Andi Azis terjebak dalam Perang Dunia II di Belanda. Tak mau sekadar jadi korban, dia pun turut berjuang dalam gerakan bawah tanah melawan Nazi Jerman.
Kapten Andi Azis waktu menghadapi persidangan. (Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan).
Aa
Aa
Aa
Aa
WAKTU Perang Dunia II mengganas di Eropa, Andi Abdul Azis tidak sedang berada di Sulawesi Selatan. Dia di tempat yang jauh dari kampung halamannya. Dia sedang berada di Negeri Belanda.
Andi Azis menjadi anak angkat pensiunan pegawai kolonial Belanda yang pernah bertugas di kampung halamannya, Barru di Sulawesi Selatan. Ketika pejabat ini masih bertugas di Barru, seperti diceritakan Andi Idris, salah satu adiknya, Andi Azis kecil sering diajak pejabat ini berkunjung ke rumahnya di daerah perbukitan Barru.
Andi Azis sudah berada di Negeri Belanda sejak tahun 1935 ketika berusia sekitar sepuluh tahun. Dia pernah merasakan bangku sekolah menengah di Baarnsch Lyceum. Ben van Kaamdalam“De rebel die een bloedbad voorkwam”yang dimuat koran Trouw, 29 Maret 1980, menyebut Andi Azis adalah bocah yang ceria ketika masih bersekolah di sana. Dia bersekolah hingga kelas tiga tahun 1943.
WAKTU Perang Dunia II mengganas di Eropa, Andi Abdul Azis tidak sedang berada di Sulawesi Selatan. Dia di tempat yang jauh dari kampung halamannya. Dia sedang berada di Negeri Belanda.
Andi Azis menjadi anak angkat pensiunan pegawai kolonial Belanda yang pernah bertugas di kampung halamannya, Barru di Sulawesi Selatan. Ketika pejabat ini masih bertugas di Barru, seperti diceritakan Andi Idris, salah satu adiknya, Andi Azis kecil sering diajak pejabat ini berkunjung ke rumahnya di daerah perbukitan Barru.
Andi Azis sudah berada di Negeri Belanda sejak tahun 1935 ketika berusia sekitar sepuluh tahun. Dia pernah merasakan bangku sekolah menengah di Baarnsch Lyceum. Ben van Kaamdalam“De rebel die een bloedbad voorkwam”yang dimuat koran Trouw, 29 Maret 1980, menyebut Andi Azis adalah bocah yang ceria ketika masih bersekolah di sana. Dia bersekolah hingga kelas tiga tahun 1943.
Ketika tentara Nazi Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, usia Andi Azis belum genap 16 tahun. Meski bukan orang Belanda, dia terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan tentara pendudukan Nazi Jerman. Dia menjadi anggota perlawanan yang berani berbuat lebih. Pada 1942, dia pernah bersembunyi di Groningen.
Di masa perang itulah, Andi Azis mendapatkan pelatihan dasar militer. Dia kemudian mendapatkan pelatihan komando di Inggris. Dalam hal ini, Andi Azis punya pengalaman yang sama dengan Kapten Raymond Westerling. Jadi, hingga berakhirnya perang Andi Azis berada di pihak Sekutu. Setelah perang selesai, dia mendapat jalan pulang ke kampung halamannya melalui Ceylon (kini Sri Lanka).
“Pada bulan September 1945, Azis, sebagai anggota seksi Inggris-Belanda, melakukan perjalanan singkat dari Ceylon ke Sumatra dan dijatuhkan dengan parasut,” catat Sidney Morning Herald, 17 April 1950.
Tentara Belanda lain yang mendarat di Sumatra adalah Westerling yang kemudian memimpin pembantaian penduduk sipil di Sulawesi Selatan. Namun, Andi Azis mengaku tidak ada kaitannya dengan gerakan Westerling. Sebelumnya, pada zaman pendudukan Jepang, pasukan khusus Belanda, Korps Insulinde, juga menyusup dari Sri Lanka ke Sumatra.
“Saya pergi ke Indonesia sebagai sukarelawan perang pada tahun 1945, setelah pelatihan komando di Inggris. Saya datang ke sini dengan keyakinan untuk melayani negara saya. Indonesia belum ada buat saya waktu itu. Saya memiliki paspor Belanda karena saya berperang di bawah bendera Belanda,” kata Andi Azis dalam harian Het Parool, 10 Maret 1979.
Indonesia belum ada buat saya waktu itu. Saya memiliki paspor Belanda karena saya berperang di bawah bendera Belanda.
Ketika Andi Azis berada di Sri Lanka, Belanda sedang berusaha menduduki kembali Hindia Belanda yang disebut Indonesia setelah merdeka tahun 1945. Andi Azis termasuk orang yang tidak memahami situasi politik di Indonesia. Pihak Belanda menganggap Indonesia, negara baru di bekas Hindia Belanda, sebagai negara boneka Jepang.
Setelah menjalani tugas di Jakarta, Andi Azis akhirnya bisa pulang ke rumah keluarganya di Sumpangbinangae, Barru. Setelah sekian lama, dia bisa bertemu lagi dengan ayahnya, Andi Djuanna, yang menjadi Sullewatang atau wakil raja di Barru. Andi Azis lahir pada 19 September 1924 di Sumpangbinangae. Menurut adiknya, Andi Idris dan keponakannya, Andi Rivan Zulfikar, Andi Azis adalah anak laki-laki tertua dengan banyak adik.
Ketika mudik ke Barru, Andi Azis berstatus telah keluar dari militer Belanda. Tak lama di Barru, dia merantau lagi pada masa-masa sulit itu. Sempat menjadi perwira polisi di Jakarta, Andi Azis kemudian bergabung lagi dengan tentara Belanda, kali ini menjadi anggota KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900–1950 menyebut Andi Azis bergabung dengan KNIL pada 1 Maret 1947 dan ditugaskan di Markas Besar Komando Tentara Timur Besar dan Kalimantan. Pada 8 Maret 1947, dia dipersiapkan sebagai calon letnan dua cadangan dinas khusus. Pangkatnya naik menjadi letnan satu cadangan KNIL pada 24 Juli 1947.
Andi Azis juga sempat menjadi ajudan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Tjokorda Gde Raka Sukawati.Buku Sejarah TNI-AD, 1945–1973: Peranan TNI-AD Menegakkan Negara Kesatuan RI menyebut presiden NIT ingin punya ajudan orang Indonesia asli.
Setelah pertengahan tahun 1948, Andi Azis dilatih menjadi calon perwira cadangan infanteri di School voor Reserve Officier der Infanterie (SROI) di Bandung. Di sekolah ini, dia bersama seorang Indonesia lainnya bernama Jozef Muskita. Mereka seumuran, sama-sama kelahiran tahun 1924. Bouman mencatat keduanya lulus sebagai letnan dua cadangan infanteri pada 15 Desember 1948, empat hari sebelum tantara Belanda menyerang ibu kota Yogyakarta.
Pada 1949–1950, Andi Azis bertugas di beberapa tempat. Dia pernah ditempatkan di sekolah penerjun School tot Opleiding voor Parachusten di Cimahi, Bandung. Setelah itu, dia ditempatkan pada Batalion Infanteri ke-16 KNIL di Palopo dan sempat menjadi komandan peleton pada April 1949. Pada 5 Januari 1950, Andi Azis kemudian ditempatkan di Batalion Infanteri ke-1 di Makassar. Di sinilah dia memimpin serdadu KNIL menyerang TNI yang tercatat dalam sejarah sebagai Peristiwa atau Pemberontakan Andi Azis.*