Arsitek Indonesia Pertama yang Sejajar Eropa

Tak mengenyam pendidikan arsitektur tetapi menghasilkan banyak karya bangunan dan arsitektural. Atmodirono diakui sebagai arsitek bumiputra pertama.

OLEH:
Aryono
.
Arsitek Indonesia Pertama yang Sejajar EropaArsitek Indonesia Pertama yang Sejajar Eropa
cover caption
Gedung Societeit Sasana Soeka di Solo (kini Museum Pers Nasional) rancangan Atmodirono. (Repro Levensschets van M.A. Atmodirono).

TAK gampang bagi seseorang menyandang sebutan arsitek. Harus kuliah di jurusan arsitektur lalu, setelah lulus, magang enam bulan hingga satu tahun di biro arsitek. Yang terpenting lagi, tak putus membuat karya rancang bangun.

“Arsitek adalah profesi. Seorang lulusan sekolah arsitektur di perguruan tinggi tidak otomatis disebut arsitek. Ia harus berpraktik merancang bangunan baru bisa disebut arsitek,” ujar Tjahjono Raharjo, ahli tata ruang Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, kepada Historia.

Namun, di masa lalu, ada seorang arsitek yang tak menempuh sekolah formal jurusan arsitek tetapi diakui sebagai arsitek bumiputera pertama. Dia adalah Mas Aboekassan Atmodirono.

“Meski bukan lulusan universitas, Atmodirono merancang cukup banyak bangunan. Lagipula dia lulus tes arsitek di Departement van Burgelijke Openbare Werken, BOW (Departemen Pekerjaan Umum),” ujar Tjahjono.

TAK gampang bagi seseorang menyandang sebutan arsitek. Harus kuliah di jurusan arsitektur lalu, setelah lulus, magang enam bulan hingga satu tahun di biro arsitek. Yang terpenting lagi, tak putus membuat karya rancang bangun.

“Arsitek adalah profesi. Seorang lulusan sekolah arsitektur di perguruan tinggi tidak otomatis disebut arsitek. Ia harus berpraktik merancang bangunan baru bisa disebut arsitek,” ujar Tjahjono Raharjo, ahli tata ruang Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, kepada Historia.

Namun, di masa lalu, ada seorang arsitek yang tak menempuh sekolah formal jurusan arsitek tetapi diakui sebagai arsitek bumiputera pertama. Dia adalah Mas Aboekassan Atmodirono.

“Meski bukan lulusan universitas, Atmodirono merancang cukup banyak bangunan. Lagipula dia lulus tes arsitek di Departement van Burgelijke Openbare Werken, BOW (Departemen Pekerjaan Umum),” ujar Tjahjono.

Mas Aboekassan Atmodirono.

Karsa Anak Jaksa

Hindia Belanda dilanda pancaroba. Hujan disertai angin kencang sesekali turun. Pada 18 Maret 1860, seorang bayi laki-laki hadir di tengah keluarga Atmodirono, seorang jaksa kepala di Purworejo, Jawa Tengah. Bayi itu dinamai Mas Aboekassan Atmodirono, yang kemudian dipanggil Atmodirono saja, mengikuti nama sang ayah. Tanggal lahirnya, 18 Maret diperingati sebagai Hari Arsitektur Indonesia.

Atmodirono menghabiskan masa kecil di Wonosobo, dataran tinggi di tengah Pulau Jawa yang terkenal dengan kompleks Candi Dieng-nya. Sebagai anak jaksa, dia bisa mengenyam pendidikan di Europeesch Lagere School (ELS) yang diperuntukkan bagi keturunan Belanda, Eropa, maupun golongan terpandang bumiputra. Lulus ELS, Atmodirono masuk sekolah teknik Koningin Wilhelmina School di Batavia (Jakarta).  

Pada 1878, di usia 18 tahun, Atmodirono bekerja sebagai pengawas kelas 3 di Departemen Pekerjaan Umum. “Dia menjadi salah satu orang Jawa pertama yang sejajar dengan orang Eropa soal pekerjaan dan gaji,” tulis R.A. van Sandick dalam Levensschets van M.A. Atmodirono.  

Kariernya merangkak naik. Menjadi pengawas kelas 2 lalu kelas 1 serta ditempatkan di Pejarakan, Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, hingga akhirnya di Semarang.

Pada 1898, Atmodirono menempuh ujian arsitek di Waterstaats atau Pekerjaan Umum, di Semarang. Setelah lulus, dia diangkat sebagai arsitek pada Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri.  

Menurut Sandick, Amodirono bekerja sebagai arsitek di Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri selama 19 tahun. Atas pengabdiannya, dia mendapatkan penghargaan Orde van Oranje Nassau pada 1912. Upacara penyematan dihadiri banyak insinyur dan pengawas di Semarang dan daerah sekitarnya. Dalam sambutannya, A.M. Valkenburg, insinyur kepala Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri, mengatakan bahwa dia berharap dedikasi Atmodirono akan menjadi contoh bagi orang lain untuk diikuti.

Sederhana, jujur, dan selalu bersedia membantu dengan perkataan dan perbuatan, di mana pun dia bisa, itu adalah Atmodirono.

Atmodirono juga berkiprah dalam dunia pergerakan. Atmodirono tercatat sebagai anggota Boedi Oetomo. Bahkan, pada kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta pada 3–5 Oktober 1908, dia masuk dalam daftar calon ketua. Kendati gagal, Boedi Oetomo mengantarkan Atmodirono untuk lebih mendalami dunia politik.

Pada 14 Agustus 1911, Atmodirono mendirikan dan menjadi ketua pengurus besar Mangoen Hardjo di Semarang, perhimpunan untuk kalangan pegawai negeri bumiputra. Dalam waktu relatif singkat, tulis Sandick, perhimpunan ini memiliki 2.000 anggota dan 24 kantor perwakilan di Jawa dan Madura. Dia juga memainkan peran penting dalam pembentukan organisasi untuk para bupati bernama Sedyo Moeljo pada 1913, di mana dia memegang jabatan sekretaris.  

Atmodirono juga memberikan perhatian pada kemajuan kota. Dia duduk sebagai anggota Dewan Kotapraja Semarang. Sebagai arsitek yang pernah bertugas di Dinas Pekerjaan Umum, tulis H.C. Kakebeeke dalam artikel “Geschiedenis der Gemeente” yang termuat di buku Gedenkboek Der Gemeente Semarang 1906–1931, Atmodirono memberi perhatian terhadap sistem saluran pembuangan air kota atau saluran air limbah. Lalu di bidang pendidikan, dia tercatat sebagai anggota Kartini Vereeniging (Yayasan Kartini) di Semarang yang bergerak dalam bidang pendidikan perempuan. Selain itu, dia aktif mendirikan sebuah sekolah teknik di Semarang. Pada 1913, bertempat di gedung Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah pertama, dia memberikan pengajaran ilmu teknik sesuai silabus di sekolah teknik Koningin Wilhelmina School.  

“5 hari seminggu setiap malam, dia mengajar anak-anak muda terutama pribumi. Setelah belajar 4 tahun dan menyelesaikan ujian akhir, mereka ditempatkan sebagai pengawas Waterstaat, pekerjaan-pekerjaan umum setempat maupun perusahaan swasta,” tulis Sandick dalam artikel “Ter Herinnering Aan Mas Aboekassan Atmodirono”, termuat di majalah Nederlandsh–Indie Oud & Nieuw edisi April 1921.

Gerbang masuk Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1914. (Tropenmuseum).

Karya Arsitektural

Atmodirono tercatat sebagai anggota perhimpunan teknisi bangunan Vereeniging van Bouwkundigen in Nederlandsch-Indie (VvBNI). Dia juga merancang karya arsitektural. Kebetulan pemerintah kolonial hendak menggelar perayaan untuk memperingati seabad lepasnya Belanda dari Prancis tahun 1914. Meski diprotes Suwardi Suryaningrat lewat artikel “Als ik eens Nederlander was” di harian De Express tahun 1913, perayaan ini tetap digelar.  

Di Semarang, pemerintah menggelar Koloniale Tentoonstelling pada 20 Agustus–22 November 1914. Menempati lahan milik “Raja Gula” Oei Tiong Ham, banyak pihak berkontribusi untuk pameran ini. Termasuk Atmodirono yang merancang beberapa paviliun atau stan pameran.  

“Arsitek Atmodirono telah memulai dengan desain untuk paviliun Semarang, di mana panel ukiran kayu Jepara yang dieksekusi dengan indah akan digunakan,” tulis De Preanger Bode, 26 April 1913.

Nama Atmodirono sebagai arsitek semakin moncer. Dalam buku Tegang Bentang, Pusat Dokumentasi Arsitektur menyebut bahwa gedung Societeit Sasana Soeka di Solo adalah hasil rancangan Atmodirono untuk memenuhi permintaan Mangkunegara VII. Keduanya memang sudah kenal lama dan sama-sama pengurus organisasi Boedi Oetomo.  

Societeit Sasana Soeka diresmikan pada 31 Juni 1918. Bangunan yang memadukan gaya plus langgam Jawa dan kolonial ini kemudian dipakai untuk kegiatan perkumpulan Societeit Mangkunegaran. Anggota Soos –sebutan bagi anggota Societeit Mangkunegaran– sebelumnya rutin mengadakan pertemuan di sebuah rumah kontrakan. Sejak 1978, gedung tersebut beralih fungsi menjadi gedung Monumen Pers Nasional.

Ruas Jalan Atmodirono di Kota Semarang tahun 2019 (kiri) dan Atmodironoweg tahun 1935 (kanan).

Senjakala

Ketika di puncak karier, Atmodirono menerima kabar duka. Basuki, putra lelakinya yang tengah belajar ilmu pertanian di Sekolah Tinggi Pertanian Wageningen Belanda, meninggal dunia karena penyakit TBC pada 15 September 1915. Namun, hidup terus berjalan.  

Pada 1918, Atmodirono terpilih sebagai salah satu dari sepuluh anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dari kalangan bumiputra. Dalam suatu kesempatan berpidato di Volksraad, Atmodirono menyampaikan pesan yang begitu menggugah. Pidatonya, catat Amen Budiman dalam artikel bertajuk Mas Aboekassan Atmodirono di harian Suara Merdeka edisi 8 Oktober 1976, berisi perhatiannya pada kemajuan masyarakat, khususnya yang tinggal di Jawa. Dia juga berjanji tak akan menggunakan jabatannya untuk ongkang-ongkang atau debat kusir melulu, tetapi dengan kesungguhan hati memajukan nasib wong cilik di Pulau Jawa.  

Sejak April 1920, Atmodirono mulai sakit-sakitan. Dia tak bisa menghadiri sesi pra-tahunan Volksraad di Batavia. Dia juga tak bisa lagi secara teratur menghadiri pertemuan kota di Semarang, seperti yang biasa dia lakukan.

Pada 23 Juli 1920, Atmodirono meninggal dunia di rumahnya di wilayah Karreweg (kini, Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo) dan dimakamkan di area pemakaman Bergota, Semarang.

Menurut Sandick, penghormatan terakhir diberikan oleh bekas atasannya yang menjadi kepala urusan pelabuhan Valkenburg, walikota, asisten residen, bupati Semarang dan bupati sekitarnya, pejabat BOW Semarang maupun daerah sekitarnya, anggota dewan utama Boedi Oetomo, Mangoen Hardjo dan organisasi lainnya, hingga perwakilan Pengadilan Solo.

Atmodirono dikenal sebagai sosok yang baik. Dalam suratnya kepada Sandick, Valkenburg menyebut Atmodirono begitu mencintai negeri dan bangsanya. Rumahnya lebih cocok disebut “sekolah asrama” untuk menampung murid-muridnya. Atmodirono juga jujur dan tak mementingkan diri sendiri.  

“Sederhana, jujur, dan selalu bersedia membantu dengan perkataan dan perbuatan, di mana pun dia bisa, itu adalah Atmodirono,” tulis Valkenburg. “Saya belum pernah melihatnya dalam pakaian Eropa. Dia adalah orang Jawa dan tetap seorang Jawa.”

Sepeninggal Atmodirono, pemerintah kota besar Semarang mengabadikan namanya menjadi salah satu nama jalan di pusat kota Semarang.  

“Jalan itu diberi nama Atmodirono atau Atmodironoweg untuk menghormatinya sebagai anggota Volksraad,” ujar Tjahjono.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65f8b0fe67062f57aab0f4af
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID