah menelurkan kebijakan diversifikasi pangan. Sebagai tindak lanjut, pemerintah membentuk Komisi Teknik Gizi. Untuk daerah, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran untuk membentuk Badan Perbaikan Gizi Daerah (BPGD) di tiap provinsi. 

Kurangnya koordinasi membuat program nasional ini kurang berjalan efektif. Maka, sejak 1977, dengan dukungan Bank Dunia, UPGK mulai dijalankan secara multidepartemen. Hasilnya menunjukkan tanda-tanda perbaikan. 

Soekirman. (Aryono/Historia.ID).

Slogan Usang 

Ditemui di kediamannya di kompleks Bappenas, Jakarta Selatan, Soekirman (78 tahun) masih tanggap bicara tentang perkembangan gizi. Saat masih menjabat wakil ketua Bappenas bidang Sosial-Budaya, dia menjadi salah satu peserta Konferensi Pangan Sedunia yang dihelat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma, Italia, pada 1992. 

“Dalam konferensi itu, masalah gizi menjadi perbincangan hangat,” ujar Soekirman. Menariknya, “banyak negara tidak lagi menghadapi masalah anak kurus dan kekurangan gizi tapi justru kegemukan atau obesitas.” 

Konferensi itu sendiri menetapkan agar semua negara berkembang, yang semula menggunakan pedoman sejenis “Basic Four” untuk memperbaikinya menjadi “Nutrition Guide for Balance Diet” yang kemudian diterjemahkan menjadi Pedoman Gizi Seimbang (PGS). 

Sepulang dari Roma, Soekirman mulai memikirkan penyempurnaan 4 Sehat 5 Sempurna yang diciptakan gurunya, Poorwo Soedarmo. Namun, pemikiran tersebut masih dia simpan. Sebab, saat itu Bappenas tengah meluncurkan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). 

Sesuai namanya, PMT-AS menyasar anak sekolah dasar di daerah miskin yang kurang gizi dan prestasi belajarnya rendah. Program ini, menurut Soekirman, memberikan dana langsung ke desa melalui Bank Rakyat Indonesia atau kantor pos. Dana itu dipakai untuk membeli bahan makanan yang kemudian dimasak dan dijadikan jajanan oleh ibu-ibu PKK. Jajanan dibagikan di kelas oleh guru sembari memberikan perilaku hidup sehat seperti mencuci tangan sebelum makan. Namun, program ini menemui kendala di lapangan: korupsi. Uang memang sampai ke desa namun ada pemotongan. 

Soekirman teringat rencananya soal perbaikan gizi seperti yang dihasilkan pada Konferensi Gizi Internasional tahun 1992. Dia pun menebar ide ke rekan-rekan sejawat maupun melalui tulisan dan seminar-seminar. 

“Slogan 4 Sehat 5 Sempurna itu sudah usang. Tidak ada ceritanya ada makanan yang utama. Semua itu harus dipadukan dengan pola hidup sehat. Seperti susu, itu kan sudah sama dengan ikan, sebagai unsur protein,” ujar Soekirman. “Pertentangannnya keras saat itu.” 

Dalam kajian Soekirman, 4 Sehat 5 Sempurna merupakan upaya Poorwo Soedarmo menyederhanakan pemikiran tentang pemahaman gizi. Padahal, dalam gizi seimbang, ada empat pilar penting. Pertama, makanan harus beraneka ragam dan memenuhi kebutuhan. Kedua, menjaga kebersihan. Ketiga, aktif bergerak dan olahraga. Keempat, memantau berat badan ideal. 

Usaha kerasnya berbuah hasil. PGS menjadi bagian dari program perbaikan gizi pemerintah. Seperti halnya 4 Sehat 5 Sempurna, PGS dikampanyekan melalui penyuluhan dan penyebaran poster-poster. “Di Indonesia, gizi seimbang diwujudkan dalam bentuk tumpeng, yang menyerupai piramida. Ini mencoba menyerap aspek budaya setempat,” ujar Soekirman. 

Poorwo Soedarmo meninggal dunia pada 13 Maret 2003 di usia 93 tahun karena stroke. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namun, kreativitasnya masih tertanam di benak masyarakat. Setelah hampir bertahan setengah abad, slogan 4 Sehat 5 Sempurna diganti dengan Pedoman Gizi Seimbang tapi gaungnya masih terdengar.*

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65939f6f9e8a71e0049fbf44