Atas Nama Ketertiban

Westerling menganggap cara Belanda menghadapi kaum Republik dengan membawa ke pengadilan seperti memarahi anak kecil yang nakal. Ia memilih pembersihan dan pembunuhan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Atas Nama KetertibanAtas Nama Ketertiban
cover caption
Pasukan DST yang dipimpin Westerling melakukan pembersihan penduduk kampung Salomoni, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1947. (H.C. Kavelaars/Nederlands Instituut voor Militaire Historie).

LELAKI malang itu mendadak pucat saat Westerling menyambanginya di satu sudut pada sebuah warung kopi di Makassar. “Ingatkah Anda apa yang pernah saya katakan?” ujar Westerling sembari menodongkan pistol revolvernya ke kepala lelaki itu. Tanpa babibu lagi, pistol menyalak. Dor! Lelaki itu pun jatuh bersimbah darah, tewas seketika. 

Westerling tahu kalau lelaki itu seorang Republiken. Beberapa hari sebelum maut menjemputnya, Westerling telah melarang dia datang ke warung itu. Namun, dia kepergok tetap datang. Tanpa ragu Westerling membunuhnya. 

“Perbuatan itu telah kuperhitungkan masak-masak, untuk mendapatkan hasil tertentu,” ujar Westerling dalam memoarnya, Challenge to Terror.

LELAKI malang itu mendadak pucat saat Westerling menyambanginya di satu sudut pada sebuah warung kopi di Makassar. “Ingatkah Anda apa yang pernah saya katakan?” ujar Westerling sembari menodongkan pistol revolvernya ke kepala lelaki itu. Tanpa babibu lagi, pistol menyalak. Dor! Lelaki itu pun jatuh bersimbah darah, tewas seketika. 

Westerling tahu kalau lelaki itu seorang Republiken. Beberapa hari sebelum maut menjemputnya, Westerling telah melarang dia datang ke warung itu. Namun, dia kepergok tetap datang. Tanpa ragu Westerling membunuhnya. 

“Perbuatan itu telah kuperhitungkan masak-masak, untuk mendapatkan hasil tertentu,” ujar Westerling dalam memoarnya, Challenge to Terror

Sementara itu, Sitti Hasanah Nu’mang, pejuang perempuan dari Makassar, masih ingat ketika ayah, paman, dan saudaranya dieksekusi Westerling. Setelah dikeluarkan dari penjara besar Parepare pada pagi 4 Januari 1947, serdadu Belanda membawa mereka dan tahanan lain ke sebuah lapangan. Di sana, Westerling kemudian datang menggunakan jip.

Westerling mendekati ayah Sitti dan berkata, “Inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontaaak! Saya akan selesaikan satu per satu!!” ujar Sitti menirukan ucapan Westerling dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ‘45

Tak lama berselang, “terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup,” kata Sitti. Ayah dan saudaranya tewas seketika. 

Sitti meradang. Westerling tertawa sinis sambil berlalu meninggalkan lokasi. Tak lama kemudian, dia dikembalikan ke penjara. Derita belum usai. Seorang perwira Belanda, Mayor De Bruin dan dua kawannya, memperkosa Sitti. 

“Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya,” kenang Sitti. 

Penduduk Sulawesi Selatan dikumpulkan oleh pasukan Westerling. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).

Teror Westerling

Westerling diterbangkan ke Makassar untuk mempertahanakan Sulawesi Selatan agar tak lepas ke tangan Republik. Hasil perundingan Linggarjati tak memasukan Sulawesi Selatan ke dalam wilayah Republik Indonesia. Namun demikian gerilyawan Republik terus mengganggu Belanda. Untuk mengatasi hal tersebut Westerling dan pasukannya didatangkan ke Makassar. 

Bagi Belanda, situasi di Makassar dan sekitarnya segera menjadi neraka saat malam tiba. Gerilyawan Republik masuk ke kota, menggempur markas tentara Belanda. Ketakutan menghinggapi seluruh warga Belanda yang berada di Makassar. Maulwi Saelan, pejuang angkatan ‘45 dari Makassar, mengatakan mereka bahkan tak berani lagi keluar rumah begitu matahari tenggelam.

“Kalau malam, sudahlah. Di pinggir kota itu kita jalan, tidak ada (orang Belanda, red.) yang berani. Mereka sudah hope loos (putus asa, red.),” ujar Maulwi. 

Sebelum Depot Pasukan Khusus (Depot Speciale Troepen) pimpinan Westerling tiba di Makassar, tentara KNIL selalu jadi bulan-bulanan gerilyawan. Maulwi menuturkan pernah suatu saat di tahun 1946, gerilyawan Republik menggempur habis markas tentara Belanda yang diperkuat tiga batalyon KNIL dan dibantu pasukan Australia. Hal itu membuat mereka hanya berani tinggal di kapal-kapal yang buang sauh di pantai Makassar saat malam tiba. 

Sampai kemudian pada 7 Desember 1946, pemerintah Belanda mengirimkan Koninklijke Landmacht (KL) langsung dari negerinya disertai pasukan DST yang dipimpin oleh Westerling. Kedatangan mereka diikuti oleh keputusan pemerintah Belanda yang memberlakukan Staten van Orloog en Beleg (SOB) pada 11 Desember 1946. Keadaan Darurat Perang itu ditetapkan untuk Makassar, Parepare, Bonthain, dan Mandar. Dengan demikian, menurut Maulwi Saelan “mengubah perimbangan kekuatan.” 

Korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan.

Menjinakkan Gerilyawan

Tugas utama kedatangan Westerling ke Sulawesi Selatan adalah mengembalikan ketertiban. Perintah itu datang langsung dari penguasa militer Belanda yang dikomandoi oleh Jenderal Spoor. Belanda kewalahan menghadapi gangguan dari gerilyawan Republik di seluruh Sulawesi Selatan. 

Dalam memoarnya, Westerling mengkritik cara pasukan Belanda menghadapi kaum Republik sebelum dia datang ke Makassar. Menurutnya pasukan Belanda yang selalu membawa orang Republik ke pengadilan untuk dihukum dan kemudian dilepaskan kembali, seperti memarahi anak kecil yang nakal. Anak itu bakal mengulangi lagi kenakalannya begitu rasa jeranya hilang. 

“Mereka melanjutkan kebijakan konsiliasi yang diterapkan Inggris di Jawa dan Sumatra, dan hasilnya pun sama buruknya,” kata Westerling. 

Menganggap kebijakan “konsiliasi” sebagai sebuah hal yang merugikan Belanda, Westerling menerapkan metodenya sendiri. Prinsipnya, sebisa mungkin penduduk harus diajak bekerja sama. Dengan kedekatan emosional yang bakal ditimbulkan, penduduk bakal terbuka memberikan informasi. Tapi Westerling tetap berpegang, penjahat atau orang yang bersalah harus dihukum. “Imunitas bagi mereka hanya bisa diberikan setelah mereka membayar kemartiran orang-orang tak berdosa yang mereka mangsa,” ujarnya. 

Westerling menganggap pejuang Indonesia terdiri atas para ekstremis yang berjuang mengatasnamakan Indonesia, padahal hanya penjahat kriminal. Untuk menghadapinya, Westerling memilih jalan eksekusi. “Mengeksekusi penjahat bisa berarti menyelamatkan ratusan nyawa orang-orang tak berdosa,” ujarnya. “Keadilan untuk penjahat tak bisa ditawar-tawar lagi, karena itu pula aku pergi melaksanakan tugas untuk menenangkan Sulawesi,” lanjutnya membela diri. 

Maulwi Saelan (baju hitam) dan pasukan Tentara Pelajar Seberang di Yogyakarta. (Dok. Maulwi Saelan).

Pembersihan 

Westerling memulai operasinya dari kota Makassar. Markas DST kala itu terletak di Mattoangin (kini stadion Mattoangin). Ketika mengawali operasi, Westerling mendaftar semua orang Jawa, terutama orang-orang yang dikirim oleh pemerintah Indonesia, yang baru tiba di Makassar. Para kepala desa di pedalaman diwajibkan melaporkan semua orang Jawa yang melewati permukiman mereka. 

Untuk menjamin Sulawesi Selatan bersih dari pengaruh Republik, Westerling melakukan operasi pembersihan di kalangan kepolisian. Opsir polisi yang diduga “terkontaminasi” Republik langsung dieliminasi, bahkan beberapa di antaranya dieksekusi mati. Setelah “bersih”, kepolisian menjadi kekuatan efektif yang mendukung kampanye Westerling. Fungsi kepolisian yang tadinya mati, hidup kembali. 

Dalam skala yang lebih besar dan untuk menakut-nakuti masyarakat agar berhenti mendukung Republik, Belanda melancarkan operasi pasifikasi, pembunuhan massal. Pasifikasi terjadi dalam empat gelombang, dimulai di Makassar dan sekitarnya pada 11–16 Desember 1946 hingga berakhir pada 5 Maret 1947 di Maros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Parepare, Polewali, Mandar, Sidenreng, dan Rappang. 

Westerling selalu beroperasi malam hari dan tak pernah menggunakan jalan umum. “Terkadang kami menyeberangi persawahan, tak jarang kami melalui rawa-rawa, kadang-kadang kami meluncur di antara pohon-pohon, tapi kami selalu berusaha mencapai desa tanpa terdeteksi, mengelilinginya, lalu langsung menuju tempat di mana pemimpin bandit biasa tidur,” kata Westerling. 

Waktu itu mereka kasih selebaran lewat udara, umumkan kalau saya dan kawan-kawan sudah mati. Padahal saya sembunyi.

Pernah suatu kali di sebuah desa, Westerling kehabisan akal untuk mendapat informasi keberadaan pemimpin gerilyawan. Berbagai cara dilalui, tapi tetap saja penduduk desa bungkam. Dia lantas perintahkan prajuritnya membawa empat pemuda desa yang terkuat. Westerling mengumumkan kepada penduduk keempatnya bakal ditembak lantaran mereka tetap bungkam. Setelah menembak keempat pemuda itu, DST mengulanginya dengan menembak empat pemuda berikutnya. Dua belas pemuda tewas. Tak sedikit pun informasi didapat oleh Westerling dari mulut penduduk. 

Menurut Maulwi, keteguhan penduduk untuk tidak membocorkan keberadaan gerilyawan merupakan bentuk dukungan kepada mereka. Dan menurutnya, Westerling tahu betul kalau penduduk desa pro gerilyawan. Sehingga acap kali Westerling kesulitan menemukan gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan atau membaur dengan penduduk. “Westerling tahu bahwa betul kita banyak dukungannya. [Kita] harus dipisahkan. Kalau kita tidak sama rakyat, kita tidak bisa makan, kita dapat informasi dari mana?” ujar Maulwi. 

Maulwi sendiri salah satu pemimpin gerilyawan yang jadi incaran Westerling. Putus asa tak berhasil menangkapnya, Westerling pernah menjalankan siasat perang urat syaraf. “Waktu itu mereka kasih selebaran lewat udara, umumkan kalau saya dan kawan-kawan sudah mati. Padahal saya sembunyi,” kenang Maulwi sambil menujuk selebaran itu yang terpajang di ruang kerjanya di Sekolah Al-Azhar Syifa Budi, Kemang. 

Siasat urat syaraf juga diberlakukan saat meneror penduduk untuk memberi keterangan keberadaan kaum gerilyawan. Al-Qur’an diletakkan di atas kepala seorang warga yang sedang ditanyai. Ketakwaan penduduk kepada agama dijadikan taruhan yang dimanfaatkan oleh Westerling. Bagi warga tak ada pilihan: mengaku, mati hukumannya atau bohong di bawah sumpah Al-Qur’an, dosa ganjarannya. 

Warga desa yang ketakutan dan tunduk kepada Westerling biasanya dijadikan tameng oleh pasukan Westerling. Mereka diperintah untuk berjalan di barisan terdepan saat mencari keberadaan gerilyawan. Pasoso (Bugis: mencari), istilah menggunakan penduduk itu, biasanya ditaruh di depan rombongan. KNIL berada di belakang mereka. Para pasoso itulah yang mencari dan berhadapan langsung dengan gerilyawan. 

“Repot juga kita. Kalau kita melawan, kita melawan rakyat,” kenang Maulwi. Posisi gerilyawan terjepit. “Lebih baik kita mundur, ke hutan. Menghindar.” 

Westerling (tengah) di antara para komandan tertinggi pada akhir aksinya di Sulawesi Selatan. Kamp Matoanging, 3 Maret 1947. (Koleksi Maarten Hidskes).

Kekejaman Berakhir 

Setelah hampir setahun berada di Sulawesi Selatan, aksi Westerling mulai tercium pers internasional. Publik Eropa mengutuk keras Westerling. Dia dianggap penjahat perang terkeji setelah Perang Dunia II. Korban sipil tak terkira jumlahnya. Versi terbanyak menyebut total korban 40 ribu jiwa. 

Namun, George McT Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, memperkirakan jumlah korban sekira 11 ribu warga sipil, 500–1000 di antaranya menjadi tanggung jawab langsung Westerling. 

“Orang tidak bisa hitung. [Penduduk] dikumpulkan semua. Pokoknya [yang] ada sangkut pautnya, kumpul, gali lubang, tembak,” ujar Maulwi. “Mereka itu binatang semua!” 

Kerasnya tekanan internasional memaksa Belanda menarik DST dari Sulawesi pada Maret 1947. Petualangan Westerling di Sulawesi pun usai. Dalam memoarnya tak sedikit pun dia menyesal. “Intinya adalah, aku ingin mengejutkan opini publik,” kata Westerling.*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64f18534fffeee3614ae14a1