Atas Nama Tanah dan Rakyat Hindia

Boedi Oetomo terlibat aktif dalam wacana milisi pribumi dan dewan rakyat Hindia Belanda. Ancang-ancang menuju organisasi radikal.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Atas Nama Tanah dan Rakyat HindiaAtas Nama Tanah dan Rakyat Hindia
cover caption
Peresmian Volksraad (Dewan Rakyat) oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum di Batavia, 18 Mei 1918. (Weredmuseum Amsterdam).

PERANG Dunia I berkecamuk. Belanda khawatir gelombang perang sampai ke Hindia Belanda dan tanah jajahannya akan lepas. Maka, banyak pihak mengusulkan penguatan militer, termasuk menggunakan tenaga bumiputra. Isu ini menjadi pembicaraan hangat.  

Boedi Oetomo cepat merespons isu tersebut. Salah satu alasannya karena mereka memiliki cabang militer, meski cabang ini akhirnya mati karena “isolasi intelektual dari pola berpikir kalangan sipil, dan isolasi geografis dari pulau tumpah-darah mereka,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918. Contohnya, seperti tercatat dalam laporan Verbaal 2 Juni 1914, No. 53, Mailrapporten No. 545x/14, cabang militer Kutaraja, Aceh, memiliki 575 anggota Boedi Oetomo dan Banjarmasin sejumlah 514 anggota.

PERANG Dunia I berkecamuk. Belanda khawatir gelombang perang sampai ke Hindia Belanda dan tanah jajahannya akan lepas. Maka, banyak pihak mengusulkan penguatan militer, termasuk menggunakan tenaga bumiputra. Isu ini menjadi pembicaraan hangat.  

Boedi Oetomo cepat merespons isu tersebut. Salah satu alasannya karena mereka memiliki cabang militer, meski cabang ini akhirnya mati karena “isolasi intelektual dari pola berpikir kalangan sipil, dan isolasi geografis dari pulau tumpah-darah mereka,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918. Contohnya, seperti tercatat dalam laporan Verbaal 2 Juni 1914, No. 53, Mailrapporten No. 545x/14, cabang militer Kutaraja, Aceh, memiliki 575 anggota Boedi Oetomo dan Banjarmasin sejumlah 514 anggota.  

Pada 13 September 1914, sebuah rapat akbar organisasi se-Jawa diadakan dengan Boedi Oetomo sebagai pelindung. Milisi bumiputra jadi bahasan utama. Boedi Oetomo mendukung, dan ini ditegaskan Dwidjosewojo, tokohnya yang terkemuka. Menurutnya, rakyat Jawa punya tanggungjawab mempertahankan tanah airnya apabila ada musuh menyerbu. Hal itu hanya dapat dilakukan melalui jalinan kerjasama dengan pemerintah kolonial.  

Pengurus pusat Boedi Oetomo melalui Dwidjosewojo dan Sastrowidjono pun mengkampanyekan sikap Boedi Oetomo mengenai milisi bumiputra ke seluruh Jawa. Hasilnya: tanggapan sinis.  

“Para delegasi tidak mendapatkan dukungan publik seperti yang diharapkan. Mereka kembali dengan daftar panjang penolakan dan tuntutan dari anggota Boedi Oetomo sendiri, juga organisasi lainnya,” tulis Kees van Dijk dalam The Netherlands Indies and the Great War 1914–1918.

Mayoritas menolak karena menganggap milisi bumiputra hanya akan meneguhkan kekuasaan pemerintah kolonial terhadap orang-orang Jawa. Bahkan, kaum sosialis, Sarekat Islam, Indische Partij, dan bahkan anggota Boedi Oetomo di daerah melontarkan tuntutan balik agar Boedi Oetomo mengusulkan pembentukan sebuah parlemen bumiputra kepada pemerintah kolonial. Bagi mereka, ini penting untuk mewadahi aspirasi elemen-elemen pergerakan yang baru tumbuh.

Tuntutan itu kian mengemuka dalam internal Boedi Oetomo. Mas Soetedjo, utusan cabang Surakarta, mengeluarkan mosi dalam rapat Boedi Oetomo di Bandung pada 5 dan 6 Agustus 1915. Menurutnya, dukungan terhadap pembentukan milisi bumiputra adalah perlu. Tetapi, “bahwa sehubungan dengan hal ini pendapat rakyat harus didengar, dan oleh karenanya, maka sebuah perwakilan rakyat harus diadakan,” seperti dikutip dari mosi rapat tersebut.

Delegasi Hindia ke Negeri Belanda pada akhir 1916 untuk mengusulkan pembentukan milisi dan parlemen. Baris depan (kiri-kanan): Van Hinloopen Labberton, Rhemrev, dan Laoh; belakang: Abdoel Moeis, Dwidjosewojo, Danoesoegondo, dan Koesoemodiningrat. (Repro Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918).

Bersuara Tapi Hati-hati

Pemerintah kolonial menyambut aspirasi tersebut, terutama karena tekanan dari kaum etis di Hindia Belanda yang diwakili Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (NIVB). Perhimpunan ini berhubungan cukup baik dengan Boedi Oetomo karena sama-sama punya idealisme moderat. Menurut NIVB, keberadaan parlemen adalah bentuk kedewasaan politik di Hindia Belanda, dan alangkah baiknya apabila Boedi Oetomo memegang pengaruh di dalamnya. Sikap moderat Boedi Oetomo diharapkan bisa menjembatani golongan radikal dan konservatif di kalangan pergerakan bumiputra.  

Atas dukungan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum, pada Juli 1916 Comite Indie Werbaar (Komite Pertahanan Hindia) dibentuk. Ada Boedi Oetomo, Central Sarikat Islam (CSI), perhimpunan bupati, dan wakil perhimpunan-perhimpunan dari daerah kerajaan. Akhir tahun 1916, Komite bertolak ke Belanda untuk menyampaikan gagasan tentang milisi bumiputra dan parlemen. Boedi Oetomo diwakili Dwidjosewojo.  

Selama di Belanda, Komite mengkampanyekan gagasan mereka di depan partai-partai politik, pejabat pemerintah, pelajar-pelajar Indonesia, Staten Generaal (Parlemen Belanda), dan Ratu Wilhelmina. Usulan pembentukan undang-undang milisi bumiputra tidak diterima Staten Generaal, tetapi undang-undang pembentukan dewan rakyat berhasil ditetapkan pada 11 Desember 1916.  

Dewan rakyat itu dikenal dengan nama Volksraad, terdiri dari 38 anggota dan 1 ketua. Volksraad berwenang membahas anggaran dasar Hindia Belanda, tetapi tak punya kekuatan eksekutif maupun legislatif. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil bumiputra dan Eropa.  

Tak lama, unsur-unsur pergerakan di Hindia Belanda merapatkan barisan untuk menyambut pemilihan dalam Volksraad.  

Dalam pemilihan Volksraad pertama (21 Januari 1918), Boedi Oetomo berhasil menempatkan empat wakilnya di Volksraad, yakni Mas Aboekassan Atmodirono, R. Kamil, Radjiman Wedyodiningrat, dan R. Sastrowidjono, yang merupakan jumlah perwakilan kedua terbesar di Volksraad. Namun, meski posisinya menguntungkan, Boedi Oetomo kerap berhati-hati dalam bersikap di dalam Volksraad.  

“Sikapnya yang demikian membuahkan dukungan yang lebih besar dari pemerintah terhadapnya, tetapi terkadang juga menjadi bahan cercaan di kalangan wakil-wakil pribumi dan sosialis Belanda yang radikal di dalam Volksraad itu,” tulis Nagazumi.

Usulan pembentukan milisi bumiputra tidak diterima, tetapi pembentukan dewan rakyat berhasil ditetapkan.

Gagasan Radikal

Krisis politik di Belanda tahun 1918 menjadi sensasi di Hindia Belanda, terutama di kalangan kaum sosialis. C.G. Kramer, satu-satunya wakil Indisch Sociaal-Democratische Partij (ISDP) di Volksraad, mengajukan mosi pembaruan Volksraad menjadi parlemen dengan kuasa legislatif yang sesungguhnya.

Boedi Oetomo yang biasanya mengambil posisi tengah, kini bersikap mendukung usul pembaruan. Boedi Oetomo kemudian membentuk Radicale Concentratie (Konsentrasi Radikal) dalam Volksraad untuk mengawal pembaruan tersebut bersama CSI dan Insulinde.  

Meski sudah tak lagi menjadi isu utama, milisi bumiputra tetap diperjuangkan Boedi Oetomo. Dalam arsip Mailrapporten 1694/19 Verbaal 16 Januari 1918, Dwidjosewojo dari Boedi Oetomo duduk dalam sebuah komisi di Volksraad yang bertugas menyusun konsep wajib militer untuk bumiputra di Hindia Belanda. Komisi ini dipimpin J.C. Pabst, yang beranggotakan Koesoemo Oetoyo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Abdul Rivai, dan W.M.G. Schumann.  

Sikap moderat Boedi Oetomo semakin luntur kala Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum digantikan D. Fock. Tak seperti Stirum, Fock menentang usul pembaruan Volksraad. Fock juga kurang toleran terhadap organisasi-organisasi bumiputra. Salah satu yang menyakitkan Boedi Oetomo adalah kebijakan Fock memotong anggaran pendidikan dan memecat pegawai pemerintah secara besar-besaran; dua soko guru perjuangan Boedi Oetomo. Kekecewaan ini menjelma jadi aksi radikal berupa dukungan Boedi Oetomo dalam pemogokan menentang sistem pegadaian negeri tahun 1922.  

“Namun demikian tindakan represif yang ditempuh pemerintah untuk mengakhiri pemogokan itu telah memaksa Boedi Oetomo untuk mengambil sikap mundur mapan, atau mundur bersiap,” seperti dilaporkan Jaksa Agung Neytzell de Wilde kepada D. Fock tertanggal 10 Februari 1923.  

Boedi Oetomo mulai bertransformasi. Pendukung gagasan moderat kian tergerus dan mulai saling tarik-ulur dengan pendukung gagasan radikal.*

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66470af5984b904492bf3d1e