Aristokrat yang Progresif

Saluku Purbodiningrat lahir dari keluarga keraton Yogyakarta. Memilih marxisme sebagai jalan perjuangan.

OLEH:
Nur Janti
.
Aristokrat yang ProgresifAristokrat yang Progresif
cover caption
Prof. Ir. Saluku Purbodiningrat ketika menjadi anggota Konstituante. (konstituante.net).

SUATU hari, pukul 06.00, pesawat-pesawat Belanda berputar-putar di atas Gedung Kepresidenan Yogyakarta (kini Gedung Agung). Demi menghindari bahaya dari agresi militer Belanda I itu, Presiden Sukarno mengungsi ke kediaman Saluku Purbodiningrat, rekannya ketika kuliah di Technische Hoogeschool (THS, sekarang Institut Teknologi Bandung).

Rumah Purbodiningrat berlokasi di Jalan Patangpuluhan No. 22, sekira 3 km ke arah barat daya dari Gedung Kepresidenan. Sukarno datang bersama istrinya, Fatmawati, serta anak-anaknya, Guntur dan Megawati.

SUATU hari, pukul 06.00, pesawat-pesawat Belanda berputar-putar di atas Gedung Kepresidenan Yogyakarta (kini Gedung Agung). Demi menghindari bahaya dari agresi militer Belanda I itu, Presiden Sukarno mengungsi ke kediaman Saluku Purbodiningrat, rekannya ketika kuliah di Technische Hoogeschool (THS, sekarang Institut Teknologi Bandung).

Rumah Purbodiningrat berlokasi di Jalan Patangpuluhan No. 22, sekira 3 km ke arah barat daya dari Gedung Kepresidenan. Sukarno datang bersama istrinya, Fatmawati, serta anak-anaknya, Guntur dan Megawati.

“Waktu itu saya masih SMP. Saya tahunya pagi-pagi Bung Karno dan keluarga sudah ada di rumah,” ujar Siti Ismusilah, anak keempat Purbodiningrat.

Selain sebagai tempat tinggal sementara, rumah Purbodiningrat dipergunakan sebagai istana darurat Presiden Sukarno. Menurut Lumiadji, putra pertama Purbodiningrat, tokoh-tokoh Republik sering kali rapat di rumahnya. Suatu kali rapat diadakan di ruang tengah, lain waktu di ruang depan yang lebih luas.

“Ayah saya tiap malam sampai nggak bisa tidur. Kalau malam selalu rapat. Saya pernah lihat Sutan Sjahrir waktu itu,” kata Ismusilah.

Ismusilah mengatakan, ketika Pangkalan Udara Adisutjipto diserang Belanda, suara ledakan terdengar sampai rumah. Orang-orang di rumah sempat panik. Para tentara dan pengawal takut rumah tersebut dijatuhi bom karena tepat di atas mereka pesawat Belanda terbang berputar-putar. Dalam otobiografinya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Fatmawati menulis, ketika situasi genting seperti itu, dia bersembunyi di bawah wastafel sambil menggendong Guntur.

“Kalau ada bunyi sirine atau kalau ada pesawat terbang di atas rumah, kami langsung bersembunyi di bawah apa saja,” kata Lumiadji. Dalam ingatan Lumiadji, Sukarno dan keluarga menginap di rumahnya selama seminggu.

Untuk menjaga keselamatan keluarga presiden, sidang kabinet memutuskan mereka pindah ke Kandangan, Madiun, di sebuah rumah milik onderneming kopi.

Rumah Purbodiningrat tahun 1940-an. (Dok. BPCB Yogyakarta).

Sang Arsitek

Purbodiningrat merupakan keluarga kesultanan Yogyakarta. Dia lahir di Yogyakarta pada 23 Maret 1904 dari pasangan Gusti Putro, putra Sultan Hamengkubuwono VII, dan garwo ampeyan atau selir BRay. Djuwitaningrum.

Gusti Putro pernah diangkat sebagai putra mahkota, menggantikan kakaknya, Gusti Juminah, yang wafat. Sayangnya, Gusti Putro juga wafat sebelum naik takhta padahal hari dan tanggal pelantikan sebagai sultan sudah ditentukan. Adiknya, Gusti Sujadi, akhirnya diangkat menjadi putra mahkota dan naik takhta sebagai Hamengkubuwono VIII.

Purbodiningrat anak keempat dari sebelas bersaudara. Sebagai anak dari keluarga ningrat, dia bisa mengenyam pendidikan yang layak: Europeesche Lagere School (ELS) Yogyakarta, Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang, hingga kuliah di THS –satu almamater dengan Sukarno.

“Bung Karno lulus satu tahun lebih dulu dibanding ayah saya,” kata Lumiadji. “Waktu di THS sudah saling kenal. Bung karno banyak bergerak di politik, ayah saya di bidang pendidikan.”

Lulus dari THS, Purbodiningrat menerapkan ilmunya. Ketika Sultan Hamengkubuwono VIII punya gagasan membuat makam keluarga di Kotagede, Purbodiningrat yang mengerjakannya. Jadilah Makam Hastarengga. Purbodiningrat juga membuat denah Pesanggrahan Tamansari tahun 1942.

Purbodiningrat sempat bekerja sebagai kepala Perencanaan Kota dan Negara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Salah satu rancangannya adalah studio Cinedrama Institut yang berlokasi di Maduretnan, Notoprajan, Yogya. Pramoedya Ananta Toer dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia: 1948 menyebutkan, Cinedrama Institut dibuka atas usaha Kementerian Penerangan. Tujuannya sebagai studio film nasional yang modern serta mendidik artis dengan teori dan praktik. Di kementerian, Purbodiningrat kemudian menjabat sebagai anggota merangkap ketua Badan Pembantu Jawatan Perumahan Rakyat hingga 1952.

Waktu di THS sudah saling kenal. Bung karno banyak bergerak di politik, ayah saya di bidang pendidikan.

Pada 1953, Purbodiningrat membuat perencanaan kota Yogyakarta, mengembangkan apa yang sudah dikerjakan Pangeran Mangkubumi pada 1756, arsitek Belanda Thomas Karsten (1936), dan Martinus Putuhena yang kala itu menjabat menteri pekerjaan umum (1947). Hadi Sabari Yunus dalam “The Evolving Urban Planing: The Case of The City of Yogyakarta”, dimuat The Indonesian Journal of Geography, Vol. 21, No. 61, Juni 1991, menyebut yang paling kentara dalam rancangan Purbodiningrat adalah pembangunan kota yang dipusatkan di pinggiran utara Yogyakarta, tepatnya di sekeliling Universitas Gadjah Mada (UGM).

Hadi menulis, Purbodiningrat sejak awal ingin mengembangkan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Pemerintah daerah Kota Yogyakarta No. 1/1989 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta menyebut realisasi perencanaan kota milik Purbodiningrat diberlakukan sejak 1953 hingga 1958. Meski demikian, hingga 1986 Purbodiningrat’s Plan masih digunakan sebagai kerangka dasar pengembangan Kota Yogyakarta.

Purbodiningrat kemudian membaktikan ilmunya di UGM. Dia dilantik sebagai guru besar teknik sipil pada 1 Februari 1954. Purbodiningrat juga anggota senat dan dosen teknik sipil UGM yang mendalami tata ruang kota.

Di luar aktivitasnya sebagai insinyur, Purbodiningrat aktif dalam banyak aktivitas sosial. Bersama kakaknya, Pangeran Pakuningrat dan Pangeran Surjohatmodjo, dia mendirikan Mataramsche Vereeniging voor Radio Omroep (Mavros) atau Persatuan Siaran Radio Mataram, cikal bakal RRI, di Yogyakarta pada 22 Februari 1934.

“Acara Mavro seputar ketoprak, wayang, klenengan Jawa,” kata Lumiadji. “Ayah saya suka berkesenian bersama saudaranya untuk melestarikan budaya Jawa.”

Purbodiningrat juga terlibat dalam pendirian Sekolah Seni Drama dan Film Indonesia (SSDRAFI). Sekolah ini digagas dalam Kongres Kebudayaan I di Magelang tahun 1948 –dalam kongres itu Purbodiningrat membawakan makalah berjudul “Kebudayaan dan Pembangunan Kota-kota”. Gagasan ini diwujudkan Institut Kebudayaan Indonesia (IKI) Yogyakarta yang diketuai Purbodiningrat. Sebagai direktur SSDRAFI ditunjuk Sri Murtono. Purbodiningrat sendiri duduk sebagai anggota dewan penyantun.

SSDRAFI, yang berdiri tahun 1951, berlokasi di kawasan Malioboro sebelum pindah ke Dalem Pakuningratan, Jalan Sompilan Ngasem 12 Yogyakarta. Pada Mei 1955, SSDRAFI ganti nama jadi Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi).

“Eyang itu salah satu pendiri Asdrafi. Itu cikal bakal sekolah teater di Indonesia. Sudah meluluskan banyak bintang film yang tenar,” kata Anggrita Salestiani, cucu Purbodiningrat dari putri ketiganya, Siti Salmiati.

Rumah Purbodiningrat sekarang. (Nur Janti/Historia.ID).

Aristokrat Progresif

Kendati terbatas, pandangan Marxis-Sosialis mempengaruhi sejumlah kaum ningrat di Yogyakarta. Soegiri DS dalam Spektrum Kemerdekaan Indonesia dan Demokrasi menyebut adik-kakak Hertog dan Purbodiningrat.

BRM Hertog, yang sesudah menjadi salah seorang bupati Keraton Yogyakarta bernama KRT Djojonegoro, pernah belajar di Fakultas Indologi di Leiden, Belanda, dan aktif sebagai anggota Perhimpunan Indonesia. Dia adalah ketua panitia penyelenggara Kongres Pemuda I di Yogyakarta setelah proklamasi kemerdekaan. Setelah kongres itu, dia dipilih sebagai ketua Dewan Pimpinan Pesindo Daerah Jawa Tengah Selatan.

“Kakaknya, Prof. Ir. KRT Purbodiningrat, aktif di dalam gerakan perdamaian dan anggota Dewan Nasional SOBSI. Ia juga beroerintasi sosialis,” tulis Soegiri.

Tak jelas sejak kapan Purbodiningrat aktif di Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Yang pasti, pada 1950-an Purbodiningrat aktif dalam organisasi-organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Namun yang melambungkan namanya adalah aktivitasnya dalam Komite Perdamaian Indonesia (KPI).

Purbodiningrat salah seorang perintis KPI dan dia pula yang jadi ketuanya. KPI bernaung di bawah Dewan Perdamaian Dunia (World Peace Council atau WPC) yang bermarkas di Wina, Austria. Secara otomatis, Purbodiningrat menjadi anggota WPC. Organisasi ini gencar mengkampanyekan pelarangan senjata atom.

Pada 1950-an Purbodiningrat aktif dalam organisasi-organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada Januari 1954, KPI menghelat Kongres Perdamaian Dunia di Jakarta untuk mengumpulkan tanda tangan guna mendukung Seruan Wina menolak senjata atom. Bersama Prijono, profesor dari Universitas Indonesia yang juga anggota WPC, Purbodiningrat jadi pimpinan Kongres. Kongres ini menghasilkan 2,5 juta tanda tangan.

Sebagai ketua KPI, Purbodiningrat hadir dan memberikan ceramah dalam World Assembly for Peace di Helsinki, Finlandia, pada Juni 1955. Dalam pidatonya, dia menekankan, ”World Assembly ini diadakan tepat pada saat di satu sisi ada provokasi dan persiapan untuk sebuah perang baru, sementara di sisi lain ada gerakan perdamaian yang berkembang di seluruh dunia, terutama di Asia dan Afrika.”

Pada Mei 1957, sebagai ketua KPI, Purbodiningrat bersama istrinya mengunjungi Korea. Mereka ditemani perwakilan dari Serikat Buruh Percetakan Indonesia yang dipimpin sekretarisnya, Boenadi Hadisoemrto. Mereka disambut Perdana Menteri Kim Il-sung. Dari sini terbentuklah Lembaga Persahabatan Korea-Indonesia di Korea dan di Yogyakarta di mana Purbodiningrat jadi ketuanya.

Sebelumnya, Purbodiningrat juga ditunjuk sebagai ketua Asosiasi Persahabatan Indonesia-Tiongkok yang dibentuk di Yogyakarta pada Juni 1955. Delegasi Tiongkok yang datang ke Indonesia dipimpin Kuo Mo Jo, sastrawan-cum-sejarawan. Setahun kemudian, Purbodiningrat menjadi ketua Indonesia-USSR Society of Friendship, yang dibentuk di Yogyakarta.

Karena kiprahnya dalam gerakan perdamaian dunia, Purbodiningrat dicalonkan sebagai menteri oleh PKI.

Purbodiningrat dan istrinya mengunjungi pabrik tekstil di Pyongyang, Korea Utara. (New Korea, Juli 1957).

Gagal Jadi Menteri

Pada 8 Maret 1956, Ali Sostroamidjojo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditunjuk sebagai formatur kabinet. Presiden Sukarno berharap terbentuknya kabinet baru yang mencerminkan kekuatan empat partai besar pemenang Pemilu 1955. Namun PNI, Nahdlatul Ulama, dan Masyumi menolak keikutsertaan PKI, karena khawatir atas pesatnya dukungan PKI dalam pemilu.

Menurut Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, PKI menuntut kabinet tanpa Masyumi. Namun ketika Ali melibatkan Masyumi, PKI mengubah posisinya dan menekan agar satu atau lebih simpatisannya masuk kabinet. Mereka adalah Sadjarwo dari Barisan Tani Indonesia sebagai menteri negara urusan transmigrasi; AM Hanafi, sekretaris jenderal Kongres Rakyat Seluruh Indonesia, sebagai menteri muda perburuhan; dan Purbodiningrat sebagai menteri negara urusan parlemen.

Ali menolak semua kandidat itu. Dia mengajukan susunan kabinetnya kepada presiden. Namun Sukarno memintanya menimbang lagi masuknya simpatisan-simpatisan PKI plus Asmara Hadi, editor surat kabar di Bandung dan suami Ratna Djuami, anak angkatnya.

Ali membawa usulan presiden ke rapat partai tapi tak disetujui. Kendati tak puas, Sukarno melantik Kabinet Ali II.

Gagal jadi menteri bukanlah masalah. Toh, dalam pemilu untuk memilih anggota Konstituante pada Desember 1955, Purbodiningrat lolos. Bersama 19 orang lainnya, Purbodiningrat membentuk Fraksi Republik Proklamasi, berisi “orang-orang tak berpartai” yang maju dalam pemilu Konstituante melalui PKI.

“Waktu ayah saya menjadi anggota Konstituante, saya sudah kuliah di ITB tahun 1957. Saya sering menjenguk ayah dengan datang ke hotel tempatnya menginap,” kata Lumiadji.

Konstituante bertugas membuat Undang-Undang Dasar (UUD) baru. Perdebatan panas terjadi dalam pembahasan dasar negara. Fraksi Republik Proklamasi mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Dalam sidang III, 14 November 1957, Purbodiningrat dengan tegas menyatakan,”Pancasila-lah yang paling cocok untuk Republik Indonesia.”

Purbodiningrat membentuk Fraksi Republik Proklamasi, berisi “orang-orang tak berpartai” yang maju dalam pemilu Konstituante melalui PKI.

Perdebatan berlarut-larut mengenai dasar negara menjadi dalih bagi Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Purbodiningrat tak menyelesaikan tugasnya di Konstituante. Dia maju dalam pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di daerah asalnya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan terpilih. Dalam Surat Keputusan DPRD DIY dari tahun 1958 hingga 1961 nama Purbodiningrat tercatat sebagai anggota dari Fraksi PKI. Dia duduk di seksi V yang mengurusi pekerjaan umum, inspeksi lalu lintas, sekretariat, dan inspeksi perumahan rakyat.

Kendati bukan sebagai wakil PKI, Purbodinigrat menyatakan diri masuk dalam Fraksi PKI. “Sikap dan tindakannya dalam lembaga itu sama dengan wakil-wakil PKI,” tulis majalah mingguan Pesat, 27 Mei 1964.

Sebagai bagian dari Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Sukarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota-anggota DPR plus wakil-wakil dari golongan dan daerah. Pada September 1960, Purbodiningrat ikut dilantik sebagai anggota MPRS dari golongan cendekiawan/pendidik. Dia duduk di Komisi D yang menggawangi bidang produksi.

Sukarno juga membubarkan DPR hasil pemilu dan membentuk DPR Peralihan sebelum digantikan dengan DPR Gotong Royong (DPR-GR), di pusat maupun daerah. Di Yogyakarta, anggota DPRD-GR dilantik pada Maret 1962. Purbodiningrat baru tercatat sebagai anggota DPR-GR Yogyakarta dari unsur cendekiawan pada 1964. Dia duduk di seksi I yang mengurusi bidang kesekretariatan, pemerintahan umum, perundang-undangan, keuangan, dan pekerjaan umum.

Di luar kesibukannya sebagai anggota DPRD, Poerbodiningrat memberi perhatian pada pendidikan. Bersama dua saudaranya, BPH Pakuningrat dan Pangeran Sukadari, dia mendirikan Universitas Rakyat (Unra) di Ngabean dan Kuncen, sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang digagas PKI. Purbodiningrat duduk sebagai wakil ketua Unra. Salah satu muridnya adalah Mia Bustam, istri dari pelukis kenamaan Sudjojono.

Dalam Dari Kamp ke Kamp, Mia Bustam menulis ketiga bersaudara tersebut merupakan pangeran yang progresif. Pangeran Pakuningratan bahkan menyediakan pendoponya untuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang sehaluan dengan PKI, ketika mengadakan pertunjukan.

Purbodiningrat ketika menjadi anggota Konstituante. (konstituante.net).

Keraton Merah

Keterlibatan Purbodiningrat dan orang-orang keraton dalam gerakan kiri menarik dicermati. Menurut Muhidin M. Dahlan, pendiri sekaligus arsiparis Warung Arsip, hal itu tidaklah mengherankan. Keraton Yogyakarta peka terhadap perubahan zaman, tahu ke mana bandul sejarah mengarah.

“Arus sejarah saat itu memang berkiblat ke kiri. Akhirnya keraton memangku kiri,” ujarnya.

Kedekatan itu bisa dilihat dari pemberian fasilitas keraton untuk organisasi yang berada di bawah naungan PKI. Misalnya, Markas Korem di Alun-alun Utara Yogyakarta dulunya dipakai Pemuda Rakyat dan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sedangkan kandang gajah di dekat Alun-alun Selatan digunakan Lekra sebagai tempat pertunjukan.

Muhidin juga menjelaskan efek kedekatan keraton dengan golongan kiri. Aksi sepihak justru terjadi masif di Klaten. “Padahal yang namanya penguasa tanah itu ya keraton. Mestinya kan keraton yang kena ganyang,” ujar Muhidin.

Namun, ketika politik tak lagi dikuasai golongan kiri, keraton memutar haluan. “Makanya, di Orde Baru, keraton juga dapat tempat,” ujar Muhidin.

Arah sejarah berubah dengan terjadinya Peristiwa 1965. Namun Purbodiningrat tak menyaksikannya. Dia wafat menjelang subuh di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, pada 6 Mei 1964. Kendati demikian, tentara datang menggeledah, menyita arsip-arsip, dan mengacak-acak rumahnya.

“Kami sudah ketakutan kalau ada majalah eyang yang berbau komunisme atau sosialisme masih tertinggal,” kata Anggrita.

Beruntung, rumah Purbodiningrat aman, bahkan masih berdiri hingga kini. Sayangnya, nasib rumah di Jalan Patangpuluhan No. 22 Yogyakarta itu tak menentu.

Dari perkawinannya dengan Siti Aminah, seorang penari keraton, Purbodiningrat memiliki tujuh anak. Sebagian anaknya meninggal dunia. Praktis, hak waris rumah itu dimiliki anak dan cucu-cucunya. Repotnya, sebagian ahli waris ingin menjualnya, sebagian lagi ingin melestarikannya. Bahkan luas rumah beserta halamannya yang semula 7.000 m2 sudah menyusut jadi sekira 4.200 m2 karena keluarga menjual halaman belakang. Pada 2013, rumah itu sempat ditawarkan seharga Rp29 milyar.

“Kalau saya dan adik-adik saya masih memiliki keterikatan dengan rumah itu karena pernah tinggal di sana. Tapi kalau yang muda-muda sudah tak punya keterikatan. Masih beda-beda pendapat,” ujar Lumiadji.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6458b61431db9508d848a057
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID