Setelah keluar dari penjara, Andi Azis tinggal dan bekerja di Tanjung Priok. Tidak lagi jadi tentara dan menjauh dari politik. Sementara bekas anak buahnya masih diandalkan dalam operasi militer.
Kapten Andi Azis diadili dengan menghadirkan saksi Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta. (Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan).
Aa
Aa
Aa
Aa
PERISTIWA Andi Azis pada Rabu pagi, 5 April 1950, tentu memakan korban. Setidaknya tiga anggota polisi dan satu anggota pasukan Andi Azis tewas, serta empat orang luka-luka. Atasan Andi Azis di Jakarta memberikan teguran. Pada 7 April 1950, dia diperintahkan menghadap Sukarno selaku presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sebuah pesawat telah menunggu di lapangan terbang Mandai untuk membawa Andi Azis ke Jakarta. Namun, Andi Aziz molor memenuhi panggilan itu. Dia diberi tenggat waktu sampai 11 April 1950, namun baru bisa dipenuhi pada 13 April 1950. Maka, Andi Azis pun dianggap pemberontak.
Andi Azis punya alasan tidak segera datang ke Jakarta. Setelah peristiwa 5 April 1950, Panglima Tentara Teritorium Indonesia Timur Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta tidak sanggup menguasai keadaan. Dia tak punya pasukan besar. Pasukan KNIL tentu saja tidak mau tunduk padanya.
Semula Andi Azis akan pergi bersama Mokoginta ke Jakarta. Namun, Mokoginta tidak bisa menangani keadaan di Makassar. “Saya tidak memiliki anak-anak ini dalam kekuasaan saya,” keluh Mokoginta.
PERISTIWA Andi Azis pada Rabu pagi, 5 April 1950, tentu memakan korban. Setidaknya tiga anggota polisi dan satu anggota pasukan Andi Azis tewas, serta empat orang luka-luka. Atasan Andi Azis di Jakarta memberikan teguran. Pada 7 April 1950, dia diperintahkan menghadap Sukarno selaku presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sebuah pesawat telah menunggu di lapangan terbang Mandai untuk membawa Andi Azis ke Jakarta. Namun, Andi Aziz molor memenuhi panggilan itu. Dia diberi tenggat waktu sampai 11 April 1950, namun baru bisa dipenuhi pada 13 April 1950. Maka, Andi Azis pun dianggap pemberontak.
Andi Azis punya alasan tidak segera datang ke Jakarta. Setelah peristiwa 5 April 1950, Panglima Tentara Teritorium Indonesia Timur Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta tidak sanggup menguasai keadaan. Dia tak punya pasukan besar. Pasukan KNIL tentu saja tidak mau tunduk padanya.
Semula Andi Azis akan pergi bersama Mokoginta ke Jakarta. Namun, Mokoginta tidak bisa menangani keadaan di Makassar. “Saya tidak memiliki anak-anak ini dalam kekuasaan saya,” keluh Mokoginta.
“Oke, saya akan tinggal di sini, pergi ke Jakarta sendiri!” kata Andi Azis. Kala itu, menurut Andi Azis dalam koran Het Parool, 10 Maret 1979, keadaan Makassar berangsur aman. Setelah agak aman, Andi Azis sempat bertemu Mr. Dr. C.R.S. Soumokil dan pamitan.
“Oke, aku pergi,” kata Andi Azis. Namun, Soumokil melarang, “Jangan pergi.”
Andi Azis tetap pergi ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, dia dijemput dan bertemu Presiden Sukarno. Setelah itu, dia ditahan sampai akhirnya diadili dan dipenjara. Sementara itu, pasukan Andi Azis kemudian dipegang oleh Ajudan J.B. Pinaria, serdadu senior di kompinya.
Koran Java Bode, 21 April 1950 menyebut Kapten Usman Djafar mewakili TNI bertemu Pasukan Bebas di bawah Ajudan J.B. Pinaria. Pasukan Bebas pun menyerahkan diri beserta senjatanya. Bekas pasukan Andi Azis itu kemudian dijaga Polisi Militer TNI. Untuk sementara waktu mereka ditempatkan di tangsi militer Sungguminasa. Kedua pasukan itu sepakat untuk tidak saling bermusuhan lagi.
Pada pertengahan tahun 1950, bekas pasukan Andi Azis itu kemudian dikirim ke Jawa Tengah. Panglima Tentara dan Teritorium III Jawa Tengah/Diponegoro Kolonel Gatot Subroto menerima mereka sebagai kawan dan menampung serdadu-serdadu malang korban politik itu.
Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Ambon dan Timor. Ada juga orang Manado dan Jawa. Bahkan, di dalam Pasukan Bebas itu terdapat kawan lama Gatot Subroto waktu sama-sama berdinas di KNIL.
Gatot Subroto berusaha memanusiakan mereka dengan tidak menyebutnya sebagai penjahat perang. Selama di Semarang, mereka boleh plesiran ke dalam kota seperti serdadu sedang berlibur. Menurutnya, mereka hanya disesatkan oleh politik.
“Mereka hanya ditipu oleh pemimpin mereka,” kata Gatot Subroto seperti diberitakan De Locomotief, 31 Mei 1950.
Andi Azis sempat ditawari menjadi pengawal presiden. Namun, keluarganya tak mau anaknya terlibat politik lagi dan melarangnya menjadi tentara.
Bekas pasukan Andi Azis itu diperlakukan sebagai prajurit TNI. Mereka kemudian dilatih kembali di Magelang. Setelah beberapa bulan, mereka dikerahkan ke Kebumen yang tengah bergejolak, karena bekas laskar pejuang Angkatan Oemat Islam (AOI) yang dipimpin Kiai Somalangu melawan tentara pemerintah. Mereka dititipkan kepada Letnan Kolonel Ahmad Yani yang sedang menumpas AOI.
Ahmad Yani membangun pasukan khusus yang terlatih, seperti kebanyakan KNIL dalam hal berperang, sehingga efektif melawan AOI. Pasukan itu kemudian dikenal sebagai Banteng Raider. Bekas pasukan Andi Azis kemudian tersebar di Jawa Tengah.
Sementara itu, Andi Azis diadili di Mahkamah Militer Yogyakarta. Dia divonis 14 tahun penjara, namun hanya menjalani hukuman sekitar 6–7 tahun. Selain itu, dia diberhentikan dari TNI. Sejak 31 Agustus 1956 Andi Azis jadi orang bebas. Dia mengaku Sukarno bersikap baik padanya dan tidak menganggapnya musuh.
“Anggaplah aku ayahmu,” kata Sukarno seperti ditirukan Andi Azis kepada Het Parool, 10 Maret 1979. Andi Azis sempat ditawari menjadi pengawal presiden. Namun, keluarganya tak mau anaknya terlibat politik lagi dan melarangnya menjadi tentara.
Andi Azis menjadi warga sipil dan bekerja di perusahaan pelayaran Samudera Indonesia. Salah satu kakak istrinya, Siradjudin Baso, juga bekerja di bidang pelayaran. Dengan bekerja tanpa mempertaruhkan nyawa, Andi Azis tak hanya bisa menghidupi keluarga kecilnya, tapi juga menolong banyak orang.
Pada 1979, Andi Azis menjadi direktur sebuah perusahaan pelayaran di Tanjung Priok, Jakarta. Adiknya, Andi Rivai menjadi perwira kapal dan kemudian menjalankan perusahaan pelayaran. Adiknya yang lain, Andi Idris menjadi tokoh penting di Barru sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebelum tutup usia, Andi Idris tinggal di rumah orang tuanya, yang merupakan rumah masa kecil Andi Azis di Sumpang Binangae.
Tidak punya anak kandung, Andi Azis dan Sabida mengangkat anak: Tony dan Farid. Andi Azis adalah tipe om yang menyenangkan bagi keponakannya. Salah satu keponakannya, Andi Irvan Zulfikar mengingat Andi Azis suka bercanda dengan keluarga dan asisten rumah tangga di rumah saudaranya. Suaranya menggelegar yang membuat orang lain terkejut.
Andi Azis dan Sabida pernah tinggal di Jalan Dayak, dekat pelabuhan Tanjung Priok. Di masa tuanya, dia terpandang di sana. Jika ada keributan antaretnis, terutama melibatkan orang Bugis atau Makassar, Andi Azis selalu diminta menengahi. Rumahnya di Tanjung Priok tak pernah sepi.
“Kalau ada anak-anak dari Bugis atau Makassar yang merantau ke Jakarta. [Rumah] Itu biasanya suka jadi tempat penampungan sementara. Tinggal di situ sampai mendapat pekerjaan,” kata Andi Irvan. Makanan selulu tersedia di rumah. Tak hanya untuk keponakannya tapi juga untuk orang-orang yang sedang ditolongnya. Andi Azis juga dianggap tokoh penting bagi pemerintah setempat di sekitar Tanjung Priok. Dia sering diundang jika ada acara dari kelurahan atau kecamatan.
Andi Azis menjalani hari tua di Tanjung Priok hingga tutup usia. Dia meninggal pada 30 Januari 1984 di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung setelah dirawat selama 23 hari. Jenazahnya dikebumikan di kampung halamannya, Barru. Istrinya, Sabida yang sempat tinggal di daerah Cibubur, beberapa tahun silam meninggal dunia di Makassar.*