Api Terakhir di Bhumi Kadiri

Kertajaya konflik dengan para brahmana. Ken Angrok memanfaatkannya.

OLEH:
Risa Herdahita Putri
.
Api Terakhir di Bhumi KadiriApi Terakhir di Bhumi Kadiri
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina

Tentara Ken Angrok sudah meninggalkan Tumapel. Mereka bergerak bak gelombang besar dari timur Gunung Kawi menuju Daha. Bersama kaum brahmana dari sekte Siwa, Waisnawa, Buddha, dan Tantrayana. Bersatu dengan petani, perusuh, perampok, dan penjudi. Pertempuran sengit terjadi sebentar lagi.

Desas-desus mengenai serangan itu sudah tersebar lama. Orang Daha mendengar kabar bahwa Ken Angrok yang berhasil menjatuhkan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel, akan membawa kekacauan pada kota mereka. Namun Dandang Gendis, raja Kadiri di Daha, tak percaya. Siapa pula yang bisa mengalahkannya. “Hanya Bhatara Guru yang bisa,” ujar Dandang Gendis sesumbar.

Namun, begitu pasukan Ken Angrok mendekat, Dandang Gendis tersadar. Penguasa bawahannya, Ken Angrok, mendapat dukungan semua pihak. Bahkan diperbolehkan para pendeta Siwa-Buddha untuk memakai nama Bhatara Guru.

“Kalau begini saya akan kalah karena Ken Angrok dilindungi dewa-dewa,” kata Dandang Gendis.

Jarak Tumapel dari keraton Kadiri hanya setengah hari berjalan kaki. Pasukan harus cepat disiapkan.

Tentara Ken Angrok sudah meninggalkan Tumapel. Mereka bergerak bak gelombang besar dari timur Gunung Kawi menuju Daha. Bersama kaum brahmana dari sekte Siwa, Waisnawa, Buddha, dan Tantrayana. Bersatu dengan petani, perusuh, perampok, dan penjudi. Pertempuran sengit terjadi sebentar lagi.

Desas-desus mengenai serangan itu sudah tersebar lama. Orang Daha mendengar kabar bahwa Ken Angrok yang berhasil menjatuhkan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel, akan membawa kekacauan pada kota mereka. Namun Dandang Gendis, raja Kadiri di Daha, tak percaya. Siapa pula yang bisa mengalahkannya. “Hanya Bhatara Guru yang bisa,” ujar Dandang Gendis sesumbar.

Namun, begitu pasukan Ken Angrok mendekat, Dandang Gendis tersadar. Penguasa bawahannya, Ken Angrok, mendapat dukungan semua pihak. Bahkan diperbolehkan para pendeta Siwa-Buddha untuk memakai nama Bhatara Guru.

“Kalau begini saya akan kalah karena Ken Angrok dilindungi dewa-dewa,” kata Dandang Gendis.

Jarak Tumapel dari keraton Kadiri hanya setengah hari berjalan kaki. Pasukan harus cepat disiapkan.

Tak lama tentara Tumapel sampai di Daha. Di utara Ganter (kini diperkirakan menjadi Dusun Ganten, Desa Tulungrejo, Kecamatan Ngantan, Kabupaten Malang), taman istana, mereka menubruk pasukan Kadiri yang gelagapan karena diserang tiba-tiba. Perang pun pecah, yang kemudian lebih dikenal sebagai Perang Ganter.

Kedua belah pihak bertempur sama berani. Tapi pasukan Kadiri tak bisa berbuat banyak. Seorang ksatria bernama Raden Mahisa Walungan, adik Dandang Gendis, tewas. Begitu juga Menteri Gubar Baleman. 

Pasukan Kadiri kocar-kacir. Percaya diri pun sudah tak punya. Mereka lalu berbalik memunggungi huru-hara. Tak ada yang berani kembali menghadapinya.

Dandang Gendis menggigit bibir. Kekacauan di hadapannya sudah tak terkendali. Dia segera berbalik pergi, mengungsi ke tempat perdewaan bersama kuda dan hamba-hambanya, pembawa payung, pembawa tempat sirih, pembawa tempat air, dan pembawa tikar. Sejak itu Dandang Gendis tak lagi ketahuan rimbanya.

Begitulah kisah akhir Kerajaan Kadiri, sebagaimana dikisahkan dalam Serat Pararaton, yang digempur pasukan Ken Angrok pada 1222 M. 

Patung Ken Arok. (shutterstock)

Tak Lagi Utuh

Sebelum dilibas pasukan Ken Angrok, Kadiri sudah mempertahankan eksistensinya selama seabad. Embrionya lahir setelah Airlanga, raja Kahuripan, membagi kerajaannya menjadi dua di akhir masa pemerintahannya demi menyelesaikan persaingan di antara kedua putranya. Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, Daha, diserahkan kepada Samarawijaya. Sedangkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diberikan kepada Mapanji Garasakan. 

Kendati sudah dibagi, perang saudara tetap terjadi bertahun-tahun lamanya. Hingga akhirnya Janggala ditaklukkan Sri Jayabhaya, raja Kadiri.

Dandang Gendis adalah raja terakhir Kadiri. Selain di Serat Pararaton, yang mencitrakannya sebagai raja durhaka, nama Dangdang Gendis tak ditemukan di manapun, baik di dalam prasasti maupun karya sastra lainnya. Dalam berbagai catatan sejarah raja terakhir Kadiri yang ditundukkan oleh penguasa Tumapel lebih banyak disebut dengan nama Kertajaya. 

Ketika naik takhta, Kertajaya mungkin sudah mewarisi wilayah kerajaan yang tak lagi utuh. Sebaran prasasti Kertajaya menunjukkan wilayah pemerintahannya yang tak besar.

Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang (UNM), menjelaskan kekuasaan Kertajaya pada masa akhir Kadiri meliputi wilayah yang sekarang dikenal sebagai eks Karesidenan Kediri, yakni Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Tulungagung sampai Malang di timur Gunung Kawi. 

Di wilayah itulah sembilan prasasti Kertajaya ditemukan. Prasasti Kertajaya seakan menjadi pagar bagi wilayah kekuasaannya.

“Kita belum mendapat gambaran jelas soal wilayah di sebelah utara Kadiri. Karena sebaran prasasti Kertajaya tak didapati di sana,” kata Dwi.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="z46zrym9-peta-temuan-prasasti" data-w="720" data-h="985" data-domain="my"></div></div>

Sebaran Temuan Prasasti Kertajaya 

Prasasti Sapu Angin (1190 M) di Perkebunan Sapu Angin, Desa Geger, Kalangbret, Tulungagung. 

Prasasti Kamulan (1194) di Desa Kamulan, Durenan, Trenggalek.

Prasasti Palah (1197 M) di Desa Penataran, Nglegok, Blitar. 

Prasasti Ukir Negara/Pamotoh (1198 M) di Perkebunan Ukir Negara, Desa Sirah Kencong, Wlingi, Blitar. 

Prasasti Galunggung (1200 M) di Desa Panjerejo, Rejotangan, Tulungagung. 

Prasasti Biri (1202 M), kini menjadi benda koleksi Museum Nasional di Jakarta, tak diketahui lokasi asalnya tapi diperkirakan di Desa Kalangbret, Kauman, Tulungagung. 

Prasasti Sumberingin Kidul (1204 M) di Desa Sumberingin Kidul, Ngunut, Tulungagung.

Prasasti Lawadan/Wates Kulon (1205 M) di Desa Wates, Campurdarat, Tulungagung.

Prasasti Merjosari II (1217 M) di Kelurahan Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang.

Semua prasasti Kertajaya itu berisi pemberian anugerah kepada rakyatnya yang setia. Dengan melakukan itu Kertajaya tengah berusaha mempertahankan dukungannya.

“Pinggir-pinggir itu seperti benteng. Makanya banyak anugerah, ucapan terima kasih kepada rakyat yang telah mendukung dia, untuk menyemangati rakyat, stimulus supaya mereka tetap setia,” kata Novi Bahrul Munib, sejarawan dan ketua komunitas Pelestari Sejarah Kadiri (PASAK).

Di bagian barat Kadiri, yakni wilayah Ponorogo, Madiun, dan sekitarnya sudah ada penguasa lainnya yang memerintah secara otonom. 

Sementara di timur kerap diwarnai gejolak. Keraton Kadiri di Katang-Katang pernah diserang musuh dari timur bahkan tak lama setelah Kertajaya naik takhta. “Di Kabupaten Kediri masih terdapat sebuah dukuh yang mirip dengan nama Katang-katang yaitu dukuh Katang, Desa Sukorejo, Kecamatan Gampengrejo, lokasi Kantor Kabupaten Kediri sekarang,” ujar Novi.

Serangan itu memaksa raja mengungsi. “Kalau dalam Prasasti Kamulan raja mengungsi ke daerah Kamulan, di Trenggalek [di mana prasasti ditemukan],” ujar Novi.

Masih di Timur, ancaman juga datang dari wilayah Malang atau Tumapel, yang berada di bawah kendali Kadiri. Gejolak sudah muncul ketika masa Tunggul Ametung. Intensitasnya meningkat setelah wilayah timur Gunung Kawi itu beralih ke tangan Ken Angrok. Sejak itu wilayah yang kini menjadi Kecamatan Ngantang di Kabupaten Malang pun menjadi perbatasan antara dua kekuatan politik, Kadiri dan Tumapel.

Kondisi politik yang kacau pada era Kertajaya tercitrakan dalam Kakawin Nagarakrtagama yang selesai ditulis pada 1365 M. Mpu Prapanca menilai minusnya pemerintahan Kertajaya lebih kepada kegagalannya menyatukan Jawa. Kertajaya dijabarkan sebagai penjahat. Kekuasaannya membuat penduduk terganggu.

Namun, selama 28 tahun memerintah, serangan-serangan yang datang tak pernah berhasil menerobos benteng keraton Kertajaya.

Peta Khadiri. (Gun Gun Gunadi/Historia.ID)

Melanggar Adat

Kadiri yang tak lagi utuh semakin terancam setelah Kertajaya melakukan “pelanggaran adat” dengan menyuruh para pendeta menyembah padanya. 

“Hai para pendeta Siwa-Buddha, mengapa kalian tak menyembah kepadaku, karena aku adalah Bhatara Guru,” seru Kertajaya.

“Tuanku, dari dulu tak ada pendeta menyembah raja.”

“Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus menyembah kepadaku!”

Kertajaya menancapkan tangkai tombak ke dalam tanah. Tepat di ujung mata tombak, ia duduk. “Hai para pendeta, lihat kesaktianku!” Tiba-tiba, di pusat dahinya muncul mata ketiga. Dua lengan tumbuh di kiri dan kanan sisi tubuhnya. Ia menjelma menjadi Dewa Siwa, bermata tiga, berlengan empat.

Para brahmana bergeming. Mereka memilih pergi dari Kadiri.

Kisah seteru antara Kertajaya dan para pendeta dalam kisah Serat Pararaton memang perlu dikritisi. Penuh mitos dan sihir. Penulisnya pun misterius. Ditambah karya ini ditulis jauh setelah Ken Angrok tiada. 

Keraguan itu diungkapkan Bertram Johannes Otto Schrieke, profesor etnologi asal Belanda di dalam karyanya yang sudah diterjemahkan, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia: Penguasa dan Kerajaan Jawa pada Masa Awal. “Otentisitas kisah ini tampak sangat meragukan bagi saya. Jika anekdot ini merupakan peristiwa sejarah maka Dangdang Gendis tentu terjangkit gejala megalomania,” tulisnya.  

Menurut Schrieke, kisah di dalam Pararaton lebih mencerminkan kepercayaan orang Jawa pada kedatangan tokoh sang penebus, dalam hal ini Ken Angrok. Sementara perseteruan Kertajaya dengan kaum Brahmana dipandang sebagai pertanda datangnya malapetaka, yakni kejatuhan Kertajaya sekaligus akhir Kerajaan Kadiri. 

“Konsep kaliyuga dan pralaya mempengaruhi teori sejarah Jawa,” tulis Schrieke. 

Konsep ini dipakai untuk membenarkan fakta sejarah tergulingnya seorang maharaja oleh raja bawahannya atau raja dari mandala yang lain. Kejadian ini disebut dengan istilah pralaya, yaitu kehancuran dunia pada akhir zaman kaliyuga atau kegelapan. Yang selamat hanyalah Dewa Wisnu, yang nantinya akan membangun dunia baru yang adil, makmur, dan damai.

Namun rupanya bukan hanya Pararaton yang mengangkat perseteruan antara penguasa dan kaum agamawan pada masa akhir Kadiri. Tantu Panggelaran juga menceritakan soal itu. Pada 1924, teks Tantu Panggelaran diterbitkan kembali oleh Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dengan judul De Tantu Panggelaran. Berdasarkan bagian kolofonnya, naskah ini selesai ditulis pada 1557 M.

Oleh penggubah Tantu Panggelaran, Kertajaya disebut dengan nama Sri Maharaja Taki. Ceritanya, sang raja mendengar ada bujangga mengerikan bertapa di perkuburan di puncak Kalyasem. Bujangga seram ini makan mayat manusia. Namanya Mpu Barang. Dia adalah penganut aliran Bairawa, Siwa dalam bentuk yang menakutkan.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa33286f4145947e5bc9e7_Intersection%205.jpg" alt="img"></div><figcaption>Gunung Kawi 1865 - 1872. (wikimediacommons)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa332d1b28454ffcf578ad_Intersection%206.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/api-terakhir-di-bhumi-kadiri/Dwi%20-%20Politik%20Penguasa%20Otonom.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Dwi Cahyono</b><br>Arkolog-Sejarawan Universitas Negeri Malang (Koleksi pribadi).</span></div></div></div>

Raja mengutus dua bersaudara penganut Buddha, Mpu Tapa Wangkang dan Mpu Tapa Palet, untuk membunuh bujangga itu.

“Pergilah dua orang penganut Buddha itu untuk menjalankan perintah membunuh bujangga kotor, yaitu dalam cara hidupnya,” catat Tantu Panggelaran.

Namun, kedua mpu itu tak jadi membunuh Mpu Barang. Mereka malah menyembahnya. Rupanya Mpu Barang adalah jelmaan Bhatara Parameswara atau Siwa. Tantu Panggelaran kemudian menyebut kedua mpu bersaudara itu berubah menjadi pengikut sekte Siwa.

Selain masalah itu, raja murka ketika menyadari Mpu Tapa Palet berkasih-kasihan dengan permaisuri hingga mengandung. Permaisuri diusir. Mpu Tapa Palet diburu. “Tersebarlah bala tantara Raja Taki mencari Mpu Tapa Palet. Ada yang ke timur, ke barat, ada yang ke selatan, dan ada ke utara,” catat Tantu Panggelaran.

Seakan menjadi kelanjutan cerita itu, nama Mpu Tapa Wangkeng dan Mpu Tapa Palet muncul dalam Pararaton. Dalam kitab ini mereka tak lagi berada di wilayah Daha, tetapi di timur Gunung Kawi.

Mpu Tapa Wangkeng, misalnya, disebutkan pada paragraf awal naskah itu sebagai Mpu Tapa Wengkeng. Sama seperti versi Tantu Panggelaran, dia merupakan ketua asrama mandala di Bulalak.

Menurut Pararaton, Mpu Tapa Wengkeng memberi restu kepada anak janda di Jiput yang berkelakukan tak baik agar bisa menjelma lagi di dunia dalam kelahiran yang mulia. Si anak meminta padanya untuk lahir kembali di sebelah timur Gunung Kawi. Anak itu pun lahir sebagai Ken Angrok.

Sementara Mpu Tapa Palet yang melarikan diri dari Kadiri akhirnya tak jadi ditangkap karena kepandaiannya memahat. Menurut Tantu Panggelaran, dia meninggalkan ajaran Buddha dan bertekad menjadi resi.

Dalam Pararaton ada pula nama yang mirip, yakni Mpu Palot, kepala asrama kependetaan di Turyantapada. Kepadanya, Ken Angrok pernah belajar menjadi pengrajin emas. Ken Angrok bahkan diaku anak.

Novi berpendapat kisah dalam naskah-naskah itu menjadi pertanda adanya perbedaan persepsi antara aliran kepercayaan pada masa akhir Kadiri. “Ini sebenarnya perpecahan di antara penganut aliran kepercayaan. Ajaran weda itu kan ada banyak sektenya. Ini ada crash (tabrakan).” 

Kala itu mungkin ada golongan yang tak mendukung dominasi suatu aliran dan merasa terganggu. “Lalu ada unsur politik masuk. Kekuatan religi bergabung dengan politik yang antipemerintahan, jadilah pemberontakan besar [Perang Ganter 1222 M],” kata Novi.

Persaingan Aliran Kepercayaan

Dewa Siwa (wikimediacommons)

Aliran Waisnawa, yang telah ada sejak abad ke-10, agaknya mendominasi kepercayaan raja-raja Kadiri. Dalam abhiseka atau penobatan raja, sejak Airlangga hingga raja-raja setelahnya, gelar yang digunakan sebagai inkarnasi atau awatara menggunakan unsur dari Dewa Wisnu.

Kertajaya sendiri ditahbiskan sebagai raja bergelar Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikramanindita Srnggalanchana Digjayottungadewanama. Triwikramanindita merupakan serapan nama Dewa Wisnu, yakni triwikramawatara yang berarti penjelmaan triwikrama. Pun dalam prasasti-prasasti. Prasasti Kamulan (1194 M), misalnya, menyebut Kertajaya sebagai penjelmaan Dewa Wisnu atau Wisnumurityawatara.

Namun, menjelang akhir kekuasaan, Kertajaya memutuskan untuk berganti aliran menjadi pemuja Siwa. Alasannya tak jelas.

Dalam prasasti terakhirnya, Prasasti Merjosari II, Kertajaya mencantumkan pujian kepada Siwa. Prasasti ini dikeluarkan pada 1217 M, lima tahun sebelum pecah perang di Ganter.

“Awal pemerintahan, dia adalah tokoh beraliran Wisnu, tapi dalam prasasti terakhirnya disebutkan pujian kepada Dewa Siwa,” kata Novi.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="jwd0rj11-peta-politik-jatim" data-w="720" data-h="869" data-domain="my"></div></div>

Dewa Wisnu. (wikimediacommons)

Prasasti Merjosari II mencatat bahwa Kertajaya sedang melakoni tahapan terakhir dari empat tahapan hidup, yakni mencari ilmu (brahmacari), berumah tangga (grhasta), pensiun dan menjauhkan diri dari nafsu duniawi (wanaprastha) untuk menyiapkan diri kepada tahap terakhir, yakni sanyasa, meninggalkan keterikatan dengan dunia melalui meditasi.

Dengan menjalani wanaprastha, Kertajaya tak memakai gelar maharaja. Dia hanya disebut sebagai Kertajaya.

Novi menduga, mungkin setelah menjadi wanaprastha, dia mendapat pencerahan sebagai penganut Siwa. Di sisi lain, “Ada indikasi Kertajaya melakukan gerilya. Apakah di akhir masa gerilya pergi ke pertapaan, ke kabikuan di hutan, mengingat posisi ditemukannya Prasasti Merjosari II ada di wilayah Ken Angrok,” kata Novi. 

Apa yang dilakukan Kertajaya mengingatkan pada taktik Kertanagara, raja Singhasari terakhir, yang menjalankan ritual Tantra untuk menghadapi Kubilai Khan, kaisar Mongol. Rivalnya itu menganut Buddha Tantrayana aliran Kalacakra.

“Ini disebut balance of power. Eranya ketika itu pola keseimbangan merasuk di politik religi,” kata Dwi.

Koalisi Aliran Kepercayaan

Pada masa itu, kaum rohaniawan memberikan kekuatan besar bagi seorang penguasa. Seorang brahmana, apalagi dari mandala atau asrama terkenal, memiliki pengaruh besar.

“Mereka punya umat, punya orang yang fanatik pada dirinya, jadi bisa menggerakan banyak orang. Jangan hanya lihat jumlah rohaniawannya, tapi berapa jumlah jemaat di belakangnya,” kata Dwi.

Kaum brahmana menduduki kelas sosial tertinggi. Lebih terhormat dibandingkan ksatria. Mereka punya wewenang penuh dalam urusan keagamaan. Mereka juga mengawasi pembinaan candi, bangunan-bangunan pemujaan, dan tanah perdikan. Menurut sejarawan dan filolog Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama, wewenang agama memberikan mereka kekuasaan materi dan kehormatan.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="kkyo113x-raja-jatim" data-w="720" data-h="1736" data-domain="my"></div></div>

Tak sedikit rohaniawan yang terlibat dalam birokrasi pemerintahan. Di antaranya bertugas di pengadilan atau menjadi dewan penasihat raja. Karenanya akan menjadi ancaman besar jika para rohaniawan mencabut dukungannya. 

“Mereka punya banyak informasi. Sementara ada rival yang memanfaatkan para rohaniawan yang sakit hati karena berkonflik dengan raja,” kata Dwi.

Dan itulah yang dilakukan Ken Angrok; menjalin hubungan dengan para rohaniawan. 

Lohgawe, pendeta Hindu-Waisnawa, berperan besar dalam sepak terjang Ken Angrok. Pararaton mengungkapkan bahwa dia datang dari India untuk mencari titisan Dewa Wisnu dan dia menemukannya dalam diri Ken Angrok.

Lewat perantara pendeta Lohgawe, Ken Angrok menghambakan diri pada Tunggul Ametung. Ini memberikan kesempatan kepada Ken Angrok untuk merebut kursi akuwu Tumapel. Pararaton menyebut, sebelum merebut kekuasaan Tumapel, Ken Angrok mengunjungi tempat-tempat keramat (rabut) dan guru-guru agama di wilayah timur Kadiri.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa333139310c61e3e09a33_Intersection%209.jpg" alt="img"></div><figcaption>Candi Singhasari. (shutterstock)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa33344c385888708dfc25_Intersection%2010.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/api-terakhir-di-bhumi-kadiri/Novi%20-%20Serangan%20Ken%20Arok.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Novi Bahrul Munib.</b><br>Sejarawan dan Komunitas Pasak Kadiri. (Historia.ID).</span></div></div></div>

Bahkan perkawinan Ken Angrok dengan Ken Dedes pun penuh perhitungan. Ken Dedes merupakan putri Mpu Purwa, pendeta Buddha Mahayana yang sakti. Agus Aris Munandar, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, dalam “Menafsirkan Ulang Riwayat Ken Angrok dan Ken Dedes dalam Kitab Pararaton” yang terbit dalam Jurnal Manassa, Vol. 1, No. 1, 2011, berpendapat bahwa perkawinan Ken Angrok dan Ken Dedes menjadi perlambang koalisi agama Hindu-Siwa dan Buddha Mahayana.

“Ken Angrok, Hindu-Siwa, dan Ken Dedes, Buddha Mahayana, bersatu dalam perkawinan dan mengembangkan dinasti baru Rajasa dan kerajaan baru Singhasari,” tulis Agus. 

Itu mungkin sekaligus menjadi awal koalisi antara Hindu-Siwa dan Buddha pada zaman Singhasari, khususnya pada era pemerintahan Ken Angrok sebagai raja pertamanya. Buktinya, pada masa Singhasari mulai dibangun candi-candi bernapas Siwa-Buddha. Di antaranya Candi Singhasari di Malang, Candi Jawi di Pasuruan, Candi Jago di Malang, dan Candi Jabung di Probolinggo. 

Ken Angrok terkesan lebih terbuka pada semua aliran kepercayaan yang berkembang di Jawa. “Ken Angrok mengambil alih para pendukung dari sekte Brahma, Waisnawa, Siwa, Tantra, dan Buddha Mahayana,” kata Dwi.

Empat puluh tahun setelah menjadi akuwu Tumapel, Ken Angrok didatangi para brahmana dari Daha. Mereka mengaku tak setuju pada sikap maharaja Kertajaya. Para brahmana lalu menobatkan Ken Angrok sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Bahkan dia diberi izin memakai nama Bhatara Guru untuk mengalahkan Kertajaya.

“Dia melegitimasi dirinya dengan tiga dewa sekaligus. Dia lahir dari Dewa Brahma, lalu disebut pula sebagai jelmaan Wisnu yang turun ke bumi, dan ketika wafat dicandikan sebagai Siwa di Kagenengan dan sebagai Buddha di Usana,” kata Novi.

Demikianlah, dengan dukungan gabungan masyarakat dan kaum brahmana, Ken Angrok atau Rangga Rajasa merobohkan Kertajaya dan mengakhiri riwayat Kadiri.*

<div class="video-content"> <video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/api-terakhir-di-bhumi-kadiri/Kertajaya%20edit%2008.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/api-terakhir-di-bhumi-kadiri/Kertajaya%20edit%2008.mp4"></video></div>

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
61dd04d14cac9ef162cc87a9