Antara Senen dan Klender

Revolusi 1945 memberi panggung kepada kalangan dunia hitam untuk ikut berjuang. Ada yang akhirnya jadi menteri.

OLEH:
Wenri Wanhar
.
Antara Senen dan KlenderAntara Senen dan Klender
cover caption
Imam Syafi'i alias Bang Pi'i (tengah). (Koleksi keluarga Imam Syafi'i).

JULUKANNYA “menteri copet”. Di kawasan Senen, Jakarta, kalau cabriolet kap terbukanya lewat, orang-orang mengangguk hormat. Itulah Bang Pi’i. Dia punya pasukan bernama Sebenggol; isinya semua pencopet.  

Cerita tentang Pi’i beredar dari mulut ke mulut. Nama sebenarnya Imam Syafi’i –ada juga yang menuliskan Iman Syafe’i. Dia anak yatim piatu. Sejak kecil dia biasa menggelandang dan mencopet di area Pasar Senen. Pi’i tumbuh jadi pemimpin preman Pasar Senen. Dia sendiri mengaku keturunan Si Jampang, jagoan legendaris berjuluk “Robinhood Betawi”.  

Dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel, Misbach Yusa Biran, yang kala itu masih berjualan majalah bekas di Bioskop Grand, melukiskan Pi’i selalu necis. Dia santun, ramah, dan mudah akrab. Banyak perempuan bersimpati padanya.

JULUKANNYA “menteri copet”. Di kawasan Senen, Jakarta, kalau cabriolet kap terbukanya lewat, orang-orang mengangguk hormat. Itulah Bang Pi’i. Dia punya pasukan bernama Sebenggol; isinya semua pencopet.  

Cerita tentang Pi’i beredar dari mulut ke mulut. Nama sebenarnya Imam Syafi’i –ada juga yang menuliskan Iman Syafe’i. Dia anak yatim piatu. Sejak kecil dia biasa menggelandang dan mencopet di area Pasar Senen. Pi’i tumbuh jadi pemimpin preman Pasar Senen. Dia sendiri mengaku keturunan Si Jampang, jagoan legendaris berjuluk “Robinhood Betawi”.  

Dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel, Misbach Yusa Biran, yang kala itu masih berjualan majalah bekas di Bioskop Grand, melukiskan Pi’i selalu necis. Dia santun, ramah, dan mudah akrab. Banyak perempuan bersimpati padanya.  

Meski buta huruf, Pi’i punya kemampuan organisatoris. Untuk urusan ini dia tandem dengan Mat Bendot yang terkenal dengan senjata buntut ikan pari. Dua jagoan Senen itu nyaris selalu berdua. Termasuk untuk urusan perempuan. Ketika menikah dan punya rumah, mereka tinggal bersebelahan di wilayah Bungur, Senen.  

Dibanding Pi’i, badan Mat Bendot lebih tinggi. Usianya juga lebih tua. Tak ayal Pi’i memanggilnya abang. Nama sebenarnya Ahmad Bunyamin. “Dia dipanggil Mat Bendot karena tukang kawin,” ujar Haji Adran, 88 tahun, bekas pengawal Mat Bendot kepada Historia.

Mat Bendot disebut-sebut cucu Mat Item, jawara Rawa Belong yang di zaman kolonial sering bikin susah kompeni. “Sebenarnya Mat Item dan Mat Bendot orang asli Kampung Areman, Kelapa Dua, Cimanggis (kini bagian dari Depok, red.),” kata Alamsyah, 64 tahun, anak pertama Mat Bendot dari istri ketiga.  

“Sebelum Perang Dunia Kedua, Mat Bendot dikenal sebagai pemuda jagoan. Zaman Jepang dia jadi pengemudi truk dari Dinas Pengangkutan Batu Bara milik Jepang,” tulis Misbach.  

Di Jakarta, Haji Darip juga seorang jago kesohor. Nama sebetulnya Muhammad Arif, lahir tahun 1900. Dia anak Pak Gempur, salah satu jago Betawi di era kompeni. Pada usia 11 tahun dia belajar ke Makkah. “Dia berangkatnya bareng Kyai Nurali dan Haji Hasbullah,” ujar sejarawan Ali Anwar kepada Historia.  

Ketika bekerja pada perusahaan kereta api, Darip terlibat dalam pemogokan pada 1923. Darip kemudian merekrut penjahat untuk dijadikan pengikut. Wilayah kekuasaannya membentang dari Klender, Jatinegara, Pulogadung, hingga sisi barat Bekasi. Salah satu yang diandalkannya adalah Panji, seorang penodong ulung yang kemudian jadi menantunya dan diberi kepercayaan memimpin pasukan berani matinya.  

Pada masa pendudukan Jepang, para jago tersebut direkrut para pemuda nasionalis radikal, terutama dari kelompok Menteng 31, guna mengamankan aktivitas bawah tanah mereka dari endusan Kempetai. Karena relasi itulah mereka memiliki pemahaman mengenai nasionalisme dan patriotisme.  

“Rasa frustrasi akibat kuatnya tekanan Belanda mungkin merupakan salah satu di antara sekian faktor yang menyebabkan dunia hitam Batavia tertarik dengan pergerakan kaum nasionalis Indonesia,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945–1949.

Hubungan itu kian nyata setelah proklamasi kemerdekaan. Ketika para pemuda Menteng 31 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API), banyak jago dan kriminal bergabung. “Dunia hitam Jakarta, setidaknya bagian yang memiliki kesadaran politik, adalah elemen alamiah para pengikut API,” lanjut Cribb.  

Mereka menjadi kepanjangan tangan para pemuda nasionalis untuk memobilisasi rakyat. Bang Pi’i dan Mat Bendot mengumpulkan para jago dan orang-orang dunia hitam di Senen ke dalam Oesaha Pemoeda Indonesia (OPI). Sementara Haji Darip membentuk Barisan Rakyat Indonesia (BRI) di Klender –yang kemudian bergabung dengan Barisan Rakyat (BARA) pimpinan Maruto Nitimihardjo, Syamsuddin Can, Sidik Kertapati, dan M.H. Lukman.

Kiri-kanan: Imam Syafi'i (Bang Pi'i), Achmad Bunyamin (Mat Bendot), dan Muhammad Arif (Haji Darip). (Koleksi keluarga Imam Syafi'i dan Achmad Bunyamin).

Angkat Senjata

Untuk mendapatkan senjata, OPI sering menyerang tangsi-tangsi Belanda yang bertebaran di Senen-Lapangan Banteng. Tak jarang mereka terlibat pertempuran sengit melawan pasukan Sekutu dan Batalyon X KNIL. Bila truk-truk NICA keluar dari markas Batalyon X KNIL, tembakan para pemuda dan laskar-laskar dari atas Bioskop Grand dan sekitarnya segera menyambut. Sontak tembakan balasan pun terdengar.  

“Si Pi’i punya pistol dan kalau menembaki Belanda dia paling depan. Pi’i pun menjadi sangat populer di wilayah Pasar Senen dan Tanah Tinggi,” tulis Misbach.  

Om Hendrik, tangan kanan sekaligus adik ipar Mat Bendot, membenarkan apa yang ditulis Misbach. “Bang Pi’i memang selalu paling depan saat meletus pertempuran di Senen,” katanya kepada Historia.  

Dia juga ingat, para pemuda Senen yang dipimpin Bang Pi’i dan Mat Bendot sering menculik serdadu NICA. “Orang-orang NICA yang berhasil ditangkap dibantai di daerah Kramat Pulo Gundul. Sekarang jadi Puskesmas. Dulu tanahnya agak tinggi. Luas kayak lapangan bola. Itu dulu kuburan massal tentara NICA,” ujar Om Hendrik.

OPI biasa bersekutu dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang sayap militernya dipimpin J. Rapar, teman lama Pi’i di dunia hitam. Selain itu, OPI menggandeng BARA di bawah Haji Darip. “Haji Darip yang membebaskan para perampok dan pencuri di Cipinang dijadikan anak buah mereka,” ujar Ali Anwar.  

Kerjasama itu memungkinkan bertambahnya kekuatan, sokongan logistik, dan keleluasaan bergerak. Kerjasama itu pula yang mendasari API membentuk Laskar Rakjat Djakarta Raja (LRDR), yang dipimpin Sutan Akbar, pada 22 November 1945.  

Situasi Jakarta yang tak kondusif membuat Sekutu melayangkan protes kepada pemerintah Indonesia. Maka, Perdana Menteri Sjahrir pun memerintahkan semua badan perjuangan untuk keluar dari Jakarta.  

Perintah itu dipatuhi. Bang Pi’i dan pasukannya mengikuti langkah LRDR yang menyingkir ke Bekasi-Kerawang. “Imam Syafi’i, sesuai dengan pembawaannya yang dramatis, meninggalkan kota dengan menunggang seekor kuda putih di depan para pengikutnya, dengan janji bahwa suatu hari dirinya akan kembali,” tulis Cribb.  

Sementara Haji Darip dan pasukannya tetap memilih bertahan di Jakarta, dengan tetap menjaga kerjasama dengan tokoh dan jago di front sekitarnya. Tugas utama mereka adalah menjadi “kunci pintu terakhir” perjuangan Republik di ibukota.  

Mereka melakukan aksi penyelundupan senjata dan sandang-pangan. Tak jarang mereka mengambil keuntungan dari situasi ini untuk merampok dan menjarah harta benda milik orang kulit putih dan kuning atau mengutip uang dari penduduk bumiputra sembari memaksa mereka memekikkan “merdeka”. Namun, pasukan Haji Darip akhirnya harus menyingkir ke Bekasi menyusul kekalahan demi kekalahan dalam pertempuran.  

Kiri-kanan: Hendrik Irwan dan Haji Adran, pengawal dan tangan kanan Mat Bendot; Alamsyah, anak Mat Bendot. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Usai Perang

Di luar Jakarta, LRDR terus memerangi NICA. Guna memompa semangat rakyat, saban malam LRDR menggunakan transmisi RRI dan menerbitkan Godam Djelata untuk menyiarkan program-program perjuangan. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, mereka menceburkan diri ke dalam aksi penyelundupan, terutama beras, yang mereka perdagangkan di sekitar garis demarkasi.  

Seiring gerak maju pasukan Belanda, LRDR terus bergeser ke timur. Saat Divisi Siliwangi melakukan reorganisasi badan perjuangan, unit LRDR Bang Pi’i termasuk satu dari tiga unit yang bergabung dengan tentara reguler (Siliwangi). Bagi Pi’i, sebagaimana dijelaskan Cribb, penggabungannya ke Siliwangi bukan semata karena kekecewaannya terhadap LRDR yang kian radikal-kiri, tetapi juga legitimasi dan pelatihan resmi dari tentara. Bersama dua unit bekas LRDR lainnya, unit Istimewa Pi’i bertugas di Cirebon lalu Subang.  

“Saya ikut perang di Cirebon sama-sama Mat Bendot dan Bang Pi’i,” kenang Haji Adran. “Dulu saya sering bareng. Ke mana-mana selalu ikut.”  

Sementara di Bekasi, Haji Darip membawa pasukannya bergabung dengan LRDR. Dia pula yang ditunjuk jadi komandan sebuah unit kecil LRDR. Bersama kesatuan dan laskar lain, pasukan Darip memerangi Belanda. Namun, pasukannya terpaksa bergeser ke timur seiring gerak maju musuh. Selain kondisi itu, Haji Darip menghadapi kekecewaan karena menantunya, Panji, malah membelot dan bahkan menjadi mata-mata Belanda.  

Pada 1947, Haji Darip berada di Cirebon dan di sanalah dia ditangkap pasukan Belanda. Penjara Glodok menjadi huniannya hingga dibebaskan pada 1950. Sejak itu, nama Darip tak nyaring lagi. Dia meninggal dunia tahun 1981 dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di Klender.  

Rumah Achmad Bunyamin (kiri) dan Rumah Imam Syafi’i (kanan). (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Nasib Bang Pi’i jauh lebih baik. Dia tetap menjadi tentara. Untuk mewadahi anak buahnya yang tak lolos masuk tentara, dia mendirikan organisasi bernama Cobra yang membantu mengamankan Jakarta. “Nama Cobra itu gara-gara film Darna,” kata Om Hendrik, merujuk pada film Filipina tahun 1951 yang banyak menampilkan ular cobra. “Film Darna diputar di bioskop REX, dekat Bunderan Senen. Hampir semua nonton film itu. Semenjak itu kita buat Geng Cobra. Bang Pi’i dan Bang Amat B langsung setuju saja.”  

Amat B adalah panggilan Ahmad Bunyamin atau Mat Bendot seusai masa revolusi. Karena sudah menjadi petinggi tentara dia tak mau lagi dipanggil Mat Bendot.  

Karier Bang Pi’i bersinar ketika menjadi menteri negara urusan keamanan dalam Kabinet Dwikora II. Sedangkan Mat Bendot alias Amat B, yang menjabat Komandan Bagian Chusus/Sub Seksi Keamanan Penguasa Perang Daerah Djakarta Raya dan Sekitarnya di Kodam V, minta pensiun pada 1962.  

“Dulu, di Pasar Senen, toko-toko tidak memajang foto Soekarno. Tapi foto Pak Pi’i dan Bang Amat B,” kata Saiman, 74 tahun, ketua RT di wilayah Bungur, Senen.  

Kendati berkuasa, merujuk cerita sejumlah orang, laku perangai Bang Pi’i dan Bang Amat B lebih mirip Robinhood. “Zaman mereka sedang jaya-jayanya, orang sini kenyang,” ujar Saiman.

“Mereka suka bagi-bagi uang. Saya suka ikut antri, tau deh uang dari mana,” ujar Mak Cici, tetangga Bang Pi’i dan Bang Amat B di Bungur, Senen.  

Pasca huru-hara 1965, karena dituduh Sukarnois, Bang Pi’i ditahan di penjara Nirbaya, Jakarta Timur. Dia meninggal dunia pada 1970. Sedangkan Bang Amat B masuk Partai Murba dan diminta Adam Malik menjadi ajudannya. Dia meninggal dunia tahun 1984 dan dimakamkan di TPU Kawi-Kawi, Senen.*

Tulisan ini dikerjakan bersama M.F. Mukthi

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66a88db4b764517882c258df