Pria suku Dani di depan sebuah rumah di Lembah Baliem, 1965. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEORANG pengunjung Museum Nasional, Jakarta Pusat, tersenyum geli ketika mengamati salah satu koleksi etnografi Papua. Berbentuk selongsong panjang, berwarna coklat, terbuat dari buah labu kering bernama latin Lagenaria siceraria. Keterangan di etalase terpampang: “penish sheath” atau pembungkus penis.
“Benda itu sepertinya gak aman buat alat vital,” ujar Gita Primasari (26), pengunjung itu.
Gita mungkin tidak tahu bahwa benda itu bukan semata alat pembungkus penis. Ia punya fungsi lain sebagai penanda status sosial dan bahkan simbol perlawanan. Ia adalah salah satu pakaian tradisional yang dikenakan sebagian masyarakat Papua, terutama di area dataran tinggi.
Bagi orang-orang suku Dani, suku terbesar yang mendiami Baliem, penutup penis itu dinamakan holim. Sedangkan labu kering yang merupakan bahan utama pembungkusnya disebut kio. Labu ditanam di lahan pekarangan di sekitar kompleks rumah (osilimo) yang terdiri dari beberapa unit rumah.
SEORANG pengunjung Museum Nasional, Jakarta Pusat, tersenyum geli ketika mengamati salah satu koleksi etnografi Papua. Berbentuk selongsong panjang, berwarna coklat, terbuat dari buah labu kering bernama latin Lagenaria siceraria. Keterangan di etalase terpampang: “penish sheath” atau pembungkus penis.
“Benda itu sepertinya gak aman buat alat vital,” ujar Gita Primasari (26), pengunjung itu.
Gita mungkin tidak tahu bahwa benda itu bukan semata alat pembungkus penis. Ia punya fungsi lain sebagai penanda status sosial dan bahkan simbol perlawanan. Ia adalah salah satu pakaian tradisional yang dikenakan sebagian masyarakat Papua, terutama di area dataran tinggi.
Bagi orang-orang suku Dani, suku terbesar yang mendiami Baliem, penutup penis itu dinamakan holim. Sedangkan labu kering yang merupakan bahan utama pembungkusnya disebut kio. Labu ditanam di lahan pekarangan di sekitar kompleks rumah (osilimo) yang terdiri dari beberapa unit rumah.
“Koteka” sendiri berasal dari bahasa Mee –dulu disebut bahasa Ekagi atau Ekari– yang berarti pakaian. Bahasa ini digunakan orang-orang Mee, sebuah suku yang berasal dari daerah bagian barat Pegunungan Tengah di Papua, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, dan Nabire. Nama “koteka” mulai diperkenalkan guru-guru sekolah pemerintah Belanda yang mengajar di Lembah Baliem pada akhir 1940 sampai 1950-an.
“Saat ini masyarakat yang masih mengenakan koteka terdapat di wilayah adat Mee Pago (suku Mee dan Moni) dan La Pago (suku Lani, Dani, Yali, Katengban, dan Ngalum). Suku-suku ini kebanyakan bermukim di wilayah Pegunungan Tengah Papua (terbentang dari Danau Paniai, Lembah Baliem, dan pegunungan Jayawijaya),” ujar Ibiroma Wamla (39), pelajar adat dan budaya Papua di Jayapura, kepada Historia.
Membentuk Koteka
Koteka mulai dibentuk sejak masa tanam labu. Setelah beberapa bulan tumbuh, labu diikat dengan batu agar diperoleh bentuk tegak lurus. Untuk mendapatkan bentuk labu yang melengkung, sebelum dipanen, batu yang diikat menggantung tersebut dilepas.
Pembentukan labu punya tujuan tertentu. Dalam lingkungan masyarakat Baliem, bentuk koteka menandakan kelas sosial pemakainya. Koteka yang berbentuk melengkung hanya dikenakan orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat.
“Koteka yang ujungnya melengkung ke depan (kolo) di sandang oleh Ap Kain atau pemimpin konfederasi (pemimpin klan). Golongan menengah mengenakan koteka yang ujungnya melengkung ke samping (haliag). Mereka di antaranya adalah Ap Menteg (panglima perang) dan Ap Ubalik (tabib dan pemimpin adat). Sedangkan yang bentuknya tegak lurus boleh digunakan masyarakat biasa,” ujar Ibiroma.
Labu yang siap panen dipetik lalu dikeringkan di perapian. Setelah kering, isi labu dikeluarkan hingga tersisa kulit labu yang keras. Buah labu yang telah dibersihkan kembali dikeringkan di perapian, dan setelah itu dipasangkan ke batang penis.
“Prosesnya sekitar 1 sampai 2 minggu. Yang lama adalah proses pengeringan. Biasanya dibuat untuk beberapa koteka, tidak hanya satu koteka,” ujar Ibiroma.
Untuk menambah kesan gagah dan daya tarik bagi lawan jenis, ujung koteka biasanya dipasang jambul yang terbuat dari bulu ayam atau burung. Agar tak jatuh saat dikenakan, koteka diikatkan tali halus yang melingkari pinggang.
Anak-anak yang telah berusia lima tahun mulai diperkenankan memakai koteka. Setelah terpasang, koteka menyatu dengan pemiliknya. Tak akan diganti sampai rusak.
Operasi Koteka
Koteka sudah dikenal berabad-abad lalu. Misionaris-misionaris Belanda, yang menempatkan pos pertama mereka di Papua pada 1855, mendorong masyarakat pedalaman untuk meninggalkan kebiasaan berkoteka. Bagi yang mau bersekolah, mereka memberikan setelan pakaian lengkap. Namun, masyarakat di Pegunungan Tengah tak sepenuhnya menanggalkan koteka mereka. Pada 1950-an para misionaris akhirnya fokus pada isu-isu lain dan meninggalkan masalah cara berpakaian.
Koteka menjadi masalah di bawah pemerintahan Orde Baru. Dianggap sebagai perlambang primitif, pemerintah meluncurkan Operasi Koteka pada 1971–1974. Program ini diprakarsai Brigadir Jenderal TNI Acub Zainal, panglima Kodam XVII/Cendrawasih sekaligus wakil ketua Badan Pelaksana Pembangunan Daerah Irian Barat, dan segera disetujui Jakarta.
Program meliputi bidang politik, sosial, dan ekonomi dengan tujuan meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan kebudayaan rakyat. Tahap pertama dimulai 17 Agustus 1971, dengan sasaran operasi meliputi Wamena (Lembah Baliem), Enarotali (sekitar Danau Paniai), dan Wagete (sekitar Danau Tigi).
Operasi dikoordinasi Komando Operasi Koteka, sebuah badan gabungan unsur sipil dan militer, yang berpusat di Jayapura. Setahun kemudian, berdasarkan keputusan menteri dalam negeri, operasi ini ditempatkan di bawah Task Force Pembangunan Masjarakat Pedalaman Unit IV dengan nama Bimbingan Masjarakat Pedalaman.
“Acub Zainal menjalankan Operasi Koteka untuk ikut menyiapkan masyarakat Irian berhadapan dengan dunia luar,” tulis Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Acub Zainal: I Love The Army.
Tak cuma koteka, rok jerami yang disebut sale (bagi yang perawan) dan yokal (bagi yang telah diperistri) tak luput dari sasaran. Pemerintah membagi-bagikan pakaian gratis kepada penduduk. Bagi pria diberi jatah dua potong celana pendek berbahan kain sedangkan bagi perempuan mendapat sehelai sarung katun.
“Diproyeksikan kebudayaan koteka akan hilang dari muka bumi Irian Barat pada 1973,” ujar Acub Zainal dilansir Kompas, 4 Agustus 1971.
Program ini mendapat penolakan dan perlawanan dari penduduk lokal. Sejumlah laporan menunjukkan adanya aksi pemaksaan seperti penyitaan dan pembakaran koteka, bahkan tindak kekerasan. “Ketika orang Dani menolak upaya pemerintah untuk ‘mencivilkan’ rakyat mereka, mereka ditembak dan dibunuh,” tulis Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika yang datang ke Papua pada 1972, dalam People of the Valley.
Sebuah suratkabar Papua New Guinea melaporkan penolakan orang-orang Baliem. Dan segera militer menangkap dan menahan kepala suku Ukomeheri dan Ikimaben. Pada 10 Maret 1973, salah satu dari mereka, kepala Ikimaben, meninggal. “Reaksi atas kematiannya datang berupa pemberontakan rakyat Baliem,” tulis Post Courier, 3 September 1973.
Program itu gagal. Selain menghadapi perlawanan, pemerintah juga tak menindaklanjuti pengadaan pakaian. Fasilitas kebersihan seperti sabun dan deterjen juga tak disediakan. Saat itu belum banyak toko yang menjajakan pakaian dan perlengkapan lainnya.
“Upaya ini tentu saja tidak berhasil, karena seperti manusia di mana pun juga, adat istiadat yang telah dibudayakan sejak dini tidak dapat diharapkan berubah secara mendadak. Tanpa dipaksa oleh Operasi Koteka mereka telah keluar dari Zaman Batu dengan sendirinya,” tulis Koentjaraningrat dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Tetap Bertahan
Hingga kini, sebagian kecil masyarakat Papua masih mengenakan koteka. Anak-anak muda biasanya mengenakannya untuk momen atau acara tertentu. Beberapa sekolah yang mengadakan kegiatan budaya memperbolehkan para siswa menggunakan koteka. Pada acara-acara bertajuk kebudayaan, seperti festival Lembah Baliem ataupun karnaval lainnya, ditemui banyak pemuda berkoteka. Bahkan saat misa paskah, gereja Katolik memperbolehkan jemaatnya memakai koteka selama misa berlangsung.
“Bagi masyarakat Papua, koteka adalah bagian dari identitas,” kata Johanes Supriyono, antropolog Universitas Indonesia yang tinggal di Paniai, kepada Historia. Saat ini, lanjut Johanes, koteka menjadi simbol perlawanan atau resistensi terhadap kekuatan kultural non-Papua.
Menurut Ibiroma, generasi muda Papua dari wilayah pengguna koteka melihat bahwa citra orang luar terhadap koteka itu salah. Koteka kerap dipandang sebagai representasi kebodohan, keterbelakangan, dan tak berbudaya. “Untuk menghilangkan image itu, sekaligus mengembalikan rasa percaya diri dan identitas yang sempat hendak ‘dihilangkan’, koteka kembali digunakan,” ujarnya.*