Abang Ulama, Adik Pendeta

Adik tiri Hamka beralih iman menjadi Kristen. Keluarga sempat menentang karena merasa dipermalukan.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Abang Ulama, Adik PendetaAbang Ulama, Adik Pendeta
cover caption
Abdul Wadud Karim Amrullah dibaptis Pendeta Gerald Pinkston dari Gereja Baptis, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 6 Februari 1983. (Repro Dari Subuh Hingga Malam).

ABDUL Wadud Karim Amrullah siap berangkat ke kantor Pacto Tour and Travel di Bali pada pagi 10 Juni 1981. Istrinya, Verra Ellen, ingin mengatakan sesuatu yang penting; dia sangat mencintai Wadud dan ingin bersama masuk surga bila telah meninggalkan dunia ini. Tetapi, kata Verra, “siapa saja yang tidak menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dia tidak akan masuk surga.” 

Wadud merasa terganggu. Dia tak jadi pergi ke kantor. Sambil menahan kekesalan, dia mengatakan, “sebagai orang muslim, saya mengakui dan menghormati Yesus Kristus. Jika orang Islam tidak mengakui dan menghormati Isa Almasih, dia bukan orang Islam yang baik.” 

“Orang Islam hanya mengakui Yesus sebagai nabi,” kata Verra, “sementara Alkitab mengatakan bahwa siapa yang tidak mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai Anak Allah dia tidak akan masuk kerajaan surga.” 

Masing-masing mempertahankan keyakinannya. Perdebatan itu menjadi pertengkaran. Wadud mengancam akan menceraikan dan mengusir Verra kembali ke Amerika Serikat. Verra teguh pada imannya. Justru Wadud yang goncang. Dia merasa Allah tidak mempedulikannya padahal dia taat salat dan berdoa; dia merasa ada tembok yang menghalanginya dengan Allah. Kemungkinan faktor keutuhan keluarga turut andil dalam keputusannya pindah agama. “Saya telah membuka pintu hati dan mempersilakan Yesus masuk ke hati saya,” kata Wadud dalam otobiografinya, Dari Subuh Hingga Malam.

ABDUL Wadud Karim Amrullah siap berangkat ke kantor Pacto Tour and Travel di Bali pada pagi 10 Juni 1981. Istrinya, Verra Ellen, ingin mengatakan sesuatu yang penting; dia sangat mencintai Wadud dan ingin bersama masuk surga bila telah meninggalkan dunia ini. Tetapi, kata Verra, “siapa saja yang tidak menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dia tidak akan masuk surga.” 

Wadud merasa terganggu. Dia tak jadi pergi ke kantor. Sambil menahan kekesalan, dia mengatakan, “sebagai orang muslim, saya mengakui dan menghormati Yesus Kristus. Jika orang Islam tidak mengakui dan menghormati Isa Almasih, dia bukan orang Islam yang baik.” 

“Orang Islam hanya mengakui Yesus sebagai nabi,” kata Verra, “sementara Alkitab mengatakan bahwa siapa yang tidak mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai Anak Allah dia tidak akan masuk kerajaan surga.” 

Masing-masing mempertahankan keyakinannya. Perdebatan itu menjadi pertengkaran. Wadud mengancam akan menceraikan dan mengusir Verra kembali ke Amerika Serikat. Verra teguh pada imannya. Justru Wadud yang goncang. Dia merasa Allah tidak mempedulikannya padahal dia taat salat dan berdoa; dia merasa ada tembok yang menghalanginya dengan Allah. Kemungkinan faktor keutuhan keluarga turut andil dalam keputusannya pindah agama. “Saya telah membuka pintu hati dan mempersilakan Yesus masuk ke hati saya,” kata Wadud dalam otobiografinya, Dari Subuh Hingga Malam.

Abdul Wadud menikah dengan Verra Ellen di Los Angeles, Amerika Serikat, 6 Juni 1970. (Repro Dari Subuh Hingga Malam).

Dekat Ayah

Wadud lahir pada 7 Juni 1927 di Kampung Kubu, Sungai Batang Maninjau, Sumatra Barat. Dia anak Haji Abdul Karim Amrullah dengan istri ketiga, Siti Hindun. Sedangkan dari istri keduanya, Siti Shafiah, lahirlah Hamka. Setelah menempuh pendidikan di sekolah desa dan sekolah gubermen (pemerintah) sampai kelas lima, Wadud melanjutkan ke Thawalib. Namun, hanya dua tahun (1939–1941) karena ikut ayah dan ibu tirinya, Dariyah, yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Sukabumi. Di sana dia masuk kelas tiga sekolah Taman Siswa.

Sebulan setelah Jepang datang pada Maret 1942, Haji Rasul, istrinya, dan Wadud pergi ke Jakarta. Wadud melanjutkan sekolah di Taman Siswa. Kakak tirinya, Hamka yang dipanggilnya Uo Aji (Abang Haji), pernah mengatakan bahwa dia paling beruntung di antara anak-anaknya karena mendapat banyak kesempatan bergaul dengan ayahnya. Sampai akhirnya, ketika dia berusia 18 tahun, ayahnya meninggal pada 2 Juni 1945. 

Wadud hanya menyelesaikan sekolah sampai kelas dua di SMP Prapatan tatkala Indonesia merdeka. Pada masa revolusi dia menjadi ketua Angkatan Pemuda Indonesia (API) cabang Tanah Abang/Kampung Bali/Dukuh (masuk wilayah Jakarta Pusat). Mereka kemudian bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat Resimen IV Divisi Siliwangi di bawah komandan Kolonel Moeffreni Moe’min. Dia dengan beberapa anggota API ditempatkan di Polisi Tentara bagian penyelidikan. Setahun kemudian dia keluar dari tentara dan bergabung dengan sebuah pasukan gerilya di Jakarta. Dia kembali melanjutkan sekolah di SMA Salemba, namun sering tidak masuk karena membantu mamaknya, Harun Sutan Siri (adik satu bapak lain ibu dengan ibunya), berdagang bahan-bahan pakaian di Tanah Abang dan sering juga keliling. 

Wadud dan kawan seperjuangannya, Murad Aidit, adik pimpinan Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit, pernah ditahan sebulan oleh Belanda. Mereka dibebaskan dengan syarat kembali sekolah dan setiap hari sepulang sekolah melapor ke kantor polisi. Setelah keluar penjara, Murad tinggal dan melanjutkan perjuangan di Indonesia. Sedangkan Wadud berencana pergi keluar negeri, bagaimanapun caranya.

Keluarga dan kawan-kawan yang telah menerima berita bahwa saya sudah murtad bukan hanya kecewa, melainkan juga marah.

Amerika Serikat

Pada 1949, Wadud bisa ke luar negeri dengan bekerja sebagai binatu di kapal MS Willem Ruys dan MS Japara, milik maskapai Rotterdamsche Lloyd; dan kapal SS Limburg milik perusahaan Amerika Serikat. Berhenti sebagai binatu, dia bekerja sebagai pemetik buah pir di Penryn, Sacramento dan di perkebunan brussel sprouts (sayur yang bentuknya seperti kol kecil) di Halfmoon Bay, San Mateo County –kedua daerah ini masuk negara bagian California, AS. Dia kemudian bekerja sebagai pencuci piring di restoran sambil melanjutkan pendidikan teknik sipil di Heald’s Engineering College di San Francisco. 

Pada 1952, Hamka diundang untuk memberikan ceramah di beberapa universitas AS mengenai perkembangan Islam di Indonesia. Konsul Republik Indonesia Abdoel Hamid meminta Wadud mendampingi kakaknya itu. Dalam Empat Bulan di Amerika Jilid I, Hamka menuliskan kesannya. “13 hari di San Francisco adalah puncak dari tempo perjalanan dan puncak dari keindahan kenangan. Di sana waktu itu berdiam adik saya yang telah hampir 10 tahun berpisah, yang berangkat ke luar negeri setelah ayah kami wafat. Dia adalah adikku Abdul Wadud Karim Amrullah. Di Amerika dipakainya nama ala Barat ‘Willy Amrull’.” 

Hamka menyarankan agar Wadud pergi ke Washington DC untuk bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Di sana tak ada lowongan, tetapi dia dapat pujaan hati, Sawitri, anak Duta Besar Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali tak merestui hubungan mereka. Sialnya, Wadud ditahan sebentar oleh imigrasi AS karena tidak memiliki surat keterangan sebagai pegawai di perwakilan Indonesia. Setelah bebas, dia pergi ke New York untuk bekerja di Indonesian Supply Mission. Dia kemudian dipindahkan ke bagian penerangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di San Francisco. Dia berusaha melanjutkan studinya di Heald’s Engineering College, namun berhenti di tengah jalan karena bertemu perempuan AS, Lorraine, beranak empat. Setelah membina hubungan selama lima tahun, mereka berpisah pada 1962 karena banyak terjadi perselisihan dalam rumah tangga. 

Wadud mendirikan Ikatan Masyarakat Indonesia (IMI) dan meski bukan mahasiswa dia aktif dalam Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias). Ketika ketua Permias pulang ke Indonesia, dia ditunjuk menggantikannya. IMI mengadakan berbagai kegiatan, seperti menggalang dana untuk korban bencana di Indonesia, merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia 17 Agustus, Hari Kartini, dan sebagainya. Selain Orkes Merdu IMI, acara suka diisi oleh pertunjukan tari dari mahasiswa atau murid-murid Dewi Dja, penari terkenal Indonesia yang lama tinggal di AS. Salah satu muridnya, Verra Ellen, yang lahir di Surabaya dan dibawa orang tuanya ke Belanda pada 1955, lalu pindah ke AS pada 1962.

Abdul Wadud ditahbiskan sebagai pendeta Jemaat Gereja Pekabaran Injil Indonesia di California, Amerika Serikat, 30 April 1989. (Repro Dari Subuh Hingga Malam).

Masuk Kristen

Wadud menikahi Verra di Los Angles pada 6 Juni 1970. Mereka dikaruniai tiga anak: Rehana Soetidja, Sutan Ibrahim, dan Siti Hindun. Tujuh tahun kemudian, mereka kembali ke Indonesia. Sebelum memimpin perusahaan Pacto Tour and Travel di Bali, milik pengusaha Hasyim Ning, mereka tinggal bersama keluarga Hamka selama setengah tahun. Verra kemudian masuk Islam dengan dibimbing oleh Hamka. 

“Waktu itu Pak Wadud muslim, bahkan anaknya sempat masuk sekolah taman kanak-kanak Al-Azhar,” ujar Afif Hamka, 63 tahun, anak kesembilan Hamka, kepada Historia. Kendati Afif jarang di rumah, tapi dia “suka melihat istrinya salat”. 

Menurut Wadud, istrinya mematuhi saran kakaknya untuk masuk Islam karena dia ingin diterima oleh keluarga. “Selama ini dia merasa terpencil, tidak ada yang mempedulikannya,” kata Wadud.

Barangkali karena itulah Verra kemudian kembali ke agama semula, Kristen. Tak hanya itu, dia berhasil meluluhkan hati Wadud untuk masuk Kristen. Sebulan lebih setelah Wadud masuk Kristen, Hamka meninggal pada 24 Juli 1981. “Kakak tidak sempat tahu bawa saya sempat masuk Kristen,” kata Wadud yang ikut memakamkan Hamka di TPU Tanah Kusir, Jakarta. 

Irfan Hamka, anak kelima Hamka, menyaksikan kehadiran Wadud di acara duka itu. “Pamanku, Abdul Wadud, dan anak istrinya yang baru datang dari Amerika pun turut sibuk juga menyambut pelayat,” tulis Irfan dalam Ayah: Kisah Buya Hamka

Irfan berencana mengisahkan pamannya masuk Kristen itu dalam sekuel bukunya. “Cerita ini ditunggu-tunggu, baik oleh orang Islam maupun Kristen,” katanya kepada Historia. Ketika desas-desus mengenai Wadud masuk Kristen mulai beredar, dia terpikir untuk kembali ke AS.

Rencana itu urung dan Wadud malah pindah ke Jakarta pada 1981. “Keluarga dan kawan-kawan yang telah menerima berita bahwa saya sudah murtad bukan hanya kecewa, melainkan juga marah,” kata Wadud. 

Mereka seakan tak percaya bahwa Wadud, seorang cucu, anak, dan adik dari ulama ternama dan berpengaruh, memilih masuk Nasrani. Terlebih dia aktif dalam pergerakan Islamic Centre di AS.

Menurut Wadud, dia dituduh masuk Kristen karena ada yang menginjili, urusan perut, dan dibujuk dengan uang. Seorang anggota keluarga memintanya membuat pernyataan di majalah Panji Masyarakat sambil menangis dan mencaci maki dengan perkataan kafir. Seorang utusan keluarga juga membawa pesan supaya dia kembali masuk Islam karena telah mempermalukan seluruh keluarga. Apalagi sebagai orang Minang yang berfalsafahkan “adat basandi syara, syara basandi kitabullah”. Artinya jika seorang mengaku orang Minang, dia harus Islam. Orang yang keluar dari Islam, tak hanya murtad, dia juga harus keluar dari paguyubannya sebagai orang Minang. “Berarti dia tidak hanya dikucilkan, tetapi juga dibuang secara adat,” kata Wadud.

Wadud bergeming. Bahkan, pada 6 Februari 1983 dia dibaptis dan secara resmi mengumumkan kepada masyarakat bahwa dia telah masuk Kristen. Tidak lama kemudian dia kembali ke AS lalu menjadi mahasiswa tertua di Talbot Theological Seminary di California. Pada 30 April 1989, dia ditahbiskan sebagai pendeta dari jemaat Gereja Pekabaran Injil Indonesia di California. 

Afif mengetahui dari orang-orang, terutama yang tinggal di AS, mengenai Wadud yang masuk Kristen. Pada 1983, dia ada acara ke AS dan menanyakan langsung kepada Wadud melalui telepon dari hotel. 

“Pak Wadud, benar bapak masuk Kristen bahkan mengkhotbahi orang-orang di gereja? Pak Wadud menjawab, ‘Ah, tidak betul itu dari mana dengarnya,’ sambil tertawa karena dia orangnya sering guyon,” kata Afif. 

Afif menyatakan bahwa keluarga tidak masalah dengan keputusan Wadud masuk Kristen. Dia mencontohkan bahwa orang-orang terdekat Nabi Muhammad, seperti pamannya, Abu Lahab dan Abu Jahal tidak mau masuk Islam. Anak Nabi Nuh sendiri menolak diselamatkan ayahnya.

“Tapi, bagi kami, dia telah mencoreng nama keramat Amrullah. Ayah dan nenek moyang Willy Amrull adalah keluarga besar para ulama di Sumatra Barat. Bagaimanapun, orang itu murtad, murtad itu kafir,” tegas Afif. 

Pendeta Willy Amrull meninggal dunia pada 25 Maret 2012.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65df1cd7f1cc17ea88aebc37