Ayah Ulama yang Toleran

Irfan Malik Hamka memandang ayahnya ulama yang toleran, namun tegas dalam masalah agama jangan dicampuradukkan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Ayah Ulama yang ToleranAyah Ulama yang Toleran
cover caption
Irfan Malik Hamka. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

DI tengah kesibukannya mengurus hak cipta buku-buku karangan ayahnya, akhir Oktober 2014 Irfan Malik Hamka (71) meluangkan waktu untuk menerima Historia. Selain mengurus hak cipta buku-buku Hamka, Irfan juga sedang menyelesaikan beberapa buku yang ditulisnya sendiri. Setelah menerbitkan buku pertamanya, Ayah: Kisah Buya Hamka (2013), Irfan sedang menulis buku lain. “Sedang saya siapkan, empat buku lagi. Ada novel, ada jilid kedua buku Ayah.”

Menurut Irfan, ayahnya seorang ulama yang toleran dan menghormati perbedaan. Di dalam keluarga, Buya Hamka dikenang anak-anaknya sebagai seorang ayah yang demokratis, yang tak memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Berikut petikan wawancaranya.

DI tengah kesibukannya mengurus hak cipta buku-buku karangan ayahnya, akhir Oktober 2014 Irfan Malik Hamka (71) meluangkan waktu untuk menerima Historia. Selain mengurus hak cipta buku-buku Hamka, Irfan juga sedang menyelesaikan beberapa buku yang ditulisnya sendiri. Setelah menerbitkan buku pertamanya, Ayah: Kisah Buya Hamka (2013), Irfan sedang menulis buku lain. “Sedang saya siapkan, empat buku lagi. Ada novel, ada jilid kedua buku Ayah.”

Menurut Irfan, ayahnya seorang ulama yang toleran dan menghormati perbedaan. Di dalam keluarga, Buya Hamka dikenang anak-anaknya sebagai seorang ayah yang demokratis, yang tak memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana seorang Buya Hamka dalam pandangan Anda?

Toleran. Kita melakukan silaturahmi kepada semua orang. Tetangga kami di sebelah orang Buddha, di situ lagi orang Katolik aktivis gereja, ada lagi aktivis gereja. Kalau kita Lebaran, mereka datang. “Minal aidin ya, Buya. Selamat,” mereka mengucapkan. Ketika mereka Natal, oleh ummi disiapkan rendang. “Irfan tolong kirimkan ke Ibu Rienneker!” Ada (tetangga yang Kristen, red.) peranakan Belanda. “Ini ke keluarganya Dokter Ong.” Dia Katolik. 

Buya memerintahkan kepada panitia kurban, “Kalau kurban, jangan hanya membaukan darah saja di sepanjang jalan itu. Kirimkan paha kambing belakang!” Kalau paha belakang lebih gede. Toleransi kita di situ. Bukan kita suruh dia ikut juga berkurban. Tapi ada yang membedakan kita, masalah din, masalah agama. Itu lain urusan. Jangan sampai kamu campur adukkan. Buya seperti itu. Kalau ada ulama yang bilang salaman sama orang Kristen haram, itu kan keliwatan. Hamka seorang tokoh publik, terkenal sebagai ulama besar. 

Bagaimana cara dia mendidik anak-anak di dalam keluarga?

Buya Hamka dengan anak-anaknya demokratis. Yang saya tahu dari kecil, Buya Hamka tak pernah menetapkan anak-anaknya harus jadi apa. Buya Hamka itu humoris. Kalau lagi kita serius, [oleh] Buya dilencengkan ke hal yang membuat senyum. Jadi itulah Buya. 

Sebagai seorang ulama terpandang dan mubalig terkenal, apakah Hamka mematok bayaran ketika berceramah?

Buya mengatakan, “Betapa malangnya nasib seseorang yang tidak mempunyai ilmu sama sekali. Betapa malangnya seseorang bila punya ilmu tapi dimakan sendiri, tidak disebarkan kepada orang lain. Yang ketiga, betapa ruginya seseorang yang punya ilmu dan disampaikan kepada masyarakat, tapi dia mohon tarif dari situ.” 

Jadi, sekarang kalau orang desa, nggak berani itu mengundang ustaz-ustaz yang terkenal. Tradisi Buya, “terimo apa yang dikasih orang.” Buya kan ada rezeki saketek (sedikit, red.) disyukuri. Kalau Buya itu masalah gaji dan segala macam, tidak [peduli].

Pernah ikut diajak berceramah oleh Buya?

Yang saya bisa saksikan ketika Buya diundang ke Rangkasbitung. Saya diajak, ketika itu saya libur. Buya [ceramah] malamnya di masjid, besoknya di lapangan. Waktu itu Buya dijemput mobil yang masih mentereng waktu itu, mereknya Austin. Buya selalu minta [duduk] di depan, Buya itu orangnya senang lihat pemandangan. 

Sudah selesai, habis sembahyang Asar, pulang. Waktu pulang jadi dua mobil. Di belakang itu mobil Angkatan Darat, Pick Up (bak terbuka). Rumah kami masih di Sawah Besar. Rupanya dalam mobil itu ada beras dua karung, ada labu, ada tebu, ada jengkol, ada pete, ada ayam segala macam, lengkap. 

Buya juga dikenal sebagai tokoh politik Partai Masyumi. Pernah jadi anggota Konstituante. Apakah Anda mengalami masa-masa itu?

Selama jadi anggota Konstituante, Ayah hanya pulang saat akhir pekan. Dia lebih banyak di Bandung, bersidang. Tiap kali bersidang, Ayah dijemput sopir dengan mobil Suburban (sejenis minibus, red.). Pulang ke rumah juga diantar dengan mobil itu bersama teman-temannya. Sedangkan di luar sidang, ayah ikut pertemuan dengan tokoh teras Masyumi. Pak Natsir, Pak Kasman Singodimedjo, Pak Prawoto, dan Pak Roem. Saya pernah diajak ayah ke Bandung dan bertemu dengan mereka semua. Tapi saya tak ingat tema pembicaraan mereka. Saya waktu itu masih sepuluh tahun. Mungkin ya sekitar persiapan dan hasil sidang-sidang Konstituante.

Fasilitas apa saja yang diterima oleh Buya Hamka selama jadi anggota Konstituante?

Saya kurang ingat pasti apa saja. Yang jelas ada jemputan dengan mobil Suburban. Itu pun satu mobil beramai-ramai. Dan satu lagi, saat itu juga, kami, anak-anak ayah, cukup makan. Sehari tiga kali lah ha...ha...ha...

Sukarno berpesan kepada keluarganya, ‘Kalau saya meninggal, tolong panggil Buya menjadi imam salat saya'.

Sebagai tokoh politik, ayah Anda pernah berseberangan dengan pemerintahan Sukarno. Bahkan pernah dipenjara. Apakah ayah Anda pernah menceritakan kenapa sebabnya?

Sukarno menahan Buya dua tahun empat bulan, dengan tuduhan Buya Hamka merencanakan membunuh Sukarno. Buya dijebloskan ke penjara, ditahan di Sukabumi. Tapi Buya bukan pendendam. Sesudah pemerintahan ganti dengan Soeharto, datang sesprinya presiden, Mayjen Suryo. Dia diantar seorang petinggi Departemen Agama, datang ke rumah. “Sukarno sudah wafat, namun dia belum disalatkan. Dia berpesan kepada keluarganya, ‘Kalau saya meninggal, tolong panggil Buya menjadi imam salat saya.” Jadi, Buya pagi-pagi itu sudah siap, langsung berangkat.

Kabarnya banyak yang tak suka kalau Buya Hamka menjadi imam saat mensalatkan jenazah Sukarno?

Iya, teman-temannya protes. Saya salut, Buya itu orangnya begitu. “Nggak bisa kita mengatakan Sukarno itu munafik. Yang tahu orang itu munafik apa nggak, [hanya] Allah. Saya mendengar, ketika dia mau wafat, tetap dia membaca dua kalimat syahadat,” kata Buya. Dan satu lagi Buya mengatakan, “Siapa yang berani mendirikan masjid di Istana? Sukarno. Siapa yang berani membongkar Benteng Rotterdam di Lapangan Istiqlal itu untuk mendirikan masjid [yang] berhadapan dengan gereja Katedral peninggalan penjajah? Sukarno,” kata Buya. 

Bagaimana keadaan keluarga semasa Buya Hamka ditahan?

Lha, inilah penderitaan. Buku Buya dilarang terbit, Buya pun nggak bisa ceramah-ceramah. Perhiasan ummi satu per satu dicopot. Ada yang digadaikan, ada yang nggak bisa ditebus, dijual segala macam. Tugas utama saya menggadaikan barang. Gadai itu dulu cuma ada di Gang Ketapang di Jalan Gajah Mada. Ke sana saya itu, antre. Ada kalung, ada gelang, ada liontin. Jadi, kami itu hidup dari perhiasan ini. Kadang-kadang ada teman-teman Buya datang ke rumah, memberi zakat.

Apa kesibukan Buya Hamka di masa tuanya?

Setelah tidak di Majelis Ulama, [sering] menghadiri undangan. Dari luar negeri, Jepang, Turki, Irak, Malaysia, dari mana-mana [masih urusan] dakwah. Di Jepang itu kepala rumah sakit di Tokyo, nama pemiliknya Profesor Mutaki. Seorang haji, muslim. Buya diminta hadir di sana. Di Korea, mantan serdadu Korea PBB yang menjaga Timur Tengah, hampir semuanya Islam pulang di Korea. Dia tidak pernah minta tarif.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65df54c35c45a83d0ee231c2