Gedung Parlemen Australia di Canberra. (Thennicke/Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
ANGIN kering musim panas langsung menerpa begitu saya keluar dari bandara Canberra pertengahan Februari lalu. Kota ini sepi, tapi bukan kota mati. Ia malah ibu kota negara Australia yang genap berusia seabad pada Maret tahun ini. Untuk sebuah ibu kota negara, dibandingkan dengan Jakarta yang sudah berusia lima abad lebih, Canberra masih terbilang muda.
Sebelum orang-orang Eropa datang ke Canberra pada abad ke-19, daerah ini dihuni warga Aborigin. Nama Canberra sendiri diambil dari istilah yang digunakan penduduk asli setempat untuk menamai dirinya: “kamberra”, “Nganbra” dan “Kgamberry”. Adalah Joshua John Moore, tuan tanah kulih putih pertama di Canberra yang mendirikan bangunan dan menamainya “Canberry Station” pada 1824. Nama Canberra kemudian diresmikan sebagai nama kota pada 12 Maret 1912.
ANGIN kering musim panas langsung menerpa begitu saya keluar dari bandara Canberra pertengahan Februari lalu. Kota ini sepi, tapi bukan kota mati. Ia malah ibu kota negara Australia yang genap berusia seabad pada Maret tahun ini. Untuk sebuah ibu kota negara, dibandingkan dengan Jakarta yang sudah berusia lima abad lebih, Canberra masih terbilang muda.
Sebelum orang-orang Eropa datang ke Canberra pada abad ke-19, daerah ini dihuni warga Aborigin. Nama Canberra sendiri diambil dari istilah yang digunakan penduduk asli setempat untuk menamai dirinya: “kamberra”, “Nganbra” dan “Kgamberry”. Adalah Joshua John Moore, tuan tanah kulih putih pertama di Canberra yang mendirikan bangunan dan menamainya “Canberry Station” pada 1824. Nama Canberra kemudian diresmikan sebagai nama kota pada 12 Maret 1912.
Penetapan Canberra sebagai ibu kota negara Australia didahului dengan perdebatan serius di kalangan politikus asal Sydney versus Melbourne. Sydney telah menjadi pusat administrasi pemerintah koloni di Australia sejak abad 19. Sementara itu, Melbourne, seiring dengan penemuan tambang-tambang emas, tumbuh menjadi kota yang ramai. Kedua politikus yang mewakili dua kota tersebut berdebat ihwal kepantasan kotanya masing-masing untuk ditetapkan sebagai ibu kota negara.
Perdebatan yang cukup serius menghasilkan keputusan untuk mencari kota yang “netral” dan cocok dijadikan sebagai ibu kota negara Australia. Maka, pada 1906 tercapailah keputusan yang menetapkan Canberra sebagai pusat pemerintahan Australia. Dan wilayah yang meliputinya ditetapkan sebagai daerah ibu kota Australia (Australian Capital Teritorry, ACT). Perdebatan sengit pun berakhir.
Ketika berjalan-jalan menyusuri pusat kota Canberra saya menemukan kawasan bangunan pertokoan yang dinamai Sydney Building dan Melbourne Building. Saya berandai-andai mungkin dua bangunan ini simbol persatuan di Canberra, karena sebelum Canberra ditetapkan menjadi ibu kota, para politikus Sydney dan Melbourne berdebat keras untuk menjadikan kotanya masing-masing sebagai ibu kota.
Tapi itu hanyalah dugaan. Yang pasti, dua bangunan tersebut dirancang oleh arsitek John Sulman, seorang Inggris yang berimigrasi ke Sydney pada 1885 dan menjadi salah satu desainer yang berpengaruh dalam merancang pembangunan kota Canberra. Rancangan Sulman disempurnakan oleh J.H. Kirkpatrick.
Canberra juga dikenal sebagai “kota pegawai negeri” karena di kota inilah semua kegiatan pemerintahan Australia berpusat. Sebagian besar warganya bekerja sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintahan. Kegiatan politik seperti legislasi undang-undang, perdebatan mengenai kebijakan pemerintahan diputuskan di kota ini, pada sebuah gedung parlemen yang berdiri megah. Di gedung itulah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang perdana menteri beradu argumen dengan kelompok oposisi.
Museum Demokrasi Australia
Untuk melihat rekaman sejarah perjalanan pemerintahan Australia dan bagaimana demokrasi dijalankan, gedung parlemen lama (Old Parliement House) diubah fungsinya menjadi Museum Demokrasi Australia. Pada museum itu bisa disaksikan bagaimana perdebatan sengit antara kelompok oposisi dengan pemerintahan yang berkuasa.
Museum Demokrasi Australia dalam banyak hal memang cukup kreatif. Di museum itu, selain dipajang foto-foto para politikus Australia dari masa ke masa, juga masih bisa dilihat ruangan-ruangan tempat mereka bekerja yang tetap tertata seperti saat gedung ini masih dipergunakan sebagai parlemen. Suasana hiruk-pikuk sidang yang penuh perdebatan terbangun oleh rekaman suara perdebatan yang masih diperdengarkan di ruangan museum. Bahkan ruangan perdana menteri pun dibiarkan sebagai mana adanya.
Gedung parlemen lama ini resmi digunakan pada 1927 dan berakhir sebagai parlemen federal pada 1988 untuk selanjutnya berfungsi sebagai museum yang diresmikan oleh Ratu Elizabeth II pada 9 Mei 1988. Sebagai gantinya, gedung parlemen baru berlokasi tak jauh dari gedung parlemen lama. Selama digunakan sebagai gedung parlemen, Museum Demokrasi Australia seperti halnya kota di dalam kota Canberra. Ia memiliki perpustakaan, kantor pos, salon, bar dan ruang makan sendiri. Pada 1980-an, ribuan orang bekerja di sana, mulai dari politikus, staf parlemen, wartawan, dan pegawai kantin memenuhi gedung parlemen lama.
Museum Demokrasi Australia terdiri dari beberapa ruangan. Selain ruang kerja perdana menteri, juga terdapat ruang kerja kabinet, juru bicara, perpustakaan, ruang sidang parlemen, ruang sidang senator, ruang kelompok oposisi, dan beberapa ruang pameran lain. Salah satu ruangan yang cukup menarik adalah ruang pameran perdana menteri Australia dari masa ke masa. Di ruangan itulah dipajang foto-foto perdana menteri Australia berikut dengan biografi ringkasnya masing-masing.
Pemecatan itu semacam kup terhadap Whitlam yang dilakukan oleh Malcolm Fraser dari kubu Liberal.
Yang tak kalah uniknya adalah ruangan kelompok yang berkuasa ternyata bersebelahan dengan kelompok oposisi. Jadi ketika salah satu dari kelompok itu memenangkan Pemilu, mereka juga bertukar ruangan di gedung yang sama. Ruang oposisi juga menarik untuk disambangi. Di sana, terdapat beberapa foto dan kutipan dari tokoh-tokoh oposisi, salah satunya dari Gough Whitlam dari Partai Buruh.
Dalam kutipannya yang terpampang pada tembok ruang pameran, Whitlam mengatakan, “Kami dari Partai Buruh menggunakan waktu kami selama menjadi oposisi dengan mempersiapkan diri untuk membawa negeri kami lebih maju, menyatukan rakyat dalam ikhtiar bersama dan menjadikan sistem demokrasi lebih baik lagi.” Whitlam kemudian terpilih jadi perdana menteri Australia pada 1972 dan diberhentikan pada 11 November 1975 karena dianggap gagal meloloskan anggaran.
Namun, pengajar politik Victoria University, Melbourne, Max Lane mengatakan memang sulit menggambarkan suasana politik yang menyelubungi peristiwa pemecatan Gough Whitlam. “Pemecatan itu semacam kup terhadap Whitlam yang dilakukan oleh Malcolm Fraser dari kubu Liberal. Fraser yang duduk di Senat menolak anggaran yang diajukan Whitlam walaupun House of Representative sudah meloloskannya. Karena alasan itu pemerintah tidak bisa bekerja dan Whitlam kemudian diberhentikan,” kata Max Lane yang pernah bekerja sebagai peneliti di Senat Australia tahun 1983–1990.
Kisah pemecatan Whitlam menjadi drama politik paling dikenang di Australia. Dan sekelumit kisah tersebut menjadi bagian dari sejarah perjalanan demokrasi di Australia. Memang tak banyak kisah itu dipamerkan di Museum Demokrasi Australia. Museum ini hanya memamerkan sisi baiknya saja, selayaknya guru bijak yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan pada murid-muridnya.
Setitik Noda dalam Belanga Sejarah
Tapi Australia pun bukan negeri yang lurus-lurus amat dan Canberra adalah kota yang mempertontonkan kontradiksi itu. Tak jauh di seberang gedung parlemen lama, terdapat tenda warga Aborigin. Mereka berkemah di sana, lengkap dengan alat upacara adat serta spanduk dan poster yang menyuarakan gugatan mereka terhadap pemerintah Australia.
Warga Aborigin itu seperti menanggung tugas sejarah, yang diwariskan turun-temurun, untuk kembali mengambil alih tanah mereka yang telah dirampas oleh kaum koloni kulit putih. Mereka menggugat pemerintah Australia untuk mengembalikan tanah yang telah diduduki selama ratusan tahun. Dan warga Aborigin yang berkemah itu berada tak jauh dari Museum Demokrasi Australia, yang mengajarkan kepada setiap pengunjung tentang arti kebebasan dan persamaan hak serta kedudukan di depan hukum.
Persoalan Aborigin memang cukup pelik. Kendati Perdana Menteri Kevin Rudd, pada 2008 yang lalu atas nama bangsa dan negara Australia, telah menyampaikan permohonan maaf atas semua tindak tanduk bangsa kulit putih di masa silam terhadap warga Aborigin, tetap saja mereka menuntut pemerintah untuk mengembalikan hak-hak yang dirampas.
Di masa awal koloni bangsa kulit putih di Australia, banyak anak-anak Aborigin yang diambil paksa dan dibesarkan dalam tradisi Barat. Warga kulit putih punya alasan, mereka mengusung tugas “mulia” untuk menjadikan anak-anak Aborigin itu beradab. Maka untuk beberapa generasi anak-anak Aborigin, mereka “dikulitputihkan” secara paksa, tercerabut dari akar budayanya. Tak hanya itu, warga kulit putih pun melakukan kekerasan pada warga Aborigin yang kerap kali melakukan perlawanan atas pendudukan paksa warga kulit putih terhadap tanah milik mereka.
“Monumen” Peristiwa 65 di Australia
Selain berkunjung ke museum, saya menyempatkan diri berkunjung ke National Gallery of Australia di mana karya Dadang Christanto, perupa asal Indonesia menjadi koleksi untuk dipamerkan secara permanen di sana. Karya yang diberi judul “Head From The North” itu menggambarkan sejarah kelam bangsa Indonesia pada 1965/1966. Ada 66 patung kepala yang berserak terbenam di permukaan rawa. Simbol korban pembunuhan massal.
Karya Dadang menjadi semacam memorial bagi para korban peristiwa 1965/1966. Bisa juga semacam monumen bagi mereka yang ingin mengenang kepedihan peristiwa yang menyebabkan ratusan ribu orang tewas di segala penjuru Indonesia. Ironisnya, monumen tersebut malah berada di Australia, bukan di Indonesia, di mana tragedi kemanusiaan itu pernah terjadi.
Sehingga kami, yang terdiri dari Direktur Eksekutif Syarikat Indonesia Rumekso Setyadi, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis, Priyambudi Sulistiyanto pengajar di Flinders University, dan mahasiswa doktoral ilmu politik di Australian National University Bayu Dardias sempat mendiskusikan kenapa di Indonesia tak ada hal serupa.
Ironisnya, pidato permohonan maaf kepada seluruh korban pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sedianya akan disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara justru batal dilakukan. Kabarnya pidato itu meniru langkah Kevin Rudd dalam soal Aborigin. Belum lagi pidato disampaikan, kontroversi muncul. Sebagian kelompok menganggap Presiden SBY mau meminta maaf pada PKI, yang bagi sebagian kelompok itu, masih dianggap sebagai momok yang menakutkan sekaligus membahayakan.
Soal Makanan dan Berburu Buku
Seperti halnya kota-kota lain di Australia yang diperkaya oleh keberagaman budaya warga pendatang, Canberra pun tak kalah dalam soal variasi makanan. Bagi mereka yang terkena demam wisata kuliner, khususnya penggila masakan Asia, bisa berkunjung ke Dickson di sebelah utara pusat kota Canberra. Di kawasan itu tersedia bermacam pilihan makanan, mulai Laos, Thailand, Vietnam, Cina sampai Malaysia. Harganya bervariasi, satu yang pasti bisa cocok dengan lidah orang Indonesia.
Selain soal makanan, sebagai kota yang juga dikenal memiliki universitas terbaik, yakni Australian National University (ANU), Canberra dibanjiri oleh mahasiswa dari pelbagai negara, tak terkecuali Indonesia, untuk menimba ilmu, bahkan memperdalam pengetahuan tentang Indonesia sendiri. Bukan apa-apa, di kampus itu terdapat berderet ahli Indonesia, mulai ahli sejarah sampai ahli politik Indonesia.
Sebagai “kota pelajar” tentu buku jadi kebutuhan penting untuk menunjang kelancaran studi. Selain koleksi buku lengkap tersedia di Perpustakaan Nasional Australia (National Library of Australia), di Canberra juga terdapat beberapa toko buku bekas yang menjual buku murah berkualitas baik dan bermutu. Salah satu toko yang saya kunjungi terletak di pusat kota Canberra, tak jauh dari kampus ANU.
Pada akhirnya, Canberra, ibu kota dari negeri di benua selatan itu seperti menyediakan segalanya, kecuali keramaian, kendati ia terbentuk dari proses sejarah yang justru riuh rendah oleh perdebatan, perkelahian, dan perseteruan.*