Armenia dalam Belenggu Masa Lalu

Armenia mencoba memposisikan diri dalam konstelasi politik dunia. Namun, masa lalu jadi ganjalan: genosida Armenia, diaspora Armenia, dan konflik Nagorno-Karabakh.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Armenia dalam Belenggu Masa LaluArmenia dalam Belenggu Masa Lalu
cover caption
Tigranes Agung (95-66 SM) bersama empat raja di bawah kekuasaannya. Di bawah Tigranes Agung, Armenia menjadi kerajaan terkuat di Asia Kecil. (Armenian History In Italian Art/Wikimedia Commons).

ARMENIA adalah salah satu negara tertua di dunia. Sejarahnya membentang nyaris 3.500 tahun. Nenek moyang bangsa Armenia, suku Hayasa-Azzi, berasal dari dataran tinggi di sebelah timur Asia Kecil. Kini, di masa modern, orang-orang Armenia masih menyebut diri mereka “Hay”, dan negeri mereka “Hayastan”.

Kekuatan politik pertama yang signifikan di Armenia adalah Kerajaan Urartu (860-590 SM). Sekitar 600 SM, Kerajaan Armenia yang independen berdiri di bawah Dinasti Orontid. Di bawah kekuasaan Tigranes Agung (95-66 SM), Armenia menjadi kerajaan terkuat di Asia Kecil.

Sempat dipengaruhi Hellenistik-Paganisme, Zoroasterianisme, dan agama-agama kuno Yunani dan Romawi, pada tahun 301 Raja Tiridates III menetapkan Kristen sebagai agama resmi kerajaan. Praktis, Armenia adalah negara Kristen pertama dalam sejarah. Identitas kebangsaan Armenia pun diteguhkan dengan dibuatnya alfabet Armenia oleh Mesrop Masthots pada tahun 405.

ARMENIA adalah salah satu negara tertua di dunia. Sejarahnya membentang nyaris 3.500 tahun. Nenek moyang bangsa Armenia, suku Hayasa-Azzi, berasal dari dataran tinggi di sebelah timur Asia Kecil. Kini, di masa modern, orang-orang Armenia masih menyebut diri mereka “Hay”, dan negeri mereka “Hayastan”.

Kekuatan politik pertama yang signifikan di Armenia adalah Kerajaan Urartu (860-590 SM). Sekitar 600 SM, Kerajaan Armenia yang independen berdiri di bawah Dinasti Orontid. Di bawah kekuasaan Tigranes Agung (95-66 SM), Armenia menjadi kerajaan terkuat di Asia Kecil.

Sempat dipengaruhi Hellenistik-Paganisme, Zoroasterianisme, dan agama-agama kuno Yunani dan Romawi, pada tahun 301 Raja Tiridates III menetapkan Kristen sebagai agama resmi kerajaan. Praktis, Armenia adalah negara Kristen pertama dalam sejarah. Identitas kebangsaan Armenia pun diteguhkan dengan dibuatnya alfabet Armenia oleh Mesrop Masthots pada tahun 405.

“Dari sana, Gereja Armenia mulai berkembang menjadi entitas tersendiri yang berasosiasi dengan bahasa Armenia, Kristen Monofisitis, dan perjuangan menuntut otonomi dari Persia,” tulis John Myhill dalam Language, Religion, and National Identity in Europe and the Middle East.

Namun, identitas etnis itu tak mampu mengadang serangan bangsa lain atas wilayah Armenia, yang terletak di wilayah Kaukasus, persimpangan Eropa dan Asia.

Byzantium menganeksasi Armenia Barat (387-536), sementara Persia Sassanid memerintah Armenia Timur (428-646). Di masa penaklukan Islam di Timur Tengah, Armenia diperintah sebagai Emirat Armenia (653-884). Dinasti Bagratid (861-1118) sempat memerintah Armenia secara independen. Pada abad ke-12 hingga 15, Armenia berada di bawah pengaruh Turki Seljuk, sebelum direbut Persia Safawi.  

Pada abad ke-16, Armenia kembali terbagi dua: Turki Ottoman merebut Armenia Barat dari Persia tahun 1548, sementara Rusia merebut Armenia Timur pada 1828. Armenia modern mendapatkan kemerdekaannya yang singkat pada 1918, sebelum akhirnya bergabung dengan Uni Soviet pada 1920. Barulah setelah Uni Soviet bubar pada 1991, Armenia benar-benar merdeka.

Perjalanan sejarah itulah yang membuat Armenia tak bisa lepas dari tiga isu kontemporer yang saling bertalian: genosida Armenia, diaspora Armenia, dan konflik Nagorno-Karabakh.

Merekat Simpul Historis

Genosida Armenia masih menjadi pengganjal utama hubungan diplomatik antara Armenia dan Turki. Relasi etnis Turki-Armenia di pengujung masa Kesultanan Ottoman memang jauh dari harmonis. Keinginan orang-orang Armenia untuk mendapatkan otonomi politik yang lebih besar direspons Ottoman dengan brutal. Pada 1915, banyak jiwa orang Armenia melayang dalam pembunuhan massal, yang diklaim Armenia sebagai genosida.

Sampai saat ini Republik Turki, negara suksesor Ottoman, mengadopsi kebijakan yang menolak adanya genosida Armenia. Salah satu alasannya, tak ada bukti bahwa Kekaisaran Ottoman punya “niat untuk menghancurkan” bangsa Armenia, yang terorganisasi dan tersistematis. Mereka juga menyebut banyak warga etnis lainnya yang jadi korban. Pendirian ini membuat posisi Turki kian terpojok setelah makin banyak negara mengakui dan mendukung klaim Armenia.

Selain itu, pemberian pengakuan akan memberikan implikasi berat. Jika Turki menyerah dan mengakui genosida Armenia, “suara-suara berikutnya akan muncul untuk mendesak pemberian kompensasi bagi para korban genosida. Yang selanjutnya, termasuk kompensasi material dan finansial,” tulis Nikolaus Schrodt dalam Modern Turkey and the Armenian Genocide: An Argument About the Meaning of the Past.

Kompensasi itu juga bisa meliputi penyerahan kembali tanah historis Armenia Barat dari tangan Turki kepada Armenia. Satu hal yang sulit diwujudkan mengingat Armenia Barat kaya sumber daya alam mineral.  

Komunitas diaspora Armenia berperan besar dalam membuka mata dunia akan tragedi genosida Armenia. Mereka adalah korban yang selamat dari genosida. Jumlahnya mencapai tujuh juta jiwa, lebih besar dari jumlah penduduk Armenia saat ini sekira tiga juta jiwa. Mereka bertebaran di sejumlah negara, terutama di Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis.

Tentara Armenia dalam Perang Nagorno-Karabakh (1988-1994). (Jalpeyrie/Wikimedia Commons).

Ketika Republik Sosialis Soviet Armenia terbentuk dan bergabung ke Uni Soviet pada 1920, orang-orang Armenia harus beradaptasi dengan lingkungan hidup baru. Soviet Armenia mengalami kemajuan ekonomi dan kestabilan politik di bawah arahan Moskow. Sementara sebagian besar kaum diasporanya meraih sukses dan berkontribusi dalam perkembangan seni, sosial, dan ekonomi di negara tempat mereka tinggal. Keduanya lalu bersepakat menyuarakan genosida Armenia.

Pada 24 April 1965, bertepatan dengan 50 tahun peringatan genosida Armenia, 100.000 orang berdemonstrasi menuntut pengakuan Uni Soviet terhadap peristiwa genosida Armenia di Yerevan. “Peristiwa April 1965 di Yereven menginspirasi semangat nasionalis, yang menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Soviet Armenia selama 25 tahun terakhir eksistensinya,” tulis Thomas de Waal dalam Great Catasthrope: Armenians and Turks in the Shadow of Genocide.

Aksi-aksi serupa dilakukan secara masif di negara-negara yang memiliki komunitas diaspora Armenia. Gerakan moral ini kian membesar dan sejak 1990-an negara-negara lain mulai mengakui adanya genosida Armenia.

Ketika Armenia merdeka pasca bubarnya Uni Soviet tahun 1991, Turki termasuk negara yang mengakui kemerdekaan Armenia. Tapi hubungan kedua negara tak pernah mulus. Ganjalan lainnya datang dari isu Nagorno-Karabakh yang melibatkan kedua negara.

Konflik Belum Berujung

Nagorno-Karabakh adalah wilayah yang berada di bawah otoritas Azerbaijan, pecahan Uni Soviet yang mayoritas penduduknya etnis Armenia. Dibumbui sentimen nasionalisme etnis, sengketa Armenia-Azerbaijan menjadi perang terbuka pada 1988-1994. Dengan dukungan pendanaan dari komunitas diasporanya dan bantuan tentara Rusia, Armenia melancarkan serangan ofensif dan meraih kemenangan. Nagorno-Karabakh merdeka pada 1994, meski tak diakui dunia internasional.

Keterlibatan Armenia ternyata merugikan. Isu Pembantaian Khojaly (1992), yang dilakukan tentara Armenia terhadap ratusan warga sipil Azerbaijan selama konflik, menjadi buah bibir dunia internasional. Ada ironi mengingat Armenia adalah korban dari aksi serupa di masa lalu. Turki dan Azerbaijan juga mempersoalkan tindakan Armenia mengusir semua warga muslim yang berbangsa Azerbaijan/Turki dari Nagorno-Karabakh. Menyusul konflik tersebut, hingga kini Turki dan Azerbaijan masih memblokade perbatasannya, sehingga membuat ekonomi Armenia kian tercekik.

Kendati Armenia, Turki, dan Azerbaijan terus mencoba menyelesaikan konflik dengan normalisasi hubungan diplomatik, isu-isu terkait masa lalu selalu jadi batu ganjalan. Armenia, yang minim sumber daya alam, masih meraba-raba dalam memposisikan dirinya dalam konstelasi politik dunia modern yang kian rumit.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
677375f2264772b88a6847ae