Pemandangan jemaah haji di Ka’bah, Makkah tahun 1885. (Snouck Hurgronje/The Culturist).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEKELOMPOK warga Cilegon melayangkan sebuah surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkalikong Johanes Gregorius Marinus (J.G.M.) Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jemaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka. Hadiahnya: tiket gratis ke Makkah.
Tergiur, para pejabat ini memakai kekuasaan. Yang tak mau ditahan pasnya (izin jalan, semacam paspor). Dengan kongkalikong semacam ini, pada musim haji 1893 Herklots menjaring lebih dari 3.000 dari total 8.092 jemaah haji.
SEKELOMPOK warga Cilegon melayangkan sebuah surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkalikong Johanes Gregorius Marinus (J.G.M.) Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jemaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka. Hadiahnya: tiket gratis ke Makkah.
Tergiur, para pejabat ini memakai kekuasaan. Yang tak mau ditahan pasnya (izin jalan, semacam paspor). Dengan kongkalikong semacam ini, pada musim haji 1893 Herklots menjaring lebih dari 3.000 dari total 8.092 jemaah haji.
Gubernur Jenderal menerima surat itu pada pertengahan Juni 1893. Dia juga menerima laporan dari Konsul Belanda di Jeddah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji itu serta somasi untuk mendeportasi dan mengadili Herklots.
Karena Gubernur Jenderal tak bisa berbuat apa-apa lantaran tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots, Konsul melobi Gubernur Jeddah Ismail Haki Pasha. Namun Pasha tak mengabulkannya. Herklots pun leluasa meneruskan bisnisnya dengan cara-cara kotor.
Rupanya, tak hanya rakyat biasa yang jadi korban. R. Adiningrat, residen Cirebon, pun kena tipu. Dalam laporannya tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip sejarawan M. Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial, Adiningrat menceritakan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, dia mesti membayar lebih mahal dari tarif pemerintah. Padahal dalam reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah. Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan, W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots yang melayaninya, kabur. Dia pun terpaksa berangkat dengan kapal lain.
J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, juga menipu pihak berwenang Makkah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jemaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu, Haji Abdul Hamid, untuk bisa masuk Makkah. Dengan identitas ini pula dia mengajukan pinjaman kepada Syarif Makkah. Terjadilah kesepakatan yang saling menguntungkan.
Dengan kesepakatan itu, Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syekh kepercayaan Syekh Makkah, dia leluasa menipu para “Haji Jawa”, sebutan untuk jemaah haji Hindia Belanda. Selama menunggu kapal carteran Herklots, mereka terlantar di tenda-tenda tanpa fasilitas memadai. Aduan disampaikan kepada Konsulat Belanda di Jeddah, yang lalu memaksa Herklots mengembalikan uang tiket. Namun Herklots hanya mau mengembalikan separuhnya.
Kongsi Tiga
Fasilitas kapal yang dipakai Herklots juga kerap kena sorotan. Kapal Samoa, misalnya. Dien Majid menulis, Samoa tak dirancang sebagai kapal penumpang. Dek atas dan bawah penuh penumpang sementara ventilasinya buruk. Banyak penumpang jatuh sakit. Ketika berlayar menuju Batavia pada Agustus 1893, Samoa pun tak kuasa menahan hantaman badai dahsyat. Dalam semalam, seratusan orang tewas.
Kritik keras datang dari agen-agen haji pesaingnya seperti Nederland, Borneo Company Limited, Rotterdam Lloyd dan Ocean, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co., Firma Aliste, serta Jawa & Co. Mereka tergabung dalam satu wadah: Kongsi Tiga. J.G.M. Herklots dan Kongsi Tiga adalah agen-agen haji generasi pertama yang dilibatkan pemerintah Hindia Belanda setelah melonjaknya jumlah jemaah haji tahun 1893.
Dalam surat protes kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Rotterdam Lloyd and Ocean mengatasnamakan agen-agen haji dari Kongsi Tiga menuduh Herklots tak paham undang- undang kapal penumpang pribumi, Native Passagers Ships Act 15 Februari 1884.
Pokok yang dipersoalkan adalah Samoa, yang dicarter Herklots untuk pemulangan jemaah, adalah kapal pengangkut batu bara dan tak dirancang sebagai kapal penumpang. Parahnya lagi, Samoa tak dilengkapi kayu pembatas di seluruh deknya sesuai persyaratan dan kuat dugaan kapal ini kelebihan muatan. Mereka minta Menteri Luar Negeri menindak Herklots atas pelanggaran itu.
Perjalanan haji adalah lahan basah. Jumlah jemaah haji Nusantara terus meningkat. Pada akhir abad ke-19, jumlahnya berkisar 10-20 persen dari seluruh jemaah haji asing. Angka melonjak, sebagaimana data Indisch Verslag, hingga 50 persen pada musim haji 1913/1914.
Haji Miskin
Pangeran Aria Ahcmad Djajadiningrat, asisten wedana Cilegon, dalam buku Herinneringen van Pangeran Achmad Djajadiningrat mencatat saat-saat wawancara calon haji yang mengajukan pas haji. Ketika seorang calon haji diminta menunjukkan sejumlah uang untuk mendapatkan pas haji, perlu dua hari untuk menunjukkannya.
“Uang sejumlah itu semua terdiri dari sen yang ia tanam pada berbagai tempat dalam kebun dukunya. Ia harus menggali terlebih dahulu uang itu. Selanjutnya, ia harus mempunyai sebuah gerobak untuk mengangkut uang itu dari desanya ke tempat tinggal saya dan dari sana ke Cilegon untuk sedapat mungkin uang ditukar dengan uang perak atau uang kertas,” ujarnya.
Belakangan diketahui, calon haji ini bekerja sejak muda sebagai penjual kayu bakar dan menabung selama 25 tahun untuk naik haji. Selain menabung, banyak pula yang menjual tanah. Sebagian lagi nekat berutang.
Agen-agen perjalanan haji, termasuk dari Kongsi Tiga, melihatnya sebagai peluang bisnis. Mereka menawarkan pinjaman dengan meminta jaminan tanah atau tenaga. Agen haji macam Tajuddin Brother, yang fokus pada peminjaman biaya haji dan juga adviseur Kongsi Tiga, pun meraup keuntungan. Setelah musim haji 1925/1926, agen ini memperoleh sejumlah tanah pertanian subur di Banten sebagai tebusan atas utang biaya haji yang waktu pengembaliannya lewat.
“Ini mengakibatkan pemiskinan para haji setelah dari Makkah karena kehilangan sumber kehidupan utama,” tulis antropolog Jacob Vredenbregt dalam The Haddj.
Bagi yang tak punya tanah menebusnya dengan bekerja, misalnya di perkebunan sawit milik Fa. Assegaf, seorang syekh Arab di Deli, Semenanjung Malaya, dan Singapura hingga utang mereka lunas. Mereka yang kembali dari haji dengan terlebih dulu bekerja di Singapura, sesampainya di tanah air biasa mendapatkan julukan “Haji Singapura”.