Aksi Brutal Baret Hijau

Pasukan Baret Hijau Belanda memburu panglima Divisi Siliwangi berujung pembantaian tentara dan rakyat sipil di Sumedang.

OLEH:
Hendi Jo
.
Aksi Brutal Baret HijauAksi Brutal Baret Hijau
cover caption
Parade prajurit KST di Batavia, 1948. (gahetna.nl).

SUATU pagi, April 1949. Samyi tengah bekerja sebagai buruh tani di Sampora ketika rentetan tembakan terdengar dari arah Lencang. Kedua tempat itu masuk wilayah Desa Cibubuan, Kecamatan Conggeang, Sumedang tapi jaraknya cukup jauh sekitar 3–4 km. 

Orang-orang kemudan ramai mengabarkan: Lencang diserang tentara Belanda. Sejenak dia terhenyak. Terbayang wajah orang tua dan saudara-saudaranya. Kendati mengkhawatirkan kondisi mereka, Samyi dicegah majikannya untuk meninggalkan Sampora. 

“Tapi karena merasa tak tenang terus, sore harinya saya nekat pulang ke Lencang,” kenang Samyi, berusia 84 tahun, kepada Historia.

SUATU pagi, April 1949. Samyi tengah bekerja sebagai buruh tani di Sampora ketika rentetan tembakan terdengar dari arah Lencang. Kedua tempat itu masuk wilayah Desa Cibubuan, Kecamatan Conggeang, Sumedang tapi jaraknya cukup jauh sekitar 3–4 km. 

Orang-orang kemudan ramai mengabarkan: Lencang diserang tentara Belanda. Sejenak dia terhenyak. Terbayang wajah orang tua dan saudara-saudaranya. Kendati mengkhawatirkan kondisi mereka, Samyi dicegah majikannya untuk meninggalkan Sampora. 

“Tapi karena merasa tak tenang terus, sore harinya saya nekat pulang ke Lencang,” kenang Samyi, berusia 84 tahun, kepada Historia

Sesampai di Lencang, Samyi menemukan suasana mencekam. Dari kawan-kawannya, dia mendapatkan cerita: sejak pagi buta hingga siang, tentara Belanda mengubrak-abrik Lencang. Belasan orang menjadi korban, termasuk Mayor Abdurachman Natakusumah, komandan Batalyon II Tarumanegara Divisi Siliwangi.

Mayor Abdurachman, komandan Batalyon II Tarumanegara Divisi Siliwangi. (Dok. Eddie Soekardi).

Misi Perburuan

Selepas long march (perjalanan dari Jawa Tengah dan Yogyakarta ke basis semula di Jawa Barat) awal 1949, kedudukan Markas Besar Divisi Siliwangi berada di Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Karena wilayah itu wewenang Yon II Tarumanegara di bawah pimpinan Mayor Abdurachman, keamanan Panglima Divisi Siliwangi Letkol Sadikin dan jajarannya menjadi tanggung jawab pasukan itu. 

“Pengawalan dari Yon II dilaksanakan Kompi III yang dikomandani oleh Kapten Edi Soemadipradja,” tulis Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang.

Militer Belanda yang berkedudukan di kota Sumedang sudah mencium keberadaan Letkol Sadikin. Setelah mendapat konfirmasi dari telik sandi, mereka menyusun rencana perburuan. Sebagai eksekutor dipilihlah kesatuan Korps Speciale Troepen (KST) yang diberi nama Kompi Eric (Compagnie Eric). Kesatuan Baret Hijau ini dikenal ganas terhadap para pejuang Indonesia. 

“Saya tidak pernah memelihara tawanan perang, saya memburu mereka memang untuk dibunuh,” ujar Kapten Henk Ulrici, komandan Kompi Eric, dikutip Haagse Post edisi Agustus 1965.

Kompi Eric memulai aksinya awal April 1949. Dalam catatan Letkol J.J. Malta, mereka bersiap di sekitar kaki Gunung Tampomas, tempat terdekat ke Buah Dua. “Dengan berjalan kaki, mereka mengatasi medan berat Gunung Tampomas yang saat itu sering dilanda hujan dan menunggu kesempatan baik untuk melakukan pendadakan,” tulis J.J. Malta dalam De Geschiedenis van 4-3 R.I. in Indonesie (Sejarah Yon 4-3 Resimen Infantri di Indonesia).

Saya tidak pernah memelihara tawanan perang, saya memburu mereka memang untuk dibunuh.

Meski sudah berupaya menjalankan operasi senyap, gerak-gerik Kompi Eric di kaki Gunung Tampomas tak lepas dari pantauan telik sandi Yon II Tarumanegara. Berdasarkan informasi itu, Mayor Abdurachman segera mengevakuasi Letkol Sadikin dan jajarannya ke wilayah Kompi II pimpinan Kapten Komir Kartaman di Sumedang timur. Hari-H evakuasi adalah Senin, 11 April, sedang jam-J 03.00. 

Menurut Oyo Salya Sukatma, sebagai antisipasi, Mayor Abdurachman menugaskan ajudannya, Letnan II Dadang Mirtaatmadja, untuk menyertai rombongan Letkol Sadikin. “Ia memimpin satu seksi pasukan lengkap untuk memperkuat satu seksi pengawal khusus panglima yang dipimpin oleh Letnan II R. Otje Djundjunan,” ujar Oyo Salya Sukatma, penulis buku Sejarah 11 April

Abdurachman tak ikut rombongan karena penyakit malarianya kambuh. Tanpa ajudan dan pasukan pengawal, dia memutuskan beristirahat di Lencang dan berencana menyusul begitu malarianya reda. 

Seiring keberangkatan rombongan panglima Divisi Siliwangi, dari garis belakang Yon II, Kompi Eric diam-diam bergerak menuju Lencang. Tujuan mereka meringkus Mayor Abdurachman dan Kapten Edi Soemadipradja lalu memaksa mereka memberi tahu posisi Letkol Sadikin. 

Kapten J.H.C. Ulrici, komandan Kompi Eric KST. (gahetna.nl).

Terkepung 

Minggu, 10 April 1949. Sepucuk surat dari pos terdepan Yon II di Conggeang (yang bertetangga dengan Buah Dua) diterima Soemawidjaja, kepala desa Cibubuan di Lencang. Isinya pendek saja: harap waspada, sekitar satu kompi Baret Hijau terlihat di sekitar Conggeang. Namun, entah lupa atau “mengecilkan” informasi itu, Soemawidjaja tak menyampaikannya kepada Kapten Edi atau Mayor Abdurachman. 

Keesokan harinya, saat subuh, Cibubuan didera hujan rintik-rintik. Di tengah udara dingin yang membekap tulang sumsum, ratusan prajurit Baret Hijau mengepung Lencang. Mereka merayap pelan atau bergerak cepat tanpa suara. 

Sementara itu, di pinggir kampung, sejumlah bocah tanggung tengah memeriksa jebakan belut yang mereka pasang. Salah satunya bernama Yasin, anak angkat Kapten Edi. Begitu melihat orang-orang berseragam dan mengenakan baret bergerak di kegelapan, sang bocah mengira mereka sebagai rekan-rekan bapak angkatnya. 

“Eh, Jang. Kamu tahu rumah Pak Edi Soemadipradja dan Pak Abdurachman?” tanya salah seorang anggota Baret Hijau bumiputra dalam bahasa Sunda.

“Tahu, Pak,” jawab Yasin dengan wajah sumringah. 

“Kamu beri tahu ya.” 

Yasin mengangguk. Dia membimbing “rombongan teman-teman bapaknya” itu ke arah kampung dan menunjuk satu per satu rumah yang didiami anggota Yon II. 

Begitu situasi medan terkendali, Kapten Ulrici memberikan aba-aba penyerangan. Dari segala arah, berhamburanlah prajurit Kompi Eric sambil menembakkan senjata. Beberapa prajurit Yon II tewas, sebagian lagi bertahan seadanya lalu mundur dari Lencang. 

Setelah beberapa jam, pertarungan tak seimbang itu pun usai. Dalam nada keras, para prajurit Baret Hijau memerintahkan semua laki-laki keluar dan berkumpul di halaman balai desa Cibubuan. Adang, salah seorang warga Lencang, termasuk dalam kumpulan itu. Kepada Oyo Salya, dia mengisahkan situasi mencekam kala itu. 

“Seperti yang lain, saya disuruh berjongkok di pinggir jalan depan balai desa,” ujarnya.

Makam Mayor Abdurachman. (Hendi Jo/Historia.ID).

Eksekusi 

Matahari baru saja terbit dari arah utara saat Adang dan puluhan tawanan lainnya menyaksikan sekumpulan prajurit Kompi Eric menggiring Mayor Abdurachman beserta dua ajudannya: Sersan Sobur dan Kopral Karna. Ketiganya hanya mengenakan pakaian dalam dengan ibu jari terikat seutas tali ke belakang. 

“Pak Mayor berjalan dengan todongan pistol di pelipisnya,” ujar Adang. 

Tepat di depan Adang, Abdurachman diperintahkan berhenti. Sementara Sobur dan Karna disuruh berdiri di pintu masuk balai desa. “Mereka ada dalam posisi membelakangi Pak Mayor,” ujar Adang. 

Abdurachman diberondong berbagai pertanyaan. Seorang Baret Hijau bumiputra secara kasar menanyakan keberadaan Letkol Sadikin. Alih-alih buka suara, Abdurachman diam seribu bahasa. Pertanyaan diulang sekali lagi. Namun, sang mayor tetap bungkam. 

Kapten Ulrici naik pitam. Tanpa banyak bicara, dia membidik kepala Kopral Karna dari arah belakang dengan pistolnya. Dor! Karna terpental ke depan dan tak berkutik lagi. “Mayor, silakan Anda sebut di mana posisi Overste Sadikin?” teriak Kapten Ulrici. 

Hening. Tak ada jawaban. 

Ulrici secara kasar lantas menarik Sersan Sobur ke depan Mayor Abdurachman lalu menembak kepalanya. Darah muncrat dan membasahi halaman balai desa. Seolah kurang puas, seorang anggota Baret Hijau memberondong kedua jasad itu dengan senapan Owen. Ratusan pasang mata terbelalak ngeri menyaksikan pemandangan itu. Sebagian malah memalingkan muka. 

Ulrici dan seorang pengawalnya yang bersenjata Brengun kemudian menggiring Abdurachman ke arah selatan. Sekitar 100 meter, mereka berhenti di depan rumah milik Madkosim. Menurut kesaksian Sahlan, salah seorang warga yang lolos dari pembersihan dan sembunyi di rumahnya, dari sela-sela bilik bambu dia menyaksikan Ulrici menyuruh Abdurachman duduk di tangga pintu masuk. 

“Mayor! Apakah Anda akan memilih diam terus?” teriaknya. 

“Tembak saja saya!” jawab Abdurachman. Pelan namun terdengar tegas. 

Ulrici menempelkan moncong pistol ke dahi Abdurachman. Dor! Peluru menembus batok kepala sekaligus menghabisi nyawa Abdurachman seketika. Pengawal Ulrici lalu memeriksa jasad Abdurachman. Setelah dipastikan tak bernyawa lagi, secara demonstratif dia menembakkan Brengun ke angkasa, seolah tanda kemenangan.

Setelah mengikat kaki dan tangan jasad Abdurachman, Ulrici memanggil seorang pemuda kampung bernama Sabja. Dia memerintahkan Sabja membawa jasad Abdurachman kembali ke balai desa. Sesampai di sana, jasad Abdurachman diletakkan dalam posisi duduk di bawah panji Yon II Tarumanegara yang koyak, sementara darah terus mengucur dari kepalanya, membasahi kaos dalam putih yang dikenakannya. 

“Jasad Pak Mayor lalu difoto-foto oleh salah seorang dari Baret Hijau,” kenang Adang. 

Sekitar pukul 10.00, pasukan Baret Hijau menggiring tawanan, termasuk Kapten Edi dan dua pengawalnya, Sersan Roni dan Prajurit Saleh, ke arah Buah Dua. Saat melintas di Kampung Buganggeureung, tiga prajurit Yon II Tarumanegara itu dieksekusi dan mayat mereka dilempar ke selokan. 

Dalam operasi perburuan itu, selain menewaskan delapan anggota Yon II, Kompi Eric secara brutal membantai empat rakyat sipil. Sebagian dari mereka dieksekusi setelah disiksa dengan tusukan bayonet dan hantaman popor senjata.*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
648c472170751bb87004c381