Acara kesukaan Presiden Soeharto ini dituding propaganda pemerintah, tetapi dinilai membawa perubahan di pedesaan. Sempat dihidupkan kembali di tengah gempuran siaran hiburan.
Presiden Soeharto memulai panen raya Gogo Rancah di Desa Roi, Bima, Nusa Tenggara Barat. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH menjalani serangkaian lomba, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Soetardjo memanfaatkan kesempatan untuk melontarkan pertanyaan kehormatan: “Produk turunan apa yang dapat dihasilkan dari ikan patin?” Peserta terlihat gugup. Maklum, yang memberikan pertanyaan adalah seorang menteri. Salah seorang dari grup C akhirnya memberanikan diri mengacungkan jari dan menjawab: “Kerupuk ikan patin dan bakso ikan patin.”
Menteri Cicip hadir dalam lomba kelompencapir di Pontianak, yang dihelat dalam rangka Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Industrialisasi Perikanan (Gempita) Regional V wilayah Kalimantan pada Mei 2012. Menteri Cicip mengatakan, dikutip Gatra, 11 Juni 2012, Gempita merupakan upaya penyuluhan dalam bentuk perlombaan untuk mengampanyekan secara nasional gaung industrialisasi perikanan.
SETELAH menjalani serangkaian lomba, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Soetardjo memanfaatkan kesempatan untuk melontarkan pertanyaan kehormatan: “Produk turunan apa yang dapat dihasilkan dari ikan patin?” Peserta terlihat gugup. Maklum, yang memberikan pertanyaan adalah seorang menteri. Salah seorang dari grup C akhirnya memberanikan diri mengacungkan jari dan menjawab: “Kerupuk ikan patin dan bakso ikan patin.”
Menteri Cicip hadir dalam lomba kelompencapir di Pontianak, yang dihelat dalam rangka Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Industrialisasi Perikanan (Gempita) Regional V wilayah Kalimantan pada Mei 2012. Menteri Cicip mengatakan, dikutip Gatra, 11 Juni 2012, Gempita merupakan upaya penyuluhan dalam bentuk perlombaan untuk mengampanyekan secara nasional gaung industrialisasi perikanan.
Ada tiga hal yang diperlombakan: track record (portofolio) seperti pembukuan administrasi dan omset produksi, asah pikir pengetahuan, serta asah terampil. “Harapannya, para peserta yang terdiri dari para pengusaha ini akan memotivasi dan memunculkan pengusaha-pengusaha baru di bidang kelautan dan perikanan,” ujarnya.
Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) mengingatkan kita pada ajang serupa pada masa Orde Baru. Acara ini bahkan melegenda karena disiarkan TVRI, stasiun televisi milik pemerintah dan satu-satunya yang mengudara kala itu, serta kerap menghadirkan presiden.
Berawal dari Siaran Pedesaan
Kelompencapir tak lepas dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Pada 1969, setelah berhasil mengembangkan penggunaan radio unuk pembangunan pedesaan di negara-negara Afrika, FAO memperkenalkan apa yang disebut Dewan Pembina Siaran Desa (DPSP). Dengan sokongan FAO, pada Juli tahun yang sama, Departemen Pertanian dan Departemen Penerangan menghelat seminar bertajuk “Komunikasi Pedesaan dan Siaran Pertanian” di Jakarta. Seminar itu merekomendasikan sebuah siaran pedesaan berlingkup nasional.
Pemerintah segera menindaklanjutinya. Setelah terbit Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan dan Menteri Pertanian No. 2/Menpen-Mentan/1969 mengenai Penyelenggaraan Siaran Pertanian Pedesaan, pada September 1969 Direktorat Radio dan Direktorat Penyuluhan Pertanian menginstruksikan kepada semua stasiun RRI dan Dinas Pertanian Provinsi se-Indonesia untuk mensponsori terbentuknya DPSP dan melaksanakan siaran pedesaan. Di tingkat pusat hingga kabupaten/kota, DPSP bertugas mempersiapkan dan menyusun bahan siaran pedesaan yang akan disampaikan kepada kelompok pendengar.
RRI melaksanakan siaran dua kali sehari. Pada 1971, 39 dari 47 stasiun RRI menyiarkan siaran pedesaan dengan ciri khas masing-masing. Jumlah jam siaran meningkat dari waktu ke waktu hingga mencapai 135,40 jam per minggu. Bersamaan dengan itu, mereka mengorganisasi para petani yang mendengarkan siaran pedesaan dalam jumlah 15 sampai 20 orang. Setiap kelompok harus melakukan pertemuan rutin untuk membicarakan masalah di sekitar mereka, rutin mendengar siaran pedesaan, memberikan informasi kepada kelompok lain, dan melaporkan kepada pengasuh siaran RRI.
Kelompencapir adalah program sederhana seiring berlangsungnya revolusi hijau yang melanda negara-negara berkembang.
TVRI kemudian mengikuti jejak RRI. Bermula dari stasiun TVRI Yogyakarta pada 1969 dan diikuti TVRI Surabaya pada 1978, Sub Direktorat Pemberitaan TVRI membuat siaran pedesaan yang mulai mengudara pada 1981. Dua tahun pertama, TVRI hanya menyiarkan dua kali seminggu dengan durasi 45 menit per minggu. Setelah itu durasinya terus bertambah. Bentuk siarannya bervariasi, dari yang bersifat informatif (Potret Desa dan Yang Berkarya), penyuluhan (Suluh Desa), atau gabungan keduanya (Sambung Rasa, Asah Terampil, dan Kotak Pos). Dari sinilah nama Kelompencapir melambung.
Menurut Ishadi S.K., mantan direktur utama TVRI, keberadaan Kelompencapir tak dapat lepas dari pemikiran-pemikiran mengenai revoIusi hijau. “Kelompencapir adalah program sederhana yang terinspirasi oleh pemikir-pemikir development news, news development, atau news for development of society yang diprakarsai Everett M. Rogers, Daniel Lerner, Wilbur Schramm, Ithiel de Sola Pool, dan lain-lain pada 1970-an seiring dengan berlangsungnya green revolution yang melanda negara-negara berkembang,” tulis Ishadi via email.
Revolusi hijau adalah sebutan tak resmi yang dipakai untuk perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada 1950-an, namun akhirnya dikritik membuat petani tergantung pada produk industri seperti benih, pestisida, dan pupuk kimia. Norman Ernest Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini, sehingga dikenal sebagai Bapak Revolusi Hijau.
Di Indonesia, pemerintah menerapkannya dalam program nasional yang dikenal dengan gerakan Bimbingan Masyarakat (Bimas). Tujuannya untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Namun, hasilnya jauh dari harapan karena kurangnya partisipasi petani. Swasembada beras, meski hanya bertahan dua tahun, baru terealisasi setelah pemerintah meluncurkan program Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus pada 1980-an. Dengan program Insus, para petani diajarkan ilmu-ilmu bercocok tanam, rasa kepemimpinan, serta sarana komunikasi melalui kelompok pendengar dan kemudian Kelompencapir.
Alat Politik
Ketika menjabat menteri penerangan pada 1983, Harmoko bukan saja melanjutkan Kelompensipedes (kelompok pendengar siaran pedesaan) tapi juga menggunakannya untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program pembangunan. Jumlah kelompok pendengar siaran RRI ditingkatkan serta dikaitkan dengan kelompok pirsawan TVRI dan kelompok pembaca koran masuk desa.
Pada 14 Juni 1984, Harmoko menerbitkan SK No. 110/Kep/ Menpen/1984 tentang Pedoman Umum Pembinaan Siaran Pedesaan Kelompok Pendengar, Kelompok Pembaca, dan Kelompok Pemirsa. Berdasarkan SK ini, kelompok pendengar diperluas fungsinya menjadi Kelompencapir.
“Dalam konsep public relation, ada satu konsep perlunya membangun simpul-simpul komunikasi sebagai perantara menyosialisasikan kebijakan pemerintah,” ujar James Pardede, direktur di Direktorat Kemitraan Komunikasi di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kala itu, dia menjadi kepala Bagian Tata Usaha Direktorat Penerangan Daerah. ”Konseptor mungkin tidak Harmoko sendiri, namun dia yang mendorong terbentuknya Kelompencapir menjadi seperti itu. Nah puncak dari Kelompencapir itu adalah yang dinamakan Pekan Penerangan Pedesaan.”
Pekan Penerangan Pedesaan (Pependes) tingkat nasional diselenggarakan setiap tahun dan berpindah tempat dari satu daerah ke daerah lain. Pependes diisi dengan berbagai kegiatan seperti asah terampil, sarasehan dan pameran hasil produksi binaan Kelompencapir, serta panggung penerangan. Dalam acara ini, presiden atau wakil presiden “bertemu wicara” atau “sarasehan lewat udara” dengan Kelompencapir. Pada Pependes V, misalnya, yang digelar pada 22 Februari 1992, Wakil Presiden Sudharmono mendengarkan keluhan Kelompencapir Palembang yang “minta petunjuk” mengenai kesulitan transportasi, air bersih, dan tenaga guru di lokasi transmigrasi.
“Seluruh rangkaian kegiatan itu tidak saja berfungsi untuk lebih memasyarakatkan pesan-pesan pembangunan tapi juga menggerakkan warga pedesaan agar makin dinamis dan produktif,” ujar Sudharmono, dikutip Kompas, 24 Februari 1992.
Sementara Harmoko, dengan gayanya yang khas, menyebut dampak positif kehadiran kelompok informasi di pedesaan, “antara lain meningkatkan daya nalar dan daya pikir masyarakat; membiasakan masyarakat berpikir secara logis dalam membedakan mana informasi yang benar dan mana yang negatif.”
Ketika program baru ini diresmikan, sudah terbentuk 41.117 Kelompencapir. Pada akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I, yang dimulai 1969 untuk 25 tahun yang meliputi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dari I hingga V, jumlahnya meningkat hingga sekitar 88.000 Kelompencapir umum dan 1.033 Kelompencapir pelajar.
Keberadaan Kelompencapir menjadi kuat setelah TVRI bikin acara Kelompencapir, yang memasukkan kuis dan kompetisi praktis pertanian. Dalam acara ini diselipkan informasi keberhasilan pembangunan. Bahkan acara ini menjadi panggung bagi Soeharto. “Harmoko mengatur dengan teliti kelompok-kelompok yang dikunjungi Soeharto untuk memberikan wejangan-wejangan tentang pembangunan dari bagaimana menanam padi sampai bagaimana memerah susu sapi. Acara ini menjadi acara kesukaan Soeharto yang mampu berbicara berapi-api tentang kambing, sapi, kerbau, dan padi di satu pihak dan begitu memukau para petani,” tulis Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Acara itu pun dituding sebagai alat politik dan propaganda pemerintah semata. Ishadi memahami tudingan itu. Namun, dia menekankan peran media dalam mengubah mindset para petani untuk melakukan revolusi dalam tata cara menggarap tanah pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, memperbaiki dan memodernisasi irigasi pertanian, dan penyediaan bibit unggul. “Hasilnya pertanian akan berlipat, panen sampai tiga kali setahun, sehingga menghasilkan pendapatan yang berlipat untuk petani yang memiliki lahan pertanian,” ujar Ishadi.
Menurut Ishadi, acara Kelompencapir terhitung sukses untuk menyebarkan inovasi dan perubahan di pedesaan. “Namun karena acara ini memang untuk masyarakat desa, program tersebut tak disukai kalangan penonton perkotaan. Kelompencapir dianggap ndeso, tak menarik, karena yang dibahas hanya masalah pertanian, Keluarga Berencana, dan cara hidup sehat di pedesaan,” ujarnya.
Kelompencapir Hari Ini
Setelah reformasi, acara Kelompencapir mati suri. Pada 2007, RRI mencoba menghidupkannya kembali dengan meluncurkan program baru Kelompok Mitra Media. “KMM waktu itu benar-benar melakukan siaran di lokasi (in situ). Jika tema pertanian ya siaran di desa dan tentu saja melibatkan petani desa setempat,” ujar Rosarita Niken Widiastuti yang kala itu menjabat Direktur Program Produksi LPP RRI.
Niken menambahkan, KMM merupakan kelanjutan dari siaran pedesaan di era Orde Baru, “Intinya RRI sejak awal berkomitmen memajukan masyarakat pedesaan, dan kami yakin bahwa tidak setiap kebijakan Orde Baru itu buruk,” ujarnya.
Dalam skala kebijakan nasional, wacana menghidupkan kembali Kelompencapir akhirnya terjawab setelah terbit Peraturan Menteri Kominfo No. 8/PER/M. KOMINFO/6/2010 mengenai Pedoman Pengembangan dan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial. Sejak itu, pemerintah mendorong terbentuknya Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) yang akan melakukan kegiatan pengelolaan informasi dan pemberdayaan masyarakat.
”Secara filosofis, KIM memang sama dengan Kelompencapir. Bedanya, kalau Kelompencapir hanya terbatas pada kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa, sementara KIM berusaha merangkul semuanya, termasuk pengakses internet,” ujar James Pardede. “Tak semua yang dilakukan Orde Baru itu salah. Kita harus memandangnya dengan porsi yang tepat. Secara sistem itu sudah baik dan terarah. KIM dan Kelompencapir juga sama, menyampaikan informasi secara tepat kepada masyarakat.”
Untuk mencapai keberhasilan Orde Baru jelas tak mudah. Jumlah stasiun televisi dan radio swasta bertaburan. Mereka lebih suka acara hiburan, kriminalitas, dan politik yang bisa meraup penonton dan pendengar.
Di sisi lain, mereka punya siaran pedesaan yang, meski terbatas, tapi lebih menarik pengemasannya. Sejumlah lembaga dan kementerian pun lebih tertarik menggunakan lembaga penyiaran swasta untuk mensosialisasikan program.
TVRI dan RRI jelas punya penantang serius. “Siarannya tentu hanya untuk masyarakat pedesaan. Kalau disiarkan TVRI secara nasional, yang disiarkan juga di daerah perkotaan, akan gagal, kecuali kalau acaranya dibuat semenarik mungkin. Dan cara ini tentu akan lebih mahal dan tidak efektif untuk masyarakat pedesaan karena pesannya tentu berbeda,” ujar Ishadi.*