Westerling menawari Sultan Hamid II sebagai panglima APRA. Sultan Pontianak itu memerintahkan menyerang sidang kabinet RIS. Serangan tidak terjadi karena Hamid membatalkan niatnya.
Sultan Hamid II dalam Konferensi Malino, Juli 1946. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENYUSURI Jalan Veteran I Jakarta terdapat beberapa kafe yang menghuni bangunan bergaya Indies yang dibangun sejak 1923. Salah satunya Mata Hari Domus Cafe. Kafe yang mulanya bernama Au Chat Noir atau Black Cat Noir (Kucing Hitam) itu, pada era 1920-an, pernah menjadi tempat sosialita Batavia bertemu, termasuk Margarethe Gertruide Zelle (Lady Mata Hari), agen ganda yang kisahnya termasyhur pada Perang Dunia I.
Selain Lady Mata Hari, pengunjung lain yang juga kontroversial dan pernah berkunjung ke sana adalah Kapten Raymond Westerling. Di sebuah ruangan di lantai dua kafe, yang tak jauh dari Istana Merdeka, Westerling kerap menemui Sultan Hamid II sepanjang Januari 1948.
MENYUSURI Jalan Veteran I Jakarta terdapat beberapa kafe yang menghuni bangunan bergaya Indies yang dibangun sejak 1923. Salah satunya Mata Hari Domus Cafe. Kafe yang mulanya bernama Au Chat Noir atau Black Cat Noir (Kucing Hitam) itu, pada era 1920-an, pernah menjadi tempat sosialita Batavia bertemu, termasuk Margarethe Gertruide Zelle (Lady Mata Hari), agen ganda yang kisahnya termasyhur pada Perang Dunia I.
Selain Lady Mata Hari, pengunjung lain yang juga kontroversial dan pernah berkunjung ke sana adalah Kapten Raymond Westerling. Di sebuah ruangan di lantai dua kafe, yang tak jauh dari Istana Merdeka, Westerling kerap menemui Sultan Hamid II sepanjang Januari 1948.
Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie adalah sultan ketujuh (1945–1978) Kesultanan Qadriyah Pontianak. Dia dilahirkan di Pontianak pada 12 Juli 1913, dari pasangan sultan keenam Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Syecha Jamilah Syarwani. Hamid mengenyam pendidikan Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Lalu melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Bandung dan HBS V di Malang.
Pada 1932, Hamid melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool (THS) –sekarang Institut Teknologi Bandung– namun hanya setahun. Dia lebih tertarik masuk Koninklijke Militaire Academie (Akademi Militer Belanda) di Breda, Belanda. Setamat pada 1938 dengan pangkat letnan dua, dia bergabung dengan Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Selama karier militernya, dia bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya.
Pada masa pendudukan Jepang, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta. Pasca Jepang menyerah pada 1945, dia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel. Dia dilantik menjadi sultan ketujuh Kesultanan Qadriyah Pontianak pada 29 Oktober 1945. Karier militernya melejit. Naik pangkat menjadi mayor jenderal dalam KNIL pada 1946 dan diangkat sebagai ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina.
Bersama dengan negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat, Hamid membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai daerah otonom, yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Dia menjadi kepala DIKB sejak 1947 sampai 1950. Hamid juga membentuk Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara federal dari Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali. BFO lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15–18 Juli 1948. Gagasannya berasal dari inisiatif Ide Anak Agung Gde Agung, perdana menteri Negara Indonesia Timur. Pada 1949, Hamid terpilih sebagai ketua BFO.
Menurut Anshari Dimyati, direktur eksekutif Yayasan Sultan Hamid II, Hamid percaya bahwa Kepulauan Melayu, Indonesia saat ini, lebih tepat mempergunakan sistem federal dalam ketatanegaraannya. “Akan tetapi, dia memperoleh tentangan dari kaum Republiken saat itu yang banyak berada di Pulau Jawa, terutama Yogyakarta, yang menginginkan sistem kesatuan atau unitarisme,” kata Anshari kepada Historia.
Hamid memperjuangkan sistem federal dalam berbagai perundingan, mulai dari Perundingan Malino sampai Konferensi Meja Bundar (KMB). “Ketika berjumpa dengan Max (sebutan Hamid di kalangan teman dekatnya) di Malino, saya mendapatkan dia sebagai orang yang pandai bergaul, lekas akrab,” kenang Rosihan Anwar dalam NapakTilas ke Belanda.
Hamid memimpin delegasi BFO ke KMB di Den Haag, Belanda, yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. KMB merupakan perundingan yang dihadiri tiga pihak: Belanda, BFO, dan Republik Indonesia. Hasil dari kesepakatan itu terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalamnya terdapat Republik Indonesia dan negara-negara bagian yang tergabung dalam BFO. Belanda mengakui kedaulatan RIS pada 27 Desember 1949. Sukarno dilantik sebagai presiden RIS dan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Sedangkan Hamid menjadi menteri negara tanpa portofolio dalam kabinet RIS.
Jasa besar Hamid yang selalu dikenang adalah rancangan logo elang rajawali Garuda Pancasila, melalui sayembara merancang lambang negara, dipilih dan ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950. Setelah mengalami beberapa kali perbaikan, jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Republik Indonesia. Ironisnya, jalan sejarah sang perancang berakhir tragis.
Tawaran dan Perintah
Pada 22 Desember 1949, Hamid bertemu kembali dengan Westerling di Hotel Des Indes –sekarang kompleks pertokoan Duta Merlin di Jalan Gajah Mada Jakarta Pusat. Westerling menyatakan tak setuju Sukarno jadi presiden RIS. Dia juga memberitahukan bahwa dia telah membentuk pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) berkekuatan 15.000 orang. Westerling menawari Hamid untuk mengambil alih komando (oppercommando) pasukan APRA. Hamid menolak karena tidak yakin Westerling memiliki pasukan sebesar itu.
Hamid kemudian berubah pikiran. Pada 10 Januari 1950 di Hotel Preanger Bandung, dia menyatakan bersedia menjadi panglima APRA dengan syarat: “pasukan APRA harus terdiri dari bangsa Indonesia saja, dia harus memberitahukan persenjataan, kekuatan-kekuatan dan dislocatie (dislokasi) APRA, dan dia harus mengetahui sumber keuangan untuk membiayai APRA”. Maksud Hamid menerima tawaran jadi panglima APRA karena ingin mempertahankan negara federal dari intimidasi yang ingin menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional.
Belum sempat menerima pasukan APRA, Hamid mendengar dalam sidang kabinet RIS bahwa APRA beraksi di Bandung yang menelan banyak korban TNI dan sipil. Pada 24 Januari 1950 di Hotel Des Indes, Westerling memberitahu Hamid mengenai serangan APRA tersebut.
“Saya marah karena sebelum ada keberesan soal tawaran oppercommando APRA, Westerling telah bertindak sendiri. Dan saya sendiri tidak menyetujui adanya penyerbuan ke kota Bandung itu,” kata Hamid sebagaimana dikutip Persadja dalam Proses Peristiwa Sultan Hamid II.
Alih-alih tidak setuju dengan aksi Westerling, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang kabinet RIS pada 24 Januari 1950, pukul 07.00 malam. Sidang dimulai pukul lima sore. Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memerintahkan agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo, dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS (APRIS) Kolonel T.B. Simatupang harus ditembak mati seketika itu juga. Sebagai kamuflase, Hamid sendiri harus mendapatkan luka enteng. Ditembak di kaki.
“Sultan Hamid memerintahkan Westerling untuk melakukan penyerangan dan membunuh ketiga orang itu, karena kegerahan Sultan Hamid atas politik dan gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh kaum-kaum unitaris, di antaranya ketiga orang itu, untuk membubarkan negara bagian RIS,” kata Anshari. “Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan hendak mengirimkan TNI sebagai inti APRIS ke Kalimantan Barat, negara yang berdaulat tanpa seizin Sultan Hamid sebagai kepala negara Kalimantan Barat.”
Setelah penyerangan, rencana Hamid selanjutnya meminta persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta, supaya dia diperbolehkan membentuk kabinet baru, di mana dia akan menjadi menteri pertahanan.
Menurut Rosihan Anwar, pada tahun 2000 seorang mantan letnan KNIL, Map Savalle mengakui kalau rumahnya di Jakarta pernah jadi tempat persembunyian Westerling. Savalle pun pernah berbincang dengan Hamid tentang kesepakatan rahasia yang dilakukannya dengan orang-orang Amerika. “Begitu Hamid jadi menteri pertahanan setelah berhasilnya kudeta oleh Westerling, maka sebagai pertukaran dengan dukungan politik, dia akan memberikan izin bagi basis marine Amerika di Surabaya dan di tempat lain di Nusantara,” kata Savalle.
“Mengenai dukungan politik yang mana dan konteks apa, Sultan Hamid tidak bicara,” kata Rosihan.
Ketika Hamid akan pergi ke tempat persidangan, hatinya berubah. Dia ingin mencabut kembali perintah penyerangan itu. Karena tak tahu di mana Westerling dan Frans Najoan berada, Hamid hanya membicangkannya dengan ajudannya, Van der Heide.
Serangan gagal. Sidang selesai lebih cepat pada pukul 18.35. “Kira-kira hampir jam tujuh, saya bersama Westerling berada di depan Hotel Des Galeries Harmonie, terus menuju Jalan Nusantara, lewat gedung menteri di Pejambon. Waktu saya lewat itu, jam kira-kira sudah pukul tujuh lewat, pekarangan Dewan Menteri RIS sudah sepi dan terus saya katakan pada Westerling bahwa sidang sudah selesai dan dengan demikian penyerbuan tak jadi dilakukan,” kata Frans Najoan dikutip Persadja.
Namun, kepada Hamid, Westerling sesumbar, gagalnya rencana penyerangan itu karena kiriman 500 senjata karabin tidak sampai ke Jakarta. “Alhamdulillah,” kata Hamid. Meski demikian, Hamid tetap ditangkap di Hotel Des Indes pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengkubuwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata.
Tiga tahun kemudian Hamid baru diadili dan pada 8 April 1953 Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun. Dasar pertimbangannya adalah adanya “niat” Hamid menyuruh Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati tiga pejabat pemerintah.
“Peristiwa kejahatan itu tidak terjadi karena Hamid membatalkan niatnya. Seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada perbuatan pidana/kejahatan,” kata Anshari.
Anshari menilai “pertimbangan hakim dalam memutus perkara Hamid jelas bukan berdasar atas hukum, namun atas pertimbangan politik dengan dalih mempertahankan keamanan negara oleh penguasa atau kaum unitaris.”
Ketika bebas pada 1958, Hamid tak berpolitik lagi. Namun, setelah empat tahun mengirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Dia dituduh melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi VOC (Vrijwillige Ondergrondsche Corps) dengan wakilnya bernama Pitoy. Anggotanya kebanyakan dari Indonesia Timur seperti Sahetapy, Johannes, dan Ondang sebagai kepala Brigade Penghancuran (Vernielings Brigade).
Menurut Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI, percaya atau tidak, disebutkan pula sebagai anggota VOC adalah Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, dan lain-lain. Oleh karena itu, mereka semua ditangkap pada 16 Januari 1962.
“Teman-teman saya, Koko (Soedjatmoko) dan Anto (Murdianto) mengatakan adalah absurd dan tidak logis sama sekali seorang nasionalis seperti Sjahrir, sekalipun berbeda pendapat dengan Sukarno dalam berbagai hal, mau berurusan dengan organisasi subversif bersama Sultan Hamid,” kata Rosihan. “Mengherankan Sukarno percaya akan tuduhan-tuduhan demikian terhadap Sjahrir, hingga dia memerintahkan penangkapan.”
Hamid ditahan selama empat tahun tanpa proses pengadilan. Dia baru dibebaskan pada 1966 setelah era Sukarno berakhir. “Tuduhan makar terhadap Hamid kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Sukarno, dan bukan berangkat dari fakta. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958 dia tidak berpolitik sama sekali,” kata Anshari.
Selepas bebas, Hamid terjun ke dunia bisnis sampai akhir hayatnya pada 30 Maret 1978.*