Anak Papua dalam Ekspedisi Rusia

Melalui sejumlah ekspedisi, seorang ilmuwan Rusia mematahkan pandangan rasis. Ada andil Anak Papua.

OLEH:
Ram Aimeri
.
Anak Papua dalam Ekspedisi RusiaAnak Papua dalam Ekspedisi Rusia
cover caption
Maclay dan Ahmad bersiap masuk hutan, 1874. (E. M. Webster, The Moon Man: A Biography of Nikolai Miklouho-Maclay).

SEORANG ilmuwan Rusia ikut memerangi perbudakan di Hindia Belanda. Ia juga menentang pandangan rasis mengenai superioritas kulit putih. Bahkan, untuk membuktikan kesetaraan manusia, ia melakukan ekspedisi untuk meneliti masyarakat adat yang terisolir dari dunia luar, termasuk ke kepulauan Nusantara. Dan salah satu pendampingnya adalah bocah asal Papua.

Ilmuwan itu adalah Nikolai Miklouho-Maclay –kadang ditulis Mikloucho, Mikluho, Mikluha, dan sebagainya. Dia dikenal sebagai peneliti, penjelajah, antropolog, etnolog, dan biolog. 

Maclay bertemu dengan bocah Papua itu ketika mengunjungi Tidore. Dia menjadi tamu sultan dan dihadiahi seorang budak Papua yang diberi nama Islam: Ahmad (kadang ditulis Ahmed atau Achmat).

SEORANG ilmuwan Rusia ikut memerangi perbudakan di Hindia Belanda. Ia juga menentang pandangan rasis mengenai superioritas kulit putih. Bahkan, untuk membuktikan kesetaraan manusia, ia melakukan ekspedisi untuk meneliti masyarakat adat yang terisolir dari dunia luar, termasuk ke kepulauan Nusantara. Dan salah satu pendampingnya adalah bocah asal Papua.

Ilmuwan itu adalah Nikolai Miklouho-Maclay –kadang ditulis Mikloucho, Mikluho, Mikluha, dan sebagainya. Dia dikenal sebagai peneliti, penjelajah, antropolog, etnolog, dan biolog. 

Maclay bertemu dengan bocah Papua itu ketika mengunjungi Tidore. Dia menjadi tamu sultan dan dihadiahi seorang budak Papua yang diberi nama Islam: Ahmad (kadang ditulis Ahmed atau Achmat).

“Ketika sultan menyerahkannya, Ahmad budak laki-laki itu berumur sebelas atau dua belas tahun dan terlalu kecil untuk anak seusianya,” tulis E.M. Webster dalam The Moon Man: A Biography Of Nikolai Miklouho-Maclay.

Maclay tak menganggap Ahmad sebagai pelayan biasa. Dia mengajari bahasa Rusia dan tugas-tugas yang harus dijalaninya. “Walaupun dia mempunyai kecenderungan kecil untuk patuh, dia berguna bagiku karena dia cerdas dan efisien,” catat Maclay di buku hariannya, seperti terangkum dalam Sobranie sochinenii v shesti tomakh, koleksi karya dalam enam jilid yang terbit 1990-1999.

Berkat Ahmad, Maclay terbantu untuk berkomunikasi dengan penduduk Papua ketika berkunjung ke sana. Bersama Ahmad, Maclay melakukan berbagai ekspedisi ilmiah di banyak tempat yang menghasilkan banyak hal penting dalam ilmu pengetahuan.

Macley dan Haeckel sebelum ekspedisi ke Kepulauan Canary, 1866.(ncbi.nlm.nih.gov).

Dari Spons ke Manusia

Nikolai Miklouho-Maclay lahir di Novgorod, Rusia, pada 17 Juli 1846. Sempat kuliah di Rusia, dia belajar kedokteran dan zoologi di Universitas Jena, Jerman. Mata kuliah yang disukainya adalah anatomi komparatif, studi perbandingan struktur tubuh berbagai spesies hewan. Salah satu pembimbingnya adalah Ernst Haeckel (1834-1919), seorang ahli biologi ternama dari Jerman.

Sebagai pengikut Darwin, Haeckel dikenal karena merancang “pohon keluarga” untuk mengklasifikasikan ras manusia. Di bagian terbawah lebih dekat dengan nenek moyang hipotetis pra-manusia (seperti orang-orang Papua) dan teratas “orang Eropa yang beradab”. Kelak Macley, muridnya, mematahkan pandangan yang sekarang dianggap rasis itu.

Di kampus, Maclay jadi asisten Haeckel dan ikut ekspedisi ilmiah untuk mempelajari spons dan otak ikan bertulang rawan di Kepulauan Canary. Setelah itu, alih-alih kembali bersama Haeckel, dia melanjutkan ekspedisi ke Maroko dan Afrika Utara.

Dalam kata pengantar Mikloucho-Maclay: New Guinea Diaries 1871-1883, C.L. Sentinella menyebut dedikasi Maclay bukan hanya spesialisasi sempit dalam katalogisasi dan klasifikasi spons namun lebih luas lagi. Maclay ingin menunjukkan perubahan bentuk organisme merupakan akibat dari pengaruh alam. 

Pada 1868, Maclay lulus kuliah. Sebelum kembali ke Rusia, dia melakukan perjalanan ke Sisilia dan Laut Merah untuk melakukan penelitian zoologi. Namun, dalam laporannya kepada Masyarakat Geografi Rusia, sebuah perkumpulan yang berbasis di Saint Petersburg, dia lebih banyak bicara tentang populasi manusia, lingkungan geografis, serta kondisi kehidupan orang-orang Arab, kota dan budaya mereka. 

“Dia berbicara tentang pengaruh lingkungan eksternal tidak hanya pada organisme tingkat rendah tetapi juga pada manusia, dan jelas bahwa minatnya kian mengarah pada antropologi dan etnologi,” catat Sentinella. 

Kembali ke Rusia, Maclay sudah memiliki reputasi yang baik di dunia ilmiah. Dia bisa saja mendapatkan karier akademis yang mapan, namun dia lebih tertarik untuk meneliti suku-suku primitif di Papua Nugini. Dia ingin membuktikan bahwa tak ada perbedaan di antara umat manusia.

Dengan sokongan dana dari Masyarakat Geografi Rusia, yang mensyaratkan inventarisasi fauna tingkat rendah di Pasifik Barat dan mempelajari di lingkungan alaminya, Maclay memulai ekspedisinya. 

Pada November 1870, dia berlayar menumpang kapal Vityaz milik Angkatan Laut Rusia. Maclay tak sendirian. Ditemani seorang pelaut Swedia bernama Olsson (Ohlsen) dan pelayan muda bernama Boy. Setahun kemudian, dia tiba dan diturunkan di Teluk Astrolabe di pantai timur laut Papua Nugini, yang kemudian dinamai Maclay Coast

Ahmad, bocah Papua berusia sekitar 12 tahun. (Sobranie sochinenii v shesti tomakh).

Pertemuan dengan Ahmad

Maclay tinggal di sebuah gubuk di tepi pantai selama lebih dari setahun. Perlahan tapi pasti dia berhubungan baik dengan penduduk setempat. Mempelajari kehidupan mereka, adat-istiadat, serta membuat banyak deskripsi gambar orang, flora, dan fauna. 

Ekspedisi ini benar-benar jadi ujian baginya. Maclay kehilangan Boy, yang meninggal dunia karena sakit. Kesehatannya juga memburuk. Rumor kematiannya beredar di Rusia. Atas permintaan Masyarakat Geografi Rusia, pemerintah mengirimkan kapal layar (clipper) Izumrud untuk mencarinya. 

Maclay masih hidup tapi tak mau diajak pergi. Dia ingin menyelesaikan penelitian antropologi dan etnologinya. Komandan kapal mengabarkan bahwa pemerintah Belanda akan mengirimkan kapal Angkatan Laut untuk melakukan penelitian ilmiah di Papua Nugini. Informasi ini menarik minat Maclay. Maka, dia meninggalkan Papua Nugini sementara waktu sampai kesehatannya pulih.

Pada 1873, Maclay naik Izumrud menuju Kepulauan Maluku dan berlabuh di lepas pantai Ternate selama beberapa hari. Dia sempatkan mengirim telegram ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon berisi harapannya bisa ikut ekspedisi.

Di Tidore, Maclay menjadi tamu sultan dan mendapat hadiah budak Papua bernama Ahmad untuk mengisi posisi pelayan yang memang dibutuhkannya. Dalam “Anthropologische Bemerkungen ueber die Papuas der Maclay-Küste in Neu-Guinea”, yang diterbitkan Natuurkundig Tijdschift voor Nederlandsch Indie 33 tahun 1873, Maclay menyebut Ahmad berasal dari Amberbaken dan mendampinginya sejak Februari 1873. Tak ada rincian lainnya.

Amberbaken, sebuah wilayah pesisir di Papua Barat Daya, merupakan salah satu pusat perdagangan. Karenanya Amberbaken diperebutkan Ternate/Tidore dan Biak/Numfor untuk mengendalikan perdagangan. “Wilayah Amberbaken di pantai utara Kepala Burung menjadi pusat kompetisi ini – baik sebagai lokasi pertanian lokal maupun titik akses ke daerah pedalaman,” catat Jelle Miedema dalam De Kebar 1855-1980.

Selain hasil pertanian, komoditas lain yang diperdagangkan di Amberbaken adalah budak. Miedema menyebut orang-orang Dore memonopoli perdagangan beras, tembakau, dan budak di Amberbaken. Berkali-kali mereka harus mempertahankan posisinya dari orang-orang Maluku dan Raja Ampat, yang bertugas sebagai atau berpura-pura menjadi utusan utusan Sultan Tidore, untuk memungut upeti. 

“Budak juga dibayarkan sebagai upeti kepada sultan atau diperdagangkan di Maluku,” catat Miedema.

Bisa jadi, Ahmad adalah budak yang dibawa dari Amberbaken sebagai upeti untuk sultan Tidore. Takdir kemudian mempertemukannya dengan Maclay.

“Setelah menghabiskan sekitar 4 bulan di atas clipper Izumrud, dia belajar bicara bahasa Rusia dan kami berkomunikasi dalam bahasa ini. Ahmad adalah anak yang cerdas, nakal, namun baik hati, rajin dan tekun melakukan segala hal yang disukainya, namun kabur dan bersembunyi begitu pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya,” catat Maclay di buku hariannya.

Ahmad adalah anak yang cerdas, nakal, namun baik hati, rajin dan tekun melakukan segala hal yang disukainya.

Ekspedisi Demi Ekspedisi

Sambil menunggu jawaban telegramnya, Maclay melakukan perjalanan ke Filipina untuk meneliti suku Aeta, penduduk asli Negrito, yang tinggal di hutan lebat. Dari penelitian selama tiga hari, dia menyimpulkan orang-orang ini berasal dari ras yang sama dengan orang Papua. 

Dari Filipina, dia pergi ke Hong Kong. Di sini dia menerima balasan telegram dari James Loudon yang menyambut baik keinginannya untuk ikut ekspedisi. Maka, Maclay bergegas berlayar ke Batavia (Jakarta) melalui Singapura. 

Pada Mei 1873, Maclay tiba di Batavia dan berpisah dengan Izumrud. Bersama Ahmad, dia pergi ke Buitenzorg (Bogor) dan menyewa penginapan kecil. Dia kemudian menemui Loudon, yang bersikeras agar dia tinggal di istana. Maclay menerima tawaran itu dan memilih sebuah paviliun di sudut taman yang terpencil untuk tempat tinggal. 

Maclay menikmati tinggal bersama keluarga Loudon. Dia menjadi dekat dengan Loudon dan keluarganya. Bahkan terjalin hubungan cinta dengan Adrienne Loudon, putri gubernur jenderal. 

Sembari memulihkan kesehatan, Maclay menulis hasil penelitian ilmiahnya di Papua Nugini. Enam bulan berlalu di Beitenzorg. Sayangnya, rencana pelayaran kapal Belanda harus ditunda tanpa batas waktu karena adanya Perang Aceh. 

Maclay memutuskan untuk melakukan ekspedisi mandiri. Setelah mendapat rekomendasi dari Loudon, mereka berangkat ke Maluku dengan kapal uap. Maclay lalu menyewa arombai (perahu layar) dari penduduk Pulau Geser untuk menuju Pantai Kowiai, Papua. 

Setiba di Namatote atau sering juga disebut Kowiai (Kaimana, Papua Barat) pada 27 Februari 1874, Maclay bersama dua pelayan Ambon dan Ahmad membuat rumah (gubuk) seadanya. 

Maclay memilih Kowiai sebagai lokasi penelitian pertamanya di Papua Barat. Dia mendengar cerita suku Kowiai sebagai suku biadab dan kanibal. Bahkan naturalis Alfred Russell Wallace tak berani berkunjung ke sana. Maclay justru tertantang dan berharap bisa menemukan orang asli Papua. 

Dengan arombai, Maclay melakukan perjalanan menyusuri Pantai Kowiai. “Daerahnya sangat indah,” tulisnya dalam buku hariannya, “sayangnya lebih mudah mati di sini daripada hidup.” 

Di Kowiai, Maclay dan rombongannya sempat sakit demam berdarah atau malaria. Alih-alih memperhatikan kesehatannya, Maclay kasihan pada Ahmad, yang lemah dan sakit parah, batuk dan mengeluh nyeri dada. Maclay menjaganya dan memberikan obat. “Aku sudah sangat kehilangan semangat...,” catatnya. Bersyukur Ahmad pulih.

Maclay dan rombongan juga harus selalu waspada terhadap serangan bajak laut yang bisa menyerang tiba-tiba. Belum lagi serangan dari masyarakat pegunungan terhadap penduduk pantai. 

Suatu ketika, saat Maclay berkeliling dengan arombai, gubuknya diserang oleh penduduk pegunungan. Beberapa penduduk yang tinggal di sekitarnya terbunuh atau dijadikan budak. Instrumen-insturmen penelitian dan perbekalan milik Maclay dijarah. “Saya tidak bisa melakukan apa-apa,” catat Maclay. Namun, dengan berani, Maclay menangkap pemimpin penyerangan dan menyerahkannya kepada Belanda ketika berada di Maluku.

Maclay dan pelayannya sempat tinggal di Pulau Aiwa dan Pulau Aiduma. Setelah itu dia memutuskan kembali ke Pulau Geser. 

Maclay kecewa karena tak menemukan orang asli Papua. Tapi ekspedisi ini bukan tanpa hasil. Beberapa suku Kowiai memiliki nenek moyang dari Seram dan pulau-pulau lain di sebelah barat kepulauan Indonesia. 

Maclay juga tak menemukan bukti konklusif mengenai kanibalisme. Reputasi Kowiai yang kejam, menurut Maclay, bukan karena kebiadaban yang melekat. Sebaliknya, hal ini berasal dari sejarah panjang kontak kolonial.

Maclay menghabiskan tiga bulan di Maluku. Di sini dia mengkaji mestizo Melayu-Papua. Dia sempat dirawat di rumahsakit karena malaria. Namun dia berhasil melewati masa kritis. Pada akhir Juli, dia kembali ke Jawa.

Maclay bersama keluarga James Loudon di Bogor, 1873 (E.M. Webster, The Moon Man: A Biography of Nikolai Miklouho-Maclay)

Ekspedisi Lanjutan

Di Jawa, Maclay kembali tinggal bersama keluarga Loudon di Buitenzorg untuk memulihkan kesehatannya, yang sangat tertekan akibat ekspedisi Kowiai. Bersama keluarga Loudon, Maclay sempat pindah ke kediaman mereka di Cipanas dan kemudian kembali ke Buitenzorg. 

“Saya, seperti tahun lalu, diterima dengan ramah di keluarga gubernur jenderal yang baik hati,” tulis Maclay kepada ibunya. 

Kepada Loudon, Maclay memberi memorandum tentang kondisi masyarakat Papua di Kowiai. Dia memberikan perhatian khusus pada serangan laut, yang dilakukan terutama dengan tujuan menangkap budak, dan perlakuan kejam terhadap budak anak-anak di Maluku. Dia menyerukan langkah-langkah efektif untuk menghentikan kekejaman dan mendukung pembentukan permukiman militer kecil untuk melindungi masyarakat Papua. Namun usulannya ditolak oleh Loudon.

Selama di Buitenzorg, hubungannya dengan Adrienne Loudon berkembang lebih jauh. Namun sesaat sebelum berangkat untuk ekspedisi baru, terjadi beberapa peristiwa yang meninggalkan luka di hatinya.

“Kenangan tentang Buitenzorg terkadang membuat saya merasa sangat pahit,” tulisnya di buku hariannya. Maclay tak lagi bertemu dengan gadis itu karena Loudon mengakhiri tugasnya di Hindia Belanda dan kembali bersama keluarga ke Belanda pada 1875.

Setelah kesehatannya membaik, Maclay membuat rencana untuk melakukan ekspedisi ke Semenanjung Malaya. Saat persiapan, dia mendapat undangan dari Maharaja Johor, yang tertarik dengan ekspedisi tersebut dan menawarkan bantuan. 

Pada November 1874, Maclay tiba di Johor. Di sana Maclay tinggal di istana dan bepergian dengan perahu bersama Ahmad dan seorang juru masak Jawa bernama Sainan. Dia bertemu dengan orang-orang dari masyarakat adat yang disebut Orang Utan dan Orang Rakyat.

Menjelang akhir perjalanannya, Maclay menjadi yakin akan adanya percampuran orang Papua dengan penduduk asli Malaya. Dalam diarinya tanggal 21 Januari 1875 Maclay menulis: “Saya mengamati teman-teman Orang Utan hari ini, membandingkannya dengan Ahmad, bagi saya tidak ada keraguan tentang percampuran darah Papua. Wajah-wajah dengan bibir menonjol dan hidung lebar yang rata ini sangat mirip dengan Ahmad, terutama profilnya, bahkan warna kulitnya pun identik,” catat Maclay dalam Sobranie sochinenii v shesti tomakh.

Maclay juga mengunjungi Singapura, Bangkok (Siam), Pahang, Tinggano, dan Klantan. Selain meneliti penduduk asli, dia mengumpulkan banyak informasi tentang budaya dan adat istiadat orang Melayu. 

Setelah ekspedisinya berakhir, dia kembali ke Jawa.

Ahmad bersama istrinya, sekitar 1900.(collectie.nederlandsfotomuseum.nl).

Perpisahan

Maclay tinggal sebentar di sebuah hotel di Batavia lalu pindah ke Buitenzorg. Namun situasinya sudah berubah. Tak ada lagi keluarga Loudon yang ramah. Keuangannya pun menipis. Perjalanannya ke Semenanjung Malaya, dan sekarang tinggal di Jawa, dibiayai dengan uang pinjaman. Tak ada lagi kiriman dana dari Rusia. 

Pada November 1875, dengan terpaksa, Maclay menyewa sebuah vila yang bocor di sana-sini dengan harga terjangkau. Mengucilkan diri. Hanya ditemani oleh Ahmad.

Kendati demikian, Maclay memikirkan ekspedisi lanjutan. Kali ini tanpa Ahmad. 

Sebelum meninggalkan Batavia, dia sempat memikirkan masa depan dan membuat surat wasiat yang baru. Beberapa nama akan menerima warisannya, baik dalam bentuk manuskrip, koleksi, hingga uang. Maclay juga bermaksud agar kepalanya diawetkan dan dikirim ke Imperial Academy of Sciences. Sementara Ahmad diberi 1.000 rubel perak. 

Pada Februari 1876, dengan kapal barang Sea Bird, Maclay berlayar ke Mikronesia, gugus kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil di Samudera Pasifik bagian timur. Kebersamaannya dengan Ahmad berakhir. Tapi dia segera menemukan gantinya. Namanya Mira, gadis Palau. 

Dari Mikronesia, Maclay datang ke Australia pada 1878 dan bahkan menikah dengan Margaret Clarke, putri Perdana Menteri New South Wales Sir John Robertson. Mereka dikaruniai dua anak.

Pada 1886 Maclay memboyong keluarganya ke Rusia. Dia sempat mempresentasikan hasil penelitiannya kepada Masyarakat Geografi Rusia. 

Maclay mulai menyampaikan pandangan-pandangan dari hasil penelitiannya. Dia aktif melawan blackbirding (praktik perbudakaan, seringkali dengan penipuan dan kekerasan) dan perdagangan budak. Dia juga menentang pendapat bahwa bangsa kulit putih adalah bentuk tertinggi manusia dan ditakdirkan untuk jadi penguasa seluruh ras manusia. Bagi Maclay, warna kulit yang berbeda adalah semata karena perbedaan spesies nenek moyang. Dan pendapat itu hanyalah untuk mendukung kolonialisme. 

Pandangan Maclay mendapat apresiasi banyak pihak. Misalnya, pada November 1878, pemerintah Belanda memberitahukan kepadanya bahwa atas rekomendasinya, pemerintah Belanda sedang memeriksa lalu lintas budak di Ternate dan Tidore. 

Di Hindia Belanda, setelah proses panjang, perbudakan resmi dihapuskan mulai 1860. Tapi dalam praktik masih berlangsung, terutama di luar Jawa. Di Ternate dan Tidore pembebasan budak dilakukan dua dasawarsa kemudian.

Di Rusia, kesehatannya kian memburuk. Pada April 1888, Nikolai Miklouho-Maclay meninggal dunia di usia 41 tahun. 

Bagaimana dengan Ahmad?

Sekitar tahun 1900, sewaktu kunjungan kapal Belanda ke wilayah Fakfak, seorang fotografer bernama N. Boetselaar bertemu dengan Ahmad yang sudah dewasa dan memiliki seorang istri. Sang fotografer memotret mereka. Dalam keterangan foto, dia menulis: “Orang Papua bersama istrinya. Dia pernah ke Eropa, berpakaian seperti pria terhormat, tapi telah kembali. Pakaian dan cara hidup orang Papua kembali diadopsi.”

Ya, dia adalah Ahmad, sang penjelajah itu. 

Setelah itu tak ada lagi kabar tentang Ahmad.*

Penulis adalah seorang pengukir ukiran khas Biak dan seorang petani yang suka membaca kisah sejarah, menulis di situs blog dan hobi bernyanyi.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6544a61632b044b9b0a61113
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID