Angan-Angan “Kemenangan”

Artikel bersejarah karya Henk Sneevliet yang jarang disebut dalam sejarah Indonesia. Ia mengajak rakyat Jawa meniru revolusi di Rusia, bangkit melawan kolonialisme. Berujung pada pembuangan.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Angan-Angan “Kemenangan”Angan-Angan “Kemenangan”
cover caption
Henk Sneevliet ketika menjadi sekretaris pada Semarangsche Handelsvereeniging tahun 1917. (Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis/IISG).

PAGI itu, pukul 10, Selasa, 20 November 1917, ratusan orang berkumpul di ruang sidang gedung Pengadilan Tinggi (Raad van Justitie) Semarang. Mereka hendak menyaksikan persidangan yang tidak biasa: seorang Belanda totok dimejahijaukan. Henk Sneevliet, nama pesakitan itu, diadili atas tuduhan persdelict (menghasut rakyat lewat tulisan untuk melawan pemerintah kolonial) melalui artikelnya yang berjudul Zegepraal (Kemenangan) yang dimuat De Indiers, 19 Maret 1917. 

Kisah pengadilan Sneevliet bermula dari kabar revolusi di Rusia. Pada 8 dan 9 Maret 1917 kaum buruh di Petrograd turun ke jalan, demonstrasi besar-besaran sambil menyanyikan Mareseillese. Tentara dikirim untuk membubarkan demonstrasi. Alih-alih menembaki demonstran, mereka malah berbalik mendukung. Revolusi Rusia meletus hari itu. Lewat secarik telegram pada 18 Maret 1917, Sneevliet menerima kabar revolusi di Rusia itu. 

Terinspirasi revolusi di Rusia, dia bergegas menulis artikel yang diberi judul Zegepraal (Kemenangan). Melalui artikelnya, Sneevliet mengajak kaum buruh di Hindia Belanda bangkit melawan kolonialisme dan imperialisme. 

PAGI itu, pukul 10, Selasa, 20 November 1917, ratusan orang berkumpul di ruang sidang gedung Pengadilan Tinggi (Raad van Justitie) Semarang. Mereka hendak menyaksikan persidangan yang tidak biasa: seorang Belanda totok dimejahijaukan. Henk Sneevliet, nama pesakitan itu, diadili atas tuduhan persdelict (menghasut rakyat lewat tulisan untuk melawan pemerintah kolonial) melalui artikelnya yang berjudul Zegepraal (Kemenangan) yang dimuat De Indiers, 19 Maret 1917. 

Kisah pengadilan Sneevliet bermula dari kabar revolusi di Rusia. Pada 8 dan 9 Maret 1917 kaum buruh di Petrograd turun ke jalan, demonstrasi besar-besaran sambil menyanyikan Mareseillese. Tentara dikirim untuk membubarkan demonstrasi. Alih-alih menembaki demonstran, mereka malah berbalik mendukung. Revolusi Rusia meletus hari itu. Lewat secarik telegram pada 18 Maret 1917, Sneevliet menerima kabar revolusi di Rusia itu. 

Terinspirasi revolusi di Rusia, dia bergegas menulis artikel yang diberi judul Zegepraal (Kemenangan). Melalui artikelnya, Sneevliet mengajak kaum buruh di Hindia Belanda bangkit melawan kolonialisme dan imperialisme. 

“Wahai rakyat di Jawa, Revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan,” tulis Sneevliet. 

Darnakoesoemo, seorang tokoh Insulinde, membuat terjemahan bahasa Melayu dari artikel Zegepraal dan menerbitkannya di harian Pertimbangan, 22 Maret 1917. Ia menerjemahkan artikel itu secara teliti dan berupaya menyebarkan ke berbagai kalangan. 

Pemerintah kolonial yang semakin khawatir akan dampak tulisan tersebut melakukan penyelidikan terhadap Sneevliet. Mulai 12 sampai 16 April 1917, officer van justitie Semarang, Mr. MB van Meerten meminta keterangan Sneevliet. Dia dianggap melanggar pasal 63b dan 66b UU pers terbatas atau persdelict dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan hukuman kerja paksa di luar penjara selama lima tahun. 

Mereka kemudian memutuskan untuk menangkap Sneevliet pada Juni 1917 dan menyidangkan perkaranya pada 20–24 November 1917 atas berbagai tuduhan. “Sneevliet diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan yang bermacam-macam, antara lain menghasut rakyat Jawa, menghina pengadilan, menuduh pemerintah berbuat sewenang-wenang dan tuduhan sebangsanya,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah

Terjemahan Zegepraal di Pertimbangan, 21 Maret 1917. (IISG).

Majelis hakim yang diketuai oleh Mr. Oetgens van Waveren memberikan kesempatan kepadanya untuk membela diri. Dalam persidangan tersebut, Sneevliet membaca sendiri pledoi yang ditulisnya. Butuh waktu sembilan jam untuk membaca sampai tuntas pledoi berjudul Het Proces Sneevliet setebal 368 halaman itu. 

Selama persidangan berlangsung, koran-koran di Semarang tak henti-hentinya memberitakan proses pengadilan Sneevliet. Harian Het Vrije Woord memberitakan jalannya persidangan secara lengkap pada 25 November 1917. Proses persidangan Sneevliet beserta perdebatan alot melawan jaksa ditulis lengkap dalam harian itu, termasuk dialog di dalam persidangan. 

Berbeda dari kebanyakan warga Belanda, sikap Sneevliet menentang arus menuai simpati di kalangan tokoh pergerakan bumiputra. Salah satunya Darsono. Pada koran yang sama di mana Mas Marco Kartodikromo menulis, Sinar Hindia menulis kekaguman Darsono pada sikap Sneevliet. “Pada satoe hari ia (Darsono) mengikoeti persidangan Sneevliet dan sangat terkesan akan adanja ‘Belanda jang maoe memihak rajat’. Semula ia ragoe-ragoe, tetapi setelah ketahoei bagaimana Sneevliet melepaskan karirnja di kantor dagang yang bergaji f. 1.000,- untuk aktif membela rakyat, hormatnya menjadi bertambah-tambah. Di pengadilan ini ia bertemoe dengan Semaoen jang segera mengajaknja aktif di SI Semarang.” 

Menurut sejarawan Hilmar Farid, kasus Sneevliet merupakan perkara pertama seorang Belanda totok melawan pemerintah kolonial. “Proses persdelict melawan Sneevliet merupakan kasus persidangan yang pertama di kalangan orang Belanda di Hindia, padahal sebelumnya orang Belanda selalu kebal,” ujar Hilmar Farid. 

Nasib baik ada di tangan Seevliet. Setelah melalui persidangan yang meletihkan, hakim menyatakan dia tak bersalah dan membebaskannya dari segala macam tuduhan. “Pengadilan tinggi Semarang menganggap Zegepraal tidak lebih hanya sebagai serangan tajam terhadap kondisi kolonial dan bukan merupakan hasutan kebencian kepada pemerintah seperti yang dituduhkan,” tulis Kees van Dijk dalam The Netherlands Indies and the Great War 1914–1918

Putusan hakim tersebut mengecewakan pemerintah. Jaksa Agung GW Uhlenbeck menyebut putusan itu sebagai contoh dari ketidakadilan rasial, dikarenakan Sneevliet berkulit putih warga kelas satu Eropa. Dia yakin apabila pribumi yang diadili atas tuduhan yang sama, hukuman berat akan dijatuhkan kepadanya. Tak terima putusan pengadilan, Uhlenbeck naik banding. Dia mengajukan banding di Pengadilan Tinggi di Batavia. Akan tetapi hasilnya tetap sama, pada Maret 1918 Sneevliet dinyatakan bebas.

Stasiun Semarang, tempat penyambutan Henk Sneevliet oleh para pendukungnya. (IISG).

Perlawanan Sneevliet

Sekira tiga ribu orang berkumpul di Stasiun Semarang menunggu kedatangan kereta dari Batavia. Mereka menyambut datangnya Sneevliet, yang baru saja dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tinggi di Batavia pada 5 April 1918. Keesokan harinya, harian De Locomotief memasang berita besar-besar kedatangan Sneevliet di halaman muka dengan judul Blijde Incomste (Sambutan Gembira). 

De Locomotief edisi 6 April 1918 itu menulis, “Sneevliet dikelilingi ribuan pribumi yang riuh kegirangan, mengusung Sneevliet ke pundak mereka, kemudian memanggulnya menuju pintu keluar. Mereka berteriak serempak ‘Hidup Sneevliet! Hidup Sneevliet!’ Dari stasiun kereta, Sneevliet dan pendukungnya pawai beriringan menuju pusat kota Semarang. Demi keamanan, polisi memperketat penjagaan. Namun makin lama lautan massa menyemut membuat polisi kewalahan. Tak sanggup lagi mengatasi keadaan, kepala polisi meminta Sneevliet membubarkan pendukungnya. Sneevliet setuju dan segera memanjat tiang lampu untuk mengucapkan terima kasih pada pendukungnya serta meminta mereka membubarkan diri. Kerumunan bubar. Sinar Djawa memberitakan peristiwa itu dan mengingatkan pemerintah tentang pertanda yang jelas bahwa Sneevliet dicintai oleh rakyat. 

Setelah bebas, Sneevliet makin menggeliat. Dia kembali menulis artikel-artikel propagandanya. Antara 30 Juni hingga 24 Oktober 1918, serangkaian agitasi dilakukan Sneevliet melalui tulisan-tulisannya. Tujuh serial tulisannya diterbitkan Het Vrije Word, antara lain Blijft op Uw Posten (Jagalah Posmu) dan naskah pidatonya pada rapat pelaut di Surabaya pada 24 Oktober 1918. 

Surat pemberitahuan pembuangan Henk Sneevliet. (IISG).

Pada 10 Mei 1918, Sneevliet menulis artikel dalam Het Vrije Woord yang bertajuk Onze eerste 1 Meiviering (Perayaan Satu Mei Pertama Kita). Esai itu bercerita tentang kekecewaannya pada perayaan Hari Buruh Sedunia yang digelar pada awal bulan di Surabaya karena hanya dihadiri orang-orang Belanda. Padahal ajakan untuk ikut serta dalam perayaan itu telah dipublikasikan sebelumnya melalui surat kabar. 

Sneevliet dan ISDV terus melakukan propaganda, membangkitkan kesadaran buruh, prajurit dan kelasi Belanda. Dia juga membentuk Garda Merah di kalangan prajurit dan kelasi (sesuai dengan nama pasukan Soviet pekerja dan prajurit di Rusia). Dalam tiga bulan jumlah mereka mencapai 3.000 orang. 

Pada pengujung 1917 para prajurit dan kelasi itu memberontak di basis utama Angkatan Laut Hindia Belanda di Surabaya. Atas saran Sneevliet, mereka membentuk soviet-soviet (dewan-dewan buruh). Pemerintah kolonial menindas soviet-soviet Surabaya dan ISDV serta menangkap para pemimpin pemberontakan. Mereka dijatuhi hukuman hingga 40 tahun penjara. Selain itu pemerintah kolonial juga mengusir para pemimpin ISDV yang berkebangsaan Belanda, termasuk Sneevliet. 

Pengusiran Sneevliet ke luar Hindia diusulkan oleh Residen Semarang, PKW Kern, ke Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum. Alasan pokok pengusiran itu karena Sneevliet mengganggu rust en orde (keamanan dan ketertiban) negara kolonial. “Kalau dibiarkan lebih lama lagi Sneevliet berada di Hindia, maka dapat dipastikan gerakan Sneevliet akan memiliki jaringan yang luar biasa. Dan ini berbahaya bagi pemerintah,” tutur Hilmar Farid. 

Surat pemberitahuan pembuangan Henk Sneevliet. (IISG).

Keputusan definitif pemerintah kolonial untuk membuang Sneevliet terbit pada 5 Desember 1918. Sneevliet dibuang dengan menggunakan hak-hak istimewa (exorbitante rechten) gubernur jenderal. Dengan hak istimewa itu memungkinkan Sneevliet dibuang tanpa harus melalui persidangan. Berita pembuangan Sneevliet menimbulkan berbagai reaksi, mulai dukungan hingga kecaman. Harian Neratja menyambut baik berita tersebut. Dalam editorialnya yang ditulis dengan abjad yang besar, koran tersebut mencap Sneevliet sebagai seorang anarkis yang membuat organisasi-organisasi pribumi berseteru satu sama lain. 

Kecaman terhadap berita pembuangan Sneevliet muncul pula di kalangan pergerakan. Beberapa editor surat kabar Eropa dan kalangan lain mengirimkan surat protes kepada pemerintah kolonial. Beberapa cabang Sarekat Islam seperti Semarang, Salatiga, Surabaya, dan Tegal mengirimkan telegram ke Volksraad (Dewan Rakyat) mengecam pembuangan Sneevliet. Bahkan sekretaris Sarekat Islam mengirimkan surat protes langsung ke parlemen Belanda di Den Haag. 

Mas Marco Kartodikromo, jurnalis berhaluan kiri, menanggapi pembuangan Sneevliet itu dengan mengekspresikan rasa kagum dan hormat kepada Sneevliet.

“Sekarang jaman I.S.D.V., jaman mana yang kita harus berkata terus terang kepada publik, mengertinya: bangsa bangsat harus kita katakan bangsat juga, dan bangsa baik pun kita katakan baik. Lantaran Sneevliet dibuang…barangkali semua pemerintahan…ada di dalam perintahnya kapitalisme…Sneevliet berani sampai dibuang!…Bangsa apakah yang tertindas di Hindia sini? Yaitu bangsa kita. Mengapakah orang Belanda seperti Sneevliet yang mesti membela tindasan-tindasan itu, dan sampai ia berani dibuang, sedang bangsa kita yang mengaku menjadi pemimpin rupa-rupanya jarang yang berani bergerak seperti Sneevliet,” tulis Mas Marco Kartodikromo dalam “Sneevliet Dibuang!!!” dimuat Sinar Hindia, 10 Desember 1918. 

Segala daya upaya tak mampu hentikan keputusan pemerintah kolonial untuk membuang Sneevliet dari Hindia Belanda. Dengan menggunakan kapal Noordam pada 20 Desember 1918, lelaki Belanda itu harus meninggalkan tanah perjuangannya, meninggalkan kawan-kawan, istrinya Betsy Brouwer serta kedua anak kembarnya yang masih kecil, Pim dan Pam.*

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
651688dd24cd046dae92737d