Frambusia adalah penyakit yang sangat menular dan bisa menyebabkan kematian. (Arsip WHO).
Aa
Aa
Aa
Aa
MASIH terngiang ucapan Soeharto kala mundur sebagai presiden Mei 1998: “Ora dadi presiden yo rak pateken.” Tidak jadi presiden ya tak akan kena penyakit patek (frambusia), yang maksudnya tidak apa-apa, tidak akan rugi. “Munculnya ungkapan ora pateken dalam khasanah sosiokultural Jawa menunjukkan bahwa penyakit patek dianggap begitu berat. Ungkapan itu mengandung makna bahwa masyarakat Jawa memilih ‘tidak menjadi sesuatu’ ketimbang menderita penyakit patek,” ujar Bahauddin, sejarawan Universitas Gajah Mada, kepada Historia.
Patek pernah manjadi penyakit endemik di masa kolonial, bahkan berlanjut setelah Indonesia merdeka. Bersama malaria, tuberculosis (TBC), dan kusta, penyakit ini mendapat label volkziekte atau penyakit rakyat. Selain di Jawa, penyakit ini ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Di Sumatra disebut puru, sementara di Indonesia timur boba.
Penyakit ini tumbuh subur di daerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya penduduk miskin, sanitasi yang buruk, serta kurangnya fasilitas air bersih.
MASIH terngiang ucapan Soeharto kala mundur sebagai presiden Mei 1998: “Ora dadi presiden yo rak pateken.” Tidak jadi presiden ya tak akan kena penyakit patek (frambusia), yang maksudnya tidak apa-apa, tidak akan rugi. “Munculnya ungkapan ora pateken dalam khasanah sosiokultural Jawa menunjukkan bahwa penyakit patek dianggap begitu berat. Ungkapan itu mengandung makna bahwa masyarakat Jawa memilih ‘tidak menjadi sesuatu’ ketimbang menderita penyakit patek,” ujar Bahauddin, sejarawan Universitas Gajah Mada, kepada Historia.
Patek pernah manjadi penyakit endemik di masa kolonial, bahkan berlanjut setelah Indonesia merdeka. Bersama malaria, tuberculosis (TBC), dan kusta, penyakit ini mendapat label volkziekte atau penyakit rakyat. Selain di Jawa, penyakit ini ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Di Sumatra disebut puru, sementara di Indonesia timur boba.
Penyakit ini tumbuh subur di daerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya penduduk miskin, sanitasi yang buruk, serta kurangnya fasilitas air bersih.
Penyakit ini disebabkan bakteri treponema pallidun pertenue, yang masih satu “kerabat” dengan bakteri penyebab sifilis. Penularannya melalui cairan dari luka pasien yang terinfeksi. Dalam waktu dua minggu setelah infeksi, timbul luka yang berbentuk seperti buah framboos atau semacam arbei. Luka itu kemudian menghilang namun kemudian muncul lesi di seluruh tubuh. Jika penyakit ini tidak diobati dalam waktu lima tahun sejak infeksi awal, hidung dan tulang dari pasien menjadi cacat.
“Walaupun bukan penyakit mematikan, kehadiran penyakit ini meresahkan masyarakat bahkan sampai pada tingkat menjengkelkan,” ujar Bahauddin.
Peran Dokter Jawa
Tak diketahui pasti kapan frambusia masuk ke Nusantara. Peter Boomgaard dalam “Syphilis, Gonorrhoea, Leprosy And Yaws In The Indonesian Archipelago, 1500-1950”, dimuat jurnal Manusya No. 14 tahun 2007, menulis sejumlah dokter dan penjelajah Eropa yang mencatat keberadaan frambusia di Nusantara, terutama di Maluku. Johann Sigmund Wurffbain, penjelajah Jerman yang mengunjungi Ambon pada 1632 dan 1633, menerangkan bahwa penyakit itu tampak seperti kudis. Sementara Johann Nieuhof, penjelajah Belanda yang mengunjungi Ambon pada 1659, menjelaskan penyakit ini dengan detail dan menyebut ia menyerupai sifilis namun tidak ditularkan melalui hubungan seksual. Jacob de Bondt atau tenar dengan nama Bontius, dokter sekaligus penulis buku De Medicina Indorum (1646), juga mencatat hal yang sama seperti Nieuhof.
Di Jawa, Johan Splinter Stavorinus, pelaut Belanda yang berkunjung ke sana pada 1775, mencatat sudah ada penyakit endemik yang mirip sifilis namun tidak mematikan. Dan orang Barat pertama yang menggunakan kata “patek” untuk menyebut frambusia adalah John Crawfurd, seorang administrator berkebangsaan Inggris.
Bagi penderita frambusia, mengidap penyakit ini ibarat aib. Ia bisa dijauhkan dari pergaulan, bahkan dalam keluarga sekalipun. Hal semacam ini dialami Mangku Sitepoe, seorang dokter hewan kelahiran Langkat, Sumatra Utara, tahun 1935, di masa kecil.
“Penyakit frambusia bentuknya menyerupai kusta sehingga aku dan ibuku dijauhkan dari keluarga sendiri. Aku dan ibu ditempatkan di sudut rumah. Bau badan kami memang khas, sehingga mengundang lalat untuk hinggap ke luka-luka frambusia kami. Apalagi kalau tidak untuk makan,” kenang Mangku Sitepoe dalam otobiografinya berjudul Corat-Coret Anak Desa Berprofesi Ganda.
Sebuah kisah lucu dialami Sitepoe. Benjolan frambusia di mata kakinya berbentuk menyerupai biji jagung berwarna putih dan berkeropeng. Dalam bahasa Karo disebut pultak yang berarti meletus seperti sundulan gunung pada permukaan yang rata. Satu ketika, saat menabur jagung pipil, seekor ayam jago mendekat dan mematok benjolan itu. “Sakitnya luar biasa,” kenang Sitepoe.
Neneknya turun tangan mengobatinya, menggunakan cendawan dari pelepah daun kelapa yang telah lapuk, berwarna putih kelabu, dan bersinar pada malam hari. “Ternyata baru kemudian hari kuketahui cendawan ini mengandung PbS atau plumbum sulfida yang bersifat racun. Pengobatan dilakukan dengan melekatkan cendawan secara langsung hingga menutupi benjolan frambusia. Anehnya, dalam beberapa hari, benjolan frambusia ini sudah mengering.”
Pada masa itu, masyarakat umumnya menggunakan obat tradisional untuk mengobati frambusia. Jika pergi ke dokter, mereka mendapatkan suntikan neosalvarsan. Neosalvarsan, ditemukan dokter asal Jerman bernama Paul Ehrlich pada 1910, sebenarnya obat untuk penyakit sifilis namun populer sebagai obat frambusia sampai ditemukannya penisilin pada 1940-an. Penyuntikan massal dengan neosalvarsan kerap dilakukan dokter-dokter di masa kolonial. Seperti dilakukan Fanggideaj, seorang dokter pribumi.
Saat itu, menjelang akhir abad ke-19, frambusia mengganas di Pulau Kangean, wilayah Madura. Dinas Kesehatan bahkan melaporkan pada 1897, seperti dikutip Weekblad voor Indië, 14 Maret 1920, “tidak satu pun anak Kangean yang tidak tertular frambusia.” Dinas Kesehatan lalu mengirim Fanggideaj ke sana. Penyuntikan massal dengan neosalvarsan pun dilakukan seminggu penuh.
Bukan hanya di Madura. Penyakit ini menyebar di Jawa. Pada era kolonial, 15% penduduk di Jawa terkena frambusia. Untuk mengatasinya, pemerintah kolonial membangun klinik-klinik kesehatan. Suntikan neosalvarsan juga diberikan para juru rawat di klinik-klinik itu. Upaya ini ternyata tidak mampu menekan jumlah penderita frambusia.
Menurut Bahauddin, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pernah terkena penyakit ini pada masa kolonial. Terutama yang tinggal di daerah-daerah endemik dan anak laki-laki berusia 2-15 tahun. Namun, “Pemberantasan frambusia bukanlah prioritas, pemerintah kolonial hanya sekadar memberikan obat seadanya. Suntikan neosalvarsan memang dilakukan para juru rawat di klinik-klinik tetapi untuk mendapatkannya dikenakan biaya,” ujar Bahauddin.
Salah satu dokter yang memainkan peranan penting dalam penanganan frambusia adalah Kodijat, lulusan Sekolah Dokter Hindia (STOVIA) yang sempat mendalami studi kedokteran di Negeri Belanda. Selama empat tahun bertugas sebagai dokter di Kediri, Kodijat melihat meluasnya penularan frambusia, yang menyerang anak-anak hingga orang tua.
Pada 1934, Kodijat berinisiatif melakukan pemeriksaan kepada seluruh masyarakat untuk melihat gejala awal frambusia. Setiap orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, yang terindikasi terjangkit frambusia langsung disuntik dengan neosalvarsan. Pemeriksaan dan penyuntikan dilakukan seminggu sekali selama enam bulan. Metode ini, kemudian dikenal dengan sebutan Metode Kodijat, ternyata mampu menurunkan jumlah penderita frambusia di Kediri dari 10,1% pada 1934 menjadi 1,7% pada 1936.
“Sayangnya, penduduk desa percaya bahwa neosalvarsan adalah obat untuk semua penyakit dan mulai datang ke poliklinik dalam jumlah besar. Selain itu, dengan hanya satu injeksi salvarsan, gejala frambusia berkurang drastis. Karena alasan ini, beberapa pasien tidak menyelesaikan pengobatan mereka, dan sebagai akibatnya, frambusia kambuh lagi,” tulis Vivek Neelakantan, yang mendapatkan Ph.D. dalam Ilmu Sejarah dan Filsafat dari University of Sydney tahun 2014, dalam “The Campaign Against Yaws in Postkolonial Indonesia”, dimuat The Newsletter No. 69 tahun 2014.
Pada 3-13 Agustus 1937, di Bandung, diselenggarakan Konferensi Antar Pemerintah Negara-Negara Timur Jauh yang membicarakan kesehatan desa. Kodijat hadir dan membuat kertas kerja berjudul “Framboesia”. Dalam konferensi ini pula metode Kodijat dalam menangani frambusia di Kediri mendapat apresiasi dari para peserta. Bahkan metode Kodijat menjadi pedoman penanganan frambusia di masa selanjutnya.
Perang menghalangi upaya penanggulangan frambusia. Kurangnya pasokan neosalvarsan selama masa Perang Dunia II menyebabkan penderita frambusia masih tetap tinggi.
Meluaskan Penanganan
Pada 1950, jumlah penderita frambusia mencapai 15% dari jumlah penduduk Indonesia. Jika penduduk Indonesia saat itu berjumlah 77 juta jiwa, maka 11 juta terjangkiti frambusia. Untuk mengatasinya, Menteri Kesehatan Johannes Leimena menerapkan program Treponematoses Control Project (TCP). Karena sebagian besar penderita frambusia adalah anak-anak, Leimena meminta dukungan dana dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan anak-anak (UNICEF). UNICEF menyediakan bantuan obat, alat, dan sarana pengangkutan. Obat utama yang diberikan adalah penisilin, pengganti neosalvarsan.
“Kalau dengan neosalvarsan, penderita baru sembuh setelah disuntik berulang kali. Namun jika dengan suntik penisilin, cukup sekali dengan dosis 4 cc,” tulis Wisnu Subagyo dalam R. Kodijat: Hasil Karya dan Pengabdiannya.
Bantuan juga datang dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menyediakan bantuan berupa tenaga penasihat teknis, semacam dokter ahli. C.J Hackett adalah tenaga penasihat teknis yang dikirim WHO ke Indonesia. Hackett membawa pesan dari WHO bahwa semua orang harus mendapat suntikan penisilin.
Saran itu mendapat penolakan dari Kodijat, yang saat itu menjabat kepala Lembaga Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Rakyat khusus frambusia. Alasannya, penggunaan penisilin boros, butuh banyak tenaga penyuntik, dan menimbulkan efek samping. Kodijat berpendapat orang-orang yang jelas terkena frambusia saja yang disuntik penisilin.
Hackett beradu tanduk dengan Kodijat. WHO mengancam akan membatalkan bantuannya jika sistem Hackett tak diterapkan di Indonesia. Menurut Gadis Rasyid dalam “Penyakit Patek dan Almarhum Dokter Kodijat” yang dimuat Intisari edisi September 1968, jalan tengah pun diambil. Sistem Hackett dipakai di daerah yang 30% penduduknya terkena frambusia dan pada daerah yang sulit terjangkau.
Maka dimulailah program TCP dijalankan, dengan Kodijat sebagai direktur proyek pertamanya. Menurut Vivek Neelakantan, dalam disertasinya di Universitas Sidney berjudul “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia”, pelaksanaan TCP dilakukan oleh semacam tim mantri kesehatan yang terlatih dan di bawah pengawasan petugas kesehatan. Para pejabat pemerintahan sipil membuat daftar penduduk dan diserahkan kepada tim pemeriksa di poliklinik desa.
Sebelum turun ke lapangan, para tenaga kesehatan diberikan pendidikan mengenai penanganan frambusia selama tiga bulan dan dibekali buku panduan. Buku itu, berjudul Atlas of Framboesia, disusun tiga anggota TCP, Kodijat, M. Sardadi, dan K.R Hill.
Namun, saat kali pertama dimulai, TCP hanya disokong tiga dokter, 25 mantri, dan 20 tenaga tata usaha. Satu tim lapangan saja setidaknya terdiri dari satu dokter, empat mantri, dan satu tenaga tata usaha. Keterbatasan ini membuat kampanye TCP belum merata. Saat itu TCP baru dikonsentrasikan di Jawa karena pertimbangan keamanan dan tertib administrasinya lebih baik daripada di luar Jawa.
Metode itu dilaporkan pada First International Symposium of Yaws Control yang dihelat WHO di Bangkok, Thailand, pada Maret 1952. Simposium itu bertujuan menilai status global frambusia dan berbagi pengalaman yang diperoleh negara-negara percontohan dengan negara-negara endemik lainnya. Dari hasil simposium ini, penanganan frambusia di Indonesia diperbaiki. TCP ala Kodijat diperbarui Soetopo, mantan menteri kesehatan. Nama program diubah menjadi Treponematoses Control Program Simplified (TCPS) atau TCP yang disederhanakan.
Prinsipnya sama seperti TCP tapi dengan jumlah petugas kesehatan diminimalkan. Dalam TCPS, pekerjaan lapangan dilakukan seorang mantri yang bertanggungjawab atas sebuah poliklinik di kecamatan (tidak di desa seperti TCP) dan seorang “djurupatek”, anggota junior dari Dinas Kesehatan sebagai asisten.
“Seorang pembantu yang terlatih dan diberi nama juru patek harus melakukan survai ke penduduk desa. Lalu juru rawat laki-laki dari setiap poliklinik kecamatan, wajib selama setengah hari dalam seminggu mengadakan pemeriksaan kembali orang yang telah diperiksa juru patek, sekaligus memberi suntikan kepada penderita,” tulis Wisnu Subagyo.
Dengan metode ini, sejak 1953, kampanye penanganan frambusia bisa memiliki jangkauan lebih luas di Indonesia. Dana diperolah dari anggaran pemerintah daerah.
Luasnya wilayah penanganan membuat masalah tersendiri karena keterbatasan personel dan tidak setiap kecamatan memiliki poliklinik. Guna mengatasinya, dibentuklah TCPS yang lebih kecil, yang mudah bergerak, yaitu TPCS team (dengan wlayah kerja yang berpenduduk 30 ribu jiwa), TPCS unit (mencakup empat kecamatan), dan TPCS mobil team (satu kabupaten).
Biasanya, pemeriksaan dilakukan secara terpusat, bisa di rumah kepala desa atau balai desa, yang dimulai pada hari senin pagi. Setelah petugas menerima daftar nama penduduk, kentongan ditabuh untuk memanggil warga. Setiap hari, harus terkumpul antara 50 sampai 250 orang yang harus diperiksa.
“Sambil memeriksa, juru patek mencatat hasil pemeriksaan. Para penderita kemudian akan diberi karcis suntikan, dan diberi pesan untuk datang kembali pada hari yang ditentukan untuk dilakukan penyuntikan,” tulis Soedarsono, kepala dinas penyakit frambusia pada Direktorat Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, Pembansmian Penyakit Menular (P4M) Dinas Kesehatan, dalam Petunjuk Pemberantasan Frambusia. Karcis suntikan ini tidak saja diberikan kepada penderita frambusia, namun juga orang yang memiliki ulcus atau borok dan anak-anak usia 0-5 tahun yang ibunya menderita frambusia.
Pelaksanaan TCPS tersendat pada 1960-an akibat pelaksanaan Trikora, situasi politik di dalam negeri, dan terputusnya hubungan dengan WHO dan UNICEF yang menghentikan pasokan bantuan kesehatan.
Masih Momok
Pulihnya hubungan dengan WHO dan UNICEF pada 1967 membawa angin segar bagi upaya pemberantasan frambusia. Dengan dukungan dana dari kedua lembaga tersebut, pemerintahan Soeharto melanjutkan pelaksanaan program TCPS, yang dijalankan Direktorat Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) Departemen Kesehatan. Hingga akhir 1970, sekira 11 juta penderita frambusia sudah tersembuhkan. Menyusul keberhasilan ini, mulai April 1973, di wilayah Jawa dan Bali, pelaksanaan TCPS diintegrasi ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
“Secara garis besar program pemerintah terhadap pemberantasan penyakit frambusia berhasil menurunkan tingkat penderita dari 15% pada 1950 menjadi 0,49% pada 1974,” ujar Bahauddin.
Pada 1980, dalam pertemuan di Ciloto pada April 1980, dicetuskan Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F) dengan tujuan mencapai prevelensi frambusia menular < 0,001%. Pemeriksaan terhadap penduduk dan pengobatan bagi penderita terus dilakukan. Menurut laporan Repelita IV, bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah penduduk yang menerima pemeriksaan menurun sekitar 20 persen, namun penderita yang mendapatkan pengobatan meningkat sekitar 31 persen. Dengan CP3F, jumlah penderita yang menular cenderung menurun.
Tingkat prevalensi di tingkat nasional terus mengalami penurunan hingga 0,001%. “Namun, keberhasilan awal secara bertahap memudar dalam pandangan proses desentralisasi dan perubahan sosial ekonomi. Program frambusia kehilangan prioritas di antara program penyakit lainnya yang muncul,” ujar Christina Widaningrum, kepala Sub Direktorat Kusta dan Frambusia Kementerian Kesehatan, dikutip WHO dalam laporannya Regional Strategic Plan for Elimination of Yaws from South-East Asia Region: 2012-2020.
Menurut WHO, frambusia termasuk penyakit tropis yang terabaikan. Dan Indonesia adalah penyumbang kasus frambusia terbesar di Asia Tenggara selain India dan Timor Leste. Di Indonesia, sampai 2009 terdapat 8.309 kasus frambusia yang menginfeksi 18 dari 33 provinsi, lima provinsi di antaranya termasuk kategori prevalensi tinggi.
Menurut Christina, sejak 2001, daerah-daerah endemik mulai menemukan kasus dan melakukan pengobatan setiap kali dana tersedia. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan dari 2.112 (2001) hingga 6.631 (2011). Lebih dari 90% dari kasus itu berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Rencana pemerintah untuk menghapus frambusia pun melayang.
“Karena kurangnya dana dan komitmen politik di tingkat pemerintah daerah, penghapusan frambusia pada 2012 tidak mungkin,” ujar Christina.
Kementerian Kesehatan mengambil kembali semangat TCPS yang terbukti ampuh pada periode 1950-an, dengan cara pemeriksaan dan pengobatan serta memberi pemahaman masyarakat mengenai frambusia. Meski jumlah penderita frambusia sudah surut, penyakit ini masih mengintai dan menunggu waktu untuk memukul balik. Waspadalah!