Anak Nakal Menjelma Ulama

Begitu dilahirkan, ayahnya sudah berharap Hamka jadi ulama. Kerap bikin orang sekampung geger.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Anak Nakal Menjelma UlamaAnak Nakal Menjelma Ulama
cover caption
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. (Jose Hendra/Historia.ID).

MALAM Senin, 16 Februari 1908. Haji Rasul yang sedang berbaring di bangku terbangun mendengar tangisan bayi dari rahim istri keduanya, Siti Shafiah. Dia sumringah sambil berkata, “sepuluh tahun!”

Haji Rasul berencana mengirim anak lelaki yang dinamainya Abdul Malik itu belajar ke Makkah di usia dan selama sepuluh tahun, supaya menjadi ulama seperti dirinya. Rencana tinggalah rencana. Hingga umur sepuluh tahun, Hamka belum dikirim ke Makkah. Justru dia sering ditinggal ayahnya untuk mengajar agama. Pada usia empat tahun, Hamka ditinggal dengan kakek-neneknya karena ayah, ibu, dan kakaknya, pergi ke Padang. Ayahnya hendak mengajar dan mengisi perkara agama dalam majalah Al Munir yang didirikan Abdullah Ahmad pada 1919.

Setelah dua tahun di Padang, ayahnya memenuhi permintaan mengajar agama di Padang Panjang. Sebelum ke sana, dia mampir menengok Hamka ke Maninjau. Namun, Hamka lebih dekat dengan kakeknya daripada ayahnya. Kakeknya memberinya kebebasan dan kegembiraan. Kakeknya suka mengisahkan aneka cerita rakyat, seperti Cindua Mato, Murai Randin, Tupai Janjang, Malim Deman, dan lain-lain; mengajarkan pencak silat, randai (seni pertunjukan atau teater tradisional), menari, menyanyi, dan berpantun. 

MALAM Senin, 16 Februari 1908. Haji Rasul yang sedang berbaring di bangku terbangun mendengar tangisan bayi dari rahim istri keduanya, Siti Shafiah. Dia sumringah sambil berkata, “sepuluh tahun!”

Haji Rasul berencana mengirim anak lelaki yang dinamainya Abdul Malik itu belajar ke Makkah di usia dan selama sepuluh tahun, supaya menjadi ulama seperti dirinya. Rencana tinggalah rencana. Hingga umur sepuluh tahun, Hamka belum dikirim ke Makkah. Justru dia sering ditinggal ayahnya untuk mengajar agama. Pada usia empat tahun, Hamka ditinggal dengan kakek-neneknya karena ayah, ibu, dan kakaknya, pergi ke Padang. Ayahnya hendak mengajar dan mengisi perkara agama dalam majalah Al Munir yang didirikan Abdullah Ahmad pada 1919.

Setelah dua tahun di Padang, ayahnya memenuhi permintaan mengajar agama di Padang Panjang. Sebelum ke sana, dia mampir menengok Hamka ke Maninjau. Namun, Hamka lebih dekat dengan kakeknya daripada ayahnya. Kakeknya memberinya kebebasan dan kegembiraan. Kakeknya suka mengisahkan aneka cerita rakyat, seperti Cindua Mato, Murai Randin, Tupai Janjang, Malim Deman, dan lain-lain; mengajarkan pencak silat, randai (seni pertunjukan atau teater tradisional), menari, menyanyi, dan berpantun. 

“Perasaan kepada ayah lebih banyak bercampur takut, daripada sayang,” kata Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid I.

Ayahnya tak sungkan menggunakan tongkat untuk menghukum Hamka kalau dia nakal. Hamka sendiri mengakui bahwa dirinya “nakalnya bukan buatan, membuat pusing orang kampung.”

Hanif Rasyid, 74 tahun, menceritakan kenakalan Hamka. “Dulu Malik punya ketapel. Tak hanya lihai membidik burung, dengan ketapel itu dia suka menembak orang. Kalau kena, dia ketawa-ketawa. Kalau ketahuan, dia lari terbirit-birit,” kata Hanif kepada Historia.

Malik juga suka berkelahi dan mengadu kawannya supaya berkelahi. “Malik orangnya tak mau kalah. Kalau idenya tak diikuti teman-temannya, diganggunya terus kawan-kawannya itu,” ujar Hanif seraya terkekeh.

Ulah Hamka yang membuat ayahnya berang adalah ketika dia meniru seorang mantri cacar. Kakeknya membuatkannya kacamata dari daun pandan. Dia mengumpulkan sekira sepuluh anak. Pangkal lengan kawan-kawannya itu dicacar dengan ditoreh duri jeruk limau. “Ada yang menangis kepedihan. Ada juga yang berdarah,” kenang Hamka dalam otobiografinya.

Ayahnya tahu dan hendak memukulnya dengan tongkat. Untung ada dua orang yang melerainya. Hamka meraung-raung mohon ampun. Ibunya menasihati, “itulah, jangan nakal! Mujur ada yang memisahkan tadi, kalau tidak tentu hancur badanmu dipukul ayahmu.”

“Tidak ada waktu untuk menghafal. Main-main yang perlu,” kata Hamka.
Hamka kecil tahun 1918. (Dok. Keluarga Buya Hamka).

Hamka diboyong ayahnya ke Padang Panjang. Usianya telah tujuh tahun, ayahnya pun menyuruh dia belajar salat dan mengaji Al-Qur’an. Dia mengaji kepada kakaknya, Fatimah. Namun, dia baru serius mengaji kalau sama seorang gadis bernama Khamsinah. Khamsinah membuatnya lupa main ke bioskop di Pasar Usang, Padang Panjang.

Ketika sekolah desa dan diniyah, anak-anak perempuan suka mengatai “Si Malik nakal”, “Si Malik jahat!” Begitu pula ketika belajar di Thawalib, dia tak sungguh-sungguh. “Pagi ke sekolah Diniyah. Tengah hari pulang, makan, sembahyang. Petangnya ke Thawalib! Tidak ada waktu untuk menghafal. Main-main yang perlu,” kata Hamka mengakui sendiri kelakuannya.

Ayahnya acap kali membandingkan anak nakalnya itu dengan dirinya bahwa dia semasa di Makkah, masih kecil sudah alim. “Mengapa engkau belum alim?” tanya ayahnya. Hati kecil Hamka malah balik bertanya: “Apakah ayahnya itu dahulu tidak pernah bermain? Padahal orang tua-orang tua kerap kali mengatakan kepadanya, ayahnya itu seperti dia pula, malahan lebih dari dia.”

Melihat kenakalan Hamka, ayahnya khawatir cita-citanya menjadikan Hamka ulama tidak tercapai. Untuk itu, dia mengirim Hamka belajar ke Thawalib di Parabek, Bukittinggi. Hamka justru mendapatkan “kebebasan dari tilikan ayahnya yang keras.” Dia lebih suka bertualang menjelajahi kampung demi kampung. Dia pulang kampung setelah beberapa bulan mengaji, kata Hamka, “lebih tepatnya menganji, mengacau daripada mengaji.”

Ayahnya seakan menyerah dan tak bisa memaksa Hamka lagi untuk belajar agama. Sampai-sampai dia berkata, “Nanti akan engkau ketahui juga, sampai ke Mesir pun engkau cari, jaranglah akan bertemu orang yang seperti ayahmu. Kalau masih hendak belajar agama, belajarlah di sini, di Padang Panjang. Supaya turun segenap ilmuku kepadamu. Kitab yang banyak ini siapa yang akan menyambutnya dan membacanya, kalau bukan engkau?”

Hamka punya cara sendiri mewujudkan cita-cita abuyanya untuk menjadi ulama. Di usia 19 tahun dia pergi ke Makkah. Sekembalinya dari Makkah, Hamka berkata kepada ayahnya: “Kata anduang (nenek, red.), tatkala aku dilahirkan, buya berjanji akan mengirimku belajar di sana (Makkah, red.) sepuluh tahun. Sayang tidak sepuluh tahun. Hanya setahun pergi pulang.”

Pada waktu salat Jumat, ayahnya menyuruh Hamka menjadi khatib. Ayahnya melihatnya dengan bangga. Begitu pula dengan orang-orang kampung, sehingga ada yang berkata: “Syukurlah! Jika beliau mati, sudah ada anaknya yang akan menggantikan.”*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65cf40ad5c9ede59a9950fcc