Arung Samudra Ilmiah

Keinginan untuk mengembangkan sains sebagai instrumen kuasa kolonial berbuah dua ekspedisi ilmiah di laut Hindia Belanda.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Arung Samudra IlmiahArung Samudra Ilmiah
cover caption
Kapal ekspedisi Willebrord Snellius. (“Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” Jurnal Oceanography Vol. 18 karya Hendrik M. van Aken).

LAUT Nusantara beserta keanekaragaman isinya telah membuat takjub segelintir orang Eropa, terutama Belanda. Mereka memandang laut Nusantara bukan hanya sebagai jalur komersial, namun juga dunia misterius yang berpotensi untuk dieksplorasi. 

Mungkin hal itulah yang mendorong Georg Eberhard Rumphius, seorang pegawai rendahan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) asal Jerman, banting setir dari pekerjaan teknisi kapal ke peneliti flora dan fauna selama penempatannya sebagai agen VOC di Pulau Hitu, Ambon, pada 1657. 

Joan Maetsuycker, gubernur jenderal VOC di Batavia, bahkan sampai memberikan dispensasi khusus kepada Rumphius untuk mendalami penelitian alamnya. Tidak sia-sia, dari tangan Rumphius lahir buah karya ilmiah yang bahkan oleh VOC “sengaja tidak dipublikasikan karena memuat informasi yang sensitif.” Karya itu berjudul Het Amboinsche kruidboek, sebuah katalog enam jilid tentang flora dan fauna di Ambon. Ini adalah riset ilmiah pertama di Nusantara.

LAUT Nusantara beserta keanekaragaman isinya telah membuat takjub segelintir orang Eropa, terutama Belanda. Mereka memandang laut Nusantara bukan hanya sebagai jalur komersial, namun juga dunia misterius yang berpotensi untuk dieksplorasi. 

Mungkin hal itulah yang mendorong Georg Eberhard Rumphius, seorang pegawai rendahan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) asal Jerman, banting setir dari pekerjaan teknisi kapal ke peneliti flora dan fauna selama penempatannya sebagai agen VOC di Pulau Hitu, Ambon, pada 1657. 

Joan Maetsuycker, gubernur jenderal VOC di Batavia, bahkan sampai memberikan dispensasi khusus kepada Rumphius untuk mendalami penelitian alamnya. Tidak sia-sia, dari tangan Rumphius lahir buah karya ilmiah yang bahkan oleh VOC “sengaja tidak dipublikasikan karena memuat informasi yang sensitif.” Karya itu berjudul Het Amboinsche kruidboek, sebuah katalog enam jilid tentang flora dan fauna di Ambon. Ini adalah riset ilmiah pertama di Nusantara. 

“Selain tanggung jawabnya sebagai agen VOC, Rumphius dengan tekun meneliti kerang, krustasea, mineral, flora dan fauna secara otodidak,” tulis Hendrik M. van Aken dalam “Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” termuat di jurnal Oceanography Vol. 18 No. 4 tahun 2005. 

Rumphius meninggal dunia tahun 1702. Embargo penerbitan Het Amboinsche kruidboek dicabut dua tahun kemudian. Tapi baru tahun 1741 atau 39 tahun setelah wafatnya Rumphius, karya tersebut bisa diterbitkan.

Anggota peneliti ekspedisi Siboga. Kiri-kanan: Boldingh, Dr. Versluys, Tydeman, Dr. Schmidt, Mevr. Weber, Hoorens van Heyningen, Prof. Weber, dan Nierstrasz. (“Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” Jurnal Oceanography Vol. 18 karya Hendrik M. van Aken).

Arus Kapal-Kapal Riset

Pada masa VOC, belum banyak aktivitas penelitian laut yang secara resmi dilakukan badan-badan penelitian ilmiah. Investasi di bidang sains masih belum menarik dari sisi komersial bagi Kerajaan Belanda. 

Namun, ada sosok-sosok individual yang menekuni penelitian secara mandiri dan akhirnya diakui pemerintah. Selain Rumphius, ada Johannes van Keulen (1654–1715) yang memetakan jalur laut ke Hindia Timur, dan Francois Valentijn yang aktif memetakan perairan Kepulauan Maluku dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien (1726–1728) sebanyak delapan jilid. 

Saat itu, VOC masih menganggap setiap karya tentang perairan Hindia adalah rahasia negara, sehingga pengetahuan tentang laut Hindia tidak tersebar. 

“VOC memiliki kebijakan ketat bagi para mantan anggotanya untuk tidak mempublikasikan apapun yang menyinggung informasi soal koloni, meski penerapan kebijakan ini tak menentu dan didasarkan motif personal,” seperti tertulis dalam “Francois Valentijn,” termuat di Fugitive Dreams: An Anthology of Dutch Colonial Literature yang disunting E.M. Beekman. 

Kebijakan itu mulai dihentikan pada pertengahan abad ke-18. Ditandai dengan dipublikasikannya karya-karya Rumphius dan Valentijn di Eropa. Tapi, Kerajaan Belanda masih belum tertarik mendukung penelitian ilmiah di perairan Hindia karena ketiadaan dana. Justru kapal-kapal ekspedisi ilmiah Prancis dan Inggris yang kerap melintas. Situasi ini bertahan setidaknya sampai paruh pertama abad ke-19. 

Salah satu yang pertama singgah adalah kapal Boudeuse dan Etoile pada 1768 yang dipimpin De Bouganville dari Prancis. Begitu pula kapal Endeavour yang dipimpin James Cook asal Inggris pada 1770. James Cook singgah di perairan Hindia dan mengambil beberapa sampel.

Kemudian antara 1793 sampai 1840, kapal-kapal riset Prancis mendominasi kegiatan ilmiah di perairan Hindia, diikuti kapal-kapal dari Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan Austria.

“Penelitian laut menjadi termasuk agenda pembangunan kekuatan kolonial bagi negara-negara besar di Eropa, dan juga Amerika Serikat,” tulis van Aken. 

Penelitian kelautan di masa-masa setelahnya terus berkembang, terutama dalam bidang hidrografi (pemetaan laut) dan biologi kelautan. Ekspedisi-ekspedisi ilmiah internasional bahkan mulai berdatangan ke laut Hindia pada abad ke-19, misalnya ekspedisi Physicienne (1817–1820), ekspedisi Coquille (1822–1825), ekspedisi Astrolabe (1826–1829), dan ekspedisi Bonite (1836–1837) dari Prancis, dan ekspedisi Beagle (1832–1836) dari Inggris yang ditumpangi Charles Darwin.

“Pendudukan Belanda di kepulauan Nusantara menyebabkan tersedianya akomodasi, logistik, dan jasa perbaikan kapal-kapal ekspedisi ilmiah bangsa-bangsa Eropa yang berkunjung pada abad ke-18 dan 19,” sebut Ian S.F. Jones and Joyce E. Jones dalam Oceanography in the Days of Sail.

Sketsa ikan oleh Weber selama ekspedisi Siboga. (“Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” Jurnal Oceanography Vol. 18 karya Hendrik M. van Aken).

Ekspedisi Siboga

Kebutuhan mengelola teritorial Belanda yang kian luas, setelah masa peralihan dari VOC yang bangkrut ke pemerintah kolonial Hindia Belanda, mendorong tumbuhnya kebutuhan akan pemetaan perairan koloni yang lebih akurat. Namun, usaha itu tidak cepat tercapai. 

Baru menjelang tahun-tahun terakhir abad ke-19, para akademisi dari berbagai universitas di Belanda mulai bersuara untuk meningkatkan kegiatan oseanografi di laut Hindia. Pada 1888, geografer Prof. C.M. Kan dari Universitas Amsterdam meminta pembentukan sebuah organisasi ekspedisi oseanografi. Pada 1896, dalam pertemuan tahunan Commissie ter Bevordering van het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Koloniën (Komite untuk Kemajuan Riset Ilmiah di Koloni-koloni Belanda), Prof. Max Wilhelm Carl Weber, zoologis dari Universitas Amsterdam, mengajukan rencana ekspedisi oseanografi untuk meneliti fauna laut dan cekungan laut dalam.

“Max Weber mendeklarasikan bahwa dirinya siap untuk memimpin ekspedisi. Komite menyatakan persetujuannya terhadap rencana tersebut. Persiapan ekspedisi kemudian direkomendasikan kepada Maatschappij ter Bevordering van het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Koloniën. Juga dihaturkan harapan kepada pemerintah Belanda agar menyediakan kapal untuk menunjang ekspedisi,” seperti tertulis dalam Introduction et description de l’expédition [du Siboga].

Gayung bersambut. Pada Mei 1898, pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan bahwa kapal bertenaga uap milik Angkatan Laut yang baru dibangun, Siboga, diserahkan kepada Weber dan timnya untuk pelaksanaan ekspedisi selama setahun. Kapten kapal Siboga diputuskan adalah G.F. Tydeman, perwira Angkatan Laut Belanda berpangkat mayor.

Siboga beranjak meninggalkan Amsterdam ke Surabaya pada 16 Desember 1898. Setelah tiba di Surabaya dan melakukan persiapan akhir, pada 7 Maret 1899 Siboga kembali berlayar dari pelabuhan ke area eksplorasi, yakni laut-laut di Hindia Belanda bagian timur. Ekspedisi dipimpin Max Weber sendiri. Peneliti lainnya adalah Anne Weber-van Bosse (istrinya), J. Versluys, H.F. Nierstrasz, dan J.W. Huysman. Selain Tydeman sebagai kapten kapal, Siboga juga diawaki 11 perwira Belanda dan 48 pelaut bumiputra yang dipimpin seorang mandor bernama Atur.

Selama pelaksanaan ekspedisi, Siboga kerap berhenti di titik-titik tertentu untuk mengambil sampel dan melakukan eksperimen pengukuran laut dalam dengan teknik sounding (memantulkan gelombang radio ke dasar laut untuk mengetahui kedalaman). Para pelaut juga aktif memetakan garis-garis pantai dan mensurvei tiap pulau yang mereka temui. Hasilnya, ekspedisi Siboga berhasil mengumpulkan sampel dari 323 titik dan melakukan 238 kali sounding

Ekspedisi Siboga berakhir pada 27 Februari 1900 saat Siboga merapat di Surabaya. Sampel-sampel dikumpulkan untuk dikirim ke Amsterdam; dari sampel zoologi, botani, hingga geologi. 

“Pada akhirnya, sekitar 130 monograf dari ekspedisi Siboga diterbitkan antara tahun 1901 sampai 1982. Sebagian besar membahas zoologi, lima tentang algae, dua tentang geologi, dan hanya satu tentang topografi permukaan laut,” tulis van Aken. “Publikasi karya-karya ini adalah usaha bertaraf internasional oleh penulis-penulis dari 12 negara, termasuk Jepang, Italia, India, Amerika Serikat, dan Kanada.”

Keberhasilan ekspedisi Siboga memicu pembangunan berbagai fasilitas kelautan di Hindia Belanda, teruama di bidang biologi kelautan. Tahun 1904 didirikan Visscherij Station (Stasiun Perikanan) pertama yang berlokasi di Pasar Ikan, Batavia. Pada 1919 stasiun tersebut dibongkar dan dijadikan Laboratorium voor het Onderzoek der Zee (Laboratorium Penelitian Laut) yang berfungsi sejak 1922.

Titik stasiun hidrografik selama ekspedisi Snellius. (“Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” Jurnal Oceanography Vol. 18 karya Hendrik M. van Aken).

Ekspedisi Snellius

Selama ekspedisi Siboga, penelitian biologi lebih banyak dilakukan dibandingkan yang lainnya, sehingga data-data fisik oseanografi dan geologi cenderung minim. Rencana Jerman untuk melakukan ekspedisi geologi di laut Atlantik Selatan pada 1925 memicu institusi-institusi sains Belanda kembali bersuara untuk mengadakan satu lagi ekspedisi ilmiah yang serupa di laut Hindia Belanda sekaligus menutupi kekurangan data dari ekspedisi Siboga

“Pada 1925, Maatschappij ter Bevordering van het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Kolonien (Komunitas untuk Kemajuan Riset Ilmiah di Kolonikoloni Belanda) dan Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap (Komunitas Geografi Kerajaan Belanda) mengambil inisiatif bersama untuk mengadakan ekspedisi oseanografi ke Hindia Belanda, dengan geologi yang lebih ditonjolkan,” tulis L. Lek dalam “The Snellius Expedition,” termuat di Science and Scientist in the Netherlands Indies suntingan Pieter Honig dan Frans Verdoom. 

Di Belanda, sebuah komite dibentuk untuk mempersiapkan ekspedisi ini. Max Weber dan Tydeman dari ekspedisi Siboga termasuk di dalamnya. Lobi-lobi dan pengumpulan dana dilakukan sampai tahun 1927, ketika pemerintah kolonial Belanda menyetujui pelaksanaan ekspedisi tersebut. Untuk melaksanakan misinya, sebuah kapal penelitian dibangun di Belanda dengan bantuan Kementerian Pertahanan Belanda. Perancangnya adalah L. Troost. Pembangunan dimulai pada 23 Februari 1928 dan kapal tersebut diluncurkan pada 14 Agustus tahun yang sama. Panjangnya 62 meter, beratnya 1.055 ton. Kapal ini dilengkapi dengan instrumen-instrumen penelitian seperti laboratorium, pengukur kedalaman laut, ruang gelap, dan lain-lain. Kapal tersebut dinamakan Snellius, merujuk pada nama seorang ilmuwan Belanda, Willebrord Snellius (1580–1626). Karena itu ekspedisi tersebut dinamakan ekspedisi Snellius.

P.M. van Riel, ketua departemen oseanografi dan meteorologi maritim dari Koninklijk Nederlands Meteorologisch Instituut (Institusi Meteorologi Kerajaan Belanda), terpilih sebagai ketua ekspedisi. Dia ditemani beberapa peneliti seperti H. Boschma, H. Kuenen, A. Boelman, H. C. Hamaker, dan H. J. Hardon. 

Snellius dinakhodai Mayor Laut F. Pinke dengan awak dari Angkatan Laut, 67 orang di antaranya pelaut bumiputra dibantu dua spesialis teknik bernama Kartodihardjo dan Erie.

Pada Maret 1929, Snellius meninggalkan pelabuhan Den Helder, Belanda dan sampai ke Surabaya pada akhir Mei. Pada 27 Juli 1929, Snellius mulai berlayar dari Surabaya ke pos-pos observasi di bagian timur Nusantara. Seperti Siboga, hampir di semua pos mereka melakukan sounding. Selama ekspedisi, telah dilakukan sekitar 33.000 kali sounding, jumlah yang sangat besar dibandingkan Siboga 30 tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 238 kali. 

Salah satu fokus pengukuran adalah di kawasan Laut Banda dan hasilnya menetapkan Palung Banda sebagai bagian laut terdalam di Hindia. 

“Beberapa di antaranya adalah Laut Banda, dengan kedalaman lebih dari 7.400 meter di bagian timurnya, Laut Celebes dengan kedalaman lebih dari 6.200 meter dari permukaan laut, Laut Sulu dengan kedalaman 5.500 meter dan Laut Flores dengan kedalaman maksimum lebih dari 5.100 meter,” seperti ditulis dalam laporan penelitian Scientific Results of the Snellius Expedition in The Eastern Part of the Netherlands East-Indies 1929–1930 Volume I.

Meskipun fokus utama ekspedisi Snellius untuk mendapatkan data-data hidrologi dan geologi, selama pelaksanaan ekspedisi juga dilakukan pengambilan sampel biologis dari tiap pos observasi, seperti sampel karang dan plankton. Ekspedisi Snellius, seperti ditulis Willem Vervoort dalam The Copepoda of The Snellius Expedition I, membawa pulang sekitar 800 sampel plankton dari sekitar 350 lokasi yang berbeda di bagian timur Nusantara. 

Ekspedisi Snellius berakhir pada 15 November 1930. Selama 17 bulan perjalanan tersebut, tim ekspedisi telah mengunjungi 375 pos-pos observasi. Beberapa tahun setelahnya hasil penelitian dari ekspedisi Snellius dipublikasikan dalam laporan sebanyak 23 jilid.

Sains dan Kolonialisme

Sokongan dana yang minim dari pemerintah, Negeri Belanda maupun kolonial, menghiasi dinamika riset ilmiah kelautan di Hindia Belanda selama berabad-abad. Para pembesar Belanda tak tertarik berinvestasi di bidang riset, jika tidak ada keuntungan politis di dalamnya, seperti dalam ekspedisi Siboga dan Snellius. 

“Kesediaan Angkatan Laut kolonial untuk menyediakan kapal berbendara Belanda-nya untuk keperluan riset ilmiah Siboga adalah hasil dari keinginan Belanda untuk mengukuhkan kuasa kolonial di Nusantara dari kekuatan kolonial baru yang mendekat seperti Jerman di Papua Nugini (1884), Jepang di Taiwan (1895), dan Amerika Serikat di Filipina (1898),” tulis Cornelis Fasseur dalam Imperialisme en Ethische Politiek

Begitu pula nuansa politis dalam ekspedisi Snellius. “Ekspedisi ini (Snellius) juga harus menjadi bukti bahwa Hindia Belanda bukan hanya yang terbaik pemerintahannya, tetapi juga negara tropis yang paling maju riset ilmiahnya,” ujar J.H Luymes, hidrografer Angkatan Laut Belanda, pada 1929.

Meski dukungan pemerintah terbatas, hasil-hasil penelitian penting didapatkan. “Rangkaian publikasi dari ekspedisi Siboga yang dipimpin suami-istri Weber bernilai monumental bagi sains. Dan bahkan bagi van Riel, yang setelah berakhirnya ekspedisi Snellius tidak memiliki banyak waktu dan staf untuk riset lanjutan, telah memberikan contoh sebuah observasi hidografi yang berkualitas tinggi,” tutup van Aken.*

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65ee8790d61db38086bd744e