Amir Sjarifoeddin dan Partai Kristen

Dikenal sebagai Kristen yang taat. Awalnya tak setuju partai berbasis agama tapi kemudian mendukungnya.

OLEH:
Haris Sihol
.
Amir Sjarifoeddin dan Partai KristenAmir Sjarifoeddin dan Partai Kristen
cover caption
Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin berpidato dalam Sidang Pleno KNIP di Malang, 25 Februari-6 Maret 1947. (IPPHOS/ANRI).

AMIR Sjarifoeddin, yang lebih dikenal sebagai politisi kiri, berperan dalam mendorong partisipasi orang Kristen di dunia politik. Menurutnya, orang Kristen harus terlibat politik, bahu-membahu dengan kalangan Muslim dan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.  

Namun, pada awalnya Amir tak setuju partai politik berbasis agama tertentu, termasuk Kristen. Dia menyerukan partisipasi politik lewat partai-partai nasionalis, yang anggotanya terdiri dari berbagai latar suku dan agama.  

Sikap tersebut muncul dalam tulisannya di Mirabile Lectu, media terbitan almamaternya, sekolah menengah Gymnasium di Harleem, Belanda. Dalam tulisan bertanggal Februari 1928 tersebut, Amir menganggap pembentukan partai berbasis agama sebagai ancaman bagi nasionalisme.

AMIR Sjarifoeddin, yang lebih dikenal sebagai politisi kiri, berperan dalam mendorong partisipasi orang Kristen di dunia politik. Menurutnya, orang Kristen harus terlibat politik, bahu-membahu dengan kalangan Muslim dan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.  

Namun, pada awalnya Amir tak setuju partai politik berbasis agama tertentu, termasuk Kristen. Dia menyerukan partisipasi politik lewat partai-partai nasionalis, yang anggotanya terdiri dari berbagai latar suku dan agama.  

Sikap tersebut muncul dalam tulisannya di Mirabile Lectu, media terbitan almamaternya, sekolah menengah Gymnasium di Harleem, Belanda. Dalam tulisan bertanggal Februari 1928 tersebut, Amir menganggap pembentukan partai berbasis agama sebagai ancaman bagi nasionalisme.

“Dan akhirnya: kita harus memperhitungkan diri kita sendiri sebagai penduduk asli Indonesia. Di sini ada begitu banyak kebangsaan. Dan belum lama ini terbentuk gerakan mempersatukan Islam. Dan kalau orang pribumi Kristen juga punya gagasan untuk mendirikan gerakan persatuan, maka nasionalisme akan tetap terdengar sebagai nada yang tak ada artinya,“ tulis Amir, dikutip A.G. Hoekema dalam Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis.  

Ketika itu Amir memang masih seorang Muslim. Dia pindah keyakinan ketika studi di Sekolah Tinggi Hukum Batavia. Di usia 24 tahun Amir dibaptis di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kernolong. Sejak itu dia giat mengikuti kelompok-kelompok diskusi Kristen. Kendati demikian dia tak tertarik bergabung dengan partai Kristen.  

Pada masa itu terdapat Christenlijk Staatkundige Partij, yang didirikan orang Kristen Belanda dan terbuka bagi Kristen bumiputra. Terdapat pula Perserikatan Kaum Christen dan Partai Kaum Masehi Indonesia yang dibentuk Kristen bumiputra. Namun, partai-partai ini cenderung konservatif dan pro-pemerintah kolonial.  

Kendati tidak anti-partai Kristen, Amir dengan sadar memilih partai-partai bercorak nasionalis dan sosialis. Dia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang pernah dijuluki “barisan depan gerakan nasional”, dan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menghimpun semua kekuatan nasionalis.  

Presiden Sukarno memberikan ucapan selamat kepada Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri, 4 Juli 1947. (IPPHOS/ANRI).

Pergulatan

Dalam perjalanan politiknya, Amir mengalami pergulatan tentang bagaimana mewujudkan partisipasi Kristen di dalam politik. Apakah cukup lewat partai-partai nasionalis seperti yang dia yakini ataukah harus membentuk sebuah partai berbasis agama.  

Zakaria J. Ngelow dalam Kekristenan dan Nasionalisme menyebut Amir akhirnya mendukung partai politik berbasis agama Kristen setelah pengaruhnya di partai nasionalis memudar. “Posisinya dalam Gapi dan Gerindo melorot. Dalam keadaan itulah Amir lebih aktif memikirkan kegiatan politik Kristen,” catat Ngelow.  

Pada akhir September 1941, Amir ditunjuk sebagai penasihat Persatoean Kristen yang didirikan di Jakarta. Dilansir Bataviaasch Nieuwsblad, 1 Oktober 1941, organisasi ini bertujuan meningkatkan solidaritas penduduk Kristen di Hindia Belanda serta bekerja di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan. Pengurus sementara diketuai oleh R. Soedibjo.

Amir juga kian aktif dalam aktivitas gereja. Pada konferensi Nederlandsch Indische Zendingsbond (NIZB) atau Serikat Pekabar Injil Hindia Belanda di Karang Pandan, Solo, pada 21–24 Oktober 1941, dia mengajukan lima pokok pikiran. Salah satunya tentang pentingnya peran Kristen dalam pergerakan nasional.  

“Dalam tujuan politiknya, orang-orang Kristen harus berdiri di samping orang-orang Islam dan para nasionalis lainnya. Mereka harus hidup dari visi dan ideologinya sendiri. Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh berdiam diri, kita harus menuntut tempat kita yang sah. Bagaimana ideologi kita ini dirumuskan? Bagaimana tempat kita itu ditentukan? Di mana letak kekhasan visi Kristen?” demikian pandangan Amir, dikutip Ngelow.  

Ketika dalam kesempatan tersebut mengemuka suatu pilihan apakah orang Kristen sebaiknya membentuk partai Kristen atau berusaha memberi pengaruh dalam pergerakan nasional, Amir mengatakan belum punya jawaban. Namun, dia bersedia membantu jika dibutuhkan.  

Pada akhirnya jawaban itu muncul juga. Dalam tulisannya di majalah Semangat Baroe, 8 November 1941, Amir menyatakan siap mendukung jika ada orang mendirikan sebuah partai Kristen.  

“Apakah saya sebagai Kristen harus membentuk partai Kristen sendiri, ataukah kewajiban saya untuk membawa dasar-dasar agama saya kepada partai-partai yang telah ada, sehingga partai-partai ini dapat dipengaruhi oleh tujuan agama saya itu? Tetapi jika golongan saya (yaitu kaum Kristen) bermaksud hendak mendirikan partai politik sendiri, maka saya akan berdiri di belakang mereka,“ kata Amir, dikutip Hoekema.  

Amir Sjarifoeddin membaca buku di kereta api yang membawanya ke Yogyakarta setelah tertangkap karena terlibat peristiwa Madiun, 1948. (IPPHOS).

Tulisan Amir mendapat kritik tajam dari beberapa tokoh Islam. Mereka menganggap Amir menjadi sektarian dan pandangannya tentang nasionalisme telah bergeser. Pemimpin redaksi Semangat Baru sampai-sampai harus membuat sebuah tulisan khusus pada edisi berikutnya untuk membela pandangan Amir. Inti tulisan tersebut adalah memberi jaminan bahwa Amir tetap berjuang untuk seluruh Indonesia, bukan hanya untuk kaum Kristen.  

Pendapat itu dibuktikan kemudian. Menjelang invasi Jepang, Amir terlibat dalam Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf), sebuah gerakan bawah tanah anti-Jepang. Geraf dibentuk atas sokongan Charles van der Plass, mantan gubernur Jawa Timur, sebagai cara melawan Jepang. Amir memilih kerjasama ini ketimbang dibuang ke Digul ketika ditangkap akibat aktivitasnya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) ilegal.

Sekalipun sibuk menyusun jaringan bawah tanah, Amir tetap menjalin hubungan dengan pemuka-pemuka Kristen. Ketika Mr. Rufinus Lumban Tobing diperintahkan Jepang untuk membentuk organisasi Kristen, Amir menjadi perantara untuk meyakinkan pemuka-pemuka Kristen di Jakarta. Pada September 1942, terbentuklah Gerakan Persatoean Kaoem Kristen (GPKK), yang kemudian menjadi Badan Persiapan Persatoean Kaoem Kristen (BPPKK). Amir ditunjuk sebagai ketua dan Lumban Tobing wakil ketua.  

Dalam suatu pertemuan di Balai Pertemuan di Kramat 65 Jakarta, Amir selaku ketua BPPKK mengimbau “supaya kaum Kristen bersatu batin dan lahir dan berdiri dalam masyarakat dan janganlah tinggal di luar masyarakat sebagai peninjau.”

Namun, Amir tak sempat mengembangkan BPPKK. Dia ditangkap karena aktivitasnya dalam gerakan bawah tanah anti-Jepang. Dia divonis hukuman mati tapi diganti dengan hukuman seumur hidup. Dia dibebaskan setelah Indonesia merdeka.

Amir Sjarifoeddin (berkemeja putih) digiring tentara ketika tertangkap di daerah Babalan, Kudus, 1948. (Repro Madiun 1948: PKI Bergerak).

Jalan Kiri

Kemerdekaan Indonesia membuka ruang bagi pembentukan partai-partai politik. Para tokoh Kristen meresponsnya dengan mendirikan Partai Kristen Nasional, yang kemudian diubah menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Kendati mendukung pendirian partai Kristen, Amir tak pernah menjadi anggotanya. Dia menghormati mereka yang berjuang lewat partai tersebut. Namun, dia sendiri memilih mendirikan partai.

Pada 12 November 1945, Amir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi), yang kemudian berfusi dengan Partai Rakyat Sosialis (Paras) bentukan Sutan Sjahrir dengan nama Partai Sosialis. Ketika Sjahrir keluar dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI), Amir menggabungkan diri dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR inilah yang melakukan pemberontakan di Madiun.  

Selama masa itu, Amir menduduki jabatan-jabatan penting pemerintahan: menteri penerangan, menteri pertahanan, dan perdana menteri. Dia juga tetap menjadi tokoh terkemuka di lingkungan gereja. Bahkan, Het Rotterdamsch Parool, 23 Juni 1948, melaporkan kemungkinan Amir terpilih sebagai salah satu delegasi, mewakili HKBP, pada sidang Dewan Gereja Dunia di Amsterdam, Belanda, 22 Agustus 1948.

Mengapa Amir tak terpilih tidak jelas. Namun, pada Agustus 1948, Amir secara mengejutkan mengaku telah menjadi komunis sejak 1935 sebagai anggota PKI ilegal. Gerindo yang dipimpinnya hanya sebuah payung untuk cita-cita komunisnya. Dicatat Brian Stanley dalam Christianity in the Twentieth Century: a World History, ketika rekan-rekannya di Dewan Gereja memanggilnya untuk menjelaskan pengakuannya sebagai komunis, Amir memberi tahu mereka bahwa dia adalah seorang Kristen sejati yang mencintai kebenaran, dan ada kebenaran dalam komunisme.  

Setelah pengakuan itu, Amir terlibat dalam pemberontakan Madiun yang gagal. Pada 19 Desember 1948, dengan tangan memegang Alkitab, Amir dieksekusi mati.  

Bagaimana menempatkan sosok Amir dalam sejarah; apakah seorang nasionalis, Kristen, atau komunis? Dalam Laporan dari Banaran, Tahi Bonar Simatupang, tokoh militer yang mengenalnya dari dekat, pun mempertanyakannya.

“Apakah barangkali dia belum menemukan synthese di antara ketiga unsur tadi, yakni nasionalisme, ke-Kristenan dan komunisme dalam hatinya sendiri, sehingga keluar dia kadang-kadang menimbulkan kesan kurang-tenteram dan kurang-stabil? Apakah pertanyaan-pertanyaan ini akan pernah dapat terjawab?” tanya Simatupang, yang menyerahkannya kepada para penulis sejarah kelak.  

Bagi Simatupang sendiri, Amir adalah seorang manusia yang baik dan ramah, pemikir cepat dan kadang brilian, orator ulung, pejuang dan pekerja yang tabah dan tak memikirkan kepentingan diri sendiri.*

Penulis menulis sejak 2010, baik di media cetak maupun online, dalam beragam topik.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
663b1984ce75394c7529c147