Asa di Balik Nuklir Indonesia

Indonesia mengembangkan nuklir dibantu Amerika, tapi diam-diam berpaling ke Tiongkok. Amerika sempat khawatir Indonesia akan uji coba bom nuklir.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Asa di Balik Nuklir IndonesiaAsa di Balik Nuklir Indonesia
cover caption
Castle Bravo, uji coba bom nuklir Amerika Serikat di Pulau Bikini, Kepulauan Marshall, 1 Maret 1954. (The United States Department of Energy).

PAGI hari di hari pertama bulan Maret 1954. Di Kepulauan Marshall, Pasifik, langit begitu cerah. Anak-anak berlarian gembira lalu berenang. Seorang pemuda asyik memetik kelapa. Nelayan paruh baya setia di perahunya menunggu peruntungan dari datangnya ikan. Namun, keindahan itu berubah seketika. Langit kelam. Cahaya memberkas lalu membesar dan menjalar cepat. Dentuman membahana. Gumpalan debu membentuk cendawan. 

“Amerika Serikat baru saja menguji bom hidrogen yang ratusan kali lebih kuat daripada senjata apapun yang pernah ada sebelumnya,” tulis Richard Alan Schwartz dalam The 1950s. “Kekuatan ledakannya setara lebih dari lima juta ton TNT.”

PAGI hari di hari pertama bulan Maret 1954. Di Kepulauan Marshall, Pasifik, langit begitu cerah. Anak-anak berlarian gembira lalu berenang. Seorang pemuda asyik memetik kelapa. Nelayan paruh baya setia di perahunya menunggu peruntungan dari datangnya ikan. Namun, keindahan itu berubah seketika. Langit kelam. Cahaya memberkas lalu membesar dan menjalar cepat. Dentuman membahana. Gumpalan debu membentuk cendawan. 

“Amerika Serikat baru saja menguji bom hidrogen yang ratusan kali lebih kuat daripada senjata apapun yang pernah ada sebelumnya,” tulis Richard Alan Schwartz dalam The 1950s. “Kekuatan ledakannya setara lebih dari lima juta ton TNT.” 

Castle Bravo, bom hidrogen (termonuklir) milik AS itu, meledak sekira pukul 06.45 di Pulau Bikini, Kepulauan Marshall. Kawah berdiameter lebih dari 100 meter langsung memenuhi pulau tempat uji coba. Hijau pepohonan lenyap berganti hamparan kegersangan. Penduduk sekitar terkontaminasi zat radioaktif. Laut dan udara dalam jarak bermil-mil tercemar. Sejumlah negara melayangkan protes. 

Indonesia, yang wilayah timurnya berbatasan dengan Samudra Pasifik, ikut khawatir. “Presiden Sukarno mulai mencari-cari siapa di kalangan ahli-ahli bangsa Indonesia yang dapat mengukur kadar radioaktivitas di lautan, udara, dan daratan Indonesia,” kenang Gerrit Augustinus Siwabessy dalam memoarnya, Upuleru: Memoar Dr. G.A. Siwabessy

Kala itu, Siwabessy, radiolog yang baru pulang dari studinya di London, Inggris menjadi direktur Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan yang didirikan pada 1952 untuk mengembangkan radiologi guna keperluan medis. Sukarno menunjuk lembaga tersebut untuk melakukan penyelidikan. 

Pada 23 November 1954, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No. 230/1954 tentang pembentukan Panitia Negara untuk Penjelidikan Radio-Aktivitet. Siwabessy ditunjuk jadi ketuanya. Anggotanya antara lain Prof. Herman Johannes dan Dr. Baikuni (Universitas Gadjah Mada/UGM), dr. Rubiono Kertapati (Rumah Sakit Gatot Subroto), dan Prof. Gunarso (Institut Teknologi Bandung/ITB). Panitia Negara tersebut berangkat ke wilayah-wilayah yang diperkirakan terkena jatuhan radioaktif. 

“Yang diprioritaskan adalah tempat-tempat yang berdekatan dengan Samudra Pasifik seperti Manado, Ambon, Timor,” ujar Siwabessy. 

Hasil penyelidikan: Indonesia tak terkena paparan radioaktivitas berbahaya. Namun bukan berarti tugas Panitia Negara berakhir. Berdasarkan Keppres, tugas utama lembaga itu justru menyelidiki radioaktivitas dan tenaga atom, pemakaiannya sebagai energi alternatif, serta memberikan penerangan kepada khalayak tentang tenaga atom dan dampaknya di masa damai maupun perang.

G.A. Siwabessy, perintis pengembangan nuklir di Indonesia. (Repro Upuleru).

Mengembangkan Nuklir

Atas dorongan para radiolog dan orang-orang yang punya perhatian terhadap nuklir, pemerintah membentuk suatu badan pemerintah sebagai ganti Panitia Negara. Melalui Peraturan Pemerintah No. 65/1958, terbentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA). Dewan bertugas memberi nasihat kepada Dewan Menteri mengenai soal-soal politik terkait perkembangan tenaga atom di Indonesia dan dunia internasional. Sementara LTA melaksanakan, mengatur, dan mengawasi penyelidikan dan penggunaan tenaga atom di Indonesia demi keselamatan dan kepentingan umum. Siwabessy menjadi direktur jenderal LTA. 

Mulailah LTA bekerja. Untuk mempersiapkan tenaga-tenaga terlatih, LTA memberi beasiswa dan mengirimkan sarjana dari berbagai perguruan tinggi untuk belajar nuklir di negara maju. Setahun kemudian, LTA menjajaki kerja sama dengan kekuatan nuklir dunia. 

“Dari awal, Siwabessy dan rekan-rekannya di LTA berpikir bahwa keterlibatan dengan IAEA diperlukan untuk mendapatkan akses ke teknologi nuklir Amerika,” tulis Sulfikar Amir dalam “The State and the Reactor: Nuclear Politics in Post-Suharto Indonesia”, jurnal Indonesia, April 2010. IAEA adalah Badan Energi Atom Internasional, organisasi yang mempromosikan penggunaan energi nuklir secara damai. 

Bantuan AS kepada Indonesia dimulai pada Juni 1960 saat kedua negara menandatangani perjanjian bilateral untuk jangka waktu lima tahun di bawah program Atom for Peace. Perjanjian itu berlaku efektif pada 21 September 1960. AS merealisasikan kerja sama penggunaan energi atom untuk kepentingan sipil itu dengan memberikan bantuan sebesar US$350 ribu untuk pembangunan sebuah reaktor riset di Bandung berikut fasilitas operasionalnya. Bantuan senilai US$141 ribu lainnya dipakai untuk program penelitian pengembangan nuklir di Indonesia. Berdasarkan perjanjian tersebut, AS menyuplai uranium yang telah diperkaya untuk bahan bakar reaktor riset. 

Langkah pemerintah menuai pro dan kontra. Sudjito Danusaputro, dekan Fakultas Ilmu Teknik UGM, kerap menulis artikel plus-minus energi atom. Dalam “Mengapa Umat Manusia Harus Mempergunakan Tenaga Atom”, dimuat Siasat, 9 November 1960, Sudjito memaparkan tenaga atom sebagai sumber energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan batu bara yang kian menyusut. Sementara dalam “Apakah Sebuah Reaktor Atom Membahajakan Sekelilingnya?” dimuat Siasat, 20 Juli 1960, dia menyebut bahaya reaktor atom bukan terletak pada mesin tapi, “Kita sendiri, manusia, merupakan faktor bahaya yang terbesar.”

Presiden Sukarno bersama G.A. Siwabessy meletakan batu pertama pembangunan reaktor Triga Mark II di Bandung, Jawa Barat. (Repro Upuleru).

Tergoda Tiongkok

Kampus ITB di Tamansari lebih ramai dari biasanya. Pada 19 April 1961, Presiden Sukarno memancangkan batu pertama pembangunan reaktor nuklir riset Triga-Mark II. Hadir dalam acara itu Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Jones. 

Reaktor kecil buatan General Electric berkapasitas 250 kilowatt itu bakal digunakan untuk memproduksi isotop dan sebagai media untuk melakukan eksperimen fisika neutron.

Menurut Robert M. Cornejo dalam “When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid-1960s”, The Nonproliferation Review, Vol. 7 tahun 2000, reaktor berbahan bakar Highly Enriched Uraniun (HEU) itu hanya cocok untuk penelitian dan pelatihan. Ia tak bisa dipakai membuat bahan-bahan fisil seperti plutonium [Pu-239] ataupun HEU karena kapasitasnya kecil. Lebih jauh, ikatan perjanjian nuklir yang dimiliki Indonesia tak memungkinkannya secara sembunyi-sembunyi mengubah reaktor riset Triga-Mark II menjadi reaktor senjata nuklir. Sebab, salah satu poin perjanjian hanya membolehkan Indonesia memiliki paling banyak 20 kilogram HEU; sementara ledakan nuklir baru bisa efektif apabila dihasilkan dari minimal 25 kilogram HEU. 

Triga-Mark II menandai keseriusan pemerintah Indonesia mengembangkan nuklir. Setelah itu, pemerintah juga menandatangani Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir tahun 1963 dan menerbitkan UU No. 31/1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom yang membentuk Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), sebagai pengganti LTA, dengan status setingkat kementerian. Siwabessy sebagai menterinya. 

Diam-diam, Sukarno mengirim ilmuwan-ilmuwan nuklir dan petinggi militer ke Tiongkok untuk mempelajari pembuatan bom nuklir.

Pada 16 Oktober 1964, Tiongkok berhasil melakukan uji coba bom atom pertamanya. Dalam pernyataan resmi, pemerintah Tiongkok menyatakan uji coba itu dilakukan untuk memperbesar kemampuan pertahanan serta menentang politik gertakan nuklir dan ancaman nuklir dari imperialis AS. Sontak, AS dan sekutu-sekutunya memprotes. Sebaliknya, Indonesia menyambutnya gembira. 

Menteri Koordinator Hubungan Rakyat (Hubra) Roeslan Abdulgani menyatakan, keberhasilan Tiongkok akan membuka mata Barat bahwa pengepungan terhadap bangsa Asia dan Afrika kini akan sia-sia. Ketua CC PKI D.N. Aidit berpendapat senada. “Peristiwa ini tidak hanya telah sangat meningkatkan martabat Tiongkok, akan tetapi juga martabat bangsa-bangsa Asia,” ujarnya sebagaimana dilansir Harian Rakjat, 17 Oktober 1964. “Dengan peristiwa ini perdamaian di Asia dan di dunia menjadi lebih terjamin, Nefo menjadi lebih kuat dalam menghadapi Oldefo.” Nefo (New Emerging Forces) adalah negara-negara yang baru merdeka, non-imperialis, dan sosialis. Sementara Oldefo (Old Established Forces) adalah negara-negara mapan, umumnya kapitalis dan pernah terlibat dalam kolonialisme dan imperialisme. 

Keberhasilan Tiongkok menginspirasi Sukarno untuk membuat hal serupa. Kebetulan kala itu hubungan Indonesia-Tiongkok lagi mesra, yang ditandai dengan Poros Jakarta-Peking. Namun, Sukarno bertindak hati-hati lantaran adanya ikatan kesepakatan nuklir dengan AS. Diam-diam, tulis Sulfikar, Sukarno mengirim ilmuwan-ilmuwan nuklir dan petinggi militer ke Tiongkok untuk mempelajari pembuatan bom nuklir. 

Menurut Sulfikar, ketertarikan Sukarno didorong ancaman terhadap keamanan Indonesia setelah AS melancarkan Perang Vietnam dan Inggris menyokong pembentukan Federasi Malaysia, hal yang akhirnya menimbulkan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Selain itu, ini merupakan taktik Sukarno untuk memperoleh dukungan dari dua kubu politik dalam negeri yang terus berseteru, Angkatan Darat dan PKI.

Badan Tenaga Nuklir Nasional di Bandung, Jawa Barat. (Welli Soeseno/Historia.ID).

Uji Coba Nuklir

Pada 15 November 1964, Direktur Pengadaan Senjata Angkatan Darat Brigjen TNI Hartono menyatakan Indonesia berencana meledakkan sebuah bom atom pada 1969. Pernyataan ini mengejutkan banyak orang. Namun, Hartono tak berhenti di sini. Pada 2 Februari 1965, dia menyatakan 200 ilmuwan sedang bekerja memproduksi bom dan menjanjikan sebuah kejutan pada perayaan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dan pada 27 Juli 1965, dia menyatakan kemungkinan Indonesia menguji sebuah bom atom menyusul Konferensi Asia-Afrika di Aljazair pada November mendatang, namun batal karena kudeta di Aljazair. 

Sukarno sendiri baru mengungkapkan keinginan Indonesia membuat bom nuklir dalam pidato sambutan kongres Muhammadiyah di Bandung pada 24 Juli 1965. “Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya sendiri,” ujarnya, sebagaimana dikutip Robert M. Cornejo. Bom tersebut menurutnya untuk “menjaga kedaulatan, menjaga tanah air.” 

Sekalipun meragukan kemampuan Indonesia membuat bom nuklir, pernyataan Hartono membuat negara lain cemas. Menteri Pertahanan Australia Shane Paltridge menganggap pernyataan Hartono tak boleh disepelekan meski pernyataan itu belum didukung bukti-bukti kongkret. Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak memerintahkan penyelidikan lebih dalam terhadap kemampuan nuklir Indonesia. Pernyataan Hartono, menurutnya, merupakan ancaman serius bagi Malaysia yang tengah berkonfrontasi dengan Indonesia. 

Negeri Paman Sam juga khawatir rencana itu mengancam pelarangan uji coba nuklir yang disponsori AS. Departemen Luar Negeri AS berusaha mendalami potensi senjata nuklir di Indonesia. “Diplomat Amerika di Jakarta mulai menanyakan kontak mereka mengenai Brigjen Hartono dan menemukan bahwa penilaian awal mereka benar. Ini berdasarkan percakapan dengan Sumantri, rektor Universitas Indonesia, yang mengatakan bahwa Hartono ‘tidak tahu apa yang dia bicarakan’,” dikutip Cornejo. 

Sumantri sendiri pernah meninjau peralatan atom Tiongkok dan memprakarsai kerja sama militer Indonesia dengan ITB. Dia teman kuliah Hartono. Dia mengatakan, jika Indonesia memiliki kemampuan mengembangkan nuklir, “itu harus diberikan kepada kami.” 

Kudeta prematur itu bukan hanya mendiskreditkan Sukarno tapi juga mengakhiri kemungkinan berlanjutnya bom atom Indonesia.

Catatan yang dimiliki AS juga menjadi acuan atas kemampuan Indonesia. Selain hanya memiliki reaktor riset (Triga-Mark II), Indonesia juga kekurangan tenaga ahli. Siwabessy sendiri, direktur LTA, hanyalah seorang dokter medis radiologi, bukan insinyur nuklir terlatih. Selain itu, personel dari Indonesia yang dikirim untuk pelatihan nuklir di dalam maupun luar negeri antara 1958–1965 masih terbatas, sekira 300 orang. 

“Amerika tahu betul bahwa fasilitas yang dipunyai Indonesia tak bisa digunakan untuk membuat senjata nuklir,” tulis Cornejo. 

Kudeta prematur itu bukan hanya mendiskreditkan Sukarno tapi juga mengakhiri kemungkinan berlanjutnya bom atom Indonesia.

Dalam telegram rahasia untuk Asisten Menteri Pertahanan AS McNaughton, tertanggal 11 Agustus 1965, deputi Asisten Menteri Pertahanan AS urusan Keamanan Internasional Arthur W. Barber menyebutkan bahwa “Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi sebuah bom atom tanpa bantuan pihak luar.” Karenanya, sebagaimana pandangan Kedubes AS di Jakarta, “tindak-tanduk Sukarno” hanyalah propaganda.

Sementara mengenai kemungkinan uji coba bom Tiongkok di wilayah Indonesia, berdasarkan laporan Konsul Jenderal AS di Hongkong, Tiongkok takkan mau dan berani melakukan uji coba di Indonesia, terutama karena alasan keamanan. Begitu juga kemungkinan uji coba bom Tiongkok di Tiongkok dengan partisipasi Indonesia. “Pada akhirnya, Sukarno akan mengumumkan perjanjian pelarangan uji coba dan mencabutnya. Ada sebuah peluang bagus bahwa ini akan terjadi,” tulis Barber. Pengumuman itu kemungkinan diucapkan pada pidato 17 Agustus. 

Keraguan AS terbukti. Tak ada uji coba senjata nuklir. Dalam pidato 17 Agustus 1965 yang berjudul Tahun Berdikari (Takari), Sukarno juga tak menyingung soal perjanjian pelarangan uji coba nuklir. Namun, Sukarno tetap mengejek negara-negara imperialis, termasuk semboyan-semboyan mereka seperti Atom for Peace. 

Akibatnya, AS tak terlalu khawatir. “Meski ada keinginan tersebut, AS tetap melanjutkan bantuannya kepada program nuklir Indonesia,” tulis Matthew Fuhrmann dalam Atomic Assistance: How “Atom for Peace” Programs Cause Nuclear Insecurity

Pada September 1965, beberapa saat sebelum berakhirnya tenggat kerja sama Atomic for Peace dengan Indonesia, AS kembali menandatangani perjanjian kerja sama nuklir dengan Indonesia. Perjanjian baru ini merevisi perjanjian tahun 1960, dengan menambahkan satu poin baru: Indonesia harus mengizinkan reaktor nuklir bantuan AS diinspeksi IAEA. 

Poin baru tersebut mencerminkan kekhawatiran AS terhadap sikap politik Indonesia, yang makin keras menentang Barat. Kekhawatiran terbesar AS berasal dari ketakutannya bila Jakarta menolak mengembalikan uranium yang telah disuplainya dan menggunakannya untuk membuat bom nuklir dengan bantuan Tiongkok. Tapi AS beruntung, Indonesia dilanda gejolak politik pada 1 Oktober 1965. Sukarno kemudian tersungkur dari kekuasaannya. “Kudeta prematur itu bukan hanya mendiskreditkan Sukarno tapi juga mengakhiri kemungkinan berlanjutnya bom atom Indonesia,” tulis Cornejo. 

Penggantinya, Jenderal TNI Soeharto, sama sekali tak tertarik terhadap program bom nuklir. Beberapa reaktor riset baru didirikan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Batan giat mengembangkan nuklir untuk kepentingan pertanian, sekalipun hasilnya belum dimanfaatkan pemerintah. Sementara untuk pembangkit tenaga listrik, rencana pembangunan PLTN Muria di Jawa Tengah yang sudah dirintis sejak 1970-an tak kunjung terwujud lantaran penolakan dari berbagai pihak.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64b7e451aa915bee828b93bd