Andi Azis di Tengah Serdadu Gelisah

Andi Azis dan pasukannya telah bergabung dengan APRIS. Namun, dia ditunjuk menjadi pemimpin serdadu KNIL yang ingin menghalau kedatangan pasukan TNI dari Jawa.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Andi Azis di Tengah Serdadu GelisahAndi Azis di Tengah Serdadu Gelisah
cover caption
Kapten Andi Azis sedang memeriksa pasukannya sewaktu mengganti tanda pengenal dan pangkat KNIL menjadi APRIS. (Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan).

KEHIDUPAN Andi Azis sebenarnya baik-baik saja sebelum Maret 1950. Kala itu, dia sudah berumah tangga dengan Sabida binti Baso Daeng Marewa. Sabida mengaku masih terkait dengan keluarga Claproth. Keluarga berdarah Jerman ini sudah cukup lama hidup di Makassar. Keluarga cukup terpandang ini ada yang menjadi pejabat Negara Indonesia Timur (NIT). Negara federal yang disponsori Belanda ini dianggap mewakili wilayah-wilayah dan etnis di timur Indonesia.

“Begitu banyak orang dan negara kita secara etnologis terbagi oleh semua lautan itu dan seterusnya, jadi negara terbaik bagi saya adalah negara bagian,” kata Andi Azis dalam koran Het Parool, 10 Maret 1979. Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), Andi Azis bersedia bergabung dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Makassar.

KEHIDUPAN Andi Azis sebenarnya baik-baik saja sebelum Maret 1950. Kala itu, dia sudah berumah tangga dengan Sabida binti Baso Daeng Marewa. Sabida mengaku masih terkait dengan keluarga Claproth. Keluarga berdarah Jerman ini sudah cukup lama hidup di Makassar. Keluarga cukup terpandang ini ada yang menjadi pejabat Negara Indonesia Timur (NIT). Negara federal yang disponsori Belanda ini dianggap mewakili wilayah-wilayah dan etnis di timur Indonesia.

“Begitu banyak orang dan negara kita secara etnologis terbagi oleh semua lautan itu dan seterusnya, jadi negara terbaik bagi saya adalah negara bagian,” kata Andi Azis dalam koran Het Parool, 10 Maret 1979. Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), Andi Azis bersedia bergabung dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Makassar.

“Saat itu, Indonesia adalah Indonesia Serikat, dan saya ingin melayaninya. Saya kemudian dipindahkan ke APRIS dengan seluruh kompi saya. Kami adalah kompi pertama yang beralih di Sulawesi. […] Delapan puluh persen anak KNIL di Sulawesi ingin pindah ke APRIS. Kami yang pertama kali melakukannya,” kata Andi Azis.

Pada 30 Maret 1950, Andi Azis bersama 123 orang anggota kompinya bergabung dengan APRIS. Setidaknya dalam batalion yang diikuti Andi Azis terdapat dua batalion lagi yang ingin bergabung. Sekitar 3.000 KNIL di Makassar ingin bergabung dengan TNI. Anggota KNIL yang masuk APRIS mendapat kenaikan pangkat dua hingga tiga tingkat. Demi penyesuaian gaji agar penghasilannya tidak turun terlalu jauh.

Kapten Andi Azis (bertopi baja) bersama presiden Negara Indonesia Timur dan pejabat tinggi militer Belanda KNIL memeriksa pasukannya yang bergabung dengan APRIS. (Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan).

Andi Azis sendiri naik pangkat dari letnan satu menjadi kapten di TNI. Antara tahun 1949–1950 di Makassar, Andi Azis adalah perwira KNIL berdarah Indonesia paling terkemuka. Di bawahnya terdapat para sersan ada kopral yang membawahkan para serdadu berpengkat rendah.

Meski ada tawaran bergabung dengan TNI, namun sebagian serdadu KNIL asal Ambon masih terngiang dengan peristiwa Ambon moorde atau pembantaian orang-orang Ambon dalam tragedi yang oleh orang Belanda disebut masa bersiap. Lahadji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan-Pahlawannya menyebut puluhan orang Ambon di Makassar terbunuh pada malam 2 Oktober 1945.

Kita harus memukul. Ini tidak mungkin. Kami ditindas oleh orang-orang Jawa.

Kegelisahan itu mencapai puncaknya menjelang 5 April 1950. Pada Selasa, 4 April 1950, sejak sore banyak orang berkunjung ke rumah bekas Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman NIT Mr. Dr. C.R.S. Soumokil. Tamu datang silih berganti. Pada malam itu, Kapten Andi Azis sedang memenuhi undangan Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta, Panglima Tentara Teritorium Indonesia Timur di Makassar. Setelah pulang dari bertemu Mokoginta, Andi Azis tak bisa segera beristirahat.

“Ketika pulang ke rumah, ada pesan untuk saya, bahwa saya diminta ke rumah Dr. Soumokil. Saya kemudian pergi ke rumah Soumokil. Dan di sana saya lihat banyak bintara. Sersan, sersan mayor, ajudan. Mereka menggila […] Saya sendiri satu-satunya prajurit APRIS, yang lain KNIL semua. Tak ada yang bicara soal pemisahan Negara Indonesia Timur. Bahkan Republik Maluku Selatan juga tidak disinggung. Tak ada hal itu dalam kepala mereka,” kata Andi Azis.

Para bintara KNIL itu rupanya bersepakat untuk menghalau masuknya pasukan TNI dari Jawa, yaitu Batalion Worang di bawah pimpinan Mayor Hein Victor Worang. Mereka tampak siap bergerak dengan segala risikonya agar TNI tak mendarat di Makassar. Andi Azis menyaksikan para bintara berijazah sekolah dasar itu lebih banyak bicara daripada Soumokil yang ahli hukum lulusan Leiden dan paham politik.

Mr. Dr. C.R.S. Soumokil. (Koleksi Museum Sejarah Maluku).

Waktu itu, ada rencana dari Soumokil untuk mengarahkan R.J. Metekohy, pegawai keuangan di Ambon, dan Presiden NIT Tjokorda Gde Raka Sukawati untuk memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia Timur dan serdadu KNIL akan mendukungnya. Ben van Kaam mencatat dalam “De rebel die een bloedbad voorkwam”, yang dimuat koran Trouw, 29 Maret 1980, kala itu panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, yang juga membawahkan KNIL, Jenderal Buurman van Vreeden, memperingatkan agar para serdadu KNIL tetap tinggal di kamp dan tidak perlu terlibat konflik apapun. Namun, serdadu KNIL di Makassar sudah menjadi liar.

“Sedari awal saya sudah mencium bau pertumpahan darah. Aku berusaha menjaga jarak. Lalu mereka memilih seorang pemimpin untuk pergerakan mereka,” kata Andi Azis. Para bintara KNIL itu menunjuk Andi Azis.

“Dia… dia... dia…,” seru para bintara KNIL itu ke Andi Azis. Salah satu dari mereka bilang, “Anda harus memimpin kami.”

“Kita harus memukul. Ini tidak mungkin. Kami ditindas oleh orang-orang Jawa. Begitu juga perasaan kami,” kata Soumokil. Andi Azis sempat bimbang namun dia merasa tak bisa berlari dari para bintara KNIL yang sedang gelisah itu.

“Saya keluar sebentar dan berdoa dengan melipat tangan saya. Seperti kebiasaan orang Belanda Kristen yang merawat saya. Saya bertanya kepada Tuhan. Sampai akhirnya hatiku berkata: lakukanlah. Saya melakukannya untuk menghindari pertumpahan darah,” kata Andi Azis.

Maka, Andi Azis bersedia memimpin dengan catatan, “Mereka yang bertindak di luar perintah saya akan saya tembak sampai hancur. Para bintara itu ada yang menjawab: ‘Ok kami semua di belakang Anda. Sampai tetes darah terakhir kami’.”*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65425f1c479757ba75358c94