Amangkurat II menikam mati Trunajaya, Januari 1680. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 1614, VOC mengirim dutanya untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan Sultan Agung sebagai raja Mataram. Sultan Agung malah memperingatkan bahwa hubungan Mataram dan VOC akan berlangsung baik apabila VOC tidak berambisi menguasai Pulau Jawa. Sejak VOC bercokol di Batavia pada 1619, Sultan Agung menyadari Kompeni akan menjadi saingannya.
VOC membutuhkan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal dan perumahan para pejabat di Batavia. Tidak mengherankan bila kantor dagangnya yang pertama di wilayah Mataram terletak di Jepara. VOC juga membutuhkan beras sehingga berharap dapat berniaga dengan daerah-daerah pesisir penghasil beras.
“Mengapa VOC butuh beras padahal orang Belanda tidak makan nasi?” tanya Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia. “Ternyata, beras adalah komoditas untuk Asia, seperti dijual ke Malaka.”
Akan tetapi, menurut sejarawan M.C. Ricklefs, peperangan yang dilancarakan Sultan Agung menghancurkan tanaman padi, dan pada 1618 ketika terjadi kekurangan dia melarang penjualan beras kepada VOC. Hubungan VOC-Mataram pun memburuk.
PADA 1614, VOC mengirim dutanya untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan Sultan Agung sebagai raja Mataram. Sultan Agung malah memperingatkan bahwa hubungan Mataram dan VOC akan berlangsung baik apabila VOC tidak berambisi menguasai Pulau Jawa. Sejak VOC bercokol di Batavia pada 1619, Sultan Agung menyadari Kompeni akan menjadi saingannya.
VOC membutuhkan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal dan perumahan para pejabat di Batavia. Tidak mengherankan bila kantor dagangnya yang pertama di wilayah Mataram terletak di Jepara. VOC juga membutuhkan beras sehingga berharap dapat berniaga dengan daerah-daerah pesisir penghasil beras.
“Mengapa VOC butuh beras padahal orang Belanda tidak makan nasi?” tanya Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia. “Ternyata, beras adalah komoditas untuk Asia, seperti dijual ke Malaka.”
Akan tetapi, menurut sejarawan M.C. Ricklefs, peperangan yang dilancarakan Sultan Agung menghancurkan tanaman padi, dan pada 1618 ketika terjadi kekurangan dia melarang penjualan beras kepada VOC. Hubungan VOC-Mataram pun memburuk.
“Konon, orang-orang Belanda menyamakan Sultan Agung dengan seekor anjing dan telah mengotori masjid Jepara; ada tuduhan-tuduhan mengenai dirampoknya kapal-kapal Jawa oleh pihak VOC. Akhirnya permusuhan pun meledak,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Setelah saling serang di Jepara, Sultan Agung menyampaikan penawaran kepada VOC. Pada 1621, dia memulangkan personel VOC yang ditawan bersama beras ke Batavia. Tetapi, dia meminta bantuan VOC untuk melawan Surabaya, Banten, dan Banjarmasin. VOC menolak. Setelah Surabaya jatuh pada 1625, Sultan Agung bersiap menghadapi VOC.
“Satu-satunya raja Mataram yang menentang VOC adalah Sultan Agung, yang dua kali mengerahkan pasukannya ke Batavia tahun 1628-1629,” kata Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
VOC hanya menderita sedikit kerugian walaupun pada 20 September 1629 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen meninggal karena penyakit kolera. Kendati lebih dari sekali pasukan Mataram hampir menguasai benteng VOC, namun kedua serangan itu menuai kegagalan. Mereka mengalami penderitaan karena penyakit dan kelaparan, bercerai-berai dalam perjalanan pulang, dan yang tak kembali menghimpun diri.
Menurut Mona, banyak dari mereka tidak berani pulang karena kalah perang, kalau pulang mereka akan dibunuh. “Mereka menetap dan kawin-mawin dengan penduduk setempat. Karena itu, di Jakarta ada daerah Matraman dari Mataraman,” ujar Mona.
Panglima-panglima pasukan Mataram yang mundur pada Desember 1628, dihukum mati. “VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala,” tulis Ricklefs.
Para penulis kronik sejarah Mataram atau Sultan Agung sendiri, lanjut Ricklefs, menyembunyikan kegagalannya dengan memaklumatkan sebuah ramalan “bahwa zaman di mana Mataram dan VOC akan menjadi sekutu akan tiba.”
Setelah serangan yang gagal itu hubungan Mataram dengan VOC lebih damai. Khususnya pada masa Amangkurat I, pengganti Sultan Agung yang wafat pada 1646, tidak kurang dari sepuluh utusan VOC dikirim ke Mataram. “VOC sangat membutuhkan beras dari Mataram dan juga pembebasan tawanan-tawanan Belanda di Mataram, sementara itu Amangkurat sangat mengharapkan hadiah-hadiah yang melimpah dan berharga dari VOC,” kata Sri Margana.
Agaknya sultan-sultan memiliki kesamaan dalam menyukai hadiah-hadiah mewah. Bahkan, kata Mona, “Sultan Banten minta unta pada Belanda. Belanda kasih karena untuk memuluskan monopoli dagang.”
Lukisan Sutan Agung karya S. Sudjojono. (Indonesian Visual Art Archive/Dwi Rachmanto).
Hubungan VOC dengan Amangkurat I memburuk karena dia kejam dan lalim. Dia pun melarang VOC berdagang langsung dengan daerah-daerah pesisir, penghasil beras dan kayu, karena keuntungan yang diperolehnya sedikit. Dia menyuruh VOC mengirim dutanya langsung ke Mataram untuk membicarakan kebutuhan beras dan kayu.
“Penguasa-penguasa pesisir lebih suka berurusan dengan VOC karena bisa berdagang dengan fair,” kata Mona. “Kalau kepada kerajaan, mereka hanya mempersembahkan upeti, kalau perang harus mengerahkan orang.”
Menurut Sri Margana, di akhir pemerintahan Amangkurat I terjadi perubahan besar dalam hubungan politik antara VOC dan Mataram. Jika pada masa sebelumnya Mataram hanya membutuhkan hadiah-hadiah dari VOC, pada saat Mataram diserang oleh Trunajaya dari Madura, hubungan ini menjadi semakin politis. Mataram mulai menghendaki bantuan militer untuk merebut kembali istana Mataram yang jatuh ke tangan Trunajaya pada 1677. Tidak lama kemudian, Amangkurat I meninggal pada Juli 1677 di Tegalwangi.
Hanya dengan beberapa pusaka keramat, tanpa harta kekayaan, pasukan, dan istana kerajaan, Amangkurat II memulai masa pemerintahannya. “Hanya ada satu cara yang memungkinkan untuk mengangkat dirinya sebagai penguasa di Jawa: dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di pihaknya,” tulis Ricklefs.
“Amangkurat II dalam tradisi babad Jawa dikenal sebagai Amangkurat Amral atau Admiral, karena dia dinobatkan oleh VOC dengan mengenakan pakaian seperti admiral VOC,” ujar Sri Margana.
Hubungan VOC dengan Mataram berlanjut bahkan sampai Mataram terpecah pada 1755 dan 1757 menjadi Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, dan Mangkunegaran Surakarta. Menurut Sri Margana, hubungan VOC dan Mataram sebelum terbagi menjadi tiga lebih banyak hubungan mutualistis, walaupun banyak membawa kerugian di pihak Mataram. Setiap sultan yang terancam oleh pemberontakan, selalu mengundang VOC.
Hubungan diplomatik yang mengubah perpolitikan Jawa antara VOC dan Mataram terjadi masa Pakubuwana II di Kartasura. Pada masa pemerintahannya Mataram diserang oleh pemberontak yang didukung orang-orang Tionghoa. Pakubuwana II terusir dari keraton dan meminta bantuan VOC untuk merebut kembali takhtanya dari pemberontak. Usaha ini berhasil dan Pakubuwana II kembali bertakhta.
“Menjelang ajalnya Pakubuwana II membuat surat perjanjian dengan VOC yang pada intinya menyerahkan seluruh kekuasaan Mataram kepada VOC dan juga keberlangsungan dinastinya kepada VOC,” kata Sri Margana. “Sejak itu maka suksesi kerajaan selalu atas pertimbangan VOC.”
Menurut Sri Margana, satu hal yang penting dicatat adalah dalam setiap perjanjian diplomatik antara VOC dan Mataram selalu menyodorkan syarat-syarat berupa perluasan teritorialnya. Jika pada masa Amangkurat I Mataram kehilangan wilayah pesisir utara Jawa, maka pada masa Pakubuwana II wilayah Mataram di ujung Timur Jawa (dari Pasuruan ditarik garis lurus ke selatan sampai Banyuwangi), termasuk kerajaan Blambangan, juga diserahkan kepada VOC. VOC sempat menelantarkan Blambangan dengan tidak membuka pelabuhan baru. Namun, setelah Kongsi Dagang Inggris (EIC) berupaya membuka kantor dagang di sana, barulah pada 1767 VOC mengirimkan tentara untuk melakukan kontrol administratif di Blambangan.
Selain dengan Mataram dan Blambangan, VOC juga menjalin hubungan intensif dengan Kesultanan Banten. Banten adalah pengekspor lada yang utama di Nusantara. Para pedagang Eropa menjadikan Banten sebagai pintu masuk ke Nusantara. Bahkan, sebelum mendirikan pusat perdagangannya di Batavia pada 1619, VOC menjadikan Banten sebagai kantor dagangnya yang utama. Ketegangan dalam Kesultanan Banten terjadi setelah Sultan Haji berambisi untuk menggantikan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Menurut Mona, ekspansi VOC harus berakhir dengan monopoli. Tapi sultan-sultan mempersilakan pedagang asing lain, seperti Inggris untuk berdagang. VOC kemudian memanfaatkan intrik dalam istana, seperti kasus Kesultanan Banten.
“Tirtayasa tidak suka sama VOC dapat bantuan dari Inggris. Tapi anaknya, Sultan Haji, berambisi bertakhta meminta bantuan VOC. Perebutan takhta dalam kerajaan-kerajaan dimanfaatkan oleh VOC. Mereka mengundang VOC yang memiliki persenjataan,” kata Mona.
Tirtayasa yang didukung ulama asal Makassar, Syekh Yusuf al-Makassari, akhirnya menyerah pada 1683, dipenjarakan di Batavia dan meninggal pada 1695. Sejak 1680-an, VOC menguasai Banten atas nama Sultan Haji. Dalam suatu perjanjian Sultan Haji menyerahkan hak monopoli lada kepada VOC dan melarang para pedagang asing memasuki pelabuhan Banten.
Sketsa pengepungan Batavia oleh pasukan Mataram, 1628. (kb.nl).
VOC di Luar Jawa
Di luar Jawa, VOC berhubungan intensif dengan kerajaan Ternate, Tidore, dan Bone. Sultan Tidore, Saifuddin meminta bantuan VOC untuk mengusir Spanyol dari wilayahnya pada 1662. Spanyol pergi dari Maluku pada 1663 dan VOC menjadi kekuatan Eropa paling utama di wilayah itu. Imbalannya VOC mendapatkan monopoli rempah-rempah dan VOC memberikan kompensasi tunai.
Begitu pula dengan Sultan Ternate, Mandar Syah meminta bantuan VOC untuk mengusir Portugis. Menurut Ricklefs, Mandar Syah adalah pemimpin yang tidak populer dan berkarakter buruk, tapi mampu bertahan di singgasananya berkat bantuan VOC. “Untuk mengakui kenyataan ini, dia menamakan putra mahkotanya Sultan Amsterdam dan putranya yang lain Sultan Rotterdam,” tulis Ricklefs.
Sejak pertengahan abad ke-17 Kerajaan Ternate, Tidore, dan Bacan dapat dikendalikan VOC. Sebuah perjanjian pada 1683, menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan itu bukan lagi sekutu, tapi daerah kekuasaan VOC. “Tetapi para sultan dan bangsawan diperkenankan memerintah terus sebagai vasal dari VOC. Bahkan, VOC mendapat hak untuk mengangkat sultan baru,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia IV.
Raja Bone, Arung Palakka meminta bantuan VOC untuk melawan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar atau Gowa-Tallo. VOC membantunya karena Makassar menyebut VOC yang memonopoli telah melakukan “perdagangan penyelundupan”. Makassar juga memberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan kepada rival VOC, yaitu Portugis, Inggris, dan Denmark. Sedangkan Arung Palakka memendam kesumat karena Makassar beberapa kali menyerang dan menaklukkan Bone. Sampai akhirnya, Arung Palakka yang bertahun-tahun menjadi tawanan Makassar, dengan dukungan VOC, berhasil mengalahkan Makassar.
Peperangan diakhiri dengan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 yang mengakibatkan seluruh wilayah kekuasaan Makassar di Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur diserahkan kepada VOC. Arung Palakka sendiri menjadi orang terkuat di Sulawesi Selatan sampai wafatnya pada 1696. Dia mempersatukan kerajaan-kerajaan Bugis sehingga dijuluki oleh VOC sebagai De Koning der Boeginesen.
Lukisan Sultan Saifuddin dari Tidore. (Koleksi Museum Czartoryski Polandia).
Kolonialisme yang Diundang
Menurut Sri Margana, campur tangan VOC dalam urusan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara hampir semua kasus karena undangan mereka yang sedang mengalami masalah pemberontakan atau suksesi. Setiap kali campur tangan, kontrak atau perjanjian politik ditandatangani. Selama dua ratus tahun VOC di Nusantara telah ditandatangani tidak kurang seribu perjanjian yang telah dihimpun dalam seri Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum.
Dari fakta ini, kata Sri Margana, tidak mengejutkan jika ada pendapat bahwa yang terjadi dengan penjajahan oleh Belanda di Indonesia adalah invited colonialism (kolonialisme yang diundang). “Karena hampir semua keberhasilan pendudukan wilayah oleh VOC selama dua ratus tahun itu terjadi atas undangan kerajaan-kerajaan lokal yang meminta bantuan VOC ketika menghadapai masalah suksesi, perang, dan pemberontakan,” kata Margana.
Menurut Mona, penguasa-penguasa kerajaan mengundang VOC untuk menyelesaikan masalah dalam kerajaannya atau antarkerajaan tidak bisa disebut sebagai upaya VOC mengadu domba. “Saya tidak terima politik adu domba (devide et impera) pada masa VOC, tapi zaman van Mook, saya terima karena jelas van Mook mendirikan negara-negara boneka untuk melawan negara kesatuan Republik Indonesia. Tapi zaman VOC tidak ada. Buktinya, kasus di Banten, VOC diundang oleh Sultan Haji. Di Mataram, VOC diundang oleh Amangkurat,” kata Mona.
Juga tidak mengherankan, kata Sri Margana, jika ada anggapan bahwa penjajahan Belanda atas Indonesia memiliki landasan politik dan legal formal. Karena sebagian besar wilayah didapat bukan dengan usurpasi (merebut kekuasaan yang bukan haknya) secara sepihak tetapi dengan perjanjian dengan kerajaan atau penguasa lokal lainnya.*