Alfatihah Terakhir

“Nyawa kalian tinggal lima menit. Silakan berdoa sebisanya!” teriak komandan tentara kepada anggota dan simpatisan PKI yang akan dieksekusi di hutan jati Plumbon.

OLEH:
Rukardi Ahmadi
.
Alfatihah TerakhirAlfatihah Terakhir
cover caption
Doa bersama dalam acara pemasangan nisan di kuburan massal Plumbon, 1 Juni 2015. (Rukardi Ahmadi/Historia.ID).

KAKEK kurus itu bernama Supar. Pada 1965, dia pemuda belia yang bekerja sebagai buruh penebang kayu di kawasan hutan di daerah Mangkang. Beda dari kebanyakan anak muda di kampungnya, Supar tak tertarik dengan organisasi massa atau partai politik yang saat itu aktif mencari anggota. Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja menebang kayu di hutan serta bergaul sepatutnya dengan teman dan para tetangga.

Sebagai blandong (penebang kayu), Supar menyetor kayu tebangannya kepada seorang juragan bernama Kasmidjan. Lantaran kerap bertemu, dia akrab dengan sang juragan yang dikenal sebagai tokoh Gerakan Pemuda Marhaenis, organisasi pemuda yang berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia di daerah Mangkang. Meski demikian, keakraban itu tak membuat Supar menggabungkan diri ke dalam organisasi yang dipimpin Kasmidjan.

Suatu hari, tak lama setelah meletus peristiwa 30 September 1965, Kasmidjan bercerita kepada Supar ihwal pembunuhan anggota PKI di kawasan hutan Sikepyar, Kendal. Supar yang saat itu masih berusia belasan tahun tertarik dengan cerita itu. Tak puas hanya mendengar, dia ingin melihat langsung. Supar lalu memohon kepada sang juragan untuk mengajaknya jika ada eksekusi lagi.

KAKEK kurus itu bernama Supar. Pada 1965, dia pemuda belia yang bekerja sebagai buruh penebang kayu di kawasan hutan di daerah Mangkang. Beda dari kebanyakan anak muda di kampungnya, Supar tak tertarik dengan organisasi massa atau partai politik yang saat itu aktif mencari anggota. Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja menebang kayu di hutan serta bergaul sepatutnya dengan teman dan para tetangga.

Sebagai blandong (penebang kayu), Supar menyetor kayu tebangannya kepada seorang juragan bernama Kasmidjan. Lantaran kerap bertemu, dia akrab dengan sang juragan yang dikenal sebagai tokoh Gerakan Pemuda Marhaenis, organisasi pemuda yang berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia di daerah Mangkang. Meski demikian, keakraban itu tak membuat Supar menggabungkan diri ke dalam organisasi yang dipimpin Kasmidjan.

Suatu hari, tak lama setelah meletus peristiwa 30 September 1965, Kasmidjan bercerita kepada Supar ihwal pembunuhan anggota PKI di kawasan hutan Sikepyar, Kendal. Supar yang saat itu masih berusia belasan tahun tertarik dengan cerita itu. Tak puas hanya mendengar, dia ingin melihat langsung. Supar lalu memohon kepada sang juragan untuk mengajaknya jika ada eksekusi lagi.

“Pak Kasmidjan menyanggupi. Kebetulan dalam waktu dekat akan ada eksekusi lagi di hutan Plumbon. Saya dijanjikan diajak,” kisah Supar saat ditemui Historia di Pos Kamling dekat rumahnya di Kampung Dukuh, Wonosari, Ngaliyan, Kota Semarang, medio Juni 2015.

Pada hari yang dijanjikan, Supar bersiap diri. Selepas Magrib dia menyambangi rumah Kasmidjan di Mangkang Wetan. Dari sana, dia dan sang juragan kayu berjalan kaki menyusuri jalan utama Pantura ke arah hutan Plumbon. Sampai di jalan masuk menuju hutan, keduanya berhenti. Kata Kasmidjan, mereka harus menunggu rombongan kendaraan yang membawa calon korban dari Kendal.

Menjelang tengah malam, rombongan yang mereka tunggu datang. Sebuah jip berjalan di depan, memandu truk boks di belakangnya. Kendaraan jip berpenumpang tiga orang berpakaian militer berbaret merah. Adapun truk boks berisi anggota dan simpatisan PKI yang akan dieksekusi.

“Mobil jip berhenti di tempat kami menunggu, sedangkan truk boks langsung masuk ke dalam hutan. Saya bersama Pak Kasmidjan dan tiga tentara muda yang menumpang jip berjalan kaki menyusul truk itu melewati Kampung Plumbon yang sepi. Ternyata truk berhenti di kandang kerbau, tak jauh dari Makam Mbah Crubo,” ujar Supar.

Supar, saksi mata eksekusi. (Rukardi Ahmadi/Historia.ID).

Begitu rombongan Supar sampai di kandang kerbau, para tawanan di dalam truk diturunkan. Di bawah cahaya bulan, dia bisa melihat jumlah mereka ada 12 orang. Salah satu dari orang-orang malang itu adalah perempuan muda yang mengenakan perhiasan gelang dan kalung emas. Mata mereka ditutup kain hitam, tangan diikat dengan tali saling bergandengan. Supar mengaku tak bisa mengingat tanggal dan bulan kejadian. Yang dia ingat, saat itu musim kemarau. Jalanan kering berdebu, daun-daun jati berguguran. Dari tempat itu mereka berjalan beriringan menuju lokasi eksekusi yang telah disiapkan. Suasana mencekam. Mereka berjalan dalam diam.

Salah seorang tentara sempat bertanya tentang lokasi eksekusi kepada Kasmidjan. Setelah dijawab, semua kembali senyap.

Ketika rombongan tiba di tempat tujuan, cuaca yang semula cerah berubah kelam. Awan hitam menutupi langit. Dalam kegelapan malam, Supar samar-samar melihat tiga lubang berbentuk persegi membentang dari utara ke selatan. Lubang-lubang itu berukuran sekitar 1 x 3 meter, dengan kedalaman kurang lebih 1 meter. Salah seorang tentara yang sepertinya berpangkat lebih tinggi memerintahkan para pesakitan duduk berbanjar di tubir lubang galian.

“Mereka diminta duduk di sisi barat lubang menghadap ke timur. Kaki mereka ngangklung-angklung (ongkang-ongkang, red.) di dalam lubang. Dari tiga lubang yang telah disiapkan, hanya dua yang digunakan, yaitu lubang di sebelah selatan dan tengah. Si tawanan perempuan duduk di ujung selatan lubang yang tengah,” ujar Supar.

Setelah itu sang komandan tentara berteriak lantang memberikan instruksi dalam bahasa Jawa. “Nyawamu garek limang menit. Wis kana, padha ndonga sak isane!” (Nyawa kalian tinggal lima menit. Silakan berdoa sebisanya!) Dengan gemetar, orang-orang itu segera merapal doa. Ada yang membaca Alfatihah dan surat-surat pendek, ada pula yang melafazkan azan. Supar mendengar suara tawanan perempuan merdu melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an.

“Sementara orang-orang itu berdoa, saya, Pak Kasmidjan, dan tiga tentara itu duduk di belakang mereka. Sebagian dari kami duduk sambil merokok.”

Semula eksekusi akan dilakukan pukul 01.00, tetapi karena tiba-tiba gerimis datang, rencana berubah. Tiga tentara berbaret merah itu segera bersiap dan mengambil ancang-ancang. Mereka berdiri di sebelah barat, dalam jarak kurang dari 10 meter di belakang para pesakitan. Tanpa dikomando, tentara-tentara itu memberondongkan senjata otomatis mereka ke tubuh korban. Mereka ditembak saat tengah berdoa di kegelapan malam, di bawah siraman hujan.

“Perasaan saya campur aduk, kaget, takut, sedih, miris, ngeri. Tubuh-tubuh tak berdaya itu jatuh terjerembab ke depan, bertindihan masuk ke dalam lubang.”

Usai menghamburkan peluru, salah seorang tentara menyorongkan senter kepada Supar. Ia meminta Supar menyorotkan peranti penerang itu ke arah lubang. Saat itu Supar bisa melihat dengan jelas kondisi korban. Tubuh-tubuh mereka yang penuh luka, rubuh bertindihan. Satu demi satu korban dicek. Jika ada yang masih hidup langsung ditembak dalam jarak dekat. Darah pun mengalir deras hingga menggenang di lubang galian, bercampur air hujan. Setelah semua dipastikan tewas, komandan tentara meminta Supar mencari tukang uruk di Kampung Plumbon.

“Saya dapat lima orang. Tiga orang yang sedang ronda, dua lainnya hasil ndhodhok lawang rumah warga. Saya tahu mereka orang PKI juga, tapi mereka beruntung tidak ikut ditangkap. Bersenjatakan cangkul mereka menimbun mayat-mayat yang masih hangat itu dengan tanah.”

Hujan berangsur reda ketika proses eksekusi purna. Mereka pun kembali ke jalan raya, tempat jip diparkir. Sementara truk pengangkut korban sudah tak terlihat. Ketiga tentara lalu mengajak Supar dan Kasmidjan menumpang kendaraan mereka. Alih-alih ke arah Kendal, jip justru bergerak ke timur dan berhenti di warung sate Mat Ali di dekat Pasar Mangkang. Rupanya ketiga tentara itu merasa lapar setelah menjalankan operasi rahasia, membinasakan 12 tawanannya. Supar yang baru melihat eksekusi, tak berselera makan. Dia memilih pamit dan bersegera pulang.

“Dua hari saya tidak doyan makan. Setiap ingat para korban, perut saya terasa mual. Saya juga kapok, tidak mau melihat eksekusi lagi,” kata Supar.

Nama-nama korban yang diduga dieksekusi di hutan jati Plumbon. (Rukardi Ahmadi/Historia.ID).

Dugaan Nama Korban

Lantas siapa sebenarnya yang dikubur di hutan jati Plumbon? Di nisan yang dibuat oleh Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk HAM (PMS-HAM) tertulis sejumlah nama yang diduga bermakam di tempat itu, yakni Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, Soerono, dan lain-lain.

Nama-nama itu diperoleh dari beberapa bekas tahanan politik di Kendal yang selamat dari pembunuhan massal 1965. Salah seorang dari mereka adalah Sudirman. Pada medio 1960-an, dia aktif di ormas Pemuda Rakyat di Kendal. Sudirman megetahui ihwal eksekusi di Plumbon dari teman-teman senasibnya saat berada di dalam tahanan.

“Saya diciduk tentara pada bulan November 1965. Waktu di dalam tahanan berembus kabar eksekusi terhadap simpatisan PKI di sejumlah tempat di Kendal, seperti di Sikepyar, Sikucing, Merbuh, dan Plumbon,” kisah Sudirman yang kini berusia 84 tahun.

Dari informasi tersebut, Sudirman mengetahui sejumlah nama orang yang dikubur di hutan jati Plumbon. Nama-nama itulah yang dijadikan rujukan oleh PMS-HAM. Selain carik di Desa Margorejo, kata Sudirman, Joesoef aktif sebagai anggota PKI di Cepiring. Sedangkan Moetiah adalah guru TK Melati yang menjadi anggota Gerwani di Patebon. Soesatjo seorang patih yang merangkap pengurus PKI Kendal. Darsono dan Soekandar anggota Pemuda Rakyat dari Cepiring. Doelkhamid anggota Pemuda Rakyat dari Karangsari dan Soerono anggota PKI dari Kedungsuren. Adapun Sachroni merupakan anggota PKI dari Mangkang.

Sudirman, mantan anggota Pemuda Rakyat di Kendal. (Rukardi Ahmadi/Historia.ID).

Selain yang disebut oleh Sudirman, satu nama korban lagi dikemukakan oleh Djuwahir, mantan aktivis Pemuda Marhaenis dari Mangkang Wetan, yang kebetulan masih berhubungan saudara dengan Kasmidjan. Nama itu adalah Ratip, anggota PKI di Mangkang Kulon. Pada huru-hara 1965, Djuwahir bersama pemuda-pemuda di kampungnya turut dalam operasi penjemputan orang-orang kiri di daerah Mangkang. Lelaki kelahiran 1942 itu mengaku mendapat informasi mengenai korban bernama Ratip langsung dari Kasmidjan.

“Sebelum Gestok, antara Ratip dan Kasmidjan itu sudah saingan. Ratip adalah pentolan PKI di Mangkang Kulon, sedangkan Kasmidjan tokoh Gerakan Pemuda Marhaenis di Mangkang Wetan. Selain itu, mereka sama-sama punya usaha mebel kayu,” papar Djuwahir yang kini tinggal di Kampung Dondong, Wonosari, Ngaliyan, Semarang.

Konflik politik pada 1965 membuat perseteruan mereka meruncing. Pasca peristiwa 30 September 1965, PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa berdarah di Lubang Buaya beroleh tekanan hebat. Kasmidjan, kata Djuwahir, memanfaatkan situasi itu untuk menghantam musuh bebuyutannya, Ratip. Dia memimpin langsung penangkapan Ratip di rumahnya dan membawanya ke tahanan di Kendal. Tak cukup sampai di situ, Kasmidjan juga mengawal Ratip hingga ke tempat eksekusi di hutan jati Plumbon.

“Setelah Ratip dieksekusi, istrinya dinikahi oleh Kasmidjan. Wanita yang tadinya anggota Gerwani itu akhirnya jadi Marhaenis,” ujar Djuwahir.

Penumpasan anggota dan simpatisan PKI di Kendal mengikuti pola umum yang terjadi di Jawa Tengah. Penangkapan, penahanan, dan pembunuhan terhadap mereka terjadi setelah kedatangan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

Pada 19 Oktober 1965 pasukan elit itu unjuk kekuatan dengan parade keliling kota dan menangkap lebih dari seribu anggota dan simpatisan PKI di Semarang. Dua hari kemudian, RPKAD bergerak ke Magelang dan seterusnya ke kota-kota lain yang menjadi basis pendukung Gerakan 30 September, seperti Boyolali dan Solo. Adapun tugas RPKAD di Semarang menjadi tanggung jawab Wakil Komandan Yonif III Mayor Subechi, dengan kekuatan pasukan Ki Urip, Ki Ramelan, dan Ki Dakso (Peter Kasenda dalam Sarwo Edhie dan Tragedi 1965).

Sejauh ini belum diketahui apakah pengamanan wilayah Kendal yang secara administratif masuk wilayah eks Keresidenan Semarang berada di bawah pasukan itu. Namun, penuturan Johanes Sardjono, 85 tahun, anggota Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 membenarkan hal itu. Sardjono pernah mendengar pengakuan dari Soerjo, anggota RPKAD yang pernah melakukan operasi “pembersihan” di wilayah Kendal dan Salatiga.

Djuwahir, mantan aktivis Gerakan Pemuda Marhaenis. (Rukardi Ahmadi/Historia.ID).

Soerjo, ujar Sardjono, mengaku tiba di Semarang bersama pasukan Sarwo Edhie. Dia lalu ditugaskan ke Kendal untuk mengeksekusi orang-orang PKI di daerah Sikucing. Dari sana, Soerjo dan pasukannya kembali ke Semarang lalu bergerak lagi untuk melakukan tugas serupa di daerah Gunungbrintik, Salatiga.

“Pak Soerjo menceritakan pengalamannya dalam acara rekoleksi pendalaman kitab suci di sebuah gereja Katolik di Semarang. Kebetulan, selain jemaat, saya juga bekerja di gereja itu. Pak Soerjo mengaku sangat menyesal. Beliau telah meninggal sekitar setahun lalu,” kata Sardjono.

Ihwal pergerakan RPKAD di Kendal juga dikisahkan oleh Sudirman, mantan aktivis Pemuda Rakyat. Dia mengaku ditangkap oleh tentara berbaret merah di rumahnya pada November 1965. Lelaki yang kini tinggal di Kaliwungu itu dijemput menggunakan mobil tentara dan dibawa ke tangsi polisi (sekarang menjadi kantor Kepolisian Resort Kendal). Dia mendekam di tempat itu tiga bulan sebelum akhirnya ditahan di Penjara Mlaten Semarang selama 10 tahun.

Penumpasan anggota dan simpatisan PKI di Kendal, ujar Sudirman, dilakukan oleh RPKAD bersama anggota ormas antikomunis, terutama Banser NU dan Gerakan Pemuda Marhaenis. Para anggota ormas digerakkan untuk menangkapi orang-orang yang dianggap pendukung Gerakan 30 September. Mereka turun ke desa-desa pada dini hari, lalu membawa hasil tangkapannya ke tempat yang sudah ditentukan, seperti tangsi polisi dan Kantor Kewedanaan Kaliwungu.

Kesaksian Sudirman dibenarkan oleh Djuwahir, mantan aktivis Gerakan Pemuda Marhaenis Mangkang Wetan. Dia dan rekan-rekannya bergerak setelah mendapat instruksi dari lurah melalui ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Djuwahir, lurah dan ketua RT itu aktivis PNI. Malam hari dia diminta kumpul di kantor kelurahan. Dari sana Djuwahir dan teman-teman bergerak menggunakan truk yang telah disediakan. Mereka mengikuti instruksi seseorang bernama Mas’ad yang dikenal dengan julukan Pendekar Mata Satu.

“Tugas kami hanya menangkap orang-orang PKI. Kami tidak ikut mengeksekusi,” pungkas Djuwahir.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6628a572c586f22884d2f24b