Anak Kolong dari Cilegon

Bing Slamet sejatinya tak punya darah seni dari orangtuanya. Ayahnya seorang komandan polisi lapangan pada masa kolonial Belanda. Bakat seninya karunia Tuhan.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Anak Kolong dari CilegonAnak Kolong dari Cilegon
cover caption
Bing Slamet (berdiri di depan, kedua dari kanan) ketika berumur empat tahun bersama orangtua dan saudara-saudaranya di Cilegon, 1931. (Istimewa).

GADIS itu cantik dan pintar. Mukanya bulat telur dengan mulut mungil. Warna kulitnya kuning langsat. Dia sempat mengecap bangku Holland Indische School (HIS) di Cilegon, Banten. Maka banyak jejaka kampung terpikat dengan Hadijah, nama gadis itu. Mereka berkasad memperistri Hadijah. Tapi tak mudah meluluhkan hati Hadijah. Apalagi ayahnya memasang syarat berat: calon menantu harus lebih berpangkat darinya.

Pangkat ayah Hadijah cukup mentereng untuk tingkat kampung. Dia seorang komandan veldpolitie (polisi lapangan). Kesatuan ini dibentuk selama periode 1911–1922 di wilayah pedalaman, termasuk Cilegon, oleh pemerintah Hindia Belanda. “Mereka terlatih secara profesional, dapat bergerak cepat, dan dipusatkan di tangsi-tangsi kepolisian,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda.

Walhasil, banyak jejaka memilih mundur. Tapi tak begitu dengan Raden Entik Ahmad. Juru tulis polisi ini gigih bertahan. Apalagi dia beroleh tanda Hadijah menyukainya. Ujian terakhirnya tinggal menaklukkan hati ayah Hadijah. Entik memperjuangkan cintanya selama setahun. Hadijah pun sabar menunggu restu sang ayah.

GADIS itu cantik dan pintar. Mukanya bulat telur dengan mulut mungil. Warna kulitnya kuning langsat. Dia sempat mengecap bangku Holland Indische School (HIS) di Cilegon, Banten. Maka banyak jejaka kampung terpikat dengan Hadijah, nama gadis itu. Mereka berkasad memperistri Hadijah. Tapi tak mudah meluluhkan hati Hadijah. Apalagi ayahnya memasang syarat berat: calon menantu harus lebih berpangkat darinya.

Pangkat ayah Hadijah cukup mentereng untuk tingkat kampung. Dia seorang komandan veldpolitie (polisi lapangan). Kesatuan ini dibentuk selama periode 1911–1922 di wilayah pedalaman, termasuk Cilegon, oleh pemerintah Hindia Belanda. “Mereka terlatih secara profesional, dapat bergerak cepat, dan dipusatkan di tangsi-tangsi kepolisian,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda.

Walhasil, banyak jejaka memilih mundur. Tapi tak begitu dengan Raden Entik Ahmad. Juru tulis polisi ini gigih bertahan. Apalagi dia beroleh tanda Hadijah menyukainya. Ujian terakhirnya tinggal menaklukkan hati ayah Hadijah. Entik memperjuangkan cintanya selama setahun. Hadijah pun sabar menunggu restu sang ayah.

Pada 1926, ayah Hadijah akhirnya takluk. Dia memberi mereka restu untuk menikah. Kebahagiaan meruap.

Setelah menikah, Hadijah beroleh mimpi. Dalam mimpinya, Hadijah bertemu dua anak celeng yang gemuk dan lucu. Karena tertarik, dia mengambil seekor. Sejak itu muncul tanda-tanda kehamilan. Mengetahui Hadijah hamil, Entik girang. Rasa sayangnya pada Hadijah bertambah.

Selama mengandung, Hadijah tak pernah mengidam yang aneh-aneh seperti lazimnya perempuan hamil untuk kali pertama. 

“Saya sehat sekali waktu mengandung Bing Slamet. Tanpa muntah dan selalu gembira,” kata Hadijah kepada Kartini, No. 17 tahun 1975. Hari demi hari, pasangan muda itu tak sabar menunggu kelahiran si bayi.

Hari itu akhirnya tiba. Suatu malam, Hadijah merasa mual dan sakit. Entik sigap. Ini tanda-tanda kelahiran. Dia lekas memanggil dukun beranak. Paginya, 27 September 1927, bayi yang mereka tunggu itu lahir. Bayi laki-laki dengan berat 2,5 kilogram. Lengking bayi mungil itu segera menghilangkan sakit Hadijah. Hadijah menimangnya, bergantian dengan suaminya.

Hadijah masa tua. (Repro Kartini, 30 Juni 1975).

Anak Kolong

Raden Slamet nama bayi itu. Panggilan kesayangannya Memet. Dia besar di tangsi polisi Cilegon. Bangunan ini punya sejarah berdarah. Di tempat ini, rakyat Cilegon pernah membunuh beberapa pejabat Belanda. Peristiwa ini disebut Geger Cilegon, puncak ketakpuasan rakyat terhadap kondisi ekonomi.

Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 menggambarkan, kala itu beberapa tempat di Cilegon menjadi ladang pertumpahan darah. “Semangat sudah berkobar, emosi sudah meluap, maka kekerasan tak dapat dihindari. Dalam saat-saat berikutnya Cilegon menjadi gelanggang pertumpahan darah, korban berjatuhan. Semua pejabat Belanda dan pribumi menjadi target, perempuan dan anak-anak Belanda menjadi korban, sedangkan wanita priayi diberi kesempatan melarikan diri.” Mendung pun menyelimuti tangsi itu.

Puluhan tahun setelahnya, sejarah kekerasan di tangsi ini berganti kisah gembira. Memet yang menghadirkannya. Anak ini tumbuh gemuk, tapi tak rewel. Penghuni tangsi amat memanjakannya. “Dicanda sedikit saja sudah tertawa. Setiap hari anak buah embahnya menggendong ke sana ke mari. Setiap orang ingin mencubit pipinya yang bagaikan buah tomat segar,” tulis Kartini.

Ini karunia Tuhan sehingga anak kami diberi bakat pandai menyenangkan hati orang lain.

Memet kecil gemar berlarian. Soal kecepatan, dia juaranya. Anak seusianya tak mampu menandingi. Karena itu, teman-teman mengandalkannya dalam sepakbola. Saat bermain, tawa tak pernah lepas dari Memet. Suaranya khas: berderai-derai dan terdengar dari jauh sehingga orang mudah mengenali.

Kepada teman-temannya, dia sering bercerita tentang ari-arinya yang dipendam di bawah jendela asrama polisi. Maka dia sering dipanggil “anak kolong”, sebutan sohornya.

Memet punya dua adik. Satu laki-laki, satu perempuan. Masing-masing bernama R. Sudrajat –biasa dipanggil Iyat– dan R. Empi Kurnia –biasa dipanggil Emi. “Dengan adiknya dia sayang sekali,” kata Hadijah. Emi punya kemiripan sikap dengan Memet: senang bergurau sehingga selalu membawa suasana riang. Sedangkan Iyat lebih pendiam.

Bing Slamet (kanan) ketika berusia tujuh tahun bersama adik-adiknya di Serang, Banten. (Repro Kartini, 30 Juni 1975).

Berpisah dan Melanglang

Mendung datang lagi di tangsi. Entik mulai tertarik perempuan lain. Tak mau dimadu, Hadijah minta diceraikan. “Daripada hidup berkering hati, lebih baik hidup sendiri tapi hatinya tak sakit,” kata Hadijah. Entik setuju, tapi meminta hak asuh anak-anaknya. Mendengar permintaan itu, Hadijah menangis dan berkata, “Tanpa anak aku bisa gila.”

Mereka lantas berembuk dan bersepakat: anak perempuan tinggal bersama ibunya, sedangkan anak laki-laki ikut ayahnya. Memet pun harus berpisah dengan ibu dan adik perempuannya.

Ditinggal suami dan anak lelakinya, Hadijah menghidupi diri dengan bekerja sebagai pembantu bidan Hadiah dan dokter Nyo. Sepulang kerja, dia berjualan pisang goreng dan aneka makanan bersama pembantunya. Dia tak lama melakoni ini, sebab lelaki lain, Muhamad Nawawi, segera menikahinya.

Meski sedih karena berpisah dengan ibu dan adik perempuannya, Memet tetap bersekolah. Menginjak kelas II HIS, Memet hijrah ke Serang. Memet ikut sepupu ayahnya, Kanjeng Hilman. Kala itu ayahnya sudah menikahi perempuan lain.

Tapi Bing tak kekurangan kasih sayang. “Baik ayah maupun ibu tirinya sama-sama menyayangi Bing,” tulis Kartini. Sesekali keluarga besar itu berkumpul. Di sekolah, Memet juga disayang. Beberap guru menyadari bakat seni Memet.

Menginjak usia remaja, Memet mulai merantau. Ini karena dia bergabung dengan Orkes Terang Bulan yang dipimpin Husin Kasimun pada 1939. “Papa perantau. Dari remaja sudah pindah-pindah,” kata Lukmansyah, putra tertua Bing Slamet, kepada Historia.

Hadijah heran. Dia tak tahu Memet punya bakat seni dan kelak menjadi seniman besar; menghibur banyak orang. Padahal, dia sendiri dan Entik tak punya darah seni. Entik, waktu masih muda, paling banter hanya bisa bermain violin. Sebatas itu. Dia tak pernah menekuninya. Maka Hadijah sangat bersyukur.

“Ini karunia Tuhan sehingga anak kami diberi bakat pandai menyenangkan hati orang lain,” kata Hadijah.*

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65766bdfdfea6f848dfcd09a